Almarhum Papah selalu melarangku untuk menyebut diri sendiri ini bodoh. Mengapa? Karena ucapan setiap Muslim adalah doa, oleh karena itu kita (aku yakin hal ini tidak hanya berlaku untuk orang Islam saja) harus berkata-kata yang baik, minimal untuk diri sendiri. Bahkan di saat beliau sedang tersinggung dengan perkataanku ketika Insiden Kelinci, beliau masih menyuruhku untuk beristigfar karena aku menyebut diriku sendiri adalah bodoh.
Sebenarnya ada banyak momentum beliau mengingatkanku untuk menjauhi perkataan seperti itu, hanya saja insiden inilah yang paling berbekas. Karena, mood beliau yang sedang tersinggung itu tetap menjagaku agar jangan sampai merendahkan diri sendiri. Bagiku, itu kontras antara perasaan beliau dengan apa yang beliau utarakan kepadaku. Walaupun udah dilarang bilang "bodoh", tetep aja rasanya susah biar nggak ngatain diri sendiri kayak gitu gegara insiden tersebut.
"Teteh ini pinter gak sih?" ujar Papah setelah aku bertanya "kalimat itu" ketika insiden tersebut.
"Pinter," jawabku lirih.
Sebenarnya aku di situ nggak haqqul Yaqin bahwa aku memang demikian, hanya karena masih teringat saja dengan larangan beliau mengatakan hal buruk untuk diri sendiri.
"Naha atuh? (Bahasa Sunda : 'Lantas, mengapa bertanya/berbicara begitu', maksudnya 'mengapa mengeluarkan pertanyaan tadi?')" kejar beliau.
Aku terdiam sejenak sebelum merespon lagi perkataan beliau. Itu untuk merenung kembali. Ragu rasanya tadi untuk mengatakan bahwa aku ini pintar, nilaiku di sekolah saja banyak yang rendah. Lalu ter-trigger untuk 'trabas' larangan Papah yang tadinya kujaga untuk tidak kulanggar itu, karena kurasa itu memang lebih mendekati kenyataannya.
"Saya memang bodoh, Pah," ratapku kemudian.
"Istighfar, Teh. Ucapan setiap orang Muslim adalah doa." nada bicara Papah mulai melembut. Beliau segera memelukku.
Jaman sekarang orang mudah sekali untuk insecure karena berbagai pencapaian manusia terpampang nyata di media sosial, apalagi untukku yang memang nyaris tidak pernah pede seumur hidupku. Setiap saat perasaan insecure menghampiri, haruslah kuingat percakapanku dengan almarhum Papah itu. Bagaimanapun kondisinya, pantanglah untuk menyebutkan hal-hal negatif untukku sendiri. Karena, biasanya orang yang tidak dapat menghargai orang lain, sebenarnya mereka memandang diri atau self-esteem mereka rendah sekali.
Itu sudah terbukti oleh pengalamanku sendiri. Ketika sedang insecure berkepanjangan akibat Insiden Kelinci tersebut, aku mudah sekali untuk ngomong bahasa kasar atau buruk kepada orang lain di sekitarku. Sebab, pada saat itu perasaanku sedang dilanda kepercayaan diri yang terlalu rendah, sehingga mood hampir selalu buruk. Berawal dari mood yang hancur itu, udah nggak ada lagi kemampuan untuk menyaring ucapan karena pikiran tak lagi bekerja dengan jernih.
Pada kenyataannya, seperti yang sudah kusebutkan dalam kisah-kisahku yang lainnya, tidak perlu aku terlalu merendahkan diri ini. Dengan tenggelam dalam insecurity, tahun-tahun terakhirku di bangku Sekolah Dasar malah terkunci oleh obsesiku akan Danny Phantom untuk mengusir kesedihanku. Obsesi seperti itu malah menjadi mental block yang menghambat ide-ide baru untuk berkarya.
"Gambarnya yang lain, dong, jangan Danny Phantom terus! Bosan!" seru teman sekelasku Vita waktu kelas lima. Waktu itu dia lagi lewat meja aku, aku lagi menggambar Danny Phantom di buku corat-coret.
"Aku nggak ada lagi ide lain," keluhku.
"Cari ide lagi dong biar nggak bosan," usul Nabila, teman sekelas yang lagi berdiri sebelah Vita di depan mejaku.
Dengan obsesi yang seperti itu, bukannya menyelesaikan masalah. Justru insecurity aku yang malah bertambah. Skill menggambar tidak begitu berkembang, karena karyaku cuma itu-itu saja, padahal banyak ngeliat kartun/komik lain juga udah. Dalam pelajaran juga, semisal Matematika apalagi Olahraga ketika mukul bola bisbol pake bat juga payah.
Andaikata aku dulu berfokus buat belajar lebih banyak rumus Matematika atau latihan mukul bola bisbol di rumah, pastinya taraf hidupku akan meningkat. Bukannya berkutat di tokoh kartun kalo mau move on dari suatu peristiwa!
Pertanyaanku dalam insiden itu ternyata bukan berasal dari kebodohan, melainkan hanya disebabkan oleh "sebuah perbedaan pola berpikir" saja. Kata adik bungsuku Fariz, istilah Bahasa Inggrisnya adalah "neurodivergent".
No comments:
Post a Comment