Bisa-bisa aku bikin buku khusus untuk mengumpulkan seluruh postingan di blog ini tentang Insiden Kelinci. Habisnya banyak banget sih postingan tentang kejadian yang absurd dan kontroversial itu! Dari tahun ke tahun, bukannya lupa sama itu kejadian (makanya diduga sebagai core memory dalam ingatanku), malah makin pengen banyak mengkaji ulang kisah ini. Kira-kira beberapa bulan habis insiden itu, aku sempet nyesel seharusnya nggak usah nanyain itu ke Papah atau tanyainnya ke orang dewasa lainnya.
Pengen deh kayak anak umur sebelas tahun lainnya, nggak sedih akan sebuah perkataan yang terlalu aneh jika dikatakan "tidak umum". Akan tetapi, di usia aku yang sekarang (pada saat ngetik ini) udah lewat pertengahan 20an atau seperempat abad, aku pikir kejadian itu malah bikin banyak mempelajari diri sendiri. Coba aja masa pra-remaja aku itu normal-normal aja, nggak ada keanehan-keanehan semisal itu, kayaknya sich nggak akan terlalu niat buat mempelajari hidup sendiri. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menarik hikmah dari keterlambatan emosional untuk memahami sikap orang-orang di sekitarku.
Lewat Insiden Kelinci ini, aku dapat mengamalkan isi dari tweet pada screenshot di atas, yaitu mempelajari lima hal. Sebelumnya, aku terjemahkan dulu ke dalam Bahasa Indonesia agar aku lebih mudah untuk menguraikannya.
📖 "Pelajari Momentum"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), momentum diartikan sebagai "saat yang tepat". Untuk konteks Insiden Kelinci ini, artinya lebih ke "saat yang menjadikan peristiwa ini begitu impactful untuk kehidupan aku".
Sejak hari-hari sebelum Insiden Kelinci ini terjadi, aku udah ngalamin beberapa hal yang sedih. Kelinci yang mati pada insiden ini adalah yang tersisa dari dua kelinci yang diberikan abangnya Papah seminggu sebelumnya. Kira-kira pada hari Kamis terakhir sebelum Insiden Kelinci yang terjadi pada hari Senin, mati satu kelinci. Jadi rasanya sangat menyedihkan ketika kelinci yang tersisa menyusul saudaranya beberapa hari kemudian.
Insiden Kelinci terjadi pada tanggal 1 September, berarti kelinci yang sebelumnya mati pada tanggal 28 Agustus. Kebayang 'kan itu jadi pekan buat aku yang lumayan sentimentil, meski "hanya" tentang kisah hewan peliharaan? Beneran kaget pas dua kematian kelinci ini terjadi secara rentetan. Makanya pas kelinci yang satunya lagi itu mati juga, kaget dan sedihnya tambah-tambah!
Tanggal kejadiannya juga "strategis", alias mudah diingat. Bukan tanggal cantik per say juga sih, tapi cukup memorable. Yap, seperti yang aku bilang berulangkali, ini terjadi pada momen yang lumayan besar yaitu pada hari pertama bulan puasa di mana siklus tidur dan makan berubah total! Ditambah ini adalah tanggal bulan Hijriyah yang mepet banget dengan bulan Masehi, bulan puasa dimulai pada pergantian bulan kalender biasa juga!
Sumber gambar : https://wp.me/pgTrW-42
Seumur hidup aku, baru sekali ngalamin fenomena penanggalan yang mepet antara Hijriyah dengan Masehi gini. Makanya terasa begitu berkesan dan hampir tidak mungkin untuk dilupakan.
📖 "Pelajari Sifat Manusia"
Dengan mendiskusikan tentang insiden ini bersama Fariz, adikku yang bungsu, dia memberiku sebuah insight : seseorang akan lebih mudah relate dengan manusia lainnya karena manusia dapat diajak untuk berkomunikasi. Meskipun aku menganggap nyawa manusia dan hewan itu egaliter dan sama-sama berharganya, tetap saja akan ada perbedaan untuk menyikapi keduanya. Ya, bagiku juga seekor hewan peliharaan nggak pernah menjadikan keluarga sendiri jatuh harkatnya atau sampai menyingkirkannya, karena anggota keluarga sendiri tentunya tidak tergantikan, berbeda dengan hewan peliharaan yang bisa dibeli lagi. Kami membahas ini karena aku ingin menceritakan kisah selengkapnya tentang Insiden Kelinci kepada adik bungsuku itu, yang dia juga adalah saksi mata, tetapi saat itu masih berusia kurang dari dua tahun ketika itu terjadi.
