Showing posts with label perasaan kehilangan. Show all posts
Showing posts with label perasaan kehilangan. Show all posts

Friday, December 27, 2024

Ketika Nobita dan Teman-Temannya Menangis Bersama: Refleksi tentang Perpisahan dan Hewan Peliharaan

Catatan Jumat, 27 Desember 2024

Baru-baru ini, aku menonton Doraemon: Nobita and The Birth of Japan versi remake tahun 2016. Salah satu adegan paling emosional adalah ketika Nobita dan teman-temannya menangis bersama karena harus berpisah dengan tiga hewan fantasi peliharaan: pegasus, naga, dan griffin. Meski aku belum menonton versi aslinya dari film ini, yang dirilis pada tahun 1989, menurut sebuah situs web yang kubaca, adegan perpisahan ini dibuat lebih emosional dalam versi remake-nya. Hewan-hewan tersebut tidak mati, melainkan dibawa ke masa depan yang lebih cocok untuk mereka. Namun, momen perpisahan itu tetap terasa sangat mendalam, tidak hanya bagi Nobita tetapi juga bagi penonton.

Adegan ini membawaku kembali ke masa pra-remajaku, ketika aku kehilangan kelinci peliharaan yang sangat kusayangi. Ketika kelinci itu dikabarkan mati, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Kelinci itu bukan sekadar binatang bagiku. Rasa sedih ini bahkan terasa hampir sama kuatnya dengan saat adikku wafat, yang pada waktu itu belum dua tahun berlalu. Namun, berbeda dengan respons Nobita dan teman-temannya dalam film tadi, orang-orang di rumahku tidak menunjukkan kesedihan yang sama. Dari sana, aku mulai menyadari bahwa ada perbedaan penting antara anggota keluarga sungguhan dan hewan peliharaan yang dianggap bagaikan anggota keluarga.

Jika Nobita sendirian yang menangis sedih, mungkin aku tidak akan terlalu merenungi adegan ini. Wajar jika dia yang paling terpukul, karena hanya dia yang memelihara ketiga hewan fantasi tersebut sejak mereka lahir. Namun, yang membuat adegan ini begitu menarik adalah bagaimana teman-temannya—yang tidak ikut memelihara—dapat menyerap kesedihan dari Nobita. Mereka menangis bersama-sama, merasakan emosi yang dialami Nobita, meskipun mereka tidak memiliki ikatan langsung dengan hewan-hewan tersebut. Aku pernah berharap orang-orang di sekitarku akan bersikap sama seperti adegan ini. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan dugaanku. Alih-alih berbagi kesedihan, mereka tetap tidak terpengaruh. Hal ini justru membuatku penasaran: mengapa empati semacam itu tidak terjadi di dunia nyata?

Pada saat itu, usiaku yang hampir sebelas tahun pada 2008 lalu mencoba mencari sendiri apa perbedaan besar antara manusia dan hewan. Penalaranku tentu masih terbatas, sehingga aku bertanya kepada Papah mengapa orang-orang di sekitarku memperlakukan manusia dan hewan secara berbeda. Namun, responsnya tidak seperti yang kuharapkan. Papah mengira aku menyamakan kedudukan manusia dan hewan. Aku sangat kaget ketika beliau bereaksi dengan marah, hingga "soak," kalau kata orang Sunda. Butuh waktu yang sangat lama bagiku untuk memahami di mana letak kesalahanku dengan bertanya seperti itu. Bahkan hingga kini, pemahamanku kadang berubah-ubah: terkadang aku merasa bersalah, tetapi di saat lain aku tidak bisa menemukan di mana letak kesalahannya.

Film ini juga membuatku berpikir tentang bagaimana hewan sering kali dihayati seperti manusia dalam berbagai cerita, baik di Doraemon maupun karya fiksi lainnya. Pegasus, naga, dan griffin dalam film ini bukan sekadar makhluk fantasi; mereka diberi karakteristik yang membuat mereka terasa seperti bagian dari keluarga Nobita. Mungkin inilah sebabnya adegan perpisahan itu begitu kuat secara emosional. Namun, aku juga menyadari bahwa apa yang digambarkan dalam film sering kali berbeda dengan dunia nyata. Tidak semua orang menghayati hewan peliharaan dengan kedalaman yang sama, dan itu tidak berarti mereka tidak peduli.

