Showing posts with label flashback. Show all posts
Showing posts with label flashback. Show all posts

Friday, December 27, 2024

Ketika Nobita dan Teman-Temannya Menangis Bersama: Refleksi tentang Perpisahan dan Hewan Peliharaan

Catatan Jumat, 27 Desember 2024

Baru-baru ini, aku menonton Doraemon: Nobita and The Birth of Japan versi remake tahun 2016. Salah satu adegan paling emosional adalah ketika Nobita dan teman-temannya menangis bersama karena harus berpisah dengan tiga hewan fantasi peliharaan: pegasus, naga, dan griffin. Meski aku belum menonton versi aslinya dari film ini, yang dirilis pada tahun 1989, menurut sebuah situs web yang kubaca, adegan perpisahan ini dibuat lebih emosional dalam versi remake-nya. Hewan-hewan tersebut tidak mati, melainkan dibawa ke masa depan yang lebih cocok untuk mereka. Namun, momen perpisahan itu tetap terasa sangat mendalam, tidak hanya bagi Nobita tetapi juga bagi penonton.

Adegan ini membawaku kembali ke masa pra-remajaku, ketika aku kehilangan kelinci peliharaan yang sangat kusayangi. Ketika kelinci itu dikabarkan mati, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Kelinci itu bukan sekadar binatang bagiku. Rasa sedih ini bahkan terasa hampir sama kuatnya dengan saat adikku wafat, yang pada waktu itu belum dua tahun berlalu. Namun, berbeda dengan respons Nobita dan teman-temannya dalam film tadi, orang-orang di rumahku tidak menunjukkan kesedihan yang sama. Dari sana, aku mulai menyadari bahwa ada perbedaan penting antara anggota keluarga sungguhan dan hewan peliharaan yang dianggap bagaikan anggota keluarga.

Jika Nobita sendirian yang menangis sedih, mungkin aku tidak akan terlalu merenungi adegan ini. Wajar jika dia yang paling terpukul, karena hanya dia yang memelihara ketiga hewan fantasi tersebut sejak mereka lahir. Namun, yang membuat adegan ini begitu menarik adalah bagaimana teman-temannya—yang tidak ikut memelihara—dapat menyerap kesedihan dari Nobita. Mereka menangis bersama-sama, merasakan emosi yang dialami Nobita, meskipun mereka tidak memiliki ikatan langsung dengan hewan-hewan tersebut. Aku pernah berharap orang-orang di sekitarku akan bersikap sama seperti adegan ini. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan dugaanku. Alih-alih berbagi kesedihan, mereka tetap tidak terpengaruh. Hal ini justru membuatku penasaran: mengapa empati semacam itu tidak terjadi di dunia nyata?

Pada saat itu, usiaku yang hampir sebelas tahun pada 2008 lalu mencoba mencari sendiri apa perbedaan besar antara manusia dan hewan. Penalaranku tentu masih terbatas, sehingga aku bertanya kepada Papah mengapa orang-orang di sekitarku memperlakukan manusia dan hewan secara berbeda. Namun, responsnya tidak seperti yang kuharapkan. Papah mengira aku menyamakan kedudukan manusia dan hewan. Aku sangat kaget ketika beliau bereaksi dengan marah, hingga "soak," kalau kata orang Sunda. Butuh waktu yang sangat lama bagiku untuk memahami di mana letak kesalahanku dengan bertanya seperti itu. Bahkan hingga kini, pemahamanku kadang berubah-ubah: terkadang aku merasa bersalah, tetapi di saat lain aku tidak bisa menemukan di mana letak kesalahannya.

Film ini juga membuatku berpikir tentang bagaimana hewan sering kali dihayati seperti manusia dalam berbagai cerita, baik di Doraemon maupun karya fiksi lainnya. Pegasus, naga, dan griffin dalam film ini bukan sekadar makhluk fantasi; mereka diberi karakteristik yang membuat mereka terasa seperti bagian dari keluarga Nobita. Mungkin inilah sebabnya adegan perpisahan itu begitu kuat secara emosional. Namun, aku juga menyadari bahwa apa yang digambarkan dalam film sering kali berbeda dengan dunia nyata. Tidak semua orang menghayati hewan peliharaan dengan kedalaman yang sama, dan itu tidak berarti mereka tidak peduli.

Film Nobita and The Birth of Japan (2016) mungkin hanyalah cerita animasi, tetapi bagi sebagian orang, termasuk aku, ia menjadi cermin untuk merefleksikan hubungan kita dengan hewan peliharaan dan cara kita menghadapi perpisahan. Adegan perpisahan Nobita dengan tiga hewan peliharaannya selalu mengingatkanku pada pertanyaan yang pernah muncul: apakah salah menghayati hewan sebesar kita menghayati saudara kita? Mungkin jawabannya tidak sederhana. Yang jelas, film ini menunjukkan bahwa emosi yang kita rasakan terhadap hewan peliharaan—dan kesedihan kita saat harus berpisah—tetap valid dan berharga, apa pun kata orang lain.

Pamanku pernah mengatakan bahwa aku sudah terlalu terobsesi dengan insiden kelinci itu. Mungkin ada benarnya, karena kenangan itu selalu muncul kembali setiap kali aku menyaksikan perpisahan dengan hewan peliharaan, seperti dalam adegan Doraemon: Nobita and The Birth of Japan. Aku tidak bisa begitu saja melupakan insiden tersebut. Rasanya seperti luka lama yang terus terasa nyeri, meskipun waktu telah berlalu. Namun, aku juga berpikir bahwa mungkin ini bukan soal obsesi, melainkan cara pikirku yang mencoba mencari makna dan alasan dari peristiwa yang pernah terjadi.

Saturday, December 7, 2024

Ketakutan yang Tidak Wajar Karena Pengalaman dengan Perundungan

Catatan Sabtu, 7 Desember 2024

Ketakutan yang Tak Wajar: Dampak Perundungan dan Kesalahanku

Bullying sering kali meninggalkan bekas yang mendalam, baik bagi korban maupun—kadang tanpa sadar—pelakunya sendiri. Dalam cerita ini, aku ingin berbagi pengalaman pribadiku menghadapi seorang teman sekelas yang aku beri inisial "R." Namun, aku juga ingin bersikap adil dengan mengakui bahwa ada masa di mana aku pun tidak sepenuhnya tanpa salah. Bekas dari bullying itu sendiri, terkadang menimbulkan ketakutan yang irasional hingga paranoid!

Awal Mula Perundungan oleh R

Saat kelas lima SD, aku harus menghadapi seorang teman sekelas, R, yang tak henti-hentinya merundungku. Awalnya, R hanyalah anak laki-laki biasa yang mulai bersamaku di kelas empat. Perundungannya dimulai ketika dia mengejek gambarku dengan menulis "Danny Bajret," sebuah penghinaan terhadap karakter favoritku, Danny Phantom. Aku tidak terlalu sakit hati saat itu karena yang dihina hanyalah tokoh kartun (dalam bahasa Sunda, bajret itu artinya "kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi"). Namun, situasinya berubah ketika dia mulai mengejek karya-karyaku secara langsung, dengan kalimat seperti "Ah, naon!" atau "Euleuh!" setiap kali melihat hasil gambaranku.

Awalnya, aku hanya menganggapnya sekadar teman iseng. Tapi ternyata, dia menyimpan dendam yang tak kusangka.

Eskalasi Perilaku R

Semua dimulai ketika aku sering menggambar di buku corat-coretku. R yang sekelas lagi denganku di kelas lima dan teman-temannya suka melihat buku itu dan terkadang memberikan komentar. Salah satu karakter yang sering aku ejek di buku itu adalah Cosmo, tokoh kartun dari The Fairly OddParents. Aku menuliskan hal-hal seperti "Cosmo itu gila dan bodoh," karena penasaran bagaimana rasanya mengejek tokoh kartun—terinspirasi dari ejekan R terhadap karakter favoritku, Danny Phantom.

Namun, ejekan itu malah menjadi bahan baru untuk R mengolok-olokku. Bersama teman-temannya, dia membela Cosmo, bahkan berkata, "Cosmo itu cakep, nggak jelek!" Aku hanya diam, bingung kenapa selera kami begitu berbeda. 

Aku sadar bahwa tulisan-tulisanku cukup kasar, bahkan mungkin berlebihan. Sampai akhirnya buku corat-coretku disita oleh wali kelas karena dianggap tidak pantas. Awalnya aku kecewa kehilangan tempat untuk menuangkan ide menggambar, tapi aku juga merasa lega karena setelah itu aku berhenti menuliskan ejekan untuk Cosmo.

Sayangnya, meski aku sudah berhenti, konflik dengan R tidak ikut berhenti! R sering menyerang saat aku tidak berada di tempat. Dia mencoret-coret gambarku dengan tanda X dan tulisan "digambar gila dengan tangan gila."

Aku mulai bertanya-tanya, apa salahku? Mengapa dia begitu marah terhadap sesuatu yang bahkan tidak menyangkut dirinya?

Pengaturan tempat duduk di kelas yang sering mendekatkanku dengannya semakin memperparah situasi. Setiap kali dia membaca bukuku, dia selalu punya sesuatu untuk dihina. Bahkan kekuranganku dalam matematika menjadi bahan ejekan. Aku mulai kehilangan rasa percaya diri, terutama dalam menggambar, hal yang dulu sangat aku sukai.

Insiden Sobekan Kertas

Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika aku menulis tebak-tebakan sederhana di kertas matematika sambil menunjuk gambar Cosmo: "Apa bedanya HP dan monyet? Kalau HP itu Nokia, kalau monyet itu nukieu (bahasa Sunda, artinya 'yang begini')." Saat aku meninggalkan meja untuk mengumpulkan tugas, kertas itu sudah berubah menjadi sobekan kecil yang hampir tak terlihat ketika aku kembali. Puncaknya, sebuah kertas tebak-tebakan yang tadinya adalah kotretan matematika yang kubuat disobek menjadi bagian kecil-kecil, diduga oleh R. Aku tidak berani menuduhnya, hanya diam dalam kecewa dan bingung.

Di sebelahku, R sedang menyentil sobekan-sobekan itu sambil bermuka masam. Meskipun aku tidak pernah yakin 100% bahwa dia pelakunya, sikap dan tingkah lakunya membuatku curiga. Dalam hati aku berpikir, "Kalau benar dia pelakunya, masa sih dia bisa semarah itu tentang ejekan untuk Cosmo? Memangnya dia itu Cosmo? 'Kan bukan!"

Ketakutan yang Muncul Mulai Irasional

Ketakutan ini akhirnya merambat ke hal-hal di luar sekolah. Ketika keluargaku liburan ke Apita Waterboom Cirebon pada tahun baru 2009, aku sampai mencurigai seorang anak laki-laki bercelana renang merah marun sebagai R. Padahal peluang untuk bertemu R di Cirebon sangat kecil, karena kami adalah orang Bandung. 

Untungnya, Papah menenangkan dengan logika sederhana, "Peluangnya kecil sekali bertemu R di Apita. Anak itu mungkin orang Cirebon biasa." Kata-kata Papah sedikit melegakan, meskipun rasa parno tetap ada.

