Showing posts with label core memory. Show all posts
Showing posts with label core memory. Show all posts

Friday, October 20, 2023

Lebih Paham dengan Deep Talk daripada Dibentak

Catatan 20 Oktober 2023

Insiden Kelinci: Memahami Kesalahan dan Belajar dari Perspektif Orang Tua

Menfess tentang 'lebih paham dengan deep talk daripada dibentak' benar-benar terasa relatable untukku. Dua bulan setelah Insiden Kelinci, aku akhirnya berkesempatan melakukan deep talk dengan Papah mengenai kejadian itu. Saat insiden terjadi, aku hanya bisa kebingungan, bertanya-tanya: di mana letak kesalahanku? Namun, melalui obrolan dari hati ke hati, meskipun sempat terkejut dengan interpretasi beliau atas pertanyaanku, aku akhirnya mulai memahami mengapa kata-kataku membuatnya tersinggung.

Biasanya, kalau aku dimarahi orang tua, aku langsung tahu di mana letak kesalahanku. Tapi Insiden Kelinci berbeda. Hal ini terasa sangat memorable karena pada saat itu aku tidak langsung paham apa yang salah. Butuh dua bulan untuk mulai mengerti apa yang membuat Papah almarhum tersinggung. Ternyata, pertanyaan yang aku ajukan pada hari pertama Ramadan itu menyentuh hal yang sangat sensitif baginya.

Saking besarnya pengaruh dari pengalamanku itu, diduga kuat pengalaman ini sudah menjadi core memory untukku.

Mengapa Aku Bertanya Hal Itu?

Pertanyaanku saat itu sebenarnya lahir dari kebingungan dan rasa kehilangan yang besar. Ketika kelinciku dikabarkan mati, otakku secara otomatis memutar ulang memori tentang wafatnya adikku. Itu terjadi begitu mendadak. Alhasil, aku merasakan kesedihan yang sama dalamnya dengan ketika kami kehilangan anggota keluarga.

Namun, yang membingungkanku adalah sikap orang-orang di sekitarku. Mereka tidak terlihat sedih atas kehilangan kelinci itu seperti aku. Rasanya, kesedihanku dianggap berlebihan, sementara bagiku, rasa kehilangan ini nyata dan tak bisa dielakkan.

Momen itulah yang memicu rasa ingin tahu tinggi: apa yang sebenarnya membedakan antara manusia dan hewan? Papah, yang dikenal dengan wawasannya yang luas, kuharapkan bisa memberikan jawabannya. Ternyata, aku salah merangkai kata saat menyusun pertanyaanku. Akibatnya, beliau salah sangka ketika mendengarnya.

Percakapan yang Mengubah Perspektif

Insiden itu terjadi pada September 2008, tapi baru pada November aku dan Papah punya deep talk yang membuka semuanya. Beliau sempat kaget karena aku masih menangisi kejadian itu, bahkan dua bulan setelahnya. Aku sampai jujur mengakui bahwa aku menangis bukan karena mimpi buruk, tapi karena masih merasa sedih.

Padahal sehari sebelumnya aku baru saja ikut field trip ke Penerbit Mizan dan membeli buku seri KKPK berjudul "Ketika Waktu Berhenti"—hari yang seharusnya menyenangkan. Namun, malam itu semuanya berubah setelah Papah menjelaskan apa yang sebenarnya membuatnya marah.

Dengan nada kesal, beliau berkata, "Orang tua yang kehilangan anaknya karena meninggal pastinya akan sedih jika dibandingkan atau disamakan dengan binatang!"

Aku terkejut. Pertanyaanku tidak dimaksudkan untuk menyamakan manusia dengan hewan. Aku hanya merasa kehilangan kelinci kecilku mengingatkanku pada kehilangan adik kandungku yang lebih besar. Justru karena pernah terluka oleh pengalaman sedih dari kehilangan yang besar, kehilangan yang lebih kecil juga terasa menyakitkan untukku. 

Ketakutan dan Kebingungan

Papah juga mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung, "Nanti di akhirat Teteh disatuin sama kelinci, mau?"

Pernyataan itu membuatku takut. Aku membayangkan hal-hal buruk, seperti tubuhku menjadi hybrid dengan kelinci. Aku menjawab ketakutan, "Nggak, Pah!"

Beliau melanjutkan dengan nada lebih serius, "Naha atuh? Kenapa kamu bertanya begitu waktu itu?"

Aku hanya bisa diam. Dalam pikiranku, pertanyaan itu lahir dari kebingungan: kenapa orang-orang di sekitar tidak memiliki kesedihan yang sama untuk hewan seperti aku?

