Showing posts with label Cerita perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Cerita perjalanan. Show all posts

Saturday, December 30, 2023

Duka dan Luka dalam Hatiku yang Masih Ada Tetapi Membeku

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat akan wafatnya adikku yang tengah dan tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci. 

Kalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa pada tahun itu, kelinci itu diberikan satu minggu sebelum puasa oleh Wa Aden abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku itu! 

Tidak mau terkesan menyalahkan saudara sepupuku itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarga Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana beberapa hari sambil menginap setelah wafatnya adikku yang tengah. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya Wa Aden itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 


Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember tahun yang sama. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa layaknya kelinci itu hanya seekor hewan. 

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 3x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri. 

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku udah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.


Monday, November 6, 2023

Nenekku Adalah Orang yang Tersentuh Oleh Tragedi Hewan Peliharaan, Sama Sepertiku

Catatan 6 November 2023

Kemarin malam adalah pertama kalinya aku ke rumah Nenek untuk bulan November tahun ini. Saat aku masuk rumahnya Nenek tadi malam, aku menemukan sesuatu yang tidak janggal tetapi cukup membuat bertanya-tanya. Satu anak kucing yang baru lahir, hilang! Padahal belum ada sebulan aku terakhir ke rumah ibunya Papah, April yang merupakan salah satu ekor kucing di rumah tersebut, memiliki tiga ekor anak. 


Dua anak kucing berwarna hitam dan putih varian tuxedo, sedangkan satunya berwarna hitam full seluruh tubuhnya! Nah, si hitam inilah yang hilang! Tadi pagi aku tanyakan kabarnya si hitam itu kepada Nenek, ternyata sudah mati. Sedihnya, beliau menggendong anak kucing itu pada detik-detik terakhir hidupnya.

Pantas saja ketika aku berkunjung ke rumah Nenek pada pertengahan bulan Oktober lalu, si hitam ini selalu memisahkan dirinya dari kedua saudaranya! Konon katanya jika seekor kucing hendak mati, dia akan sering memisahkan dirinya dari kucing-kucing lainnya, bahkan dari manusia juga! Si hitam ini sulit makan dan minum, dia selalu menolak ketika disodorkan botol susu oleh Nenek dan tidak mau menyusu pada April, ibunya. Saat detik-detik terakhir hidupnya itu, si hitam yang diberi nama "Berber" karena tubuhnya gemuk seperti beruang (bear), terus memandangi mata Nenek.

Menurut cerita beliau, tadinya beliau tidak sadar bahwa itu adalah terakhir kalinya Berber si anak kucing hitam itu membuka kedua matanya. Begitu salah satu pamanku melihat Berber sudah tidak lagi bernyawa di gendongan Nenek, spontan adik bungsu Papah itu berseru, "Itu anak kucing udah meninggal!" Awalnya ibunya Papah dan pamanku itu tidak percaya bahwa Berber sudah tiada. Ketika dilihat lagi oleh Nenek, benar saja anak kucing yang berusia belum satu bulan itu sudah tidak mengeluarkan napas lagi.

Nenek menceritakan itu semua sambil sedikit mengeluarkan air mata. Oalah, ternyata di keluargaku juga ada pula orang selain aku yang menganggap bahwa kematian hewan itu menyedihkan! Jika kedua adikku tidak menangis ketika Lula mati tepat tiga bulan yang lalu (Lula mati pada tanggal 6 Agustus), itu karena mereka berdua adalah cowok. Karena saat-saat terakhirnya Lula juga sedang berada di dekatku, aku bisa membayangkan perasaan sedihnya Nenek ketika Berber sudah mati.

Biasanya orang yang menangis karena kehilangan hewan peliharaan hanya kudengar dalam acara-acara fiktif atau kisah orang-orang di media sosial. Kali ini, aku melihat secara langsung orang yang seperti itu dan dia adalah nenekku sendiri. Anggota keluargaku sendiri. Sifatku memang banyak kesamaannya dengan beliau, baik untuk sesama manusia maupun hanya hewan semuanya diberikan kasih sayang yang sama.

Kali terakhir aku ke rumah Nenek sebelum kemarin itu adalah perjumpaan aku yang pertama dan terakhir dengan Berber! Saat dia sedang tidur terpisah dari kedua saudaranya bulan lalu, pelan-pelan ada makhluk yang tahu-tahu sudah menggantung di ujung celanaku! Kulihat waktu itu Berber sudah tidak ada di tempat semula, ternyata dia yang mengaitkan cakarnya pada celanaku. Anak kucing berbulu hanya hitam tanpa campuran warna lain itu kuambil untuk kutaruh di atas pundakku.

Hewan-hewan kecil, terutama untuk anak-anak mereka yang masih kecil sekali, memang rentang usianya seringkali tidak panjang. Akan tetapi, jika kita selalu mengikuti kehidupannya mereka, tetap saja kematian salah satunya dari mereka terasa menyedihkan. Bahkan, bisa saja kematian mereka terasa sama sedihnya seperti meninggalnya sesama anggota keluarga jika mereka dijiwai sepenuh hati oleh kita. Satu hal yang penting untuk diingat, ketika seelor hewan peliharaan dihayati seperti seorang manusia itu tidak lantas berarti manusia yang sesungguhnya itu menjadi kurang dianggap penting. 

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menganggap hewan peliharaan lebih dari sekadar hewan, selama tidak ada manusia yang dibandingkan dengannya. Nenek aku tidak melakukan hal itu karena memang pada saat itu tidak ada relatif yang meninggal dalam waktu agak berdekatan. Lalu, pada insiden kelinci itu mengapa aku membandingkan antara anggota keluarga sendiri dengan hewan? Itu karena memori tentang musibah yang menimpa keluargaku itu entah mengapa terbuka kembali dengan sendirinya ketika kelinci itu mati, padahal sudah satu tahun lebih tertutupi oleh kenangan-kenangan besar lainnya. 

Saturday, June 3, 2023

Hati Nelangsa Karena Kurang Piknik? Bukan, Karena Inti Masalahnya Belum Kelar!

Catatan 4 Juni 2023

Bukannya aku gak bersyukur ya, ternyata sampai bulan ini aku masih juga sering flashback Insiden Kelinci. Bukan sengaja di-recall, tapi emang tiap hari keingetan terus kayak nggak bisa lupa. Pikiranku ingin melupakan itu, tapi sayangnya otakku menolak lupa. Walaupun masih suka kepikiran, untungnya udah mulai mereda, nggak kayak dulu-dulu lagi.

Kalimat "bad mood karena kurang piknik" itu nggak sepenuhnya bener ternyata. Ini baru aku ngeh tahun-tahun ini, tepatnya sejak terapi ke psikolog akhir 2021 lalu. Percuma banyak piknik tapi problem psikologis nggak cepet-cepet dikelarin sampai akhirnya udah 13 tahun masih ada efeknya, bahkan sampai sekarang masih suka kerasa efek kagetnya, jadi terhitung hampir 15 tahun dari tanggal kejadiannya! Udah ngelewatin banyak jalan-jalan, tapi tetep aja di perjalanannya aku dulu banyak sambil nangis karena masih sedih dan merasa bersalah karena insiden itu.

Nggak lama sehabis Insiden Kelinci dulu, malahan banyak banget piknik di antaranya :
1. Halal bihalal keluarga Eyang Putri di Lembah Bougenville Resort Lembang (12 Oktober 2008) ➡️ aku inget soalnya tepat sehari sebelum ultahnya tetangga aku
2. Belum sebulan dari halbil (halal bihalal) itu ada family gathering sama kantornya Mamah ke Dufan (2 November 2008) ➡️ ini hari terakhir aku sebagai anak-anak yang belum pernah mens
3. Lusanya field trip satu SD ke Penerbit Mizan dan nonton film Laskar Pelangi di bioskop terdekat dari sekolah, di sini aku lagi jadi anak kelas lima (4 November 2008) ➡️ pertama kalinya aku jalan-jalan dalam keadaan mens karena tepat hari kemarinnya dapet, mana pertama kali banget lagi tapi udah hari kedua dapet
4. Kurang dari seminggu kemudian, family gathering keluarga sangat besar dari Eyang Kakung di Bogor (9 November 2008) ➡️ sambil jalan sambil mikir tata caranya mandi besar karena udah hari-hari terakhir mens
5. Jarak waktunya lumayan jauh dari perjalanan sebelumnya, yaitu field trip satu sekolah lagi di semester depannya ke kavaleri di Lembang (kalo gak salah 14 April 2009) ➡️ ini udah pernah aku ceritakan di postingan blog "Kuda dan Kelinci"

Alhamdulillah aku bersyukur banget perjalanan ke Sans Co kemarin lusa itu berakhir menyenangkan banget. Itu karena udah banyak problem psikologis yang udah terselesaikan, termasuk ingatan akan Insiden Kelinci itu yang udah pelan-pelan teratasi. Waktu lagi duduk di kursi model ayunan Sans Co, aku buka-buka Twitter dan nonton video pengakuan seorang masinis di sebuah menfess.

Dalam video tersebut, sang masinis mengungkapkan rasa bersalahnya yang teramat sangat karena udah beberapa kali keretanya nabrak orang yang sengaja berdiri di atas rel kereta. Soalnya kereta api itu kan nggak bisa ngerem mendadak kayak mobil atau motor, jadi itu sih emang rencananya si orang yang berdiri di atas rel itu buat bundir, biar dirinya meninggoy. Tapi tetep aja masinis itu nggak bisa ilang rasa bersalah dan sedihnya meskipun kejadiannya udah lama banget. Perasaannya Mas masinis itu jelas banget nggak bisa disamakan dengan guilt aku akan Insiden Kelinci, tapi kira-kira kek gitu penggambarannya perasaan yang aku rasakan berkat itu insiden.

Sampai-sampai sering kebawa mimpi kejadiannya dan keingetan terus waktu nabrak orang menurut masinis itu. Ya, aku juga masih sering kebawa mimpi dan keinget lagi kesalahan aku waktu Insiden Kelinci. Dari kisah pengalamannya, masinis itu bilang jangan sampai kita b*n*h diri dan segera selesaikan masalah kita. Sesedih dan sekuat apapun perasaan bersalah aku dari Insiden Kelinci, untungnya aja nggak pernah bikin sampai kepikiran pengen shutdown diri sendiri, karena aku masih mikir bahwa ini masih bisa ditangani.

Kebanyakan orang mikirnya aku itu menyalahkan Papah karena marah akan pertanyaan itu, padahal justru karena aku punya kesalahan yang lumayan besar tanpa aku sadar. Perasaan bersalah itulah yang terus menghantuiku, sama sekali karena bukan sakit hati sama beliau. 


Friday, June 2, 2023

Nugas di Tempat Reunian SMP 2021 (Cuman Aku Dulu Gak Ikutan Acaranya)

Alhamdulillah, akhirnya aku ada pengalaman juga ke Sans Co, lokasi reunian SMP 2021 yang aku batal ikutan. Batal ikutnya itu, karena aku ketinggalan info huhuhu! Sekarang udah lumayan lega deh akhirnya kesampaian juga ke tempat itu meskipun nggak sama temen-temen SMP. Semoga di sini lagi ya nanti kalo reunian.

