Showing posts with label mental health awareness. Show all posts
Showing posts with label mental health awareness. Show all posts

Wednesday, January 10, 2024

Insiden Kelinci Bukan Disebabkan oleh Autisme!

Catatan 10 Januari 2024

Ketika kecil, aku pernah dicurigai mengidap autisme. Namun, perjalanan panjang bersama psikolog dan psikiater akhirnya menjelaskan kebenaran yang lebih kompleks.

"An autistic person may have difficulty in communication; both the physical act and the meta-knowledge of the purpose of communication. People with more severe autism often have highly restricted vocabularies and subjects they are able to communicate about. They will typically not ask questions or initiate communication with others. A person with autism may develop an interest in a narrow range of subjects, and limit their communication almost exclusively to these things."


Pengalamanku Dicurigai Autis

Ketika kecil, aku dulunya dianggap pengidap autisme karena sering menunjukkan tindak-tanduk yang aneh dan tidak umum seperti memerhatikan sesuatu selama berjam-jam, misalnya mainan. Lalu masuk SD inklusi pada tahun 2004, aku mulai mengenal anak-anak yang tulen menderita autisme. Ternyata dari segi perilakunya, mereka sangat berbeda denganku sehingga tidak perlu pihak sekolah menyediakan guru pendamping (shadow teacher atau co-teacher) untukku. Akan tetapi, dengan obsesiku akan Danny Phantom ketika usiaku menginjak dua digit alias pra-remaja pada tahun 2008, aku jadi semakin dicurigai sebagai seorang anak autis karena aku begitu terpaku dengannya.

Aku sering bertanya mengenai my mental health, apakah iya aku anak autis atau bukan? Kata Mamah, penderita autisme secara umum tidak akan mempertanyakan hal seperti itu tentang dirinya. Bahkan menurut kutipan artikel di atas, penderita versi terparah dari autisme tidak akan bertanya apapun sama sekali atau hanya berbicara beberapa patah kata saja. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi.

Sementara anak dengan spektrum autisme yang lebih ringan biasanya terus menerus membahas mengenai topik kesukaannya kepada orang lain dan tidak ada inisiatif sendiri untuk bertanya kepada orang lain. Mereka tidak merasa perlu tahu hal-hal yang di luar minatnya, jadi mereka tidak akan bertanya apapun. Lalu, mereka tidak peduli dengan apa yang menjadi ketidaktahuan mereka. Jika mereka dimisalkan dengan aku, ibaratnya aku hanya ingin tahu tentang Danny Phantom atau apapun yang menjadi minatku saat itu, dan tidak akan penasaran dengan sikapnya orang-orang di sekitarku.

Mengapa Aku Bukan Anak Autis

Walaupun ciri khas autisme pada kalimat terakhir paragraf di atas juga timbul di dalam diriku (terus-menerus membicarakan tentang apa yang kusukai), ternyata tetap ada perbedaan yang jelas antara aku dan mereka. Penderita autisme seperti itu tidak akan pernah bertanya duluan kepada orang lain, mereka akan berbicara secara satu arah. Ini jelas adalah sebuah kontras dengan Insiden Kelinci! Meskipun terdengar sebodoh apapun kalimat yang kuucapkan waktu itu, insiden tersebut terjadi justru karena aku bertanya kepada Papah yang ternyata pertanyaannya menyinggung perasaan beliau dan itu tidak lazim untuk ditanyakan. 

Meskipun kontennya sepintas terdengar absurd dan tidak menggunakan logika, kalimat yang kuucapkan berupa kalimat tanya. Dulunya aku curiga kalimat tanya tersebut terlontar begitu saja dari mulutku karena aku ini adalah salah seorang penderita autisme. Kini, kecurigaan itu terpatahkan sudah karena anak autis tidak ada inisiatif apapun untuk mencari tahu akan suatu hal dengan bertanya kepada orang lain! Hasil pemeriksaan psikolog dan psikiater juga telah mementahkan asumsi orang-orang atas diriku. 


