Saturday, December 30, 2023

Duka dan Luka dalam Hatiku yang Masih Ada Tetapi Membeku

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat akan wafatnya adikku yang tengah dan tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci. 

Kalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa pada tahun itu, kelinci itu diberikan satu minggu sebelum puasa oleh Wa Aden abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku itu! 

Tidak mau terkesan menyalahkan saudara sepupuku itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarga Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana beberapa hari sambil menginap setelah wafatnya adikku yang tengah. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya Wa Aden itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 


Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember tahun yang sama. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa layaknya kelinci itu hanya seekor hewan. 

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 3x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri. 

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku udah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.


Friday, December 29, 2023

Sama-sama Kecewa

Catatan 29 Desember 2023

ke·ce·wa /kecĂ©wa/ a 1 kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dan sebagainya); tidak senang: kami -- terhadap penyambutannya yang dingin; 2 cacat; cela: tidak ada -- nya; 3 gagal (tidak berhasil) dalam usahanya dan sebagainya: segala tindakan pengamanan akan tetap -- jika biang keladi kejahatannya tidak dibasmi;--

Bisa jadi perasaan yang timbul dalam diriku pada tanggal 1 September 2008 ketika sahur hari pertama bulan puasa itu adalah "kecewa". Pengertian dari kata kecewa menurut KBBI di atas yang paling dekat dengan apa yang kurasakan adalah yang nomor satu. Tepatnya, aku merasa sedih karena tanggapan Papah sama sekali berbeda dengan apa yang kubayangkan sebelum kutanya beliau. Harapanku, beliau memberikan jawaban yang jelas dan gamblang untuk pertanyaanku terkait perbedaan antara manusia dan hewan. 

Sebelum ditanyakan di dunyat, aku sudah sering cerita 'kan bahwa aku membayangkan dulu diriku bertanya kepada Papah? Aku sudah berekspektasi beliau menjawab "Adikmu itu manusia, kelinci itu hewan", tetapi jawabannya beliau di dalam benakku itu masih menyisakan ketidakpuasan dan juga ketidakpastian. 

Rasa tidak puas muncul karena kurasa itu bukan jawaban yang detailnya : lalu, kalau adikku adalah seorang manusia dan kelinciku adalah seekor hewan, apa yang sebenarnya membuat dua spesies itu diperlakukan berbeda? 

Jawaban Papah versi halu itu terasa tidak pasti karena aku yakin Papah tidak akan menjawab pertanyaan itu hanya dengan kalimat yang sesimpel itu, jadinya kutanyakan benar-benar. 

Sayangnya, pertanyaan itu malah membuat beliau tersinggung sehingga aku tidak mendapatkan jawabannya sama sekali. 

Jika kita melihat sisi dari Papah, beliau juga merasakan kecewa itu. Menurut persepsi beliau dan juga kebanyakan orang lainnya, pertanyaan yang kuajukan dalam insiden itu mengesankan nalar dan empatiku itu tertinggal. Kekecewaan beliau juga paling dekat dengan pengertian nomor satu tadi, yaitu merasa kecil hati dan tidak puas. Beliau sudah berharap anak sulungnya ini adalah anak yang cerdas, tetapi pada kenyataannya malah menanyakan hal yang absurd dan tak etis. 

Pengertian kecewa nomor tiga adalah "gagal, tidak berhasil". Papah merasa gagal sebagai seorang ayah untuk mendidik putrinya ini. Beliau beranggapan bahwa dirinya tidak berhasil membuat anaknya cerdas dan berakal sehat. Tidak seperti itu, beliau tidak gagal mendidikku karena buktinya Tanteku menyebut pertanyaan itu adalah lintas disiplin ilmu.

Orang biasanya menganggap jika ada seseorang yang menyayangi hewan dengan sepenuhnya, itu tidak sayang kepada sesama manusia. Padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu, bisa jadi karena saking banyaknya kindness yang dimiliki orang tersebut, hewan pun disayang secara sama besarnya dengan manusia tanpa mengalahkan kasih sayang kepada manusia yang sungguhan. Jenis orang seperti ini akan kaget jika mengetahui bahwa tidak semuanya bersifat seperti dirinya. Aku kaget dan berkecil hati atau kecewa karena keluarga besarku tidak menghayati hewan sepertiku, jadi aku merasa sendirian saat dulu. 

Dalam insiden ini semuanya kecewa, baik aku dan Papah. Untungnya banyak dukungan dari orang-orang terdekat dan juga para warganet. Mereka memberikan jawaban yang tidak pernah diberikan oleh Papah. Pengalaman juga merupakan pelajaran bahwa penting bagi kita untuk mencari orang yang tepat untuk bertanya. 

Sunday, December 24, 2023

Ketika Aku yang Kritis Bertemu dengan Pengalaman Traumatis

Catatan 25 Desember 2023

Besok adalah hari satu tahun sebelum dua dekadenya peristiwa Tsunami Aceh 2004. Sejak kira-kira dua minggu yang lalu, aku teringat pengalaman seorang saudaraku yang merupakan saksi mata bencana alam tersebut. Dia adalah orang berdarah Aceh dan sedang berada di kampung halamannya ketika bencana itu sedang terjadi. Alhamdulillah, dia selamat dari bencana alam yang menenggelamkan Banda Aceh dan beberapa negara lain di sekitarnya, tetapi ada sebuah kisah "watir" selepas itu. 