Pas di perjalanan pergi, ternyata Deket sama pondok aku jaman SMA dulu! Pantesan vibes nya kayak dulu pas lagi perjalanan balik lagi ke pondok! Lokasinya itu ternyata sebelahan banget sama Thai Palace, tepatnya di sebelah kanannya. Kalo Thai Palace sih, udah sering liat dari dulu aku mulai mondok tahun 2013 dulu, wah udah mau satu dekade aja nih.

Meja yang aku taruh tas ransel itu adalah titik aku duduk (aku nggak ada di situ karena aku sendiri yang motoinnya). Kelihatan juga dong itu tempat yang aku pilih buat duduk, dari buku-buku yang aku taruh di atas mejanya. Kenapa aku milih duduk di situ? Alasannya, ada DECH! 

Sebelum milih tempat duduk, aku ditanya dulu sama resepsionisnya mau pilih kafe atau working space. Aku pilih kafe, karena diliat dari fotonya reunian itu, tempatnya luas. Aku ngintip dikit dari pintunya, ternyata working space ini nggak terlalu luas tempatnya. Kafe yang di-"cup" (di-booking), aku cocokin tempatnya sama di foto reuni SMP, ternyata beneran aja mereka yang terdiri dari tujuh orang itu pilih kafe dan aku berhasil nemuin meja yang mereka pilih buat acara itu!

Nanti kalo aku mau ke sini lagi, aku cobain aja working space buat nugas. Ternyata tempatnya emang asik banget buat aku, mana ada tempat duduk sekaligus ayunan dan juga ada yang pake bantal-bantal! Kalo gini sih bikin aku mo ke sini lagi buat yang kedua kalinya! Sekarang sih nikmatin dulu me time sambil membayangkan aku ikutan reunian sama temen-temen SMP.

Rencananya aku mau agak lamaan di sini, karena aku mau bikin sketsa tiga alternatif maskot buat tugas akhir aku. Kayaknya sih sore atau malem pulangnya, biar nggak serasa diburu-buru. Untung aku pilih cafe, soalnya kalo working space itu kan bayar perjamnya. Lagian gak mungkin juga sekelompok anak muda reunian milih working space!

Duuuh, jadinya nggak sabar nih pengen reunian lagi biar aku bisa ikutan! Kalo buat reunian ntar, mending aku tampil dengan outfit yang biasa atau kerdus (kerudung dusta, dipake cuma mau pergi dan deket rumah aja) ya? Ah, banyak juga kali temen cewek SMP yang nggak teterusan berhijab, sejak dulu juga. Jadi kayaknya gapapa kerdus tapi outfit-nya jangan terlalu terbuka kayak buat cosplaying di studio foto nanti.

Ah, itu pikirin aja nanti kalo udah jadi maskotnya. Lebih bagus lagi kalo udah di-ACC satu dari tiga alternatif maskot yang aku bikin. Lagian belum ada wacana reunian lagi juga. Sekarang fokus aja dulu ke sidang alternatif karya nanti tanggal 27 Juni, ternyata maskotnya harus aku bikin lagi dari nol dan harus benar-benar beda dari maskot yang aslinya (ini aku ceritakan di catatan yang lain aja ya).

Di situ aku pesen smoothie Oreo dan kwetiau goreng. Seperti biasa, minuman datang duluan, jadi aku abisin dulu smoothie sambil nungguin kwetiau mendingin. Aku datengnya pas banget jumatan, udah jamnya makan siang nih. Mana konsen kalo nugas tapi belum makan siang.

Aku habiskan dulu pesenan aku sebelum mulai ngerjain. Taunya udah abis semuanya, eh kepala aku masih aja nge-blank, otomatis sketchbook juga blank, kosong melompong! Itu sketchbook sejak beli bulan lalu emang belum pernah diisi apa-apa saking udah malesnya aku gambar, gak kayak waktu sekolah dulu. Cobain pindah ke kursi model sofa, siapa tau kalo lebih nyaman idenya keluar.

Thursday, June 1, 2023

Nonton The Little Mermaid di Bioskop PVJ Setelah 15 Tahun Sejak Pertama Kalinya ke Sana

Catatan 1 Juni 2023

Udah bulan baru lagi nih! Untungnya perasaanku juga terbarukan! Kemarin-kemarin, puncaknya itu pas aku mulai sakit Rabu lalu, aku gelisah karena suka kelewat film-film yang viral di bioskop. Paling gelisah itu kalo nonton The Little Mermaid nggak kesampaian, untungnya hari ini bisa nonton juga tuh.

Rencananya sih aku mau nonton The Little Mermaid itu Rabu lalu, tapi akunya keburu sakit demam dan sakit perut. Bahkan sampai Senin pagi masih juga sakit perut meskipun udah gak demam lagi. Seminggu ini gelisahnya bukan main, bakalan nyesek banget kalo sampai nggak nonton di bioskop. Alhamdulillah, akhirnya hari ini aku udah sehat betul dan nontonnya juga di tempat yang hampir gak pernah aku kunjungi sebelumnya, Paris Van Java suasana baru!

Pertama dan terakhir kalinya aku ke PVJ itu waktu field trip kelas 4 tahun 2008 tepatnya sih ke Gramedia, wah udah lamaaaaa banget itu tuh! Udah 15 tahun yang lalu baru ke sana lagi, jadinya suasana baru nich! Suasana baru, otomatis isi pikiran juga terbarukan. Bahkan, mungkin ada aku ada cartoon crush yang baru, Prince Eric.

Sambil aku jalan menyusuri tempat-tempat di dalam gedung mall PVJ, aku inget bahwa waktu dulu pertama kalinya ke sana itu belum terjadi Insiden Kelinci. Saat itu, aku masih kelas 4 sedangkan Insiden Kelinci itu terjadi beberapa bulan setelahnya ketika udah kenaikan kelas ke kelas 5. Ini entah udah yang keberapa kalinya aku bilangin, ini bukannya nyalahin Papah meskipun impact-nya kuat banget buat aku. Waktu belum kejadian, biasanya aku banyak hepi (meskipun aku sifatnya cepet marah juga ya dulu), nggak ada kesedihan yang terus-terusan kepikiran. 

Pada saat-saat sebelum Insiden Kelinci itu terjadi, pikiran aku banyak senengnya sambil fangirling Danny Phantom. Lagi seneng-senengnya beli komik Rainbow Miracle volume 1 (belum pernah ngumpulin sampai tamat tuh) di Gramedia PVJ, setelah sebelumnya dari perkebunan wortel untuk dipetik sendiri. Pengen deh kayak dulunya, pikiran aku itu nggak ada kesedihan dan rasa bersalah yang terus keingetan. 

Tadinya aku anggap Prince Eric itu cuma cowok ganteng kartun biasa. Setelah liat live actionnya, ada sedikit getaran aneh nich. Dia dan Princess Ariel itu kalo dipikir-pikir jalan hidupnya kayak aku lho, sama-sama pengen hidup berkebalikan dari yang disuruh sama ortunya masing-masing. Namun, bukan itu lho yang bikin jatuh cinta sama Eric, baru kerasa itu pas (spoiler) dia habis battle dari laut terus ngeliat gaunnya Ariel yang nyangkut di atas batu karang.

Setelah kemarin aku tulis tentang mimpi sedih pada Jumat dini hari lalu, perasaan sedih keinget suara aku yang nangis nyariin bantal kesayangan aku Puspa itu udah terkikis. Nah, hari ini habis pulang dari PVJ, perasaan sedih itu beneran udah habis. Bener kata AA Irsyad, cat dinding kamar aku itu warnanya bikin depresot karena semakin lama aku jauh-jauh dari kamar, makin nggak sedih. Kira-kira, rencana pergi aku buat besok apa, nih?

Saturday, April 8, 2023

Berhasil Juga Curhat Sama Nenek Tentang Insiden Kelinci!

Catatan 9 April 2023

Kemarin, aku berhasil mengunjungi rumah Nenek lagi, setelah malam tarawih pertama waktu itu. Hal yang lebih melegakan, akhirnya aku berhasil juga menceritakan kisah Insiden Kelinci kepada beliau. Tapi, nggak aku spill secara rinci, alias udah "disensor" dikit. Di sini aku nanya, "Wajar gak sih kalo saya udah kelas lima masih nanyain 'Kenapa orang semuanya sedih kalo orang yang meninggal, tapi kalo hewan peliharaan cuma saya yang sedih'? Karena kata Mamah itu lebih cocok ditanyain sama anak lima tahun."

Aku belum terlalu berani untuk menyebutkan kalimatnya secara terperinci. Poin dari pertanyaan itu kan emang meninggalnya orang secara umum. Sayangnya, kesalahanku pada Insiden Kelinci itu malah menyebutkan meninggalnya adikku, karena itulah yang muncul pertama di pikiranku sebagai contoh dari orang yang meninggal. Di sini aku sengaja menyebutkan pertanyaan itu menggunakan kata "orang" secara umum.

Nenek menjawab, "Wajar, karena semua pertanyaan anak itu wajar dan karakter setiap anak itu nggak sama. Ada anak yang datar aja kalo cuma binatang yang mati, ada juga anak yang justru sangat sedih ketika hewannya mati."

Alhamdulillah, rasanya lega banget denger jawaban beliau itu. Kebanyakan orang yang aku share kisah itu juga anggap wajar. Yang anggap aku di luar akal sehat atau logika cuma kedua ortu dan temen-temen dari organisasi keagamaan di kampus. Malah yang terang-terangan ngejek dan ngetawain cuma satu doang, temen pondok my ex-BFF (buat yang belum tahu, artinya "mantan sahabatku").

Gimana kalo ada yang ngetawain di belakang? Apapun yang kita lakukan, pasti ada aja yang kontra, jadi orang yang ngomongin di belakang itu nggak terhindarkan. Tapi aku yakin, orang-orang yang kasih respon positif untuk kisah itu nggak mungkin nusuk dari belakang. Alasannya kenapa, aku juga gak tahu dan feeling aku berkata demikian. 

"Semestinya ketika Mamah dan Papah nggak tahu jawabannya, bilang saja 'tidak tahu', karena bukan berarti mereka tidak mau menjawab tapi memang tidak tahu," Nenek melanjutkan perkataannya.

"Mereka bukannya nggak tahu jawabannya sih, karena mereka lebih ke tersinggung, mereka anggap aku nyamain manusia dengan hewan," terangku.

"Ya, meskipun dalam agama Islam kita harus menyayangi binatang, tentu saja kita akan lebih bersedih dengan orang, karena sesama manusia. Kalau binatang kan bagaimana pun derajatnya di bawah manusia. Orang tuamu itu pekerjaannya mirip ilmuwan, sehingga mereka tidak terlalu menaruh perasaan," urai Nenek.

"Tapi, Papah dan Mamah anggap aku nggak empati karena disangkanya mereka aku lebih sedih sama binatang daripada sesama orang," tambahku. 