Film Nobita and The Birth of Japan (2016) mungkin hanyalah cerita animasi, tetapi bagi sebagian orang, termasuk aku, ia menjadi cermin untuk merefleksikan hubungan kita dengan hewan peliharaan dan cara kita menghadapi perpisahan. Adegan perpisahan Nobita dengan tiga hewan peliharaannya selalu mengingatkanku pada pertanyaan yang pernah muncul: apakah salah menghayati hewan sebesar kita menghayati saudara kita? Mungkin jawabannya tidak sederhana. Yang jelas, film ini menunjukkan bahwa emosi yang kita rasakan terhadap hewan peliharaan—dan kesedihan kita saat harus berpisah—tetap valid dan berharga, apa pun kata orang lain.

Pamanku pernah mengatakan bahwa aku sudah terlalu terobsesi dengan insiden kelinci itu. Mungkin ada benarnya, karena kenangan itu selalu muncul kembali setiap kali aku menyaksikan perpisahan dengan hewan peliharaan, seperti dalam adegan Doraemon: Nobita and The Birth of Japan. Aku tidak bisa begitu saja melupakan insiden tersebut. Rasanya seperti luka lama yang terus terasa nyeri, meskipun waktu telah berlalu. Namun, aku juga berpikir bahwa mungkin ini bukan soal obsesi, melainkan cara pikirku yang mencoba mencari makna dan alasan dari peristiwa yang pernah terjadi.

Thursday, October 5, 2023

Validasi Perasaan: Menghadapi Insiden Kelinci dan Kehilangan Layaknya Anggota Keluarga

Catatan 5 Oktober 2023

Perasaan yang Abadi: Refleksi Usia Lebih dari Seperempat Abad

Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri. 

Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, (jangan bosan ya). Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia tepatnya anggota keluarga sendiri. Sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".  

Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan? Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.

Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum adikku. Itu ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi beliau bekerja pada perusahaan Eyang Putri. Maka, beliau jadi sering sekali bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. 

Kisah Insiden Kelinci mengingatkanky pada bagaimana aku meragukan perasaanku sendiri setelah kelinci peliharaanku meninggal. Sebuah kejadian yang memicu memori akan kehilangan yang lebih besar, yaitu adikku yang telah wafat sebelumnya.

Sebuah Flashback Emosional

Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar dari Eyang Putri kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo. Marlin mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaan sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara kami yang sudah agak jauh kekerabatannya tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku. 

Sepupu jauhku, sebagai salah seorang korban selamat dari bencana alam Tsunami Aceh 2004 juga pernah sementara waktu sering mengalami flashback ketika bencana alam itu terjadi. 

Validitas Perasaan: Menerima Perasaan Kehilangan

Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian atas kematian kelincinya. Kehilangan anggota keluarga dianggap wajar untuk berduka, tetapi apakah itu juga berlaku untuk hewan peliharaan?

Meskipun aku tahu perbedaan antara manusia dan hewan, tetap saja aku merasa bingung: apakah perasaanku atas kehilangan kelinci peliharaan juga valid? Di usia yang lebih dewasa, aku mulai menyadari bahwa setiap perasaan, baik itu terkait dengan kehilangan manusia atau hewan, adalah valid. Tidak perlu mencari validasi dari orang lain untuk merasa bahwa perasaan kita itu sah adanya.

Menemukan Dukungan: Masyarakat yang Semakin Mendukung Kesehatan Mental

Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid. Di saat usiaku hampir sebelas tahun pada akhir dekade 2000an, aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental pada dekade 2020an ini. Juga, banyak pet lovers yang sangat menjiwai piaraan mereka sampai-sampai mereka menangis dan berdukacita jika piaraannya mati. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid. 

Kesimpulan: Semua Perasaan Itu Valid

Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya. Tidak ada perasaan yang lebih penting atau kurang valid dari yang lain. Setiap perasaan kita adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihargai. Dengan menerima perasaan kita sendiri, kita dapat hidup lebih damai dan menerima diri.

The Curious Connection Between Lou (UglyDolls) and Rancis Fluggerbutter (Wreck-It Ralph)

January 17, 2025 When it comes to animated characters, some connections are so striking that fans can’t help but imagine shared universes an...