Peran Insiden Kelinci dalam Kesehatan Mentalku

Penderita autisme biasanya tidak peka akan sekelilingnya. Menurut salah satu dari tiga psikolog tempatku terapi, penderita kelainan mental seperti itu malahan tidak akan merespon apabila dikejutkan. Insiden kelinci terjadi karena aku noticed sikap orang banyak itu berbeda denganku dalam menanggapi kabar dari Eyang Putri (yang menurutku adalah kabar duka). Jika aku mempertanyakan sikap orang-orang, itu artinya aku memerhatikan sesuatu yang terjadi di antara kami.

"Anak autis itu gak akan ngeh jika sikapnya mereka itu tidak wajar atau jika mereka tidak memahami banyak hal, mereka tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya. Sedangkan kamu masih bisa peka sama orang lain," jelas Mamah ketika aku masih SD dulu. 

Seperti yang tadi sudah disebutkan, anak autis itu tidak ada rasa ingin tahu tinggi terhadap perilaku manusia lainnya. Satu pertanyaan yang diajukan olehku di usia pra-remaja kepada Papah itu, timbul karena keingintahuanku tentang bagaimana orang-orang di sekeliling bersikap. Ketika aku hanya sendirian yang menangis sedih karena kehilangan kelinci, aku pada saat itu penasaran mengapa aku hanya sendirian yang menangis. Keluargaku di rumah hanya berduka untuk kehilangan anggota keluarga saja dan tidak sepertiku yang juga merasa kehilangan untuk hewan peliharaan, hal itu membuatku berpikir bahwa "manusia dan hewan itu pasti memiliki setidaknya satu perbedaan yang mendasar". 

Umurku yang pada September 2008 itu akan menginjak sebelas tahun bulan berikutnya, masih belum dapat menemukan sendiri apa yang sebenarnya membedakan antara dua makhluk hidup itu. Walaupun, keduanya memiliki akhir kehidupan yang sama. Aku ingin mendapatkan jawaban dari Papah yang lebih pasti mengenai hal itu. Kemampuanku untuk memilih diksi dan merangkai kata yang saat itu masih jauh dari kata mahir menjadikan kalimat pertanyaannya salah yang keluar, jawaban yang kunantikan itu pun tidak kudapatkan dari ayahku.

Akibatnya, aku disangka sebagai anak dengan autisme karena disangka kesulitan untuk peka dan berempati dengan musibah kehilangan yang dialami keluargaku hampir dua tahun sebelumnya (pada tahun 2006). Kesedihan yang tadinya karena kematian kelinci, berubah menjadi kesedihan yang disebabkan oleh asumsi dari keluargaku sendiri. Mengapa bisa jadi timbul kesimpulan di benak mereka bahwa aku tidak dapat merasakan sakit akibat wafatnya adikku sendiri? Justru karena pernah terluka dengan kehilangan yang besar sebelumnya, maka kehilangan yang lebih kecil juga terasa hati bagiku. 

Saat adikku wafat, aku menangis dengan cara yang sama—air mataku mengalir tanpa henti, dan dadaku terasa sesak. Perasaan itu kembali hadir saat kelinciku mati, meskipun skalanya berbeda. Namun, luka lama membuat rasa kehilangan yang lebih kecil tetap terasa perih bagiku. Bagi orang lain, mungkin kehilangan hewan peliharaan hanyalah hal kecil. Namun bagiku, luka kehilangan yang pernah kualami membuat setiap perpisahan terasa lebih berat. Aku tidak hanya menangisi kelinci itu, tetapi juga kenangan yang seolah kembali membuka luka lamaku.

Ketika adikku wafat, semua orang menangis bersamaku. Tangisku dianggap wajar, bahkan sebagai bentuk kasih sayangku. Tapi saat kelinciku mati, tangisku dipandang aneh, seolah-olah aku tidak mengerti apa itu kehilangan yang sebenarnya. Padahal, bagiku, rasa kehilangan itu sama nyata.