Padahal, aku nggak pernah berpikir demikian. Justru karena pernah merasakan kehilangan sesama manusia, bahkan anggota keluarga sendiri, aku bisa bersedih akan kematiannya kelinciku. Emang mungkin agak aneh kedengarannya, tapi emang itulah yang terjadi. Jadi, gimana tanggapan Nenek mengenai kalimatku yang tadi itu?

"Pada saat itu, nggak ada orang yang baru meninggal, kan?" tanya Nenek.

Ketika akan menjawab pertanyaan tersebut, aku agak ragu menjawabnya. Iya sih, waktu nanyain itu, memang tidak ada orang yang kukenal baru-baru saja wafat. Namun, "orang" yang jadi pertanyaan aku dalam insiden itu 'kan adikku sendiri yang kedua, saat itu belum dua tahun dari kejadiannya meninggalnya dia. Walaupun kejadian meninggal adikku itu belum ada dua tahun, tetep aja bukan termasuk yang recently.

"Nggak ada orang waktu itu yang baru aja meninggal, kok, Nek," jawabku setelah berpikir sejenak.

"Kata Mamah, aku ini kecerdasan emosionalnya banyak ketinggalan makanya masih nanyain itu di usia anak kelas lima."

"Kamu itu justru sangat pintar, makanya nanyain itu, yang nggak banyak kepikiran sama orang. Di pikiran kamu itu sebenarnya udah ada jawabannya, tapi masih ragu-ragu makanya bertanya kepada orang tuamu yang kamu anggap lebih pintar. Justru karena kamu merasa masih belum pintar, makanya masih bertanya. Betul, kan?" papar Nenek. 

"Betul, Nek," tangkasku.

Seperti kata sopir angkot yang mengantarkan aku saat perjalanan pergi ke rumah beliau, "Malu bertanya sesat di jalan". Karena, aku masih belum hapal jalan untuk ke rumah beliau jika menggunakan kendaraan umum selain ojek atau taksi online. Makanya, kemarin itu adalah pertama kalinya aku naik angkot ke rumah Nenek. Jadi, ada dua kelegaan pada hari kemarin: berhasil curhat tentang Insiden Kelinci dan juga berhasil ke rumah Nenek dengan angkot.

Alhamdulillah jika ada anggota keluarga terdekatku yang menganggap itu wajar. Tahu gini sih aku curhat tentang ini dari dulu. Sebenarnya udah lamaaaaa banget pengen bahas ini sama Nenek, tapi belum kepikiran caranya karena ini topik yang sensitif, menyangkut adikku yang jelas juga cucunya. Dengan menyebut peristiwa kematian manusia secara umum, ternyata cukup aman.

Sebenarnya aku pribadi nggak terlalu setuju jika binatang itu terlalu direndahkan derajatnya. Tetapi, untuk konteks nyawa manusia dengan hewan, aku mulai membenarkannya. Ini bukan karena kuanggap hewan itu hina, tetapi karena peliharaan itu cenderung unlimited, bisa beli lagi. Lain halnya dengan anggota keluarga sendiri, nggak ada gantinya!

Ini pernah dijelasin sama seorang stranger di Twitter, untungnya dia juga pet lover makanya bisa jelasin dengan sabar.

"Nyawa manusia itu nggak ada gantinya, makanya manusia lebih sedih ke sesamanya. Kalo hewan kan bisa ganti lagi yang baru," jelasnya melalui ketikan berupa cuitan di Twitter.

Walaupun kuanggap manusia dengan hewan itu egaliter, tetap saja nggak akan bisa sama persis. Ini mirip dengan batuan atau logam mulia, jelas lebih berharga daripada batu atau besi biasa karena jarang/langka. Batu di jalanan atau besi yang biasa kita jumpai itu jauh lebih banyak tersedia di alam, makanya harganya nggak setinggi langit kayak berlian atau emas. Ya, begitu juga dengan nyawa manusia yang sekalinya hilang tidak tergantikan, berbeda dengan hewan yang bisa beli lagi atau menemukan lagi yang baru.

Untuk konteks ini, hewan dianggap lebih rendah bukan karena mereka hina, tetapi karena mereka tersedia melimpah.

Thursday, March 30, 2023

Danny Phantom vs Ace Bunny? Apakah Ini Sebuah "Premonition"?

Catatan 30 Maret 2023


Ace Bunny dari Loonatic Unleashed. Sumber gambar: https://lul.fandom.com/wiki/Ace_Bunny?file=Ace_standing.jpg


Danny Phantom pakai jubah putih. Sumber gambar: https://www.fanpop.com/clubs/danny-phantom/images/18237378/title/over-heroic-danny-photo

Hanya melihat dua tokoh kartun yang sama aku dianggap satu "vibes", bagi aku udah kek sebuah "premonition". Premonition ini artinya bisa "firasat", "pertanda", atau "prekognisi = dugaan peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang". Kenapa harus ditulis dalam Bahasa Inggris jika ada padanannya dalam Bahasa Indonesia, bahasa persatuan kita? Kata "premonition" ini maknanya bisa lebih luas daripada "firasat", atau "pertanda", untuk dua padanannya dalam Bahasa Indonesia tadi, lebih cocok buat kejadian yang besar-besar kayak bencana alam atau musibah kehilangan, baik itu nyawa (manusia) atau benda yang berharga.

Arti dari "premonition" ini bisa juga untuk tanda-tanda dari kejadian yang sepele, makanya aku lebih sreg pake kata ini daripada artinya dalam Bahasa Indonesia. Terus, apa nih yang aku anggap sebagai "premonition"? Pada akhir bulan Juni 2008, pas adik aku Irsyad dan dua kakak sepupuku (anak-anak lelakinya Wa Aden, abangnya Papah) khitanan di Cirebon, di sinilah aku melihat yang aku sebut "premonition" tadi. Hanya menemukan sebuah acara kartun aja, yang bagiku boleh dibilang prediksi dari suatu kejadian yang dampaknya dalam sekali hanya bagiku seorang meskipun itu bukan kejadian yang besar untuk orang-orang.

Di bank kantornya Wa Rini, istrinya Wa Aden, kami yang terdiri dari aku, Irsyad, dan ketiga anaknya mereka, kami nonton sebuah kartun yang judulnya "Loonatic Unleashed" di teve kantor tersebut. Inilah yang kucurigai sebagai "premonition"!

Kartun Loonatic Unleashed ini buat yang belum tau (kayaknya emang jarang deh orang Indo yang tau acara kartun ini), sebenarnya versi "badass" dan superhero dari main casts kartun Looney Tunes. Tokoh utamanya, Ace Bunny, itu versi lainnya Bugs Bunny sebagai pahlawan super. Entah kenapa, aku sejak pandangan pertama udah ngerasa Ace ini ada seiris kemiripan dengan Danny Phantom. Mungkin karena pakaiannya hitam-hitam, pake sepatu bot serta sabuk berwarna sama, dan rambutnya berantakan?

Beberapa hari sebelumnya, Teh Alma (anak sulungnya Wa Aden) pernah nyebutin kartun Loonatic ini pas aku ngayal AC nyampe angka minus, terus bisa bikin beku ruangan jadi es. 

"Kalo ruangan beku jadi es karena AC, jadi kayak Loonatic, dong!" seru Teh Alma, "Kamu tau kartun Loonatic nggak?"

"Nggak tuh," jawabku saat itu. Malahan baru denger judulnya.

Waktu itu aku belum liat sama sekali kartunnya. Untung akhirnya nonton juga itu kartun walaupun cuma satu kali. Langsung deh aku jatuh cinta sama Ace Bunny pada pandangan yang pertama, padahal udah duluan suka sama Danny Phantom! Menurut adikku Irsyad, Ace itu gak mirip sama sekali dengan Danny Phantom tapi bagiku ada satu vibe untuk desain karakternya.

Namun, kisah cintaku sama Ace Bunny ini malah kerasanya kayak premonition itu tadi untuk kejadian tiga bulan ke depannya. Premonition akan sebuah insiden yang bagi orang lain itu sepele, tetapi bagiku sebaliknya, malah memberikan dampak yang sangat serius. Danny Phantom yang tokoh bentuk orang (tepatnya dia setengah hantu) diasosiasikan dengan Ace Bunny yang merupakan tokoh kelinci yang dipersonifikasikan, ini jadinya malah kayak ada benang merahnya dengan Insiden Kelinci! Aku sebenarnya udah kepikiran hal ini sejak kelas lima dulu, tapinya tahunan terlupakan dan baru keingetan lagi waktu kepikiran pengen ngobrol sama si sulung dari abangnya Papah itu waktu bulan puasa tahun ini.

Simpelnya begini: aku ngerasa pas aku ngemiripin Ace Bunny sama Danny Phantom, itu kayak semacam "ramalan" buat terjadinya Insiden Kelinci, yang nggak nyampe tiga bulan dari sejak mulai suka sama tokoh dari Loonatic itu! Aku terus cari-cari persamaan dan perbedaan antara Danny dan Ace itu. Danny yang tokoh manusia dan Ace yang tokoh kelinci dipersonifikasikan. Ya, kayak Insiden Kelinci yang sejatinya adalah untuk mencari tahu lebih banyak tentang persamaan dan perbedaan antara manusia dengan hewan!

Pada sekitar tanggal 21-27 Juni 2008 itu, saat aku liburan kenaikan kelas ke kelas lima, aku mengasosiasikan antara Danny Phantom yang tokoh manusia dengan Ace Bunny yang tokoh kelinci. Walaupun Ace Bunny ini bukan karakter manusia tulen, tapi perasaan kagumku sama dengan kepada karakter yang memang manusia. Lalu, kurang dari tiga bulan kemudian yaitu tanggal 1 September 2008, Insiden Kelinci itu terjadi. Insiden itu terjadi ketika aku memberikan perasaan sayang, kehilangan, dan sedih yang sama dalamnya antara kelinci peliharaan dengan anggota keluarga sendiri.

Ingin Berbagi Kisah Insiden Kelinci dengan Orang-orang yang Terlibat Peristiwanya Secara Tidak Langsung

Catatan 30 Maret 2023


Sumber gambar: https://www.pngwing.com/id/free-png-pnlbn/download

Selama ini, aku membagikan kisah nyata Insiden Kelinci kepada orang-orang yang tidak berkaitan sama sekali dengan peristiwanya, meskipun itu masih ada hubungan kekeluargaan. Bahkan, Mamah aja kayaknya lumayan telat buat tahu kisah tersebut dan beliau bukan saksi mata. Satu-satunya saksi mata yang valid dari kisah ini cuma adik aku Irsyad, karena waktu itu Fariz masih umurnya satu tahun lebih (hari ini Fariz ultah yang ke-16!). Namun, hari ini aku ada ide: gimana kalo aku spill kisah ini buat orang-orang yang masih signifikan terhadap peristiwa itu, tetapi bukan yang terlibat langsung atau saksinya?