Belajar Memahami Perspektif Orang Tua

Setelah mendengar penjelasan Papah, aku mulai memahami mengapa beliau marah. Menurutnya, pertanyaanku saat itu bukan pertanyaan kritis, tetapi tidak etis. Aku memang tidak berniat merendahkan manusia atau keluargaku sendiri, tetapi sudut pandangku berbeda.

Papah juga sempat memberikan contoh tentang teman tanteku, "Ada orang tua yang rutin membawa anjing peliharaan mereka ke dokter hewan, tapi anak mereka yang giginya bolong tidak dibawa ke dokter gigi. Itu kan salah!"

Papah khawatir aku menjadi orang seperti itu. Namun, aku tahu dalam hati bahwa aku tidak seperti itu. Sejak kecil, aku selalu menyayangi hewan peliharaan dan manusia dalam porsi yang berbeda, tanpa mengurangi rasa hormat atau cinta pada keduanya.

Refleksi dan Pelajaran

Hingga kini, percakapan itu tetap membekas. Dari pengalaman ini, aku belajar dua hal:

1. Pentingnya memilih waktu dan orang yang tepat untuk bertanya. Tidak semua pertanyaan cocok untuk semua orang, apalagi topik-topik sensitif.


2. Berempati terhadap perspektif orang lain. Kadang, sudut pandangku yang berbeda membuatku sulit memahami orang lain, termasuk kedua orang tuaku.



Seperti yang pernah disampaikan psikologku di sesi terapi pada 2021, aku berpikir dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Karena itu, aku perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan rasa ingin tahu, terutama kepada orang-orang yang aku sayangi.

Bagaimanapun luasnya wawasan Papah, aku belajar bahwa ada hal-hal tertentu yang lebih bijak ditanyakan kepada orang lain. Setiap orang, termasuk beliau, punya batasan dalam hal yang sensitif. Momen ini mengajarkanku bahwa memahami perspektif orang lain tidak hanya tentang apa yang kita tanyakan, tetapi juga tentang kapan, bagaimana, dan kepada siapa pertanyaan itu diajukan.

Thursday, October 5, 2023

Validasi Perasaan: Menghadapi Insiden Kelinci dan Kehilangan Layaknya Anggota Keluarga

Catatan 5 Oktober 2023

Perasaan yang Abadi: Refleksi Usia Lebih dari Seperempat Abad

Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri. 

Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, (jangan bosan ya). Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia tepatnya anggota keluarga sendiri. Sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".  

Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan? Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.

Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum adikku. Itu ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi beliau bekerja pada perusahaan Eyang Putri. Maka, beliau jadi sering sekali bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. 

Kisah Insiden Kelinci mengingatkanky pada bagaimana aku meragukan perasaanku sendiri setelah kelinci peliharaanku meninggal. Sebuah kejadian yang memicu memori akan kehilangan yang lebih besar, yaitu adikku yang telah wafat sebelumnya.

Sebuah Flashback Emosional

Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar dari Eyang Putri kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo. Marlin mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaan sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara kami yang sudah agak jauh kekerabatannya tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku. 

Sepupu jauhku, sebagai salah seorang korban selamat dari bencana alam Tsunami Aceh 2004 juga pernah sementara waktu sering mengalami flashback ketika bencana alam itu terjadi. 

Validitas Perasaan: Menerima Perasaan Kehilangan

Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian atas kematian kelincinya. Kehilangan anggota keluarga dianggap wajar untuk berduka, tetapi apakah itu juga berlaku untuk hewan peliharaan?

Meskipun aku tahu perbedaan antara manusia dan hewan, tetap saja aku merasa bingung: apakah perasaanku atas kehilangan kelinci peliharaan juga valid? Di usia yang lebih dewasa, aku mulai menyadari bahwa setiap perasaan, baik itu terkait dengan kehilangan manusia atau hewan, adalah valid. Tidak perlu mencari validasi dari orang lain untuk merasa bahwa perasaan kita itu sah adanya.

Menemukan Dukungan: Masyarakat yang Semakin Mendukung Kesehatan Mental

Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid. Di saat usiaku hampir sebelas tahun pada akhir dekade 2000an, aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental pada dekade 2020an ini. Juga, banyak pet lovers yang sangat menjiwai piaraan mereka sampai-sampai mereka menangis dan berdukacita jika piaraannya mati. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid. 

Kesimpulan: Semua Perasaan Itu Valid

Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya. Tidak ada perasaan yang lebih penting atau kurang valid dari yang lain. Setiap perasaan kita adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihargai. Dengan menerima perasaan kita sendiri, kita dapat hidup lebih damai dan menerima diri.

Tuesday, February 14, 2023

Insiden Kelinci Adalah Salah Satu "Core Memory" Buatku!