Trauma adalah sebuah pengalaman yang biasa menimpa korban musibah apapun, apalagi saudaraku masih berumur delapan tahun ketika ia sedang bersama keluarganya di dalam mobil menghindari gelombang air laut yang membanjiri daerah asalnya. Saudaraku itu sempat ketakutan tidak lama dari terjadinya tsunami itu, setiap kali melihat air mengalir kencang dari kerannya karena teringat akan cepatnya air laut menghancurkan apapun yang dilewatinya. Untungnya trauma ini tidak sampai membahayakan dirinya atau menimbulkan tingkah laku yang tidak wajar. Namun, aku terpikir satu hal : bagaimana jika aku yang berada di posisinya sebagai penyintas trauma akan tsunami?

Mengingat sifatku yang kritis, sering bertanya, kemungkinan aku akan keheranan melihat orang-orang bersikap biasa saja ketika air keran itu mengalir deras. Padahal momen seperti itu membuatku merasakan panik dan takut luar biasa yang sama besarnya seperti ketika terjadinya musibah itu. Bisa jadi aku akan bertanya, "Mengapa ketika air keran itu mengalir, orang-orang tidak terpengaruh tetapi ketika sedang tsunami semua orang panik?" Bagi nyaris semua orang tentu saja pertanyaan itu akan terdengar konyol, tetapi lain cerita untuk penderita trauma itu. 

Pertanyaan seperti itu menyiratkan bahwa seorang penderita trauma menyadari sedang terjadi sesuatu pada dirinya, hingga hal kecil yang hanya memiliki sedikit sekali keterkaitan dengan sebuah musibah bisa saja terasa sama besarnya. Saudaraku ini kebetulan bukan orang yang punya rasa ingin tahu terlalu tinggi (rasa ingin tahu jika berlebihan juga ujungnya tidak baik), jadi dia terhindar dari mengalami momen bertanya yang aneh seperti itu. Sebaliknya untuk kasus diriku, aku merasa heran ketika keluarga besarku di rumah tidak seperti diriku yang sangat hati akan matinya sebuah kelinci. Saat kelinci itu dikabarkan mati otakku otomatis memutar kembali memori musibah ketika adikku wafat, kemungkinan aku juga saat itu mengalami trauma! 

Menurut teman-temanku di pelatihan crafting (membuat buket bunga) tiga tahun yang lalu pada 2020, mereka juga mengalami peristiwa seperti insiden kelinci itu hanya saja pertanyaannya berbeda. Awalnya aku ragu-ragu, apakah iya ada orang di luar diriku yang melontarkan pertanyaan seabsurd itu meskipun tidak sama persis? Mbak Icha, salah satu dari temanku adalah seorang penyintas PTSD, dia tidak heran dan malah memaklumi pertanyaan yang kuajukan pada insiden kelinci tersebut. Bisa jadi dia pun pernah mempertanyakan ketika hanya dirinya yang menyikapi suatu kejadian kecil secara jauh lebih dalam daripada bagi orang-orang di sekitarnya. 

Jika aku seandainya mempertanyakan antara tsunami dengan air keran, apakah itu sebuah penghinaan terhadap para korban jiwa musibah itu? Apakah ketika bertanya seperti itu artinya aku tidak berempati pada musibah yang kualami? Tentunya tidak seperti itu maknanya, kan? Begitu pula dengan insiden kelinci, bukan artinya tiada rasa kehilangan atas adikku sendiri atau menyamakannya dengan hewan piaraan karena kulontarkan pertanyaan itu. 

Wednesday, December 13, 2023

Lanjut Gak Nih Bikin Buku Autobiografi?

Catatan 13 Desember 2023

Sejak wisuda aku lebih dari dua minggu yang lalu, aku sempet nge-blank mau update apa di blog. Hampir sebulan yang lalu, Mamah mengetahui rencana untuk menulis buku autobiografi tentang Insiden kelinci. Menurut beliau, topik tersebut terlalu dark. Karena tidak tega membuat beliau bersedih (insiden itu terjadi ketika aku masih kebayang peristiwa meninggalnya adikku), sempet kepikiran untuk mengurungkan rencana pembuatan buku tersebut. 

Catatanku tentang insiden kelinci itu udah numpuk banyak banget, rasanya kurang afdol apabila tidak dibukukan. Andaikata aku mengumpulkan catatan-catatanku itu lalu diam-diam dijadikan buku, pastinya suatu saat akan ketahuan. Menerbitkan buku itu 'kan perlu membayar, kemungkinan beliau yang akan mengeluarkan biaya untuk itu. Semoga saat semua catatan sejarah insiden tersebut sudah siap terbit, biayanya dari penghasilanku sendiri sehingga Mamah tidak perlu membaca karyaku yang akan membuat beliau bersedih. 

Bicara soal dark, sebenarnya banyak kisah sejati di majalah-majalah yang hampir sama atau bahkan lebih menyedihkan dari apa yang kualami. Walaupun kisah hidup mereka menciptakan kepiluan dalam diri pembacanya, mereka tetap menulis dan menerbitkannya. Bahkan di era digital ini bukan hanya berupa cerita tertulis, tapi juga podcast dan rekaman video seputar musibah yang dialami oleh banyak orang. Oleh karena itu, sepertinya aku akan tetap melanjutkan rencanaku ini menulis buku tentang insiden kelinci tersebut. 

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...