Orang-orang yang aku maksud "signifikan" di sini adalah yang "sepengalaman" tetapi nggak terlibat sama insidennya. Duh, agak ribet ya? Jadi gini, kelinci yang mati itu, kayak yang udah aku sering tulis, pemberian dari Wa Aden, abangnya Papah almarhum. Uwa ini waktu seminggu sebelum bulan puasa 2008 dateng ke Bandung dari rumahnya beliau di Cirebon bareng sekeluarganya.

Jelas dong, sang Abang juga beliin kelinci buat masing-masing dari ketiga anaknya! Udah bisa ditebak, kelinci peliharaan mereka juga nggak berumur panjang. Apalagi dibawa dari Bandung ke Cirebon yang ngabisin berjam-jam di perjalanan, kelinci aku aja nggak lama hidupnya. Pas Tahun Baru 2009, keluarga aku 'kan gantian ke rumahnya mereka dan beneran aja kelinci milik tiga sepupu kami itu udah pada mati, itu hewan yang rapuh sih!

Sayangnya, tiap kali aku ke Cirebon buat ketemu mereka, nggak pernah sempet buat ngobrol mendalam tentang pengalaman piara kelinci ini. Terutamanya sih aku pengen ngobrolin ini sama Teh Alma, si sulung yang sama kayak aku, satu-satunya cewek di keluarga inti! Ide ini baru kepikiran pas bulan puasa di tahun 2023 ini, sekitar 14 tahun lebih dari terjadinya Insiden Kelinci itu! Aku dengan si Teteh ini kayak Miiko ketemu Kiyomi untuk relasi kekeluargaannya, yaitu sepupu dari pihak Papah. 

Emangnya apa sih yang pengen dibahas sama Teh Alma soal kelinci itu? Aku penasaran, gimana perasaannya waktu kelinci yang dia kasih nama "Upik" itu mati. Pastinya sih ada aja rasa sedih ketika piaraan mati, tapi seberapa dalamnya? Aku tahu dia masih waras dalam menyikapi kematian kelinci itu (pastinya nggak kayak aku yang malah ngehalu lebay dan sampai bikin pertanyaan absurd), tapi boleh dicoba untuk diminta kisah pengalamannya terkait Upik yang bulunya abu-abu itu.

Kayaknya menarik juga untuk ditanyakan seberapa lama kelinci milik ketiga sepupuku itu hidup. Jika bisa dan akunya nggak canggung sih pengennya ngobrolin ini bukan sama Teh Alma aja, tapi juga sama dua adik cowoknya. Sebagai cowok, gimana sih mereka berdua yang dirasakan waktu kelinci mereka mati? Ini biar nggak kaku kalo nanti suatu saat ketemu mereka, mungkin bakalan ketemu pas lebaran tahun ini nanti di rumah Nenek.

Soalnya udah lama banget nggak ketemu keluarga Uwa Aden itu setelah Papah wafat. Biasanya sih kalo ada reuni, yang dibahas itu nostalgia masa-masa pas masih sering barengan. Habisnya, nggak banyak sih cerita yang kami habiskan bareng-bareng selain pergi ke BSM (sekarang udah jadi TSM) bareng-bareng dulu. Aku juga penasaran dengan apa tanggapan Teh Alma dan dua adiknya tentang Insiden Kelinci ini, setelah mereka sharing kisah pengalaman mereka dengan kelinci-kelincinya.

Kenapa ketiga sepupuku dari Wa Aden ini aku sebut "orang-orang yang signifikan"? Karena mereka juga terlibat dengan serentetan hal yang mengawali Insiden Kelinci, meskipun hanya di awalnya banget. Mereka juga jelas nggak mungkin jadi saksi, karena mereka lagi di Cirebon, kami di Bandung. Nenekku dari pihak Papah pun hampir sama, beliau datang ke rumah tempat keluargaku tinggal (rumahnya Eyang Putri, nenek dari Mamah) saat satu dari dua kelinci pemberian Wa Aden itu mati.

Insiden Kelinci terjadi ketika kelinci yang kedua dan terakhir itu juga akhirnya mati, hanya tiga hari setelah matinya kelinci yang pertama tadi...

Diharapkan setelah aku sharing kisah ini kepada tiga sepupu dan Nenek kami, rasa bersalah akibat Insiden Kelinci itu dapat terobati...

Friday, March 24, 2023

Nggak Sempet Jujur-jujuran Sama Nenek? Tenang, Masih Banyak Hari Lainnya!

Catatan 24 Maret 2023

Hari ini memasuki bulan Ramadan hari kedua, teringat akan pengalamanku mulai nulis kisah Insiden Kelinci dengan tema kisah inspiratif. Pertama aku nulis cerita ini dua tahun yang lalu, tepatnya pada Ramadan 2021. Karena pada saat itu kesedihanku akan insiden tersebut belum aja ketemu titik terang, alhasil aku kehilangan ide di tengah jalan dan tulisannya jadi mandeg. Alhamdulillah pada tahun yang sama, ada rejekinya datang ke psikolog untuk konsultasi, salah satunya agar bisa melupakan insiden itu.

Kemaren di hari pertama bulan puasa, aku nggak sempet ngobrol sama Nenek tentang kisah ini. Itu karena cuma Fariz adik aku yang bungsu aja yang nginep, aku nggak ikut nginep di rumah Nenek. Mau video call, eh hape Fariz lagi nggak ada kuotanya. Yah, masih banyak hari-hari lainnya di bulan puasa ini, rasanya kurang afdol jika di bulan "anti bohong" ini nggak jujur-jujuran.

Ketika menulis surat imajiner untuk almarhum Papah adalah cara terbaik untuk melupakan kesedihan dan penyesalan akibat Insiden Kelinci itu, kenapa nggak coba ngobrolin itu sama keluarganya beliau yang masih hidup? Berhubung kisah ini termasuk topik yang lumayan sensitif, seperti yang udah aku bilang di catatan kemaren, pertanyaan yang kontroversial dari insiden tersebut jangan disebut secara spesifik. Aku pengen minta pendapatnya Nenek, masih wajarkah aku di kelas lima kalo masih heran sama perbedaan orang memperlakukan antara kematian manusia dan hewan? Ini udah kepikiran sejak kurleb tiga bulan yang lalu, sejak terakhir kalinya ketemu beliau sebelum tahun 2023 ini.

Kunjunganku yang terakhir ke rumah beliau adalah sekitar Desember 2022 lalu. Saat itu beliau menceritakan kematian kelinci peliharaannya saat beliau masih muda dan Kakek (ayahnya Papah) masih hidup. Matinya kelinci itu gegara tetangga sebelah yang main tembak aja itu kelinci, padahal kelincinya ada yang pelihara. Padahal kejadiannya jelas udah puluhan tahun yang lalu, tapi masih membekas di hati Nenek dan beliau masih aja pengen nangis rasanya jika keingetan lagi dan air matanya beliau udah dikit keluar waktu menceritakan ini.

Kalo dipikir-pikir, reaksinya beliau akan pengalaman tersebut emang hampir sama kayak kedukaan buat sesama manusia, ya?

Dari kisah tersebut, aku juga ingin meminta pendapat Nenek, wajarkah dan seberapa tidak etisnya bila kita merasakan kesedihan yang sama dalamnya atau besarnya kayak ke orang untuk matinya hewan peliharaan? Semoga dari pembicaraanku dengan Nenek nanti bisa lanjutin lagi kisah inspiratif dari Insiden Kelinci ini. Ada satu warganet di Twitter yang bilang, bahwa semua ketikanku seputar insiden tersebut di blog pribadi aku udah kayak makalah psikiatris aja. Bahasa lebih gampangnya, tulisan-tulisan di blog itu tentang kisah tersebut katanya kayak ditulis sama psikiater, alih-alih orang awam kayak aku ini.

Padahal aku hampir sama sekali nggak ada background psikologi! Belajar psikologi secara khusus juga jarang banget. Pernahnya juga belajar mata kuliah "Psikologi Persepsi", itu juga lebih disesuaikan untuk topik desain karena aku ambil jurusan DKV. Semoga tulisanku ini bermanfaat buat para psikolog atau calon psikolog, meskipun aku nggak berkecimpung dalam bidang studi tersebut.

Satu hal yang harus digarisbawahi, aku nggak sakit hati sama almarhum Papah sama sekali. Aku bukannya nyalahin beliau karena marah sama pertanyaan dalam insiden itu. Hal yang bikin aku terus-menerus sedih itu jujur aja, masih sering kaget karena saking nggak nyangkanya bakalan dimarahin. Saking nggak tahu bahwa pertanyaan itu ternyata adalah sebuah kesalahan yang menyinggung, makanya makin tambah umur makin sedih kerasanya, karena tambah ngerti juga letak kesalahannya dan masih terus menyesal, meskipun udah nulis surat imajiner buat almarhum Papah.

Meskipun udah nyadar di mana letak salahnya aku pada kejadian itu, harus diakui bahwa rasa sedih, menyesal, dan kaget sebab itu juga memang hadir. Sedihnya juga bukan lagi karena kematian kelincinya itu sendiri, melainkan lebih ke "Ada apa dengan diriku sampai kepikiran pertanyaan aneh kayak gitu? Apakah aku ini gila?" Miturut buku pengembangan diri yang banyak aku baca, katanya kita harus memvalidasi semua perasaan yang timbul dalam diri kita dan janganlah kita menghakimi perasaan itu sendiri. Maksudnya, kita akui setiap dari perasaan yang muncul dalam hati kita, mau itu positif atau negatif dan jangan merasa seperti ini, "Aku nggak pantes marah atau sedih! Aku tidak boleh menghadirkan perasaan yang negatif ini! Jika aku merasakan itu, aku adalah orang yang lemah dan tidak tahan mental!"

Perasaan yang tidak enak itu mestilah dihilangkan, tetapi langkah paling pertamanya adalah mengakuinya seperti, "Aku merasakan marah atau sedih. Aku menerima perasaan ini hadir dalam diriku." Kemudian, barulah kita berusaha mengobati perasaan-perasaan itu.


Wednesday, March 22, 2023

Munculnya Berbagai Halu Ambigu

Catatan 23 Maret 2023

Beberapa bulan setelah Insiden Kelinci itu, yaitu mulai dari akhir 2008 hingga awal 2009 entah kenapa jadi banyak halu akan adegan-adegan yang entah apa maksudnya. Ini bukan flashback momen-momen yang pernah kulewati, hanya adegan-adegan random yang sering berkelebat di kepalaku di saat lagi terdiam sendirian. Biasanya berisi orang-orang yang aku nggak pernah kenal dan tempat yang aku nggak pernah kunjungi. Namun, ada pula yang "tokoh utamanya" adalah versi lain dari diriku sendiri.

Kisah Halu yang Pertama

Contoh yang paling aku inget (karena ini contoh halu yang paling sering muncul di kepala) adalah adegan banyak anak-anak berlarian di sekitar air mancur di taman sambil tertawa-tawa riang dan lari-larian lincah. Gak ada info yang jelas banget tentang adegan itu, siapa aja mereka aku nggak tau samsek. Pastinya mereka bukan aku, sodara, dan teman-teman, intinya dari sekumpulan anak-anak itu nggak ada yang aku kenal satupun dan entah apa maknanya. Waktu itu aku usianya sebelas tahun, kira-kira anak-anak itu usianya banyak yang seumuran denganku saat itu, tapi banyak pula yang beberapa tahun di bawahku, bahkan ada pula yang anak TK.