Ketakutan ini muncul karena sikap R yang tidak pernah berhenti. Bahkan setelah aku berhenti mengejek Cosmo, karakter kartun dari The Fairly OddParents, yang dulu menjadi bahan olok-olokanku, R terus mengejekku. Ironisnya, dia dulu yang pertama kali menghina Danny Phantom, tapi aku yang akhirnya menanggung semua konsekuensi. Aku merasa tidak adil.

Aku mulai merasa seperti aku selalu diawasi, bahkan ketika aku jauh dari sekolah.

Dampak Perundungan Jangka Panjang

Pengalaman ini membuatku berhenti mengejek karakter fiksi apapun, karena aku tidak ingin ada hal kecil yang memancing dendam orang lain. Namun, meski aku mencoba memperbaiki diri, R tidak berhenti merundung. Ketidakadilan itu membekas hingga hari ini.

Setelah liburan keluarga ke Apita Waterboom, aku kembali ke sekolah dengan harapan bahwa segalanya akan menjadi lebih baik. Namun, harapanku pupus ketika R masih saja mengungkit masa lalu, khususnya kebiasaanku yang dulu sering menulis ejekan untuk Cosmo.

"Hanna nulisnya suka pake bahasa kasar," katanya dengan santai kepada salah satu teman lelakinya.

Aku terdiam mendengar perkataannya, meskipun hatiku terasa perih. "Kenapa dia masih mengungkit hal itu? Aku sudah lama berhenti menulis hal-hal seperti itu," pikirku. Bukannya merasa lega karena aku telah berubah, dia malah menjadikan masa laluku sebagai bahan pembicaraan dengan teman-temannya.

Rasanya tidak adil. Aku sudah berusaha mengoreksi diri, berhenti melakukan hal yang membuatnya marah atau terganggu, tapi dia tetap saja mempermasalahkannya. Ini seperti dia ingin mencari-cari kesalahan untuk terus merundungku, meskipun alasannya sudah usang.

Aku ingin melupakan semua yang terjadi di kelas lima itu, tapi sikapnya terus menghantuiku, seolah-olah perubahan yang kulakukan tidak ada artinya.

Pelajaran dari Pengalaman Ini

Melalui tulisan ini, aku menyadari bahwa ketakutan dan rasa tidak adil yang aku rasakan dulu bukanlah sesuatu yang harus kupendam sendiri. Pengalaman ini telah mengajarkanku untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain, sekaligus memahami pentingnya bersikap tegas saat menghadapi perundungan.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa konflik jarang terjadi tanpa alasan. Aku mengakui bahwa ejekanku terhadap Cosmo mungkin menjadi pemicu awal konflik dengan R. Namun, aku merasa bahwa tindakannya—merundung dan terus mengejek meskipun aku sudah berhenti—juga tidak adil.

Pengalaman ini mengajarkan aku untuk lebih berhati-hati dalam berbicara dan menulis, bahkan terhadap sesuatu yang terlihat sepele seperti karakter kartun. Namun, aku juga belajar pentingnya berbicara kepada orang dewasa jika merasa dirundung, karena perundungan bisa meninggalkan bekas yang mendalam, seperti rasa paranoid yang aku alami saat itu.

Kesimpulan

R yang dulu membuatku paranoid mungkin tidak menyadari dampak perbuatannya, dan aku sendiri juga belajar dari kesalahanku. Meski sulit, aku berusaha memaafkan baik diriku sendiri maupun R, karena pengalaman ini adalah bagian dari perjalanan hidupku yang membantu membentuk siapa aku hari ini.

Bagaimana denganmu? Pernahkah kamu menghadapi pengalaman serupa, terutama jika kamu pernah mengalami perang fandom dengan teman sekelas?


Wednesday, January 10, 2024

Insiden Kelinci Bukan Disebabkan oleh Autisme!

Catatan 10 Januari 2024

Ketika kecil, aku pernah dicurigai mengidap autisme. Namun, perjalanan panjang bersama psikolog dan psikiater akhirnya menjelaskan kebenaran yang lebih kompleks.

"An autistic person may have difficulty in communication; both the physical act and the meta-knowledge of the purpose of communication. People with more severe autism often have highly restricted vocabularies and subjects they are able to communicate about. They will typically not ask questions or initiate communication with others. A person with autism may develop an interest in a narrow range of subjects, and limit their communication almost exclusively to these things."


Pengalamanku Dicurigai Autis

Ketika kecil, aku dulunya dianggap pengidap autisme karena sering menunjukkan tindak-tanduk yang aneh dan tidak umum seperti memerhatikan sesuatu selama berjam-jam, misalnya mainan. Lalu masuk SD inklusi pada tahun 2004, aku mulai mengenal anak-anak yang tulen menderita autisme. Ternyata dari segi perilakunya, mereka sangat berbeda denganku sehingga tidak perlu pihak sekolah menyediakan guru pendamping (shadow teacher atau co-teacher) untukku. Akan tetapi, dengan obsesiku akan Danny Phantom ketika usiaku menginjak dua digit alias pra-remaja pada tahun 2008, aku jadi semakin dicurigai sebagai seorang anak autis karena aku begitu terpaku dengannya.

Aku sering bertanya mengenai my mental health, apakah iya aku anak autis atau bukan? Kata Mamah, penderita autisme secara umum tidak akan mempertanyakan hal seperti itu tentang dirinya. Bahkan menurut kutipan artikel di atas, penderita versi terparah dari autisme tidak akan bertanya apapun sama sekali atau hanya berbicara beberapa patah kata saja. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi.

Sementara anak dengan spektrum autisme yang lebih ringan biasanya terus menerus membahas mengenai topik kesukaannya kepada orang lain dan tidak ada inisiatif sendiri untuk bertanya kepada orang lain. Mereka tidak merasa perlu tahu hal-hal yang di luar minatnya, jadi mereka tidak akan bertanya apapun. Lalu, mereka tidak peduli dengan apa yang menjadi ketidaktahuan mereka. Jika mereka dimisalkan dengan aku, ibaratnya aku hanya ingin tahu tentang Danny Phantom atau apapun yang menjadi minatku saat itu, dan tidak akan penasaran dengan sikapnya orang-orang di sekitarku.

Mengapa Aku Bukan Anak Autis

Walaupun ciri khas autisme pada kalimat terakhir paragraf di atas juga timbul di dalam diriku (terus-menerus membicarakan tentang apa yang kusukai), ternyata tetap ada perbedaan yang jelas antara aku dan mereka. Penderita autisme seperti itu tidak akan pernah bertanya duluan kepada orang lain, mereka akan berbicara secara satu arah. Ini jelas adalah sebuah kontras dengan Insiden Kelinci! Meskipun terdengar sebodoh apapun kalimat yang kuucapkan waktu itu, insiden tersebut terjadi justru karena aku bertanya kepada Papah yang ternyata pertanyaannya menyinggung perasaan beliau dan itu tidak lazim untuk ditanyakan. 

Meskipun kontennya sepintas terdengar absurd dan tidak menggunakan logika, kalimat yang kuucapkan berupa kalimat tanya. Dulunya aku curiga kalimat tanya tersebut terlontar begitu saja dari mulutku karena aku ini adalah salah seorang penderita autisme. Kini, kecurigaan itu terpatahkan sudah karena anak autis tidak ada inisiatif apapun untuk mencari tahu akan suatu hal dengan bertanya kepada orang lain! Hasil pemeriksaan psikolog dan psikiater juga telah mementahkan asumsi orang-orang atas diriku. 


Peran Insiden Kelinci dalam Kesehatan Mentalku

Penderita autisme biasanya tidak peka akan sekelilingnya. Menurut salah satu dari tiga psikolog tempatku terapi, penderita kelainan mental seperti itu malahan tidak akan merespon apabila dikejutkan. Insiden kelinci terjadi karena aku noticed sikap orang banyak itu berbeda denganku dalam menanggapi kabar dari Eyang Putri (yang menurutku adalah kabar duka). Jika aku mempertanyakan sikap orang-orang, itu artinya aku memerhatikan sesuatu yang terjadi di antara kami.

"Anak autis itu gak akan ngeh jika sikapnya mereka itu tidak wajar atau jika mereka tidak memahami banyak hal, mereka tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya. Sedangkan kamu masih bisa peka sama orang lain," jelas Mamah ketika aku masih SD dulu. 

Seperti yang tadi sudah disebutkan, anak autis itu tidak ada rasa ingin tahu tinggi terhadap perilaku manusia lainnya. Satu pertanyaan yang diajukan olehku di usia pra-remaja kepada Papah itu, timbul karena keingintahuanku tentang bagaimana orang-orang di sekeliling bersikap. Ketika aku hanya sendirian yang menangis sedih karena kehilangan kelinci, aku pada saat itu penasaran mengapa aku hanya sendirian yang menangis. Keluargaku di rumah hanya berduka untuk kehilangan anggota keluarga saja dan tidak sepertiku yang juga merasa kehilangan untuk hewan peliharaan, hal itu membuatku berpikir bahwa "manusia dan hewan itu pasti memiliki setidaknya satu perbedaan yang mendasar". 

Umurku yang pada September 2008 itu akan menginjak sebelas tahun bulan berikutnya, masih belum dapat menemukan sendiri apa yang sebenarnya membedakan antara dua makhluk hidup itu. Walaupun, keduanya memiliki akhir kehidupan yang sama. Aku ingin mendapatkan jawaban dari Papah yang lebih pasti mengenai hal itu. Kemampuanku untuk memilih diksi dan merangkai kata yang saat itu masih jauh dari kata mahir menjadikan kalimat pertanyaannya salah yang keluar, jawaban yang kunantikan itu pun tidak kudapatkan dari ayahku.

Akibatnya, aku disangka sebagai anak dengan autisme karena disangka kesulitan untuk peka dan berempati dengan musibah kehilangan yang dialami keluargaku hampir dua tahun sebelumnya (pada tahun 2006). Kesedihan yang tadinya karena kematian kelinci, berubah menjadi kesedihan yang disebabkan oleh asumsi dari keluargaku sendiri. Mengapa bisa jadi timbul kesimpulan di benak mereka bahwa aku tidak dapat merasakan sakit akibat wafatnya adikku sendiri? Justru karena pernah terluka dengan kehilangan yang besar sebelumnya, maka kehilangan yang lebih kecil juga terasa hati bagiku. 

Saat adikku wafat, aku menangis dengan cara yang sama—air mataku mengalir tanpa henti, dan dadaku terasa sesak. Perasaan itu kembali hadir saat kelinciku mati, meskipun skalanya berbeda. Namun, luka lama membuat rasa kehilangan yang lebih kecil tetap terasa perih bagiku. Bagi orang lain, mungkin kehilangan hewan peliharaan hanyalah hal kecil. Namun bagiku, luka kehilangan yang pernah kualami membuat setiap perpisahan terasa lebih berat. Aku tidak hanya menangisi kelinci itu, tetapi juga kenangan yang seolah kembali membuka luka lamaku.

Ketika adikku wafat, semua orang menangis bersamaku. Tangisku dianggap wajar, bahkan sebagai bentuk kasih sayangku. Tapi saat kelinciku mati, tangisku dipandang aneh, seolah-olah aku tidak mengerti apa itu kehilangan yang sebenarnya. Padahal, bagiku, rasa kehilangan itu sama nyata.