Catatan 15 Februari 2023

Rencananya, Disney mau ngeluarin beberapa sekuel tahun ini yaitu film Toy Story 5, Frozen III, Inside Out 2, dan Zootopia 2. Di sini yang bakalan jadi fokus aku itu Inside Out. Hal yang bikin film tadi itu unik adalah karena membahas tema psikologi, tepatnya istilah core memory dari film yang terakhir disebutkan. Banyak fenomena psikologis yang lebih mudah dijelaskan jika dikaitkan dengan film itu. 

Peran Penting Film Inside Out dalam Psikologi

Setiap kali aku akan brought up Insiden Kelinci, rasanya ragu, khawatir orang yang baca akan jadi bosan. Itu disebabkan karena ini adalah peristiwa yang paling kontroversial, setiap orang penerimaannya berbeda-beda. Juga merupakan insiden yang paling sulit bahkan alot untuk dilupakan. Adikku Irsyad punya penjelasan terkait Insiden Kelinci ini, dia menjelaskan hal ini dengan perumpamaan dari film Inside Out yang berkaitan erat dengan core memory tadi.

Dalam film yang menceritakan tentang kelima perasaan yang dipersonifikasikan ini (marah, senang, sedih, takut, dan jijik), terdapat visualisasi dari memori berupa bola-bola memori. Dari ribuan bahkan jutaan memori yang kita miliki, terdapat sebuah "memori inti" (core memory), yang digambarkan sebagai bola-bola yang bersinar paling kuat dan ditempatkan di wadah khusus yang berbeda dari memori biasa.


Apa Itu Core Memory?
 
"Mungkin ayah dan bunda sudah pernah mendengar istilah core memory. Istilah ini memiliki arti memori atau kenangan akan kejadian yang paling berpengaruh bagi si kecil. Core memory tidak hanya memberi kesan mendalam, tetapi juga bisa menjadi dasar dari nilai dan tabiat yang dimiliki anak saat dia dewasa." 


Hubungannya Core Memory dengan Insiden Kelinci

Aku nggak bermaksud menyalahkan Papah, aku cuma pengin tahu kenapa kejadian ini berpengaruh banget ke aku dan susah hilang dari pikiran.

Menurut adikku yang terbesar Irsyad, alasan di balik sulitnya aku melupakan Insiden Kelinci itu adalah karena peristiwa tersebut sudah merupakan core memory bagi aku seperti dalam film Inside Out. Sekarang sudah mulai jelas bahwa peristiwa itu terus melekat di benakku itu bukan karena aku hanya terobsesi akan kejadian itu, apalagi dendam sama Papah, melainkan karena memori akan insiden tersebut memberikan pengaruh yang mendalam bagiku. Lalu, mengapa insiden yang kontroversial itu bisa termasuk kenangan yang paling berpengaruh dan memberikan kesan yang dalam di kehidupanku, sehingga jadi memori inti? Ini juga masih ada penjelasannya dan dia itu ngejelasinnya dalam sekali duduk, bukan di momen yang berbeda. 

🔮 Ya, seperti yang kita baca dari kutipan artikel di atas (sebenarnya itu artikel buat parenting), ortu emang perannya nggak main-main buat menciptakan memori inti alias core memory dalam kepala kita yang anaknya mereka. Dalam Insiden Kelinci itu, aku waktu itu emang berkaitan erat bahkan berurusan sama Papah almarhum. Nah, dari siapa yang terlibat dalam kejadian aja udah ketebak sebabnya itu kejadian bisa masup ke memori inti. Sayangnya, ini nggak berhenti sampai di situ, karena nggak semua kemarahan Papah itu berbekas ampe segitunya.

Kemarahan Papah yang sampai mukul pun nggak bikin keingetan segitunya. Mungkin ada beberapa peristiwa macam begitu yang bikin kepikiran, tapi nggak alot juga untuk ngelupainnya. Bisa jadi nggak masuk-masuk ke memori inti acan. Mari kita simak penjelasan selanjutnya dari adik aku yang paling gede ini!

🔮 Pada insiden itu, aku jelas lagi sedih-sedihnya karena kelinci peliharaan yang mati. Jadi, dari awal emang udah sedih sebelum aku bikin Papah marah karena cara pandang beliau terhadap pertanyaan itu yang berbeda denganku. Pada kasus biasa, sedih itu setelah dimarahin, bukan sebelum dimarahin juga udah sedih. Di sini juga curiga aku udah ada gejala-gejala PTSD, karena kelinci mati doang bikin keingetan lagi sama adik yang udah meninggal. 