Adegan anak-anak yang main di sekitar air mancur itu selalu dari sudut pandang orang ketiga. Simpelnya, aku nggak pernah terlibat dalam permainan mereka dan hanya sebagai pengamat. Ibaratnya, aku cuma orang yang duduk di kursi taman ngeliat mereka dari jauh. Jadi, itu jelas bukan flashback momen-momen aku lagi main, bukan potongan adegan film, dan bukan juga memori ngeliat anak-anak di suatu tempat, karena taman yang ada dalam halu tersebut nggak pernah liat secara IRL.

Keceriaan anak-anak tadi itu entah kenapa selalu bikin aku mewek. Nggak pernah sampai sesenggukan sih, cuma ngalir dikit air matanya aja. Entahlah ini perasaan terharu, sedih, rindu, atau apa. Penting untuk diingat, perasaan melankolis kayak gini nggak ada kalo ngeliat adegan yang serupa di dunyat.

Kisah Halu yang Kedua

Selain halu tentang banyak anak-anak main sambil lari-lari di sekitar air mancur taman tadi, ada pula halu lainnya yang agak aneh. Ini seinget aku muncul pas lagi di perjalanan family gathering ke Dufan pada tahun 2008, tapi mungkin pernah muncul juga pada waktu-waktu lainnya. Buat orang yang baru denger atau baca mungkin banget bakalan ketawa ngakak : yang ini halu jadi nenek-nenek pengemis! Jika pada halu yang pertama tadi aku nggak terlibat dan hanya jadi orang yang mengamati dari jauh, sebaliknya buat halu yang ini, di sini aku berubah jadi nenek-nenek pengemis itu alias pake POV "orang pertama", aku sendirilah pelaku dari cerita halu ini.

Aku yang pada saat itu masih berumur sebelas tahun, langsung berubah jadi orang yang usianya bahkan jauh lebih tua daripada ortuku saat itu. Kayaknya udah ngalahin dua nenek aku juga! Sebuah rumah besar aku datangi, ingetnya itu rumah catnya putih jadi sama sekali bukan rumahku. Pintu rumah itu terbuka, berdiri seorang bapak yang usianya sepantaran dengan Papah (akhir 30 tahunan), dia sama sekali tidak kukenal, nggak pernah ketemu orangnya di dunia nyata. 

Bapak itu bentak dan ngusir aku, karena aku mengemis kepadanya. Tapi apa tepatnya kata-kata yang dia katakan, sama sekali nggak ada yang inget. Halu ini bikin aku sedih, meskipun kalo ngeliat pengemis beneran malah curiga mereka nggak semiskin kelihatannya. Malahan agak takut uang yang mereka terima itu sebenarnya buat keperluan yang haram.

Setelah si bapak itu membentakku dalam wujud wanita pengemis tua, nggak pernah ada kelanjutannya dari adegan tersebut.

Di jalan tol menuju Dufan itu, aku menangis tanpa suara. Tiada seorangpun yang tau aku mewek, termasuk adik aku Irsyad yang sering berdua sama aku. Kalo gak salah waktu itu aku duduk sendirian di bus. Mungkinkah ini efek dari gabut di perjalanan, karena jalan tol itu jujur aja ngebosenin, pemandangannya monoton walaupun mulus tanpa lampu merah dan indah pepohonannya.

Yap, masih sama dengan skenario "anak-anak air mancur" tadi, makna dari skenario "nenek pengemis" juga beneran nggak jelas. Semuanya terasa ambigu. Bukan bunga tidur juga, karena itu semua terjadi di saat aku bangun, bukan tidur. Ternyata eh ternyata, kisah random yang singkat-singkat begini itu nggak hanya dua, tapi masih ada lagi.

Kisah Halu yang Ketiga

Buset, nggak nyangka ternyata masih ada satu lagi contoh kisah halu yang lainnya! Mulai dari kisah yang ketiga ini, munculnya nggak sesering kisah "anak-anak air mancur" dan "nenek pengemis". Ini adalah saat di mana aku mendadak punya clone, alias "kembaran yang bukan biologis". Saat aku duduk di ruang tengah rumah, clone dari aku ini lagi dimarahin Papah sambil terduduk dan menangis di ruang tamu, yang terletak di sebelah ruang tengah tempat aku yang "asli" berada dalam kisah halusinasi ini.

Aku yang "asli" dan clone ini pake baju yang berbeda. Kalo gak salah, aku yang asli dalam halu pake blus batik gambar wayang warna magenta (baju ini beneran aku punya dan suka dipake sekitar aku kelas IV hingga V), sedangkan clone tadi mengenakan t-shirt kuning pucat (ini nggak tahu aku pernah punya baju ini atau nggak). Entah apa kesalahan yang diperbuatnya sampai tiruan dari diriku itu dimarahin sama Papah, aku nggak ngikutin dari awal dan tahu-tahu udah gitu kejadiannya. Sampai-sampai, sang tiruan itu sebelum terduduk sambil menangis itu sempat dihempaskan ke lantai sambil Papah memarahinya, lengannya sang clone aku dilepaskannya dengan kuat hingga dia terduduk di atas ubin!

Pada kenyataannya, aku nggak pernah dibanting kuat-kuat ke lantai gitu lho sama ortu sendiri, suwer! Di sana, aku yang asli nggak bisa ngapa-ngapain selain nangis sedih ngeliat "kembaran" sendiri lagi berada dalam situasi begitu. Anehnya, aku kayak nggak bisa bergabung sama mereka, kayak ada semacam sekat tidak kasat mata gitu yang menghalangi ruang tamu dan ruang tengah. Bukan hanya aku aja, semua orang di rumah nggak ada yang bisa intervensi sama adegan tadi itu.

Walaupun kisah yang ini berisi orang-orang dalam kehidupanku sendiri, yaitu aku (meskipun ada tiruannya) dan almarhum Papah, tetep masih ambigu "apa sih pesan yang disampaikannya?" Dari mana tiruan aku itu juga nggak jelas. Apakah seorang ilmuwan diam-diam menggandakan aku dan untuk apa pula kegunaannya aku dikloning? Ini bukan mimpi, melainkan adegan yang dulu sering muncul sendiri di kepala, terutama di saat lagi rebahan atau jalan-jalan, paling banyak muncul kalo perginya pakai bus.

Pada saat halu itu sering muncul, aku belum tahu istilah clone. Namun, aku mendadak ada dua di sini, yang satunya entah siapa dan asalnya entah dari mana.

Kisah Halu yang Keempat

Ini udah separuh termasuk mimpi, karena beneran pernah jadi bunga tidur. Habis pernah jadi mimpi, udahnya terus recalled di dunia nyata meskipun nggak terlalu sering. Kayaknya ini halu kebagusan dech buat aku : di sini aku ketemu diriku versi putri duyung di sebuah pulau! Waktu itu aku udah jadi anak kelas lima, masih aja mimpi begini padahal aslinya sih putri duyung itu nggak pernah jadi top of the mind, alias bukan sesuatu yang bikin aku terobsesi dengannya.

Aku juga nggak pernah ada fase kepengen jadi putri duyung tiap kali ngeliat makhluk itu, bahkan sejak balita juga. Kalo ngehalu pengen jadi apa, kayaknya di umur sebelas jauh lebih pengen jadi cosplayer atau model praremaja. Oh, ya, aku kan dulu suka nyobain pake kostum Danny Phantom ala rumahan dari kaos dan celana panjang hitam! Mungkin ada sih sedikit keinginan jadi putri duyung, buktinya aku hampir kabita waktu ngeliat foto anak perempuan lagi cosplay jadi Ariel di Majalah Disney Princess

Lagi-lagi, ya itu tadi, keinginan itu nggak pernah jadi top of my mind. Hanya terbersit kalo lagi baca itu majalah aja, udah gitu ya banyak lupanya sama keinginan itu tadi.

Walaupun keinginan jadi duyung itu pernah sedikit terbersit dalam benak ini, keinginan itu nggak pernah sampai menguasai kepalaku. Beda banget itu sama keinginan yang kuat buat pake kostum Danny Phantom jaman itu. Oke, balik ke apa saja yang terjadi dalam mimpi tadi itu! Secara ini udah lama banget-banget, yang bisa kuingat cuma sedikit banget juga : aku lagi salam perpisahan sama diriku yang versi putri duyung, sambil ada backsong dari OST adegan (spoiler) para roh yang naik ke langit dari kapal pesiar di film Ghost Ship.

Inilah video yang mengandung bawang karena soundtrack tersebut (tapi harus banyak skip, karena mulainya musik itu agak lama) https://youtube.com/watch?v=cMmi5sRe8wc&si=EnSIkaIECMiOmarE

Meski itu film horor, tapi soundtrack dari adegan itu justru malah mengharukan. Begitu juga dengan perpisahan diriku dengan "aku" si putri duyung, entah kenapa rasanya sedih banget, padahal kalo pisah sama orang real life sih nggak pernah sampai segitunya. Dalam mimpi yang sering keingetan lagi ini, aku pergi dan pulang pake perahu raft, sendirian nggak sama Papah, Mamah, dan dua adik-adikku nggak tau kenapa. Putri duyung ini juga anehnya bukan tinggal di laut atau pantai, tapi di atas lapisan es kutub barengan sama banyak beruang kutub dan penguin (padahal sih kedua hewan itu tinggal di kutub yang berbeda, lho).

Kayaknya ini detail yang perlu deh buat dicatat : langitnya tidak cerah, nggak kayak langit di daerah pantai biasanya. Mungkin karena lokasinya juga memang bukan di pantai atau karena udah masuk waktu sore dalam mimpinya. Entahlah, pokoknya itu langit kayak yang mendung. Jadi kalopun udah sore, nggak ada cahaya matahari terbenam.

Langit dalam mimpi aku emang sering mendung, jarang banget yang cerah.

Kisah Halu yang Kelima

Ah, lagi-lagi Halu begini itu munculnya sehabis insiden itu! Sebenarnya, sebelum mengalami insiden itu pun udah langganan ngehalu, tapi jadi makin intens ketika setelahnya. Kisah halu dengan makna ambigu yang kelima ini adalah kabur dari rumah dengan bawa banyak merchandise Danny Phantom! Aslinya, hampir nggak ada yang jual merch Danny di dalam negeri, bahkan bonekanya juga nggak ada yang jual nggak kayak Heinz Doofenshmirtz!

Sejak kelas satu SD, aku udah suka ngehalu "gimana ya kalo aku punya kampung halaman yang asli, yang aku nggak tau karena aku dulu masih bayi dibawa ke rumah aku yang sekarang?" Aku pikir, itu cuma kebawa-bawa cerita sinetron doang. Ternyata eh ternyata, empat tahun kemudian, pas udah duduk di kelas lima juga malah muncul lagi keinginan untuk keluar rumah. Tapi kali ini bukan lagi didasari oleh pikiran kayak tadi, melainkan karena udah gak tau lagi cara apa buat mengatasi guilt dan insecure akibat insiden di hari pertama bulan Ramadhan 2008 itu.