Hubungan Gangguan Kecemasan dan Autisme

Kejanggalan pemikiranku sudah clear bahwa bukan disebabkan oleh faktor autisme. Sempat psikolog di kampusku menduga bahwa aku pengidap ADHD, tetapi psikiater tidak mengatakan hal yang sama. Beliau mendiagnosa aku mengidap anxiety atau kecemasan, yang dapat berujung pada depresi. Gejala-gejala mirip autisme yang muncul pada diriku sebenarnya mungkin lebih tepat jika disebut sebagai gejala salah satu gangguan kecemasan.

Apakah Insiden Kelinci yang terjadi ada kaitannya dengan anxietas? Aku hanya berharap akan mendapatkan jawabannya dari sesi terapi selanjutnya dengan psikolog di kampusku. Pastinya insiden pada tanggal 1 Ramadhan 1429 sebenarnya sudah dipicu sekitar satu atau dua bulan sebelumnya. Setelah adikku wafat, keluargaku berkunjung ke rumah Wa Aden(abang Papah) di Cirebon, lalu satu tahun setengah kemudian kami mengunjungi rumah yang sama untuk mengadakan khitanan bersama.

Kelinci itu diberikan oleh keluarga tersebut ketika mereka gantian mengunjungi keluargaku di Bandung. 

Sebenarnya hal yang membuatku teringat kembali memori kelam adikku itu bukanlah kematian kelincinya, tetapi semua hal tentang keluarga abangnya Papah(?)

Menangis karena kehilangan, baik besar maupun kecil, adalah tanda bahwa aku mampu merasakan kasih sayang dan keterikatan. Justru pengalaman kehilangan adikku yang membuatku lebih peka terhadap rasa duka, bukan kurangnya empati seperti yang diasumsikan keluargaku.

Friday, January 5, 2024

Support System dari Diri Kita Sendiri

Catatan 5 Januari 2024

Tahun sudah berganti, tetapi Insiden Kelinci masih juga bercokol di dalam hati. Kesekian kalinya sudah kukatakan, aku bukannya sakit hati atau dendam. Rupanya ini adalah kasus khusus di mana ini adalah sebuah kesedihan yang tidak cukup dihapus hanya dengan melakukan hiburan-hiburan kecil atau bahkan juga yang besar. Aku membutuhkan penanganan khusus supaya bisa melupakan kesedihan ini, yaitu curhat sama orang yang tepat!

Ingat deh ketika usiaku masih sebelas tahun pada tahun 2008, aku pernah menyadari bahwa teman curhat itu sangat penting untuk mengatasi kesedihan. Saat itu, Insiden Kelinci sudah berlalu agak lama, kurleb dua bulanan. Kusadari bahwa sudah terlalu lama untuk merasakan sedih atas insiden itu dan hal yang paling membuatku sedih bukanlah kematian sang kelinci piaraan. Butuh sekali aku untuk curhat, sayangnya belum tahu kepada siapa karena insiden ini menyangkut adikku yang khawatirnya mereka akan juga tersinggung seperti Papah ketika aku mencoba untuk curhat mengenai hal ini kepadanya.


Mengenang Support System Terdahulu

Di saat dulu itu aku sedang bingung akan curhat kepada siapa, aku teringat seorang saudara di keluarga besar Eyang Putri. Mundur sekitar tiga tahun sebelum insiden itu, Eyang Putri pernah memiliki seorang adik perempuan yang biasa menemaniku ketika di rumah. Berarti beliau adalah tantenya Mamah, sang "eyang dari pinggir" ini mengisi kelas Kursus menjahit yang diselenggarakan di garasi rumah tempatku tinggal alias rumahnya Eyang Putri. Aku biasa curhat banyak hal kepada beliau, sayangnya takdir memaksaku dan juga seluruh keluarga besarku, untuk berpisah dengan beliau pada pertengahan tahun 2005 ketika aku baru naik ke kelas 2 SD (beliau bahkan tidak sempat mengasuh almarhum adikku yang tengah).

Setelah tantenya Mamah itu wafat karena sakit, nyaris tidak ada lagi orang yang dapat kuajak curhat untuk mengatasi kesedihanku. Tidak ada pula orang lainnya di sekitar yang dapat menggantikan beliau terkait kedekatannya denganku. Dari sisi kelas kursus menjahit itu, untungnya masih memiliki pengajar yang lainnya sehingga orang-orang yang ingin belajar menjahit dengan kami tidak kesulitan. Ketika sedang sedih-sedihnya akibat miskomunikasi dengan Papah dalam Insiden Kelinci itu, aku dilanda kebingungan harus curhat kepada siapa lagi karena dulunya terlalu malu.

Dahulunya, aku hanya mengobrol dengan tantenya Mamah itu seputar topik-topik ringan seperti tokoh-tokoh komik manga Sailor Moon. Kalaupun aku saat itu sedang ada masalah dan butuh curhat dengan beliau, palingan karena berantem dengan adikku yang besar. Usiaku masih tujuh tahun setengah saat "eyang dari pinggir" wafat, sehingga belum pernah kami melakukan deep talk. Begitu usiaku sudah melebihi sepuluh tahun dan pengalaman yang cukup pelik ini terjadi, barulah aku merasakan kehilangan yang teramat sangat. 

Pentingnya Teman Curhat

Ketika usiaku sudah mencapai remaja hingga dewasa awal, barulah aku berani untuk membuka diriku berbagi kisah Insiden Kelinci ini dengan banyak orang. Jika di dunia nyata insiden tersebut masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan akal sehat, ternyata ada pula para netizen yang memiliki kisah hidup serupa mengenai hewan peliharaan. Pertemuanku dengan para peserta terapi crafting tiga tahun yang lalu, terutama dengan Mbak Icha dan Mas Daniel, benar-benar banyak membantuku mencapai mental health yang lebih baik. Tujuanku curhat mengenai insiden ini supaya orang lain memahami bahwa niatku itu tidak buruk ketika membandingkan reaksi orang lain antara dua peristiwa kematiannya makhluk hidup yang berbeda.

Walaupun, ternyata terdapat kesalahanku dalam merangkai kata untuk membuat kalimat tanya. Sehinggalah pertanyaan yang kuajukan malah menyinggung hatinya Papah tanpa kusengaja, sama sekali.

Pelajaran Tentang Support System

Pengalaman ini mengajarkanku, support system haruslah berasal dari diriku sendiri. Terkadang kita membutuhkan seseorang, tapi ternyata dia tidak selalu ada untuk kita. Arti dari "tidak ada" ini, bukan selalu karena orang yang kita butuhkan tidak mau men-support kita. Bisa jadi juga artinya orang yang selama ini memberikan dukungan untuk kita, ternyata takdir mengharuskannya berpisah dengan kita.

Kita sendirilah yang harus men-support diri sendiri agar kesempatan untuk mengatasi masalah, menjadi lebih besar. Setelah terbentuknya support system oleh diri kita sendiri, kita akan dapat lebih baik dalam mencari seorang teman curhat.


Pernahkah Anda merasakan kehilangan serupa? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Saturday, December 30, 2023

Kenangan dan Kehilangan: Memahami Akar Sejati di Balik Insiden Kelinci 👩❤

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku jaman SMA mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat perasaan kehilangan akan wafatnya adikku yang tengah, 17 tahun yang lalu dan juga insiden kelinci pada 15 tahun yang lalu. 

Kenangan yang Terlupakan: Waktu yang Memudar

Ditambah dengan sebuah quote dari Boy Candra dari akun twitternya @dsuperboy yang dengan tepat menggambarkan kesedihanku yang sulit untuk dipadamkan ini. Bahkan, sebuah kenangan keluarga saja ternyata tanpa sadar membuat aku teringatkan kembali ke perasaan kehilangan itu. Aku mencoba untuk menggali lebih dalam tentang apa yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang mengubah banyak hal dalam hidupku sejak usia pra-remaja.


Tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang terjadi ketika aku kelas limaKalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci peliharaan itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa tahun itu. Kejadian ini membuatku semakin kuat keingintahuan akan hubungan manusia dan hewan. 


Pertemuan Keluarga: Awal Mula Kenangan

Kelinci itu diberikan satu minggu sebelum bulan puasa itu oleh abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008, ketika kedua anak lelakinya beliau sudah sembuh dari luka khitan bersamaan dengan adikku yang terbesar. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang sebenarnya membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku yang lahir di antara adikku yang besar dengan yang bungsu itu! 

Tidak mau terkesan tidak mensyukuri peristiwa yang membahagiakan keluarga Papah dan abangnya itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarganya Papah dari Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Tragedi yang Tertimbun: Kunjungan ke Cirebon

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana sambil menginap setelah beberapa hari wafatnya adikku yang tengah, dekat dengan hari Idul Adha tahun 2006. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya abangnya Papah itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 

Saat adikku wafat, aku masih kelas 3 SD.

Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember di tahun yang sama ketika aku sudah kelas empat. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dan kehilangan dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa kelinci itu hanya seekor hewan peliharaan. Satu ekor kelinci lainnya, sudah mati sebelum sahur pertama kami ini, menambahkan kesedihannya.

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Mengingat Adikku: Kelinci yang Mengungkit Kesedihan

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 2x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Pertanyaan Tentang Kehilangan

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

Perbedaan Pandangan: Kehilangan Manusia vs. Hewan

Saat aku menangis sendirian, aku mulai merenung mengapa keluargaku tampak tidak merasakan kesedihan yang sama. Apa yang membuat perasaanku begitu berbeda dalam menghadapi kematian seekor hewan dibandingkan dengan kehilangan manusia? Aku bertanya-tanya apakah ada perbedaan mendalam antara keduanya, dan mengapa aku merasa seperti ini.

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.


Dialog Imajiner dengan Papah: Mencari Pemahaman

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku saat sahur itu adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri dalam hati. 

Kekecewaan yang Mendalam: Perasaan yang Tidak Tersampaikan

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku sudah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu pada kenyataannya malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.

Sunday, December 24, 2023

Ketika Aku yang Kritis Bertemu dengan Pengalaman Traumatis

Catatan 25 Desember 2023

Pada 26 Desember 2004, Tsunami Aceh menjadi salah satu bencana alam terbesar di dunia. Besok adalah tepat satu tahun sebelum dua dekade peristiwa itu. Dua minggu sebelum peringatan dua dekade kurang satu tahun peristiwa tsunami Aceh 2004, aku teringat pengalaman seorang saudara sepupu jauh yang menjadi saksi mata musibah itu (dia adalah anak dari kakaknya istri Paman, adiknya Papah). Dia adalah orang berdarah Aceh dan sedang berada di kampung halamannya ketika bencana itu sedang terjadi. Alhamdulillah, dia selamat dari bencana alam yang menenggelamkan Banda Aceh dan beberapa negara lain di sekitarnya, tetapi ada sebuah kisah "watir" lainnya selepas itu dan kisahnya juga berkaitan dengan kenangan pahit yang telah kualami.
Menurut dari gambar di atas yang diambil dari tweetnya Wikipedia Bahasa Indonesia, Banda Aceh merupakan wilayah yang paling terdampak dari bencana alam tsunami ini dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitar Samudera Hindia yang juga terdampak. Jelas saja jika bencana besar ini memengaruhi kehidupan saudaraku yang sudah agak jauh itu. 

Trauma setelah Tsunami Aceh 2004 merupakan pengalaman yang dialami oleh banyak korban dan penyintas, termasuk saudaraku yang masih berusia delapan tahun saat itu.