Hubungan Gangguan Kecemasan dan Autisme

Kejanggalan pemikiranku sudah clear bahwa bukan disebabkan oleh faktor autisme. Sempat psikolog di kampusku menduga bahwa aku pengidap ADHD, tetapi psikiater tidak mengatakan hal yang sama. Beliau mendiagnosa aku mengidap anxiety atau kecemasan, yang dapat berujung pada depresi. Gejala-gejala mirip autisme yang muncul pada diriku sebenarnya mungkin lebih tepat jika disebut sebagai gejala salah satu gangguan kecemasan.

Apakah Insiden Kelinci yang terjadi ada kaitannya dengan anxietas? Aku hanya berharap akan mendapatkan jawabannya dari sesi terapi selanjutnya dengan psikolog di kampusku. Pastinya insiden pada tanggal 1 Ramadhan 1429 sebenarnya sudah dipicu sekitar satu atau dua bulan sebelumnya. Setelah adikku wafat, keluargaku berkunjung ke rumah Wa Aden(abang Papah) di Cirebon, lalu satu tahun setengah kemudian kami mengunjungi rumah yang sama untuk mengadakan khitanan bersama.

Kelinci itu diberikan oleh keluarga tersebut ketika mereka gantian mengunjungi keluargaku di Bandung. 

Sebenarnya hal yang membuatku teringat kembali memori kelam adikku itu bukanlah kematian kelincinya, tetapi semua hal tentang keluarga abangnya Papah(?)

Menangis karena kehilangan, baik besar maupun kecil, adalah tanda bahwa aku mampu merasakan kasih sayang dan keterikatan. Justru pengalaman kehilangan adikku yang membuatku lebih peka terhadap rasa duka, bukan kurangnya empati seperti yang diasumsikan keluargaku.

Saturday, December 30, 2023

Kenangan dan Kehilangan: Memahami Akar Sejati di Balik Insiden Kelinci 👩❤

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku jaman SMA mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat perasaan kehilangan akan wafatnya adikku yang tengah, 17 tahun yang lalu dan juga insiden kelinci pada 15 tahun yang lalu. 

Kenangan yang Terlupakan: Waktu yang Memudar

Ditambah dengan sebuah quote dari Boy Candra dari akun twitternya @dsuperboy yang dengan tepat menggambarkan kesedihanku yang sulit untuk dipadamkan ini. Bahkan, sebuah kenangan keluarga saja ternyata tanpa sadar membuat aku teringatkan kembali ke perasaan kehilangan itu. Aku mencoba untuk menggali lebih dalam tentang apa yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang mengubah banyak hal dalam hidupku sejak usia pra-remaja.


Tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang terjadi ketika aku kelas limaKalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci peliharaan itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa tahun itu. Kejadian ini membuatku semakin kuat keingintahuan akan hubungan manusia dan hewan. 


Pertemuan Keluarga: Awal Mula Kenangan

Kelinci itu diberikan satu minggu sebelum bulan puasa itu oleh abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008, ketika kedua anak lelakinya beliau sudah sembuh dari luka khitan bersamaan dengan adikku yang terbesar. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang sebenarnya membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku yang lahir di antara adikku yang besar dengan yang bungsu itu! 

Tidak mau terkesan tidak mensyukuri peristiwa yang membahagiakan keluarga Papah dan abangnya itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarganya Papah dari Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Tragedi yang Tertimbun: Kunjungan ke Cirebon

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana sambil menginap setelah beberapa hari wafatnya adikku yang tengah, dekat dengan hari Idul Adha tahun 2006. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya abangnya Papah itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 

Saat adikku wafat, aku masih kelas 3 SD.

Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember di tahun yang sama ketika aku sudah kelas empat. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dan kehilangan dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa kelinci itu hanya seekor hewan peliharaan. Satu ekor kelinci lainnya, sudah mati sebelum sahur pertama kami ini, menambahkan kesedihannya.

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Mengingat Adikku: Kelinci yang Mengungkit Kesedihan

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 2x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Pertanyaan Tentang Kehilangan

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

Perbedaan Pandangan: Kehilangan Manusia vs. Hewan

Saat aku menangis sendirian, aku mulai merenung mengapa keluargaku tampak tidak merasakan kesedihan yang sama. Apa yang membuat perasaanku begitu berbeda dalam menghadapi kematian seekor hewan dibandingkan dengan kehilangan manusia? Aku bertanya-tanya apakah ada perbedaan mendalam antara keduanya, dan mengapa aku merasa seperti ini.

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.


Dialog Imajiner dengan Papah: Mencari Pemahaman

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku saat sahur itu adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri dalam hati. 

Kekecewaan yang Mendalam: Perasaan yang Tidak Tersampaikan

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku sudah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu pada kenyataannya malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.

Thursday, October 5, 2023

Validasi Perasaan: Menghadapi Insiden Kelinci dan Kehilangan Layaknya Anggota Keluarga

Catatan 5 Oktober 2023

Perasaan yang Abadi: Refleksi Usia Lebih dari Seperempat Abad

Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri. 

Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, (jangan bosan ya). Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia tepatnya anggota keluarga sendiri. Sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".  

Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan? Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.

Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum adikku. Itu ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi beliau bekerja pada perusahaan Eyang Putri. Maka, beliau jadi sering sekali bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. 

Kisah Insiden Kelinci mengingatkanky pada bagaimana aku meragukan perasaanku sendiri setelah kelinci peliharaanku meninggal. Sebuah kejadian yang memicu memori akan kehilangan yang lebih besar, yaitu adikku yang telah wafat sebelumnya.

Sebuah Flashback Emosional

Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar dari Eyang Putri kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo. Marlin mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaan sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara kami yang sudah agak jauh kekerabatannya tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku. 

Sepupu jauhku, sebagai salah seorang korban selamat dari bencana alam Tsunami Aceh 2004 juga pernah sementara waktu sering mengalami flashback ketika bencana alam itu terjadi. 

Validitas Perasaan: Menerima Perasaan Kehilangan

Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian atas kematian kelincinya. Kehilangan anggota keluarga dianggap wajar untuk berduka, tetapi apakah itu juga berlaku untuk hewan peliharaan?

Meskipun aku tahu perbedaan antara manusia dan hewan, tetap saja aku merasa bingung: apakah perasaanku atas kehilangan kelinci peliharaan juga valid? Di usia yang lebih dewasa, aku mulai menyadari bahwa setiap perasaan, baik itu terkait dengan kehilangan manusia atau hewan, adalah valid. Tidak perlu mencari validasi dari orang lain untuk merasa bahwa perasaan kita itu sah adanya.

Menemukan Dukungan: Masyarakat yang Semakin Mendukung Kesehatan Mental

Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid. Di saat usiaku hampir sebelas tahun pada akhir dekade 2000an, aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental pada dekade 2020an ini. Juga, banyak pet lovers yang sangat menjiwai piaraan mereka sampai-sampai mereka menangis dan berdukacita jika piaraannya mati. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid. 

Kesimpulan: Semua Perasaan Itu Valid

Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya. Tidak ada perasaan yang lebih penting atau kurang valid dari yang lain. Setiap perasaan kita adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihargai. Dengan menerima perasaan kita sendiri, kita dapat hidup lebih damai dan menerima diri.

The Curious Connection Between Lou (UglyDolls) and Rancis Fluggerbutter (Wreck-It Ralph)

January 17, 2025 When it comes to animated characters, some connections are so striking that fans can’t help but imagine shared universes an...