Oleh sebab itu, sering kepikiran kalo lagi sendirian di kamar, aku pengen punya kehidupan sendiri yang baru. Karena nggak pernah liat ada merchandise Danny Phantom di Indo, alhasil seringnya aku ngehalu pergi sambil bawa bantal kesayangan dan boneka Buttercup dari Powerpuff Girls aja. Tentunya bawa baju ganti juga dong! Sayangnya, ada problem lainnya: mau kabur ke mana nih?

Inilah yang terjadi di kepalaku untuk kisah halu yang kelima ini: aku ambil dua barang kesayanganku (bantal kecil dan boneka Buttercup), terus semua merchandise Danny Phantom mulai dari boneka, figurin, komik, novel pendek, majalah (nah, yang ini di Indonesia beneran banyak majalah yang mengulas tentang Danny Phantom) aku masukin ke dalam tas Minmie hadiah ultah aku yang ke-11! Untuk khayalanku yang ini, bagian yang tersulit untuk diwujudkan itu "ngumpulin merch DP". Sebenarnya ngehayal keluar dari rumah sih banyak dialami oleh anak-anak, makanya banyak episode Nobita packing untuk kabur supaya kita saat kecil dulu bahkan sampai sekarang pada relate. Namun, kalo sebab kaburnya gegara sebuah peristiwa yang bikin selalu dihantui guilt dan insecurity, kayaknya nggak banyak karakter yang kisahnya begitu.

Dulu aku pikir, mungkin dengan keluar dari rumah yang selama ini aku tinggali, aku bisa ngelupain Insiden Kelinci itu. Pas aku masuk SMA, kan masuk ponpes dan mau gak mau pastinya masuk asrama tentu pisah dari keluarga juga dong! Anehnya, peristiwa penuh kontroversi dan ber-damage besar dalam masa pra-remaja aku itu masih aja nempel di ingatan, padahal udah suasana baru dengan tinggal di asrama. Dari sinilah aku makin ngeh bahwa memori itu perlu perlakuan khusus, nggak kayak pengalaman yang biasa yang terlupakan begitu saja.

Jujur-jujuran Kepada Nenek di Hari Pertama Bulan Puasa

Catatan 23 Maret 2023

Hari ini adalah hari pertama bulan puasa tahun ini. Untungnya sahur hari ini berjalan lancar, tidak ada emosi negatif apapun karena masih pusing habis bangun tidur. Bangun tidur untuk sahur juga gampang, nggak sambil ngantuk makannya. Inget deh puasa tahun lalu suka bawa selimut ke ruang makan, makan sahur sambil selimutan karena udaranya juga memang dingin.

Tadi malem aku dan keluarga ke rumah Nenek ibunya almarhum Papah. Aku pengen deh suatu saat curhat ke beliau tentang Insiden Kelinci, karena aku penasaran dengan sudut pandang beliau tentang peristiwa tersebut. Selama belasan tahun lamanya, kisah ini belum di-spill ke beliau karena dirasa terlalu sensitif (menyangkut soal adikku yang wafat). Untuk menceritakannya kepada beliau, kisah ini akan dibuat tidak spesifik menyebutkan nama adikku, hanya menyebut peristiwa kematian manusia secara umum saja.

Sebenarnya poin atau inti dari pertanyaan itu 'kan untuk menyebut peristiwa kematian manusia secara umum juga, hanya saja itu jelas peristiwa kematian yang paling berbekas buat aku. Makanya jadi top of my mind pada saat itu, bukan sengaja menargetkan adikku.

Kenapa sih aku penasaran dengan sudut pandangnya Nenek untuk kisah itu? Karena beliau adalah yang dulu terlihat paling gusar ketika aku lagi dalam fase ketergantungan pada Danny Phantom. Lewat kisah nyata Insiden Kelinci, di sini aku pengen menjelaskan bahwa keterikatan aku pada masa kanak-kanak kepada Danny Phantom yang sebenarnya adalah coping mechanism dari kesedihan akibat Insiden Kelinci yang juga tidak kunjung hilang. Meskipun upaya tersebut nggak berhasil jadi obat buat kesedihan tadi, semoga beliau paham bahwa obsesinya diriku di masa pra-remaja untuk Danny Phantom bukannya kisah fangirling biasa.

Fangirls memang dikenal akan sifat obsesifnya, tetapi buat aku ada alasan yang berbeda. Pada awalnya, sebelum insiden tersebut kejadian, aku emang udah ada bibit terobsesi dengan apapun tokoh fiktif kesukaan aku. Bahkan berlaku juga buat tokoh yang nggak good-looking kayak Swiper dari Dora The Explorer sekalipun (ciyusan)! Namun, ketika fase Danny Phantom "menjabat", perasaanku jadi lebih dalam, obsesiku arahnya lebih mirip ketergantungan, dan sikap-sikapku lebih cringey, terkunci, serta lebay, terutama pasca Insiden Kelinci (perubahan sikapnya aku ketika fase D. P. ini dijelaskan pada catatan nanti saja ya).

Ketika banyak orang menganggap hewan peliharaan itu "cuma", Nenek malah pengen nangis ketika kelinci peliharaannya mati di saat beliau masih muda dulu. Beliau menceritakan ini bukan waktu tadi malem aku datang ke rumah beliau, melainkan beberapa bulan yang lalu. Alasanku ke rumah beliau tadi malam itu bukan hanya silaturahmi sebelum bulan puasa, tapi juga rencananya mau bahas pengalamannya beliau tentang kelinci yang mati itu. Ingin denger aku menurut beliau, bener gak sih kalo kita sedihnya sama mendalamnya antara manusia dengan hewan itu bikin manusia setara derajatnya dengan hewan?

Friday, July 29, 2022

Sebutan "Danny Phantom" Untuk yang Seksi-seksi

Catatan 29 Juli 2022

Entah sudah yang keberapa kalinya aku menuliskan ini (bisa saja belum pernah jika kutuliskan untuk publik, baru ditulis di buku harian pribadi saja) : jika melihat orang-orang berpakaian terbuka, saat aku SD dulu biasa menyebut mereka sebagai "Danny Phantom". Tidak peduli apakah mereka itu orang real/3 dimensi atau fiktif/2 dimensi, kusebutkan saja semuanya yang tidak tutup aurat itu dengan nama si tokoh idolaku itu. Padahal, kan, Danny Phantom itu laki-laki dan pakaiannya justru tertutup sekali, terutama jika sedang dalam wujud superhero-nya berupa hantu. Contoh yang paling memorable dari orang yang dibilang DANNY PHANTOM itu adalah salah satu bintang dari iklan es krim Spongebob Squarepants, yang mengenakan pakaian renang warna pink.

Alasannya, masih sama seperti yang tadi disebutkan : si pink ini pakaiannya paling terbuka di antara total tiga anak yang terlibat dalam iklan es krim dari tokoh kartun populer itu. Karena setting iklan tersebut di pantai, makanya mereka mengenakan pakaian renang. Si pink ini choice of swimsuit-nya memperlihatkan perutnya, sedangkan kedua temannya tidak. Oleh karena itu, dialah yang kejatuhan nickname Danny Phantom dariku.

Dua temannya, satu lelaki dan satu perempuan, masing-masing mengenakan pakaian renang biru dan hijau. Untuk yang cowok malah justru berpakaian lengkap, jadi otomatis perutnya tertutup. Gadis lainnya yang mengenakan pakaian renang berwarna hijau, dia memilih pakaian yang lebih sopan. Jadinya mereka bukan orang yang menyandang nickname Danny Phantom dariku (sebuah alasan yang absurd, irasional, dan tidak logis dariku).

Inilah sosok Danny Phantom yang sebenarnya, sang penyandang nama asli dan bukan sekadar nickname! Pakaiannya malah tertutup sangat rapat justru dan hanya kelihatan kulit wajah dan lehernya saja!

Sebenarnya aku ini sensian jika menemukan orang yang tidak menutup aurat, makanya dengan disebut sebagai Danny itu agar perasaan itu mereda. Karena dia tokoh kartun yang dulunya bikin aku mleyot, makanya dijadikan moodbooster kalo ketemu orang-orang semacam itu, mau itu yang bernapas dan bernyawa atau cuma 'ayang gepeng' alias karakter animasi dua dimensi. "Pink Girl" dari iklan es krim Spongebob itu adalah contoh dari jenis orang nyata. Lalu, siapakah yang menjadi contoh dari jenis orang fiktif atau tidak benaran ada?

Kayaknya sih lebih banyak contohnya untuk kategori yang kedua daripada kategori yang pertama, secara tokoh animasi biasanya berpakaian lebih "bebas". Apalagi kalo tokoh anime! Karena saking banyaknya tokoh fiksi yang kuberi julukan Danny Phantom karena pakaian mereka seksi, sampai-sampai aku udah nggak inget lagi siapa aja mereka. Namun, tetap ada satu contoh yang kuingat dan ini obscure banget, alias susah banget-banget-banget orang yang tau.

Pada pertengahan tahun 2008, ketika aku akan naik ke kelas V, aku, Papah dan adikku yang besar pergi ke sebuah toko busana. Tujuannya adalah untuk membeli sandal jepit untuk berwudhu di sekolah, karena saat itu kaki kami cepat membesar di masa pertumbuhan. Di sana kutemukan sebuah sandal jepit yang bukan merek terkenal, bergambar seorang gadis cantik yang mengenakan backless tanktop. Gadis tersebut sepertinya bukan berasal dari kartun atau anime apapun, jadinya dia cuma karakter perempuan generic.

Papah yang melihatku memegang sandal tersebut, jelas tidak mengizinkan uang beliau ditukar dengan benda itu. Alasannya jelas, karena gambarnya terlalu banyak memperlihatkan kulitnya. Karena gambar itu hanya kulihat sekali seumur hidupku, setidaknya hingga detik ini, jadinya tidak banyak yang kuingat penampilan dari gambar karakter gadis itu. Kurleb gaya gambarnya mirip-mirip anime gitulah.

Lagi-lagi, dia dilabeli Danny Phantom olehku! Jaman aku SD itu memang puncak-puncaknya pemikiran absurd. Bukan hanya memberi label seperti itu saja, tetapi juga menggambarkan ulang semua orang yang diberi label "Danny Phantom". Mereka bukanlah digambar sesuai dengan sosok mereka yang sesungguhnya, melainkan Danny Phantom "cosplay" sebagai mereka semua, maksudnya tokoh Danny itu mengenakan pakaian dari orang-orang yang diberi sebutan itu.

Masih lieur alias pusing ya? Aku ambil satu contoh. Setelah si anak perempuan dengan pakaian pink yang satu-satunya memperlihatkan perut dalam iklan es krim itu kubilang "Danny Phantom", aku segera menggambar Danny Phantom yang sesungguhnya sedang mengenakan pakaian pink itu. Atau, Danny Phantom mengenakan tank top yang hampir sama persis dengan gambar di atas sandal jepit yang kulihat di toko itu.