Pengalaman Saudaraku Sebagai Penyintas Tsunami Aceh 2004

Trauma sering dialami oleh korban musibah, terutama anak-anak. Saudaraku dari pihak istrinya Paman, yang saat itu berusia delapan tahun, berusaha menghindari gelombang tsunami bersama keluarganya di dalam mobil. Setelah bencana berlalu, ia sering masih merasa takut setiap kali melihat air keran mengalir deras. Ketakutan itu dipicu oleh ingatan tentang bagaimana cepatnya air laut menghancurkan segala sesuatu di jalannya. Untungnya trauma ini tidak sampai membahayakan dirinya atau menimbulkan tingkah laku yang kelewat tidak wajar. 

Tentunya dampak emosional dari bencana alam ini tidak terhindarkan, walaupun tidak ada korban jiwa di keluarganya.

Bagaimana Jika Aku Sendiri yang Mengalami Traumanya?

Dengan merenungi kisah pengalamannya, aku jadi terpikir satu hal : bagaimana jika aku yang berada di posisinya sebagai penyintas trauma akan bencana tsunami. Mengingat sifatku yang kritis, sering bertanya, kemungkinan aku akan keheranan melihat orang-orang bersikap biasa saja ketika air keran itu mengalir deras. Padahal momen seperti itu, jika aku juga mengalami hal yang sama dengan sepupuku yang tadi diceritakan, bisa membuatku merasakan panik dan takut luar biasa yang sama besarnya seperti ketika terjadinya musibah itu. 

Aku bisa saja bertanya, "Mengapa air keran yang deras tidak membuat orang panik, tetapi tsunami membuat semua orang ketakutan?" Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol bagi sebagian besar orang, tetapi bagi penderita trauma, hal kecil yang mengingatkan pada musibah bisa terasa sama besar dan mengancam.

Pertanyaan seperti itu menyiratkan bahwa seorang penderita trauma menyadari sedang terjadi sesuatu pada dirinya, hingga hal kecil yang hanya memiliki sedikit sekali keterkaitan dengan sebuah musibah yang dialami sebelumnya, bisa saja hal yang tampak kecil itu terasa sama besarnya dengan musibah itu sendiri. Saudaraku, yang tidak terlalu memiliki rasa ingin tahu berlebihan, beruntung terhindar dari pertanyaan-pertanyaan aneh seperti itu. Namun, situasi yang berlaku untukku mungkin berbeda.

Kaitan dengan Insiden Kelinci yang Kualami Hanya Sendirian

Sebaliknya untuk kasus diriku, aku merasa heran ketika keluarga besarku di rumah tidak seperti diriku yang sangat hati akan matinya seekor kelinci. Saat mendengar kabar kelinciku mati, ingatanku langsung kembali ke saat adikku wafat kurang dari dua tahun sebelumnya. Mungkin, aku juga mengalami trauma pada saat itu.

Mirip dengan saudara sepupuku, yang sempat merasa ketakutan luar biasa setiap melihat air keran mengalir deras karena teringat gelombang air laut yang menghancurkan segala yang dilewati, aku juga merasakan dukacita yang jauh lebih dalam dibandingkan orang di sekitar ketika peliharaanku mati. Hal ini terjadi karena ingatanku masih dibayangi oleh peristiwa kehilangan yang jauh lebih besar sebelumnya.

Diriku di usia pra-remaja merasa heran ketika keluarga besarku tidak terlalu mempedulikan kematian kelinci itu seperti saya. Otakku otomatis memutar kembali memori kehilangan adik almarhum, membuatku berpikir lebih dalam daripada orang-orang di sekitar.

Saat itu, aku yang saat itu masih berusia sebelas tahun kurang sebulan bertanya kepada Papah, "Mengapa ketika kelinciku mati, semua orang biasa saja, tetapi mereka hanya bersedih karena adikku wafat?" Sayangnya, Papah menyangka aku sebagai kakak dari almarhum adikku, menyamakan kedudukan anggota keluarga dengan hewan peliharaan. Padahal, yang aku maksud hanyalah kadar kedukaan di hatiku yang sama, bukan berarti adik kandungku sendiri, seorang manusia, menjadi less worthy daripada hewan piaraan.


Walaupun aku hanya sendirian yang berdukacita atas kematiannya kelinciku, perasaan ini valid. Seaneh apapun perasaan ini karena memberikan feel yang sama untuk kehilangan anggota keluarga sungguhan dan hewan, tetap valid. Apapun perasaan yang datang dalam diri kita, janganlah oleh kita sendiri dihakimi karena itu valid. Penghayatan hewan peliharaanku itu valid karena pernah mengalami kehilangan yang besar dan dampaknya juga besar.


Pelajaran dari Insiden Kelinci dan PTSD

Bukan hanya sepupu jauhku tadi saja yang merasakan sakitnya trauma akibat sebuah bencana besar dalam hidupnya, aku sendiri juga mengalami trauma itu, meski musibahnya yang kami alami berbeda. 

Menurut teman-temanku di pelatihan crafting (membuat buket bunga) tiga tahun yang lalu pada 2020, mereka juga mengalami peristiwa yang traumatis seperti insiden kelinci itu hanya saja berbeda pertanyaannya yang mereka ajukan denganku. Awalnya aku ragu-ragu, apakah iya ada orang di luar diriku yang melontarkan pertanyaan seabsurd itu meskipun tidak sama persis? Mbak Icha, salah satu dari temanku adalah seorang penyintas PTSD, dia tidak heran dengan kisah masa laluku dan malah memaklumi pertanyaan yang kuajukan pada insiden kelinci tersebut. Bisa jadi dia pun pernah mempertanyakan ketika hanya dirinya yang menyikapi suatu kejadian kecil secara jauh lebih dalam daripada bagi orang-orang di sekitarnya. 

PTSD sering kali muncul setelah peristiwa traumatis seperti tsunami atau kehilangan orang tersayang, seperti yang kualami ketika meninggalnya adikku. Akan tetapi, karena belum ada diagnosis dari psikolog, aku tidak berani untuk menyebut diri sendiri sebagai penderita PTSD.

Refleksi dan Pertanyaan

Aku ingat bertanya kepada diri sendiri: Apakah perasaanku tentang insiden kelinci ini berarti tidak menghargai kehilangan adik kandung sendiri? Apakah ini artinya aku menyamakannya dengan hewan peliharaan? Tentu saja tidak.

Seperti halnya pertanyaan tentang air keran dan tsunami, hal ini bukan tentang tidak menghargai musibah atau kehilangan yang dialami. Pertanyaan seperti itu hanya mencerminkan bagaimana trauma dapat memengaruhi cara kita memproses kejadian kecil yang tampaknya tidak berkaitan.

Penutup

Melalui refleksi ini, aku belajar bahwa setiap orang memproses trauma dengan cara yang berbeda. Ada yang memilih untuk diam, seperti saudara jauhku, dan ada yang bertanya, sepertiku. Keduanya adalah reaksi yang valid dan wajar. Yang penting adalah kita tetap memahami diri sendiri dan tidak memaksakan standar perasaan kepada orang lain.

Thursday, October 26, 2023

Happy Late 4th Anniversary of My Blog!

Catatan 27 Oktober 2023

Kayaknya lagi-lagi telat mau rayain milad empat tahunnya blog pribadi aku! Soalnya blog aku terbentuk itu kan tanggal 26 kemarin. Karena kemarin ada bimbingan skripsi sama dosen, jadi blank mau nulis apa di blog. Tidak apalah, yang penting nggak blank mau nulis apa buat abstrak di skripsinya aku!

Bersyukur banget deh bisa konsisten ngetik di blog pribadi sampai empat tahun sejak 2019! Sebelumnya udah berkali-kali bikin blog pribadi, tapi gak ada yang konsisten aku isi. Entah itu lupa password-nya, dulu masih mondok di asrama jadi jarang ada waktu dan device buat ngetiknya, atau sekadar nggak tau mau diisi apa blog yang dulu. Untung sekarang udah punya hape sendiri di saat udah kuliah dan tahun ini mau lulus. 

Aku juga tiap-tiap kali udah mulai kendor semangatnya ngisi blog, selalu balik lagi itu spirit kalo keingetan blog miliknya Diva atau Kak Mezty Mez. Sekarang ini udah mulai males nulis diary di buku-buku karena punya aplikasi blog di hape. Jadi, tiap kali keingetan segala hal yang berkaitan dengan misalnya Insiden Kelinci bisa jadi bahan update di blog. Meskipun topiknya cenderung itu-itu melulu, setidaknya blog aku bisa jalan terus hingga empat tahun! 

Friday, October 20, 2023

Lebih Paham dengan Deep Talk daripada Dibentak

Catatan 20 Oktober 2023

Insiden Kelinci: Memahami Kesalahan dan Belajar dari Perspektif Orang Tua

Menfess tentang 'lebih paham dengan deep talk daripada dibentak' benar-benar terasa relatable untukku. Dua bulan setelah Insiden Kelinci, aku akhirnya berkesempatan melakukan deep talk dengan Papah mengenai kejadian itu. Saat insiden terjadi, aku hanya bisa kebingungan, bertanya-tanya: di mana letak kesalahanku? Namun, melalui obrolan dari hati ke hati, meskipun sempat terkejut dengan interpretasi beliau atas pertanyaanku, aku akhirnya mulai memahami mengapa kata-kataku membuatnya tersinggung.

Biasanya, kalau aku dimarahi orang tua, aku langsung tahu di mana letak kesalahanku. Tapi Insiden Kelinci berbeda. Hal ini terasa sangat memorable karena pada saat itu aku tidak langsung paham apa yang salah. Butuh dua bulan untuk mulai mengerti apa yang membuat Papah almarhum tersinggung. Ternyata, pertanyaan yang aku ajukan pada hari pertama Ramadan itu menyentuh hal yang sangat sensitif baginya.

Saking besarnya pengaruh dari pengalamanku itu, diduga kuat pengalaman ini sudah menjadi core memory untukku.

Mengapa Aku Bertanya Hal Itu?

Pertanyaanku saat itu sebenarnya lahir dari kebingungan dan rasa kehilangan yang besar. Ketika kelinciku dikabarkan mati, otakku secara otomatis memutar ulang memori tentang wafatnya adikku. Itu terjadi begitu mendadak. Alhasil, aku merasakan kesedihan yang sama dalamnya dengan ketika kami kehilangan anggota keluarga.

Namun, yang membingungkanku adalah sikap orang-orang di sekitarku. Mereka tidak terlihat sedih atas kehilangan kelinci itu seperti aku. Rasanya, kesedihanku dianggap berlebihan, sementara bagiku, rasa kehilangan ini nyata dan tak bisa dielakkan.

Momen itulah yang memicu rasa ingin tahu tinggi: apa yang sebenarnya membedakan antara manusia dan hewan? Papah, yang dikenal dengan wawasannya yang luas, kuharapkan bisa memberikan jawabannya. Ternyata, aku salah merangkai kata saat menyusun pertanyaanku. Akibatnya, beliau salah sangka ketika mendengarnya.

