Kemarin aku sudah kehabisan topik untuk ditulis di sini. Jangan sampai terlewat lagi hari ini, karena biasanya jika sekalinya tidak menulis catatan baru, akan bablas ke hari-hari berikutnya. Nanti bisa-bisa berbulan-bulan tidak aktif lagi blog aku ini, seperti ketika selama bulan Maret hingga Mei lalu tahun ini. Alhamdulillah, aku bersyukur sudah mulai bisa move on dari perasaan bersalah dan insecure yang begitu menekan dari insiden kelinci, karena aku sudah mulai menemukan cara untuk mengobatinya.
Mengapa bisa bertahan demikian lamanya perasaan bersalah dan menyesal akibat diriku yang keceplosan itu, sampai melebihi sepuluh tahun lamanya? Karena pada waktu yang lama itu juga, aku belum menemukan cara yang jitu untuk mengendalikan rasa yang negatif itu, hingga akhirnya aku menemui psikolog yang juga seorang wanita. Beliau berkata, untuk membasmi perasaan yang tidak menyenangkan itu, aku harus berfokus pada potensi yang ada dalam diriku ini. Segera saja teringat, sudah berapa lama ya aku tidak melakukan hobiku menggambar?
Bapak wali kelasku saat kelas V dan VI SD pernah menyarankan agar aku mengembangkan tokoh ciptaan sendiri, karena saat itu beliau selalu melihatku menggambar Danny Phantom. Meskipun karyaku sekarang bukanlah hal yang spektakuler macam Doraemon atau Spongebob, setidaknya hobiku akan menutupi apapun yang membuatku merasa rendah diri alias insecure. Kira-kira empat jam yang lalu sebelum tulisan ini diketik, aku pergi ke warung terdekat dari rumah untuk berbelanja mi instan goreng dan kuah. Kukira saat itu hanya akan menjadi waktu berbelanja yang biasa saja, sampai akhirnya aku menemui anak gadis dari pasangan yang mengelola warung tersebut dan anak lelaki yang merupakan tetanggaku sekaligus teman si anak gadis tadi.
Anak gadis itu memberitahuku bahwa telah hadir komik tentang Minions, makhluk kecil-kecil berwarna kuning berseragam overall dari bahan jeans. Aku merasa takjub karena mereka (para pencipta karakter) berhasil merambah ke dunia buku bacaan, tidak hanya sebatas film saja. Sedangkan si anak lelaki menceritakan tentang keberhasilannya menjual hasil karya gambarnya lewat aplikasi toko online, satu gambar dijualnya dengan harga Rp4.000,- Dari usahanya menjual gambar, dia sudah mendapatkan pelanggan, lho!
Sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi bagiku ketika mengetahui anak yang berjualan gambar buatan sendiri di lapak daring, karena sebelumnya sudah pernah kutemukan lewat berita di website. Tetapi, untuk yang kali ini berbeda dan impact-nya jelas lebih terasa, karena pelakunya adalah anak yang kukenal secara real life! Sebelum mematok harga tinggi seperti para seniman di internet yang melakukan commission (gambar berbayar), sebagai langkah awal aku ingin berjualan gambar seperti anak tadi. Hebat, padahal dia baru akan naik ke kelas IV SD!
Jika menulis komik dirasa terlalu ribet dan makan waktu, aku wajib melemaskan tangan dengan berjualan gambar karya seni sendiri seperti si anak lelaki itu. Saat nanti sudah "kecanduan" menggambar sama seperti ketika aku masih anak SD hingga SMP dulu, mungkin barulah bisa aku memulai untuk menulis sebuah buku komik. Biasanya semangatku menggambar terpacu ketika sering berkumpul dengan anak-anak tetangga atau berkunjung ke rumah mereka. Nah, berarti aku sudah mulai menemukan pemecah art block, alias "mager menggambar".
Untuk menentukan jenis gambarnya untuk dijual, aku akan menggambar hanya karakter yang aku ciptakan sendiri atau versi genderbent dari karakter yang sudah ada. Jika gambarnya berupa fanarts dari karakter yang sudah ada (tanpa di-genderbent), itu tidak akan kujual dan akan dipajang secara cuma-cuma di Instagram. Menjual gambar dari karakter yang bukan diciptakan oleh diriku sendiri adalah hal yang sebenarnya dilarang, karena menyangkut hak cipta. Oleh karena itu, ini adalah waktunya berbagai karakterku menemukan penggemarnya jika mereka belum juga ditetapkan Lore atau kisah hidupnya.
Baru saja aku mendapat insight dari sebab mudahnya aku saat kecil dulu untuk mendapatkan ide menggambar. Karena, kebanyakan ideku berasal dari kejadian di sekitarku, salah satunya adalah dari keseharian bersama teman-teman di kelas. Ketika aku masih SD, otomatis semua temanku adalah anak-anak. Wajarlah jika mereka berhasil "menyumbangkan" ide untuk karyaku.
Contohnya, saat aku kelas V, seorang teman cowok berbadan tambun memasang kumis dan janggut palsu yang terbuat dari kertas buku tulis di wajahnya. Setelah rambut wajah palsu dari kertas putih bergaris itu tertempel, dia berseru "Hohoho" layaknya Sinterklas, hanya saja tentu dia tidak mengenakan topi kerucut merah. Aktingnya cocok sekali dengan tipe badannya, sehingga menginspirasiku untuk menggambar tokoh legendaris tersebut dalam buku corat-coret pribadiku saat itu. Itu baru satu saja dari sekian banyaknya ide menggambar yang kudapatkan dari tingkah anak-anak di sekitarku, hihihi!
No comments:
Post a Comment