Emosi aku lagi intens ketika Insiden Kelinci itu terjadi (kesedihan pertama karena kematian kelinci dan kesedihan kedua karena dimarahi Papah tak disangka-sangka), peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam selain karena merupakan interaksi aku dengan orang tua, yaitu Papah. Dari sini udah ketemu dua faktor penyebab masuknya insiden ini ke dalam memori inti, yaitu faktor interaksi dengan orang tua dan faktor perasaan yang intens karena rasa sedih bertambah-tambah dan ditambah pula kekagetan karena dimarahi. Ini hanya bagian dari penjelasan adik aku yang posisinya netral dan dia satu-satunya saksi mata kejadian ini, jadi bukan aku menyalahkan Papah seperti yang beberapa orang anggap. Dari kejadian ini, aku belajar banyak soal hubungan emosional dengan orang tua dan gimana cara pikirku sendiri yang berbeda.

🔮 Contrary with most people believes, aku bukannya lebih sedih sama hewan peliharaan ketimbang adik sendiri. Kejadian ini bikin waktu itu nyadar satu hal : orang-orang menyikapi kehilangan sesama manusia dan hewan itu berbeda. Oleh karena itu, aku mempertanyakan soal itu di saat masih kelas lima, aku tidak menganggap itu membuat derajat manusia menjadi hina atau rendah. Bagiku, kematian adalah sebuah topik yang menarik untuk diulik, dicari tahu seluk-beluknya. 

Banyak orang pikir aku ini logika atau kecerdasan emosionalnya ketinggalan (terutama Mamah yang mikir gini), padahal kayaknya sih hanya karena perbedaan sudut pandang dengan orang biasa. Bahasa ilmiahnya itu neurodivergent, buat sudut pandang yang umum itu disebut neurotypical. Setelah ke psikolog, baru deh ngerti kenapa aku masih nanyain perihal itu yang kata orang "normal" itu udah jelas jelas jelaassss banget. Karena punya pemikiran yang nggak umum, dulu aku itu sama sekali had no idea bahwa itu bukan hal yang dianggap benar oleh masyarakat umum, setidaknya masyarakat yang umum di Indonesia. 

Jika momen dimarahin Papah biasanya udah tau letak kesalahannya sehingga nggak kaget lagi kalo beliau marah, kali ini sama sekali nggak ada dugaan sedikitpun bahwa pertanyaan seperti itu bakalan dimarahin. Rasa terkejutnya jadi di-up berkali-kali lipat dibandingkan kasus biasa, sampai menjadi core memory. Bahkan hingga kurang lebih tiga tahun dari kejadiannya, aku masih bertanya-tanya kenapa itu bikin beliau tersinggung. Sejak paham bahwa mayoritas warlok mikirnya hewan itu rendah, posisinya di bawah manusia, baru deh ngerti kenapa menyinggung (tapi nggak bikin ilang sedihnya). 

Udah ketemu tiga faktor nih kenapa itu kejadian jadi memori inti yang terus aja keingetan (ini beda dengan yang orang Sunda sebut "neuteuli") selama lebih dari sepuluh tahun lamanya :
1. Melibatkan interaksi dengan orang tua, apalagi ortu dalam kejadian ini udah meninggal. Jadinya aku nggak bisa verifikasi ke beliau. 
2. Kondisi emosi yang intens karena satu kesedihan ditambahkan satu kesedihan yang lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan (nggak sampe sejam dari kabar matinya kelinci ke aku dimarahin Papah karena nanyain itu). 
3. Rasa terkejut yang teramat sangat, yaitu berasal dari bentakan, tidak menyangka ucapanku bisa menyinggung, dan menemukan bahwa pemikiran orang di luar diriku ternyata jauh berbeda denganku. 

Jadi makin suka nih sama film-film Disney terutama yang keluaran Pixar, soalnya banyak berkaitan dengan kejiwaan. Sebenarnya kalo mau diulik lagi, Frozen terutama yang pertama, itu metafora dari masalah psikologis. Semoga saja Inside Out 2 ini lebih banyak ngulik tentang core memory itu. Core memory ini disebutkan pada kutipan artikel di atas bahwa dapat juga menjadi dasar tabiat anak ketika dewasa, andai saja tidak ada peristiwa itu kayaknya aku nggak akan segitu berminat untuk mengenal tentang diri sendiri.

Kecintaanku pada film-film Disney dan Pixar juga ditumbuhkan oleh Papah yang dahulu sering membeli VCD dan DVD nya. Aku sayang Papah, cuma kejadian ini memang susah aku lupakan karena dampaknya cukup besar.

The Curious Connection Between Lou (UglyDolls) and Rancis Fluggerbutter (Wreck-It Ralph)

January 17, 2025 When it comes to animated characters, some connections are so striking that fans can’t help but imagine shared universes an...