Eits, bukan hanya satu macam sandal saja lho yang memuat gambar karakter dengan julukan Danny Phantom dariku! Kebalikannya dari sandal jepit yang tadi, ini justru berasal dari merek terkenal dan juga premium! Ini adalah merek sandal jepit dari Jepang, Konnichiwa, yang artinya adalah "selamat siang". Satu varian dari merek tersebut bergambar gadis yang sedang senam dengan berbagai gerakan dan dia ini tak luput dari jenis outfit yang midriff baring!


Pertama kali aku melihat sandal varian tersebut adalah ketika temanku dari kelas sebelah saat kelas V memakainya. Itu adalah sandal miliknya, tetapi YBS malah gak ngeh dengan gambar di atas sandalnya sendiri sebelum aku menyebutkan itu "sandal Danny Phantom". Si teman yang empunya sandal malah terheran-heran dengan sebutan dari aku itu, secara gambarnya kan itu cewek buanget lho. Entah mengapa ya, refleksnya aku itu dulu kalo tiap ketemu tokoh cewek seksi koq nyebutnya Danny Phantom terus.







Tuesday, June 15, 2021

Kok, Masih Ganjal, Ya?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Masih dalam seri "Jurnal Ramadhan" ya. Setelah blog ini hiatus selama dua bulan, sekarang waktunya menjadi produktif, caranya dengan update setiap harinya!

Catatan 23 April 2021

Jurnal Ramadhanku ini kebanyakan berupa flashback ke bulan puasa di masa lalu, terutama momen bulan puasa ketika aku kelas V. Saat itu merupakan momen yang benar-benar mengubah diriku. Pandangan hidupku berubah drastis. Bisa jadi bagi orang lain tidak ada perubahan yang jelas dalam sikapku, meski begitu, aku sangat merasakan betapa berbedanya suasana hatiku dan cara berpikirku setelah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah yang bertepatan dengan bulan dengan urutan yang sama pada kalender Masehi khusus tahun 2008 itu. 

Ramadhan adalah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah. September menempati urutan yang sama pada kalender Masehi. Apalagi tanggal dimulainya kedua bulan tersebut juga bersamaan untuk tahun akhir dekade 2000-an itu. Tanggal 1 Ramadhan 1429 H bertepatan dengan tanggal 1 September 2008 M, sungguh fenomena yang unik sekali, bukan?

Itulah salah satu hal yang menjadi sebab "insiden kelinci" sulit sekali kulupakan, karena terjadi pada fenomena waktu yang tidak biasa. Bukan karena dendam kepada Papa atau apapun. Sekali lagi, bukan kemarahan beliaunya yang di-highlight. Jika sedang kubahas insiden itu, lebih dimaksudkan untuk mengupas tuntas apapun pengaruhnya dalam hidupku.

Lalu, bagaimana dengan Ramadhan di tahun 2021 ini, di tahun kedua pandemi covid-19? Alhamdulillah, rasanya sangat bersyukur dengan dibukanya kembali masjid untuk tarawihan berjamaah. Aku  tidak lagi terlalu merendahkan diriku akibat insiden kelinci itu seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya, sudah pernah aku disemangati ketika "insiden kelinci" telah berlalu satu bulan lebih, oleh seorang ART yang ikut menemani perjalanan keluargaku halal bihalal ke Lembah Bougenville Resort, Lembang.

Acara kumpul keluarga besar ini diadakan pada tanggal 12 Oktober 2008, sebelas hari dari tanggal Idul Fitri 1 Syawal yang jatuh pada tanggal 1 Oktobernya. Saat itu aku, adikku Irsyad, dan keluargaku yang lainnya kecuali Mama, Papa, serta adikku Fariz yang baru berumur dua tahun kurang, sedang fish dip di kolam berisi ikan koi besar-besar. Lupa lagi apa hal yang memicu percakapan antara aku dengan Mbak Yanti, satu dari dua ART yang diajak ikut menemani rombongan kami. Sedangkan saudaranya, Mbak Kokom sedang menjaga Irsyad yang baru saja milad kedelapan. 

Entah momen apa saat itu yang menyebabkan aku curhat di tengah kegiatan fish dip yang ramai itu, aku lupa. Begitu terbersit keinginan untuk menceritakan kegalauanku akan insiden satu bulan sebelumnya, langsung saja kutumpahkan pada Mbak Yanti. Aneh sekali rasa sedih akibat dimarahi Papa dapat bertahan hingga satu bulan,  oleh karena itu kusadari telah terjadi sesuatu yang salah, sehingga membuatku harus segera mencari pertolongan. Kegalauanku adalah karena aku merasa diriku ini begitu bodoh, tanpa buang waktu lagi langsung saja kuceritakan pada Mbak Yanti yang pada saat itu masih berusia muda, bahkan pada tahun itu mungkin masih remaja!

Hehehe, jangan bayangkan ART yang seperti emak-emak ya. Keduanya masih berusia sekitar 15 hingga 20 tahunan saat itu. Rasanya sudah bagaikan sobat karib saja mereka bagiku.

"Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak orang yang menganggap kita lebih berilmu dan ingin sama pandainya dengan kita," hibur Mbak Yanti di tengah gemericik air kolam, seruan orang-orang yang geli kakinya digigiti ikan koi, dan gerakan gerombolan ikan-ikan berukuran besar tersebut.

Redaksi yang sebenarnya itu agak berbeda, karena akan berbeda konotasinya jika diubah ke dalam bahasa tulisan. Karena di real life-nya beliau mengatakan, "Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak yang lebih bodoh daripada kita". Jika dalam bahasa lisan atau omongan langsung, kata-kata tersebut tidaklah terlalu terasa kasar. Lain halnya jika kuubah menjadi bahasa tulisan, rasanya akan lebih terkesan kurang sopan dan merendahkan, oleh karena itu dalam catatan ini aku mengganti beberapa kata dalam ucapannya. 

Selanjutnya aku bersama adikku yang besar dan sepupuku Mayang serta dua tetanggaku Andika dan Icha melanjutkan bermain aneka permainan seperti ayunan, perosotan, dan sebagainya. Meskipun sudah dimotivasi barusan oleh Mbak Yanti, aku belum sepenuhnya merasa lega. Rasanya masih ada yang mengganjal, karena aku tidak menceritakan secara detail mengapa perasaan rendah diri tadi itu bisa muncul. Bahkan kisah insiden  kelinci itu sama sekali tidak kusebut, karena terlalu takut untuk ditertawakan, saking absurdnya kisah itu. 

Keberanianku untuk menceritakan insiden itu belum ada, aku terlalu malu. Belum pernah kutemukan orang lain berbuat kesalahan yang sama denganku waktu insiden itu terjadi. Belum pernah kudengar orang lain melontarkan pertanyaan yang sama, bahkan sekadar sama kadar keanehannya juga belum kutemukan. Bahkan belum pernah juga menemukan kasus orang lain yang membandingkan kematian hewan dan manusia!

Pada saat insiden itu terjadi, Mbak Yanti dan Mbak Kokom belum bekerja di rumahku. Sebenarnya, rumahnya Eyang Kakung dan Eyang Putri, orangtuanya Mama, karena kami tinggal di rumah mereka. Umurku baru menginjak sebelas tahun selama sembilan hari ketika halal bihalal itu diadakan. Tidak terbayangkan ada gadis kecil berumur sama sudah memikirkan topik seberat dan seaneh itu. 

Ketika sedang makan bareng di shelter, aku melihat Mayang sepupuku sedang minum. Kelihatannya menggiurkan, karena minumannya berwarna pink cerah tetapi tidak mencolok seperti merahnya Fanta.

"Lagi minum apa itu?" tanyaku.

"Yahat," jawab Mayang di tengah aktivitas minumnya.

"Yahat? Apa itu?" 

Apakah itu merek minuman baru? Tahun segitu sedang marak-maraknya produk minuman dengan bertambahnya banyak merek baru.

Mayang mencopot gelas itu dari mulutnya, pertanda minumannya telah habis. 

"Yoghurt," jelasnya.

Hohoho, ternyata hanya yoghurt. Jelas bukan hal yang aneh. Aku hanya tertawa dan segera mengambil minuman yang sama. Setelah disemangati oleh Mbak Yanti tadi, aku kembali berwajah ceria bersama keluargaku. 

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, bus yang membawa rombonganku semakin kosong, karena satu persatu penumpangnya turun. Saudara kami banyak yang pulang duluan ketika melewati rumahnya, jadi tidak menunggu bus berhenti di titik kumpul yang sama dengan ketika berangkat tadi pagi. Alhasil kendaraan besar beroda empat itu semakin terasa lengang dan sepi seiring turunnya matahari. Rupanya di saat hari mulai menggelap memasuki waktu Magrib, wajahku yang tadinya sudah cerah malah berubah mendung kembali.

Tangisanku akan insiden kelinci tersebut rupanya masih mengalir. O-ow, kukira dukungan dari Mbak Yanti tadi sudah cukup untuk menenangkanku. Sepulang dari lokasi acara kami, mataku mengalirkan air tanpa diikuti suara. Kupastikan tidak seorangpun yang melihatku menangis, karena untuk menjelaskan sebabnya tentu akan membuatku sangat kebingungan, apalagi ini momen sehabis acara keluarga.

Tuh, kan, ujung-ujungnya aku flashback lagi! Bagaimana dengan keseharianku di tahun puasa dengan protokol kesehatan ini? Sejauh ini belum ada pengalaman yang luar biasa selain merasakan salat tarawih dengan saf berjarak demi mencegah penularan virus Corona. Kegiatanku hanya mengerjakan tugas kuliahku, itupun banyak mulurnya. 

Eh, kalau pengalaman luar biasa sih ada, jika dibandingkan dengan bulan Ramadhan tahun pertama di dekade 2020. Keberanianku untuk menceritakan masalahku sudah jauh lebih meningkat, sehingga lebih cepat juga aku terangkat dari masalah. Hikmah yang kudapat dari perjalanan halal bihalal 2008 ke Lembah Bougenville Resort ini adalah jika kita berani berterus terang menceritakan problem kita, akan lebih mudah untuk dipecahkan problemnya, selain hikmah dari perkataan Mbak Yanti tadi. Kesedihanku akan insiden itu tetap bercokol dalam benakku sama sekali bukan salahnya beliau, melainkan karena aku selalu menutupi permasalahanku ini, tidak pernah bercerita sejujur-jujurnya.

Huuufft, lumayan panjang juga ya kisah ini? Sudah berapa hari ya aku menulis postingan yang panjang seperti ini? Ya sudah, catatan ini sampai di sini saja. Kuakhiri dengan napas lega.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.






Monday, June 14, 2021

Kuda dan Kelinci

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rasanya tahun kelimaku di Sekolah Dasar adalah salah satu tahun yang paling sering terdapat memori banyak rasa. Maksud dari "banyak rasa" di sini adalah memang banyak pengalaman yang nyeleneh, menggemparkan, lucu, seru, dan memberi kenangan menyenangkan meski saat itu aku belum tertarik dengan cowok sungguhan dan lebih memilih cowok 2 dimensi alias tidak nyata.