Percakapan yang Mengubah Perspektif

Insiden itu terjadi pada September 2008, tapi baru pada November aku dan Papah punya deep talk yang membuka semuanya. Beliau sempat kaget karena aku masih menangisi kejadian itu, bahkan dua bulan setelahnya. Aku sampai jujur mengakui bahwa aku menangis bukan karena mimpi buruk, tapi karena masih merasa sedih.

Padahal sehari sebelumnya aku baru saja ikut field trip ke Penerbit Mizan dan membeli buku seri KKPK berjudul "Ketika Waktu Berhenti"—hari yang seharusnya menyenangkan. Namun, malam itu semuanya berubah setelah Papah menjelaskan apa yang sebenarnya membuatnya marah.

Dengan nada kesal, beliau berkata, "Orang tua yang kehilangan anaknya karena meninggal pastinya akan sedih jika dibandingkan atau disamakan dengan binatang!"

Aku terkejut. Pertanyaanku tidak dimaksudkan untuk menyamakan manusia dengan hewan. Aku hanya merasa kehilangan kelinci kecilku mengingatkanku pada kehilangan adik kandungku yang lebih besar. Justru karena pernah terluka oleh pengalaman sedih dari kehilangan yang besar, kehilangan yang lebih kecil juga terasa menyakitkan untukku. 

Ketakutan dan Kebingungan

Papah juga mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung, "Nanti di akhirat Teteh disatuin sama kelinci, mau?"

Pernyataan itu membuatku takut. Aku membayangkan hal-hal buruk, seperti tubuhku menjadi hybrid dengan kelinci. Aku menjawab ketakutan, "Nggak, Pah!"

Beliau melanjutkan dengan nada lebih serius, "Naha atuh? Kenapa kamu bertanya begitu waktu itu?"

Aku hanya bisa diam. Dalam pikiranku, pertanyaan itu lahir dari kebingungan: kenapa orang-orang di sekitar tidak memiliki kesedihan yang sama untuk hewan seperti aku?

Belajar Memahami Perspektif Orang Tua

Setelah mendengar penjelasan Papah, aku mulai memahami mengapa beliau marah. Menurutnya, pertanyaanku saat itu bukan pertanyaan kritis, tetapi tidak etis. Aku memang tidak berniat merendahkan manusia atau keluargaku sendiri, tetapi sudut pandangku berbeda.

Papah juga sempat memberikan contoh tentang teman tanteku, "Ada orang tua yang rutin membawa anjing peliharaan mereka ke dokter hewan, tapi anak mereka yang giginya bolong tidak dibawa ke dokter gigi. Itu kan salah!"

Papah khawatir aku menjadi orang seperti itu. Namun, aku tahu dalam hati bahwa aku tidak seperti itu. Sejak kecil, aku selalu menyayangi hewan peliharaan dan manusia dalam porsi yang berbeda, tanpa mengurangi rasa hormat atau cinta pada keduanya.

Refleksi dan Pelajaran

Hingga kini, percakapan itu tetap membekas. Dari pengalaman ini, aku belajar dua hal:

1. Pentingnya memilih waktu dan orang yang tepat untuk bertanya. Tidak semua pertanyaan cocok untuk semua orang, apalagi topik-topik sensitif.


2. Berempati terhadap perspektif orang lain. Kadang, sudut pandangku yang berbeda membuatku sulit memahami orang lain, termasuk kedua orang tuaku.



Seperti yang pernah disampaikan psikologku di sesi terapi pada 2021, aku berpikir dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Karena itu, aku perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan rasa ingin tahu, terutama kepada orang-orang yang aku sayangi.

Bagaimanapun luasnya wawasan Papah, aku belajar bahwa ada hal-hal tertentu yang lebih bijak ditanyakan kepada orang lain. Setiap orang, termasuk beliau, punya batasan dalam hal yang sensitif. Momen ini mengajarkanku bahwa memahami perspektif orang lain tidak hanya tentang apa yang kita tanyakan, tetapi juga tentang kapan, bagaimana, dan kepada siapa pertanyaan itu diajukan.

Wednesday, October 18, 2023

Menyortir Pikiran yang Paling Sering Muncul

Catatan 18 Oktober 2023

Aku sepertinya harus memilah lagi pikiran atau memori mana yang penting dan yang tidak.

"Teteh mah yang penting bisa lupa, yang gak penting inget terus," kata Mamah tadi pagi. 

Kira-kira, apa aja ya hal gak penting yang aku inget terus? Bermula dari aku menemukan sebuah merek biskuit di katalog belanjaan. Merek biskuit itu adalah yang harus dikonsumsi oleh almarhum Papah kata seseorang yang mengobati beliau tapi bukan dokter. Sayangnya, aku baru inget lagi nasihat orang itu pas sebelas tahun setelah wafatnya Papah! 

Aku cukup yakin itu merek biskuit dulu sempat dibeli meskipun aku dulu tidak sempat untuk menyampaikan perkataan "tabib" itu kepada Mamah. Untung itu bukan lupa untuk hal yang krusial. Bukan lupa tentang obat yang wajib diminum oleh Papah dulu. Namun, lupa hal yang penting memang sudah lama jadi kelemahan aku karena saking banyaknya pikiran yang tidak diinginkan berseliweran dalam otakku. 

Apa saja sih memangnya hal-hal yang sering kupikirkan? Sebaiknya didata dulu deh sebelum disortir mana yang penting dan mana yang tidak. Kebanyakan hal yang tidak penting itu malah susah payah ingin kusingkirkan dari ingatanku! Entah mengapa ada saja pikiran atau memori tidak penting yang "membatu".

Membatu ya, bukan membantu. Alias itu memori saking sulitnya dibuang dari pikiran. 

Ini dari 5 (lima) hal yang paling sering mengisi alam pikiranku, diurutkan dari yang paling sering muncul di pikiranku dan ini sama sekali bukan disengaja untuk dipikirkan :

1. Insiden Kelinci, hal yang paling membekas dari insiden tersebut adalah ketika nyaris semua orang mengira aku tidak berempati atas adikku sendiri. Apa tepatnya kata-kata yang Papah katakan ketika marahin aku malahan lupa total, samsek gak bisa inget. 
2. Keinginan untuk tampil seksi sebagai aneka tokoh kartun sebagai usahaku untuk cari jodoh atau minimal pacar. Beneran, waktuku di hape itu pasti sebagian besarnya buat cari outfits di marketplace dan terus cari event cosplay atau studio foto.
3. Memori tarian konyol temen jaman kelas IV ala iklan Tory Cheese Crackers dan memori gambar samurai karya Diva jaman kelas VI.
4. Kekesalan jaman SMP dan SMA, terutama ketika dilarang nulis curhatan di buku dan dilarang punya foto cowok yang bukan pacar aku.
5. Segala hal tentang Heinz Doofenshmirtz dan Mr. Hyunh sebagai bahan inspirasi masing-masing untuk bikin karakter Hans Durchdenwald dan Mr. Wynn.

Oke, setelah merinci semua pikiran yang paling sering timbul, lalu dinilai seberapa pentingnya pikiran-pikiran yang tanpa henti muncul bagaikan video loop sepuluh jam di YouTube!

Pikiran #1 : sudah dibahas di catatanku yang lalu, apakah ini penting atau tidak, aku masih belum tahu pasti. Kejadiannya jelas udah lama pake bangettt karena udah lebih dari 15 tahun yang lalu. Memang ada sih beberapa pelajaran yang bisa kupetik dari insiden kelinci, tapi kayaknya cuma menuhin memori otak aja kalau sampai 24/7 kepikiran selama 15 x 365. Seriusan, ini memori yang paling "batu" dari semuanya! 😓😭😰😦 Catatan aku tentang apakah insiden kelinci ini penting buat aku

Pikiran #2 : ini jelas gak sepenting mikirin tugas akhir atau kelulusan, tapi cukup penting juga karena temen-temen udah pada nikah atau minimal punya doi. Masa mau jomblo terus! Soal penting atau tidaknya, tergantung sudut pandangnya siapa dulu. Bagi Mamah yang anti baju umbar badan ya jelas sampah pikiran ini, bukan lagi gak penting! Tapi bagi aku gimana? Sebagai orang yang udah kehabisan akal buat cari jodoh, ya pikiran ini terpenting nomor tiga setelah tugas akhir dan cari pekerjaan!

Pikiran #3 : oke, kegilaan macam begini udah jelas gak penting banget. Kalau memori karyanya Diva itu kayaknya masih lebih penting dikit karena aku jadi terinspirasi buat bikin "gambar yang gitu" juga biar karyaku nanti di luar zona nyaman. Tapi gak tiap lagi ngelakuin aktivitas kepikiran juga kali buat dua-duanya. Bisa jadi ini lebih gak penting daripada memori insiden kelinci.

Pikiran #4 : penting atau tidaknya itu tergantung cara aku menyikapi memori jaman sekolah dulu yang ngeselin. Kalau hanya ngabisin waktu buat dendam ya memorinya gak penting dan aku harus belajar melupakan. Sebaliknya, kalo termotivasi buat cari prestasi malah jadinya lumayan penting. Salah satu alasan aku terjun jadi cosplayer itu kan biar aku juga punya pacar kayak mereka. 👌👍💪👏

Pikiran #5 : ini juga tergantung sikon! Kalo aku hanya berakhir bersenang-senang gak puguh dengan memori adegan-adegan tertentu dari karakter Heinz Doofenshmirtz dan Mr. Hyunh, ya gak penting. Tapi kalo itu jadi karya, tetep penting. Terhadap hiburan juga jangan hanya bersikap konsumtif, tapi harus tergerak untuk memproduksi karya! 

Monday, October 16, 2023

Gak Boleh Curhat di Buku Gegara Temen Kepo Maksimal

Catatan 17 Oktober 2023

Banyak medsos dan buku psikologi yang bilang untuk mengatasi stres dan overthinking, sebaiknya curhat aja di buku kalo gak bisa cerita sama orang. 📒📓 Tugas surat imajiner dari psikolog aku waktu itu juga tujuannya hampir sama kayak curhat di buku. Psikolog itu nyuruh bikin surat imajiner untuk almarhum Papah dan juga untuk Heinz Doofenshmirtz karena aku bilang udah gak berhasil lagi untuk mengatasi problem emosionalnya aku kalo curhat di buku diary. Ditambah jaman SMP itu beberapa temen ngelarang terus aku buat nulis keluh kesah di buku atau kertas! 

Sebenarnya nggak banyak sih temen jaman SMP itu yang ngelarang aku buat nulis kekesalan aku di buku atau kertas, tapi pelakunya tetep lebih dari satu orang! Paling sedikit itu dua orang pelakunya, dari dua itu ada satu yang paling sering cegah aku buat nulis perasaan sendiri.

"Mungkin karena isi tulisannya Teteh itu dianggap menyerang, kali," tanggap Mamah. 

Kalo mereka merasa tersinggung atau tersindir oleh curhatanku, kenapa malah baca? Mereka yang pengen baca, mereka sendiri yang gak suka! Kecuali kalo tulisannya itu dipajang di mading sekolah, baru masuk akal mereka gak suka. Curhatan di buku ya biar hati ini setidaknya lebih plong dikit-dikit, bukan buat dibaca orang-orang dan maksain pemikiran aku buat mereka. 

Terus, kenapa aku berani buat curhat di blog yang terkoneksi dengan internet? Curhat di blog itu gak segitunya bikin kepo kayak curhatan di buku! Anehnya, meskipun pemirsa blog itu adalah global, malah lebih kecil peluangnya buat dibaca sama mereka-mereka itu. Aku taroh link update blog di status WA, kayaknya hampir gak ada yang baca itu postingan. 

Karena kelakuan mereka yang "kemal" alias "kepo maksimal" itu, aku jadi sempat ragu mau ikutin tugas dari psikolog itu. Padahal mereka yang salah sendiri sukanya baca-baca tulisan pribadi orang lain, mereka sendiri yang gak suka kontennya terus malah aku gak boleh curhat di buku lagi! 

"Itu kan pengalaman kamu SMP! Mereka udah gak ada lagi di sekitar kamu. Supaya tulisannya kamu itu gak dibaca orang lain, surat imajiner itu harus kamu sobek-sobek sampai kecil banget gak kebaca lagi sama siapapun," papar psikolog aku. 

Ketika lagi nulis, emang tulisannya harus dimusnahkan biar gak memicu orang-orang "kemal" itu. Tapi jika dari habis nulis surat imajiner itu dapet insight, kayaknya harus aku share di blog pribadi, bahkan mungkin diterbitkan jadi buku! 

Sunday, October 15, 2023

Boros, Penyakit Aku Sejak Kecil

Catatan 16 Oktober 2023

Sekarang makin mudah buat beli pakaian atau aksesoris untuk cosplay yang bisa sekaligus untuk jalan-jalan! 😎😬 Harganya juga makin banyak yang murah! Tapi meskipun murah-murah, aku harus hati-hati dengan penyakit yang telah menghinggapi diriku sejak lama : pemborosan! Aku pribadi sih gak terlalu percaya dengan ramalan garis tangan, tapi ketika garis tanganku dikatakan sebagai "sifat boros", ini cocok untukku. 

Sejak kelas satu SD bahkan sudah mulai kelihatan sifat yang satu ini! Walaupun berbeda-beda dari waktu ke waktu jenis barang yang biasa kubeli, tetap saja ini menjadi problem aku. Kelas satu SD itu lebih ke boros soal beli buku komik, setidaknya sampai kelas enam. Begitu masuk SMA, ganti deh jadi boros beli jajanan. 

"Teh, jangan beli-beli komik terus, itu pemborosan!" seru Papah almarhum waktu aku kelas satu SD. 

Ketika tadi akan checkout lagi baju-baju di keranjang toko online, aku segera teringat quote dari almarhum Papah tadi. Namun, aku segera inget lagi tiap mo pergi-pergi yang bikin susah itu biasanya karena bingung mo pake baju apa. Kalo udah punya banyak baju kan jadi ada banyak pilihan. Trus, nggak mager lagi deh mau bepergian.

Thursday, October 12, 2023

Satu Lagi Kartun yang Paling Relatable : Lilo and Stitch!

Catatan 13 Oktober 2023

Salah satu kartun yang mewarnai masa kecilku adalah "Lilo and Stitch"! Bahkan saat kartun itu tayang di bioskop, aku nonton lho barengan Mamah dan dua orang kerabat. Dulu nontonnya waktu umur lima tahun, saat itu belum ngerti bener sama jalan ceritanya tapi udah ngeh bahwa memang ada beberapa momen yang menyedihkan dalam film itu. Adegan Lilo (salah satu tokoh utama) dan Nani (kakaknya Lilo) lagi naik ranjang gantung barengan malem-malem, waktu pertama nonton udah kerasa itu adegan yang ada feel sedih walaupun dulu belum ngerti apa konfliknya mereka di adegan tersebut. 😭😢😵😷

Sampai-sampai adegan dua bunga kemboja putih terbang melayang di udara habis mereka berdua berkumpul itu aja rasanya mau nangis liatnya dulu, walaupun waktu kecil dulu belum paham konteksnya adegan itu. 

Dua minggu yang lalu, aku coba-coba baca ulang tentang film Lilo and Stitch itu di internet. Ternyata adegan di ranjang gantung itu emang konteksnya mengharukan, karena Lilo akan dipisahkan dari kakaknya Nani. Setelah ortu mereka meninggal dunia belum terlalu lama, kini kedua kakak-beradik itu harus berpisah. Meninggalnya ortu mereka juga menjadi alasan mengapa Stitch menjadi peliharaan Lilo walaupun spesies dia itu alien dan Stitch ikut mendapatkan peran utama dalam filmnya. 

Sepertinya sebelum bertemu dengan Stitch, Lilo pernah memiliki hewan peliharaan yang normal kemudian hewan tersebut mati dengan spesies yang tidak diketahui (kemungkinan besar itu adalah anjing). Berhubung kematian kedua orang tuanya Lilo dan Nani ini diceritakan masih agak baru, Lilo teringat kembali akan meninggalnya ortunya ketika piaraannya mati. Jadi, saat Nani ajak adiknya itu ke toko anjing peliharaan, sang kakak mencari hewan yang tidak mudah mati. Di situlah mereka berjumpa dengan Stitch untuk yang pertama kalinya dan Lilo mengira dia juga adalah anjing, padahal dia itu alien. 

Ini pertama kalinya aku nonton kartun yang ortu main chara-nya udah meninggal. Ya, sebelum aku nonton Upin dan Ipin. Lilo and Stitch ini semakin relatable buatku. Pada saat aku baru-baru nonton, aku relate dengan Lilo karena dia tidak punya teman akibat dari sifatnya yang agak aneh, mirip sekali dengan kisah hidupku saat TK.

Ternyata, bagian yang paling relatable buat aku adalah Lilo teringat kembali peristiwa kematian kedua ortunya saat hewan peliharaan dia mati sebelum kenal dengan Stitch. Sama seperti ketika Insiden Kelinci dalam hidupku itu, karena jarak waktu kejadiannya gak terlalu jauh dari meninggalnya adikku. Seperti yang sudah seringkali kuceritakan, hanya mendapatkan kabarnya bahwa kelinci itu mati saja bikin memori adikku yang wafat itu terputar lagi dalam pikiranku seperti sebuah video. Karena orang di sekitar Lilo hanya ada kakaknya saja, dia tidak akan menyadari bahwa dia hanya sendirian menangisi kematian hewan peliharaannya.

Wednesday, October 11, 2023

Membedah Diary Jaman Lulus SMA

Catatan 12 Oktober 2023

(Sebenarnya ditulis pada tanggal 17) 

Manfaat Menulis Diary untuk Mengenang Masa Lalu

Menulis diary punya manfaat besar, salah satunya untuk "memperjelas kenangan yang samar". Aku akui, kadang ada rasa canggung ketika membaca diary yang kutulis lebih dari lima tahun lalu. Satu-satunya alasan aku menengok kembali diary dari masa-masa SMA adalah untuk membaca catatanku tentang Insiden Kelinci. Meskipun selama bertahun-tahun aku terus menulis tentang insiden itu, aku tahu tulisanku sudah berubah seiring dengan pemahamanku yang berkembang.

Insiden Kelinci dalam Catatan Diary Lawas

Entri yang aku tunjukkan fotonya di sini berasal dari 19 Juli 2016, tepat di beberapa halaman terakhir buku diaryku. Jadi, mencari tulisan tentang insiden kelinci itu nggak susah. Dulu, aku hanya menulis tentang pertanyaan yang muncul di kepalaku saat kelinciku mati, yang kemudian kutanyakan langsung pada almarhum Papah. Saat itu, aku belum tahu alasan kenapa aku bertanya seperti itu.

Mencoba Memahami Perspektif Orang Lain

Saat membaca kembali diary lama itu, aku mencoba memposisikan diriku sebagai orang lain, bukan diriku sendiri. Bayangkan saja aku adalah orang yang tidak mengalami peristiwa itu, hanya tahu dari cerita orang lain. Saat membaca kalimat demi kalimat, aku mulai paham kenapa banyak orang menyalahkanku dan menganggap aku tidak berempati terhadap adikku. Kalau aku membaca curhatan orang lain yang bertanya seperti itu, aku mungkin akan bingung juga. 

"Ya iyalah, orang pasti lebih sedih kehilangan adiknya daripada kelinci peliharaan!" Mungkin reaksinya akan seperti itu juga, tapi aku tidak akan tersinggung seperti Papah waktu itu. Walaupun aku berpikir "Ya iyalah", aku tetap penasaran, kenapa sih diriku di masa lalu bisa bertanya seperti itu?

Kehilangan Hewan Peliharaan vs Kehilangan Manusia

Sebab, bagi aku, kehilangan hewan peliharaan juga bisa sangat menyedihkan, sama seperti kehilangan anggota keluarga. Tapi dalam diary itu aku nggak menjelaskan kenapa aku merasa seperti itu. Aku belum mampu untuk menjelaskan bahwa saat kelinciku mati, aku teringat pada memori sedih tentang kehilangan yang lebih besar dalam keluargaku. Itulah detail penting yang hilang dalam catatanku saat itu. 

Sekarang, aku semakin paham kalau semua yang terjadi sebelum insiden itu sangat penting untuk diceritakan. Karena tanpa cerita latar belakang yang proper, aku mengeluarkan pertanyaan yang terdengar aneh dan nyeleneh itu malah membuatku semakin kuat dicurigai sebagai seorang anak yang tidak cukup sehat akalnya. 

Dulu, aku kira semua orang yang menyayangi hewan akan merasa sedih sepertiku saat kelinci mati. Tapi aku kaget, karena orang-orang di rumah tidak merasa begitu. Saat kelinci terakhir yang dibeliin abangnya Papah itu mati, aku merasakan duka cita dan ternyata ini perasaan yang tepat sama dalamnya ketika adikku wafat.

Terkadang aku bingung kenapa orang lain merasa tersinggung atau aneh dengan perkataanku. Pada umumnya, orang memisahkan manusia dan hewan. Mereka berpikir kalau menganggap hewan seperti manusia itu tidak masuk akal. Salah satu alasannya adalah karena hewan dianggap makhluk yang lebih rendah, jadi kita tidak seharusnya merasa sedih kehilangan hewan seperti kehilangan manusia. Ada juga orang yang bercerita padaku, betapa bingungnya orangtuanya karena kehilangan kucing, mereka merasa sama sedihnya seperti kehilangan orang.

Percakapan Berarti di Lembah Bougenville

Bagian dari diary ini sudah aku jelaskan dengan lebih rinci sekitar dua tahun yang lalu (2021). Pada foto diary kedua yang kutulis, aku ingat menulis tentang bagaimana aku menangis teringat insiden itu, saat jam keputrian di kelas pada Ramadhan 2008. Itu adalah momen yang meaningful bagiku, karena aku merasakan ketidaknyamanan atas sebuah kebohongan kecil di bulan puasa tahun itu. Saat itu, aku masih ragu untuk menceritakan kisah tentang bagaimana satu pertanyaan tentang perbedaan antara anggota keluarga dan hewan peliharaan bisa membuat orang tua tersinggung.

Pada foto diary di atas, kutulis "tidak mungkin aku menceritakan yang sebenarnya" kepada temanku yang memergoki aku menangis teringat insiden itu saat jam keputrian di kelasku. Itu karena dulu aku biasa di-bully, salah satunya akibat pemikiranku yang sering aneh kata orang. Apalagi dulu kami masih sama-sama bocah! Udah aku dewasa aja masih ada temen yang nyalahin dan ngetawain insiden itu, apalagi kalo kami masih bocil!