Saking minimnya pengalaman berkesan di jaman pandemi ini, aku sampai keseringan menengok kembali berbagai peristiwa yang terjadi pada masa aku ketika kelas V. Aku jadi macam Dr. Doofenshmirtz saja yang punya banyak cerita latar belakangnya atau bahasa kerennya "flashback". Masih edisi Jurnal Ramadhan nih. Berhubung saat ketiadaan mood aku untuk mengisi blog ini ketika bulan suci tersebut masih berlangsung, catatan yang waktu itu kutulis di buku kuketik ulang di sini menjadi postingan blog.

Catatan tanggal 22 April 2021

Bulan Ramadhan untuk tahun 2021 ini jatuh mulai pada tanggal 13 April lalu. Hari ini adalah hari kesepuluh dari bulan suci tersebut. Karena kebiasaanku bernostalgia, apalagi hari ini masih juga harus "di rumah aja" jadinya gabut luar biasa deh ingatanku mendadak kembali ke 12 tahun yang lalu pada bulan yang sama. Tepatnya pada April 2009, aku lupa persisnya tanggal berapa, aku mengikuti sebuah field trip bersama sekolahku ke sebuah kavaleri (markas pasukan berkuda) di Lembang, saat aku masih kelas V. 

Perjalanan itu terjadi kira-kira minggu kedua bulan April pada tahun tersebut. Diperkirakan "insiden kelinci" tersebut sudah berlalu tujuh bulan sebelumnya, karena terjadi pada tanggal yang mudah diingat, yakni hari pertama puasa tahun 2008 yang jatuh pada tanggal 1 September. Di kavaleri tersebut, semua murid dari sekolah kami berkumpul untuk menonton sebuah pertunjukan atraksi kuda di tengah sebuah lapangan. Kami semua yang berjumlah 400 (empat ratus) orang duduk di kursi mirip teater, hanya saja terletak secara outdoor. Satu atau dua orang anggota kavaleri menunggangi masing-masing satu ekor kuda yang tentunya sudah terlatih untuk unjuk kemampuan hewan tersebut.

Kuda tunggangan anggota kavaleri tersebut diperintahkan oleh penunggangnya dan juga MC untuk melakukan berbagai pertunjukan, seperti melompati palang rintangan, melewati lingkaran (tentu saja tanpa dibakar karena lingakaran tersebut dipegang tangan langsung!), dan sebagainya. Usai atraksi tersebut, sang MC menutupnya dengan sebuah pesan untuk para penonton ciliknya plus para guru. Bagi hampir semua orang di sana, seruan MC tersebut terdengar wajar-wajar saja, sayangnya bagiku lagi-lagi membuatku berpikir secara mendalam dan tentunya berbeda dari orang umum!

"Kalian kalau disuruh orangtua atau guru harus mau nurut ya. Masa kuda aja mau nurut kalian nggak?" seru sang MC lewat megafon yang dipegangnya. 

Memang seruan tersebut bukan berarti apa-apa selain untuk memberi pesan yang baik untuk anak-anak sekolah yang menonton. Kontan semua anak yang mendengarnya tertawa, kecuali aku. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit tertawa di tengah terbahak-bahaknya orang sekitarku! Penyebab bungkamnya kotak tertawaku untuk kasus ini adalah kata-kata MC barusan yang malah dipikirkan terlalu dalam-dalam, selain sifatku yang dikenal sulit untuk ikut merasa lucu akan jokes.

Ohohooo, bukannya aku merasa tersinggung or mengira disamakan dengan kuda tempur, ya! Dengan perkataan tentara yang membawakan acara atraksi itu—sadarlah aku ternyata—tujuh bulan sejak insiden kelinci yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun sebelum field trip tersebut. Diriku masih saja mencari sebab mengapa Papa merasa tersinggung dengan pertanyaan yang beliau rasa aku menyamakan antara adikku yang manusia dengan seekor hewan bernama kelinci. Kukira rasa sedihku akibat insiden tersebut itu sudah hilang, karena biasanya juga kesedihan akibat dimarahi Papa itu cepat menguap. 

Beliau merasa aku menyamakan manusia dengan binatang, tetapi perkataan MC tadi bukankah melakukan hal yang sama? batinku yang masih naif setelah acara atraksi tersebut bubar.

Ternyata sampai lebih dari enam bulan dari kejadiannya, rasa susah hati dan sesal itu masih bertahan. Bukan momen yang jarang juga sih aku dimarahi Papa, tetapi khusus untuk kasus ini dampaknya sungguh besar. 

"Teteh jangan menyalahkan Papa," kata Mama suatu hari ketika aku membicarakan perasaanku yang tidak biasa ini.

"Kamu jangan salahkan Papa kamu," ujar salah satu keponakan dari pihak Eyang Putri dengan maksud senada.

Jujur, dua tahun pertama dari "insiden kelinci" itu mungkin aku memang ada unsur menyalahkan beliau. Namun, semakin bertambahnya usiaku dan seiring berjalannya waktu, bukan lagi kemarahan beliaunya yang diberi highlight. Semakin lama berlalunya peristiwa itu yang tidak menyenangkan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, aku lebih menekankan dampaknya dari insiden itu. Salah satunya, lebih aware akan dampak dari pikiranku yang sering berkelana tak tentu arah, sehingga banyak masalah ditimbulkan dari hal-hal ngelantur yang dihasilkannya. 

Sifat naifku ini memang tidak ketulungan, karena pada saat itu aku belum juga mengerti kesalahanku pada insiden tersebut. Meskipun adikku Irsyad yang berusia tiga tahun di bawahku sudah langsung dapat memahami di mana letak kesalahanku, buatku membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk kupahami, sampai memakan waktu bertahun-tahun setelahnya. Ya, akulah "Sang Pengelana Naif" dari Negeri Halu.

"Pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dengan binatang," kata adik terbesarku itu saat kami berdua sedang dalam perjalanan berangkat sekolah dengan mobil keluarga kami, saat itu aku kelas V dan dia kelas II.

Untung saja saat itu bukan Papa yang menyetir, tetapi sopir. Jika beliau yang membawa mobilnya, pasti beliau akan mendengarkan percakapan kami berdua. Beliau memang biasa menyimak kedua anaknya mengobrol. Khawatir amarahnya beliau akan tersulut, lagi, karena aku mulai membahas insiden yang menyinggung perasaannya itu.

Mendengar jawaban itu, kekagetanku ternyata belum waktunya untuk berakhir. Mengapa dianggap menyamakan? Rasanya segala hal yang berkaitan pada kasus itu berada di luar kendaliku. Sampai benakku juga tidak dapat kukendalikan pada insiden sahur hari pertama itu!

Juga, mengapa membandingkan seperti itu dianggap suatu kesalahan? batinku sebelum naik ke kelas VI. 

"Tetapi, waktu kunjungan ke kavaleri itu kan kata MC kita harus nurut karena kuda aja mau menurut. Bukannya itu juga menyamakan manusia dengan hewan?" tanyaku polos dan naif. Irsyad juga ikut menonton atraksi tersebut, karena kami satu sekolah dan field trip tersebut adalah acara massal untuk seluruh muridnya. 

"Ya itu mah beda atuh, Teh. Yang di kavaleri itu kan niatnya memberi semangat untuk anak-anak yang menonton," jawabnya sabar (?)

Bisa jadi Irsyad lebih cepat sampai pemahamannya bukan hanya karena dia tidak sama naifnya denganku, tetapi karena itu bukan kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pada umumnya memang lebih mudah untuk memahami letak kesalahan orang lain ketimbang kesalahan sendiri. Begitu juga denganku, kalimat tadi bukan untuk menyalahkan atau menyindir adikku. Mendengar jawabannya, mulut ini ber-ooh saja.

Niatku juga sebenarnya bukan untuk menghina adiknya Irsyad yang lebih besar sekaligus kakaknya Fariz itu yang sudah mendahului kami. Saking naifnya, sampai pada saat itu belum tahu bahwa perkataan seperti itu adalah tidak etis dan tidak dapat diterima umum. Hanya sekadar untuk memuaskan kekepoan yang sepintas tampak konyol. Intinya, aku tidak ada niat buruk sama sekali di dalamnya. 

Malahan sampai pada tahun terakhir dekade 2000-an bahkan sampai masuk tahun 2010 (itu tahun aku siap dan sudah masuk SMP, cuy), aku masih belum juga dapat memahami apanya yang menyinggung dari perbandingan seperti yang kutanyakan itu. Sebelumnya, selama sepuluh tahun pertama menjadi penduduk Bumi atau alam dunia, kukira hanya mengejek seseorang dengan sebutan hewan saja yang dianggap tidak sopan karena "menyamakan manusia dengan hewan". Dari field trip ke Kavaleri Lembang ini, dapat kutarik satu pelajaran : tidak semuanya perbandingan atau penyamaan manusia dengan hewan adalah buruk atau menghina. MC tadi itu meminta para penontonnya agar menjadi anak penurut seperti kuda yang tampil pada atraksi outdoor itu, meski ketika pertunjukan berlangsung ada seekor yang tidak mau melompati palang dan malah bergeming di belakang palang. 

Baiklah, kusadari aku sudah terobsesi dengan kisah insiden kelinci ini. Namun, obsesi ini bukan sekadar ngagugulung peristiwa itu saja kalau orang Sunda menyebutnya, karena tidak hanya berhenti di flashback saja. Bagiku kasus unik ini menimbulkan kekepoan yang sangat, karena sifat naif ini menyebabkan minatku untuk mengeksplorasi diriku lebih jauh. Tiada habisnya kasus ini diulik, karena seperti yang sudah sering kubilang, efeknya sungguh tidak seperti peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidupku. 

Untuk memahami bahwa berkata bohong atau mencela orang lain adalah perbuatan salah, itu mudah bagiku. Sangat mudah malah, karena diajarkan di banyak buku budi pekerti. Kalau kasusnya seperti insiden kelinci tadi, siapapun tidak akan menduganya, jadinya tidak akan ditemukan di buku manapun. Terlalu mengejutkan di telinga orang.

Menyamakan fisik manusia dengan binatang itu jelas tidak etis, karena termasuk kategori "body shaming". 

"Tetapi, menyamakan hilangnya kehidupan dari manusia dan hewan, mengapa dianggap tidak etis ?" tanyaku kepada diri ini selama bertahun-tahun. 

Namun, jika kita menyebut bayi atau anak kecil dengan sebutan "kucing" karena gemas, itu tidak pernah dianggap buruk. Wah, topik manusia dan hewan ini sungguh sangat fleksibel, ada kalanya bisa menjadi buruk, netral, bahkan baik atau bahkan dalam kasus tertentu, bisa jadi malah wajib dilakukan, misalnya untuk membandingkan ukuran spesies hewan tertentu dengan tubuh manusia sebagai ilmu pengetahuan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...