Pada 12 Oktober 2008, tepat lima belas tahun yang lalu, keluargaku melakukan acara halal bihalal di Lembah Bougenville Resort, Lembang. Di sana, aku duduk bersama seorang ART keluarga di tepi kolam koi, dan kami berbicara tentang hal yang sangat meaningful. Beliau berkata, "Kita jangan merasa sebagai yang paling bodoh, karena banyak orang yang lebih bodoh dari kita." Mungkin lebih tepat kalau kata-katanya diubah jadi, "Jangan merasa kita paling bodoh, karena banyak yang mengagumi kita yang dianggap lebih cerdas daripada mereka."

Kata-kata ART itu memang tidak berkaitan langsung dengan insiden kelinci, karena saat itu aku belum berani bercerita tentang kejadian tersebut. Aku malah menyembunyikan cerita itu, bahkan dari Mamah, yang bukan saksi mata. Dulu, aku berusaha keras melupakan kejadian itu, tapi ternyata tidak bisa. Kejadian itu terus terngiang di kepalaku, meskipun aku tidak ingin membahasnya dengan siapa pun kecuali adikku yang besar, karena dia satu-satunya saksi mata. Catatanku tentang foto yang ketiga (pengalaman di Lembah Bougenville)


Mengatasi Trauma yang Berulang dari Insiden Kelinci

Mungkin ini pertama kalinya aku berani menulis pertanyaan yang membuat Papah marah dalam diaryku. Sebelumnya, di catatan waktu SMP, aku hanya menulis sekilas tentang bagaimana Papah marah karena aku bertanya tentang kelinci yang mati. Bahkan dulu, aku tidak menjelaskan kenapa beliau marah, karena aku kira orang mengira aku benci kelinci.

Dalam beberapa foto diary yang aku tunjukkan, seakan-akan semua peristiwa terjadi dalam waktu yang sangat dekat. Padahal, dari Insiden Kelinci hingga percakapan dengan ART, ada jarak waktu sebulan lebih. Insiden Kelinci terjadi di hari pertama bulan puasa, dan halal bihalal sudah lewat lebih dari seminggu setelah Lebaran. Dari percakapan dengan ART hingga peristiwa dimana Papah mengancam "menyatukan aku dengan kelinci" juga ada jarak waktu hampir sebulan.

Belajar Menerima dan Memahami Diri Sendiri

Ternyata, Insiden Kelinci ini dampaknya jauh lebih panjang daripada yang kubayangkan. Banyak orang yang mengira aku menyalahkan Papah dan merasa kasihan dengan diriku sendiri, tapi sedikit orang yang benar-benar paham maksudku, seperti sahabatku Diva sejak kelas V dan dua temanku dari terapi crafting, mas Daniel dan Mbak Icha. Dengan pemahamanku sekarang, kalau aku jadi orang lain, mungkin aku akan heran kenapa aku dulu butuh waktu lama untuk mengerti kesalahanku.

Pesan untuk Pembaca: Pentingnya Empati

Karena tidak semua orang menganggap hewan seperti aku, aku merasa bingung sama orang lain, dan mungkin mereka juga bingung sama aku. Tapi penting untuk diingat, bahwa meskipun aku sangat menghayati hewan, itu tidak berarti aku tidak merasa kehilangan dan sedih terhadap adikku sendiri.

Tuesday, October 10, 2023

Rencana Galeri Foto Cosplay di Blog

Catatan 10 September 2023

Inget deh sepuluh tahun yang lalu bahkan udah lebih, sohib aku nunjukin foto momen milad salah satu idolanya. Idola yang lagi milad itu adalah Mezty, salah satu member 7ICONS (sang sohib ini ngidolain semua membernya, dia bukan akgae jadi semua member itu girlband dia demen). Waktu kami berdua masih kelas IX SMP semester kedua yaitu pada tahun 2013 lalu, Mezty membagikan foto-foto momen tersebut di blog pribadinya, meskipun pada tahun itu sudah lahir Instagram. Keingetan itu karena aku tepat seminggu yang lalu juga lagi ultah. 🎂🎉🎁

Karena tepat sehari setelah miladnya aku, ketauan deh sama Mamah aku pernah cosplay jadi Crystal Zilla! Itu adalah pertama kalinya pake banget aku ikutan event cosplay, jadi harap maklum kalo perutnya belum rata. Asli dah malu berat pas tampil di panggung, apalagiiii waktu video waktu tampil itu tercyduk oleh Mamah! Namun, ada ketakutan yang jauh lebih besar daripada itu, yaitu orang-orang edan yang bermedsos. 👻😱

Aku pernah bikin instastory tentang tanaman batu aja pernah di-DM cowok yang pengen VC an dengan tujuan ekshibisi dia mainkan "senjatanya"! Mengerikan, bukan? 😱💀❄

Jadi timbul ide, aku pengennya posting foto-foto aku lagi cosplay itu sebaiknya di blog pribadi aku aja. Isi blog aku selama ini boleh dibilang melulu tentang Insiden Kelinci. Boleh jadi insiden itu traumatis buat aku, tapi aku gak boleh terlalu lama larut di dalamnya sampai lupa ngetik hal-hal yang happy. Lagipula rasanya kagok kalo curhat tentang "behind the scene" dari foto-foto cosplay tersebut dalam caption, jadi alasan lainnya mengikuti jejak Mezty pajang foto-foto di blog pribadiku adalahhh biar bebas nulis cerita kenangan di balik fotonya. 👣👣

Oh hampir aja lupa untuk nambahin, apakah aku bakalan berhenti untuk update di Instagram dan Facebook? Jangan sampai berhenti dong untuk nge-post di kedua media sosial itu! Namun, yang mau dipajang di IG dan FB itu kayaknya cuma foto pas lagi jahit outfit items atau foto yang dicrop. Di blog baru deh berani posting fotonya secara full body. 

Thursday, October 5, 2023

Validasi Perasaan: Menghadapi Insiden Kelinci dan Kehilangan Layaknya Anggota Keluarga

Catatan 5 Oktober 2023

Perasaan yang Abadi: Refleksi Usia Lebih dari Seperempat Abad

Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri. 

Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, (jangan bosan ya). Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia tepatnya anggota keluarga sendiri. Sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".  

Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan? Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.

Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum adikku. Itu ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi beliau bekerja pada perusahaan Eyang Putri. Maka, beliau jadi sering sekali bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. 

Kisah Insiden Kelinci mengingatkanky pada bagaimana aku meragukan perasaanku sendiri setelah kelinci peliharaanku meninggal. Sebuah kejadian yang memicu memori akan kehilangan yang lebih besar, yaitu adikku yang telah wafat sebelumnya.

Sebuah Flashback Emosional

Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar dari Eyang Putri kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo. Marlin mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaan sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara kami yang sudah agak jauh kekerabatannya tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku. 

Sepupu jauhku, sebagai salah seorang korban selamat dari bencana alam Tsunami Aceh 2004 juga pernah sementara waktu sering mengalami flashback ketika bencana alam itu terjadi. 

Validitas Perasaan: Menerima Perasaan Kehilangan

Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian atas kematian kelincinya. Kehilangan anggota keluarga dianggap wajar untuk berduka, tetapi apakah itu juga berlaku untuk hewan peliharaan?

Meskipun aku tahu perbedaan antara manusia dan hewan, tetap saja aku merasa bingung: apakah perasaanku atas kehilangan kelinci peliharaan juga valid? Di usia yang lebih dewasa, aku mulai menyadari bahwa setiap perasaan, baik itu terkait dengan kehilangan manusia atau hewan, adalah valid. Tidak perlu mencari validasi dari orang lain untuk merasa bahwa perasaan kita itu sah adanya.

Menemukan Dukungan: Masyarakat yang Semakin Mendukung Kesehatan Mental

Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid. Di saat usiaku hampir sebelas tahun pada akhir dekade 2000an, aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental pada dekade 2020an ini. Juga, banyak pet lovers yang sangat menjiwai piaraan mereka sampai-sampai mereka menangis dan berdukacita jika piaraannya mati. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid. 

Kesimpulan: Semua Perasaan Itu Valid

Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya. Tidak ada perasaan yang lebih penting atau kurang valid dari yang lain. Setiap perasaan kita adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihargai. Dengan menerima perasaan kita sendiri, kita dapat hidup lebih damai dan menerima diri.

Sunday, September 24, 2023

Mau Bilang Apa ya Kepada Papah dalam Surat Imajiner Selanjutnya?

Catatan 25 September 2023

Setidaknya aku kini sudah tahu apa yang harus kulakukan ketika memori sedih itu memenuhi benakku. Sayangnya, walaupun sudah tahu harus menulis surat imajiner untuk Papah tetap saja hal itu kadang-kadang lupa untuk dilakukan atau kepalaku blank ketika akan menulis. Apalagi pekan-pekan di bulan September ini lagi sibuk menyiapkan sidang, mana sempat menulis surat yang seakan ditujukan untuk almarhum Papah itu. Apa lagi nih yang mau "disampaikan" kepada beliau karena semuanya sudah dikatakan dalam surat-surat imajiner sebelumnya.

Oh ya, aku ingin menyampaikan tentang teman akhwat SMA aku yang akhirnya memahami maksudku di balik pertanyaan itu! Pada saat kami masuk SMA pada sepuluh tahun yang lalu yaitu 2013, itu adalah satu tahunnya Papah meninggal dunia. Temanku itu tidak sempat untuk kuperkenalkan kepada beliau. Padahal andai saja beliau masih hidup saat ini, sang kawan bisa saja membantuku menjelaskan pertanyaan aneh itu ketika bertemu dengan beliau. 

Papah di sana pastinya akan senang dan bahagia karena ada seseorang di luar keluarga yang lebih mengerti sifat aneh aku. Dengan sepupu-sepupu perempuan saja kurang akrab aku ini karena sudah jarang sekali bertemu. Kecuali dengan Teh Alma, kami terkadang chat di DM Instagram. Semoga saja dengan menyapa kembali saudara-saudara dari Papah terutama sepupu dapat menjadi teman yang sama akrabnya dengan teman di sekolah dulu. 

Membukukan Semua Catatan Sejarah Insiden Kelinci

Catatan 25 September 2023

Sekian buanyakk catatan blog aku seputar Insiden Kelinci yang diakibatkan oleh miskomunikasi! 📓 Makin mantep nih buat semuanya dikumpulkan lalu dijadikan satu buku! Kayaknya buku tentang itu bakalan tebel pake bingits, soalnya itu catatan udah dari tahun 2021 lalu. Udah dua tahunan cuy aku ngetik di blog pribadi tentang insiden yang ikonik dari jaman aku kelas lima itu. 

Rencana buat bikin buku tentang itu bukan pikiran yang baru, lho. Dua tahun yang lalu udah ada ide buat terbitkan buku yang menceritakan kisah insiden itu, malahan sampai jadi konten challenge kepenulisan di Facebook! Sayangnya, pada saat itu ideku mandeg di tengah-tengah seperti biasanya jika aku lagi nulis buku. Khusus buku tentang insiden tersebut, penyebab mandegnya ideku itu karena belum ada penyelesaian dari memori yang masih terus menghantui diriku itu. 

Sepertinya proyek challenge kepenulisan itulah yang memperkuat keinginanku untuk terapi ke psikolog pada akhir 2021 lalu. Proyek challenge itu kuikuti pada awalnya tahun tersebut. Jika sedang menulis buku, harus ada penyelesaiannya seperti halnya ketika kita menulis alur cerita sebuah novel. Tidak hanya terdapat pengenalan, konflik, dan klimaksnya saja. 

Memori yang terus berputar-putar dalam benakku itu harus segera kuselesaikan! Harus, tidak boleh ditunda-tunda lagi karena sudah terlalu lama belum terselesaikan! Karena psikolog aku itu keburu melahirkan tahun kemarin, makanya terpaksa terapi ini terjeda. Walaupun belum sepenuhnya hilang rasa bersalahku akibat insiden itu, setidaknya gejalanya sudah tidak terlalu parah seperti sebelum terapi. 

Dulu, setiap kali aku teringat insiden itu aku menangis sesenggukan (tetapi masih bisa tanpa suara). Sehabis terapi itu, sudah tidak ada lagi refleks nangis jika sedang teringat tentang insiden itu. 

Tidak akan mungkin salah lagi, buku tentang kejadian yang melibatkan kesalahpahaman tentang pertanyaanku yang mencari perbedaan antara manusia dan hewan itu akan mencapai ketebalan yang sangat! 👉👉👍 Mungkin saja tebalnya halaman buku itu akan sama seperti buku "Queer Menafsir" yang sempat viral pada bulan puasa yang jatuh pada bulan April 2023 lalu! Kalau udah bongkar-bongkar banyak buku jaman bocah SD dulu, bisa jadi catatan tentang insiden itu bakalan makin banyak. Pastinya akan mengasyikkan untuk mengetahui perkembangan mental aku mulai dari usia praremaja hingga kini diriku lebih dari seperempat abad. 

Insiden Miskomunikasi Soal Kelinci, Pentingkah Bagiku?

Catatan 24 September 2023

Sudah hampir sebulan aku tidak menambahkan postingan di sini. Setelah usai sidang akhir pada Jumat kemarin lusa tanggal 22 lalu, mungkin ideku keluar lagi. 💭 Insiden Kelinci sudah melewati lima belas tahun ketika tanggal 1 lalu di bulan ini, ternyata masih sering kepikiran. Walaupun sudah lega punya "teman" yang sama-sama sedih ketika Lula si kucing mati sebulan yang lalu, entah mengapa masih belum bisa sepenuhnya melupakan insiden itu. 

Sepertinya nama yang lebih tepat untuk insiden itu adalah "Miskomunikasi Soal Kelinci". Bukan matinya si kelinci yang bagiku traumatis itu, melainkan karena terjadinya kesalahpahaman sehingga Papah marah tak diduga-duga. Usiaku saat mengetik ini hampir 26 tahun, sedangkan ketika miskomunikasi itu terjadi aku akan berulang tahun yang kesebelas. Jauh sekali ya perbedaan usia antara aku yang sekarang dengan ketika momen absurd dan penuh rasa bersalah itu terjadi? ⚡😳

Kata Papah kepadaku saat masih kelas enam dulu karena lupa dengan sebuah mimpi, "Jika sesuatu itu penting bagi Teteh, Allah SWT akan membuat suasana supaya Teteh ingat terus akan hal itu." 

Bisa jadi peristiwa itu sebenarnya penting bagiku, karena aku terus menerus teringat meskipun sudah berkeras untuk melupakannya. Ini agak aneh karena hal yang memang penting di saat ini seringkali malah sulit untuk diingat. Tetapi percaya saja dulu dengan quote dari almarhum Papah itu, bisa jadi peristiwa di masa kecilku itu memang penting. Aku juga tidak berani untuk melabeli diriku terkena PTSD karena memang belum ada diagnosanya dari tenaga profesional.

Dari terjadinya miskomunikasi antara aku dengan salah satu orangtuaku itu, sudah banyak sekali hal yang kupelajari selama lebih dari satu dekade lamanya. 

Jika dibuatin daftarnya, udah banyak-banyak banget hal yang dipelajari dari peristiwa itu :

1. Istilah "etis", beneran baru tau ada istilah ini setelah terjadinya insiden itu. Dua bulan dari peristiwa itu, aku curhat dengan Papah almarhum karena ternyata masih sering kebayang-bayang kejadiannya. "Itu pertanyaan yang tidak etis," kata beliau. Kaget bener waktu dulu tau itu dianggap gak sopan pertanyaannya.

2. Pertanyaan yang tidak etis itu ketika langsung saja membandingkan antara manusia dengan hewan. Iya sih aku emang pengen tau lebih lanjut perbedaan kedua makhluk itu, tetapi kalimatnya jika diubah ketika bertanya itu tidak akan terdengar sebagai pertanyaan yang tidak sopan. Guru jaman SMA pernah nanyain perbedaan manusia dengan hewan, aku jawabnya cuma mentok di kalimat klise "manusia punya akal, hewan tidak." Padahal jawabannya yang lebih tepat adalah manusia lebih berharga karena tidak tergantikan oleh apapun, beda dengan hewan yang cenderung cepat tergantikan dan penampilan serta kelakuannya relatif identik antara satu sama lainnya dalam satu spesies (kucing bisa beda-beda sih kepribadiannya, tapi gak terlalu variatif kayak orang). 

3. Kesedihan yang udah menetap dalam lama yang tidak wajar, sebaiknya segera curhat sama anggota keluarga, guru, atau tenaga profesional. Kalau belum ada budget ke psikolog, sama guru yang paling dipercaya aja dulu. Nyesel dulu gak buruan seeking help dan malah berkutat di obsesi dengan Danny Phantom. Sikapku malah jadi tambah aneh dan kesedihan ini gak kelar-kelar,  harusnya dulu curhat sama Eyang Kakung yang bijaksana.

4. Jangan sekali-kali bergantung penuh dengan sesuatu yang hanya bisa memberikan kesenangan sesaat ketika lagi sedih! Setelah denger banyak cerita dari para cowok tentang rokok, ternyata cara kerjanya itu mirip aku saat terobsesi dengan Danny Phantom dulu. Setelah Danny Phantom ternyata nggak bikin ilang sedih gegara insiden itu, malah pindah ke tokoh kartun lainnya dan ini hasilnya gak jauh beda. Akhirnya pas 2018 lalu pernah jadi objek penelitian sodara yang calon psikolog dan tiga tahun setelahnya, yaitu 2021, ke psikolog yang udah buka klinik psikologi beneran. 

5. Sudut pandang yang sama sekali baru buatku. Ternyata di telinga orang lain, pertanyaan "mengapa orang hanya sedih dengan anggota keluarga tetapi tidak begitu untuk hewan" itu dapat terdengar seperti judging (menghakimi) orang yang biasa saja untuk hewan peliharaan yang mati. Padahal di situ aku beneran nanya pengen tau sebabnya mereka bersikap berbeda untuk piaraan. Perkataan langsung yang bernada aja bisa ada salah komunikasi, apalagi pesan chat atau komentar di media sosial yang tidak bernada, kan?

6. Kesedihan akan meninggalnya satu individu itu dipengaruhi oleh interaksi kita dengannya. Aku merasa sedih yang sama dalamnya ketika ditinggal anggota keluarga dan hewan peliharaan itu karena aku sama banyak berinteraksi dengan mereka. Orang-orang di sekitarku kan tidak ikut memelihara kelinci dari Wa Aden itu. Waktu seekor kelinci milik sekolah jaman SD mati dengan sadis karena kepalanya tidak ada, aku cuman bisa ngeri saja tanpa bersedih karena tidak pernah tau selama hidupnya kelinci itu.

7. Ada hal yang mutlak dianggap sebagai perbuatan salah, ada pula hal yang dianggap kesalahan itu tergantung pemahaman tiap orang. Ketika aku berkata kasar, tidak kaget jika dimarahi Papah karena perbuatan seperti itu mutlak adalah kesalahan. Tetapi ketika curhat insiden kelinci ini ke berbagai macam orang, penerimaannya sangat bervariasi. Mulai dari yang nggak tedeng aling-aling ngejek dan nyalahin, ada juga yang maklumin bahkan sampai ada yang muji itu pertanyaan yang keilmuannya tinggi walaupun masih aku kurang tepat dalam merangkai kata. 📈

8. Terkadang kita sulit memahami akan sesuatu itu bukan karena kita bodoh, tetapi karena sudut pandangnya kita yang masih belum sama dengan orang lain. Aku yang memandang hewan peliharaan itu berharga seperti anggota keluarga sendiri, sulit memahami Papah yang tersinggung. Di sini sudut pandangnya beliau itu hewan itu biar bagaimanapun kedudukannya rendah dari manusia, jangan disetarakan. Padahal tidak mungkin aku prefer hewan peliharaan over saudara sendiri, manusia tetap jauh lebih berharga daripada hewan.

9. Umur hewan itu cenderung lebih pendek daripada manusia, sehingga jika anggota keluarga yang meninggal jleb-nya kebangetan. Apalagi jika anggota keluarga itu meninggal di usia 10 tahun ke bawah. Setelah aku ingat-ingat, lebih sering peristiwa matinya hewan peliharaan (biasanya kucing) daripada meninggalnya anggota keluarga baik kerabat atau keluarga inti. Makanya kematiannya hewan itu kurang membuat sedih dan tidak terlalu mengejutkan karena kita sudah tidak berekspektasi mereka akan berumur panjang.

10. Merangkai kata itu sangat penting untuk dipelajari! Kesalahan dalam merangkai kata dapat mengubah makna dari pesan yang akan kita sampaikan, bisa saja maknanya itu berubah total. Bahkan bisa jadi pesan yang diterima itu malah jauh berbeda dengan apa yang kita maksudkan. I learned the hard way. 

11. Biasakanlah untuk berpuasa sunnah, jadi ketika bangun sahur untuk Ramadhan tidak kaget lagi tubuh kita. Penyebab insiden kelinci itu terjadi adalah ketika sahur Ramadhan pertama tahun itu, aku dikejutkan oleh kabar matinya kelinciku. Jika sudah terbiasa bangun sebelum subuh, apapun yang terjadi pada sahur pertama Ramadhan tidak akan membuat kita terkejut. Sebenarnya kurang tepat juga jika memberi kabar buruk di saat dini hari begitu, tapi itu mungkin bukan lagi masalah jika tubuh kita sudah siap.

12. Tuliskan isi buku harian secara jujur, karena dahulu pernah ada periode aku tidak menceritakan bahwa aku bertanya hal yang kontroversial itu ketika matinya sang kelinci. Waktu kelas V hingga SMP kelas VII, aku cuma menuliskan bahwa aku dimarahin Papah hanya karena menangisi kelinci mati. Sebenarnya bukan niatku menjelekkan ayahku, itu karena pada saat itu tidak mau mengingat lagi pertanyaan itu. Adikku Irsyad bikin aku sadar bahwa perbuatan seperti itu malah jadi seperti memfitnah Papah dan setelahnya aku mulai menuliskan pengalaman itu secara lengkap apa adanya, baru deh kesedihan itu mulai sedikiiiit teratasi. 

The Curious Connection Between Lou (UglyDolls) and Rancis Fluggerbutter (Wreck-It Ralph)

January 17, 2025 When it comes to animated characters, some connections are so striking that fans can’t help but imagine shared universes an...