Lagipula, kebanyakan orang masih menganggap hewan adalah makhluk hidup yang "cuma". Orang-orang yang bukan penikmat hewan peliharaan, perasaan mereka juga akan datar-datar saja untuk hewan meski mereka juga makhluk hidup. Saking banyaknya orang yang tidak menaruh perhatian pada hewan di budaya sini, golongan orang yang memperlakukan hewan seperti sesamanya malah dianggap aneh atau tidak menggunakan akal sehat. Sebaliknya, bagi para pecinta hewan, kehilangan peliharaannya memberikan kesan yang sama mendalamnya seperti kehilangan anggota keluarganya.
Aku sebagai pecinta hewan, tentu saja memahami manusia apalagi anggota keluarga masih jauh lebih berharga. Aku sulit menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud dengan "egaliter" antara hewan dan manusia itu tidak akan setara persis dan tidak akan menjatuhkan derajat manusia. Akhirnya ketemu juga jawaban dari pertanyaan itu, yaitu anggota keluarga masih memiliki bagian dari kita, terutama untuk orang tuanya, sedangkan hewan tidaklah demikian. Di saat yang bersamaan, pets dapat dianggap egaliter tetapi juga masih memiliki perbedaan yang kentara dengan anggota keluarga yang sesungguhnya.
Di saat orang normal baca tulisanku ini, mereka gede banget peluangnya buat ngomong, "Ya iyalah!" Penting untuk diingat, di sini adalah catatan dari sudut pandang orang yang berpikiran "berbeda" alias neurodivergent.
Ini konsep yang agak sulit untuk dijelaskan kepada kebanyakan penyayang hewan kasual (nggak tenggelam banget untuk pelihara hewan) atau bahkan untuk non-pecinta hewan sama sekali! Mereka banyak yang terus menyangka aku menyetarakan manusia dengan hewan itu adalah bentuk dehumanisasi, padahal sama sekali bukan ke situ tujuanku. Banyak di antara mereka juga mengira aku lebih sedih dengan kelinci peliharaan yang mati, padahal mana ada perasaan kayak gitu.
📖 "Pelajari Pemicu Emosional"
Ini sudah kusadari sejak lima tahunan yang lalu : sebaiknya untuk membandingkan antara reaksi orang antara manusia dengan hewan, aku menyebutkan kematian manusia secara umum saja. Jangan menyebut suatu peristiwa meninggalnya seseorang dengan spesifik, dalam kasus ini adalah meninggalnya Hanif, adikku yang tengah. Kata seorang kerabat, meninggalnya seorang anak adalah soft spot bagi orang tuanya. Oleh karena itu, rasa terkejut dan menyesal akan kejadian ini semakin menjadi-jadi, karena semakin menua aku semakin paham di mana letak kesalahanku sampai menyinggung Papah pada insiden itu.
Aku sebagai kakak juga bukannya tidak sedih atau kehilangan. Buatku, peristiwa kehilangan anggota keluarga adalah sebuah hal yang menarik untuk dikaji, meski itu merupakan peristiwa yang menyakitkan. Hanya saja, terjadi sebuah kesalahan pada caraku untuk mengkajinya. Karena biar bagaimanapun, kesedihan ortu nggak akan persis plek ketiplek sama dengan kesedihan yang dialami anggota keluarga yang lainnya.
Kurang dari sehari sebelum Insiden Kelinci, ketika lagi seneng-senengnya menyambut bulan puasa yang akan jatuh pada subuh besoknya, ada lagi kesedihan yang lainnya. Pada hari Minggu Papah marah karena aku nyebut Danny Phantom itu sebagai "iblis", karena itu adalah musuh manusia nomor wahid. Aku sebut Danny sebagai iblis, itu bukan sebagai makhluk yang ingin memasukkan manusia ke dalam Neraka seperti keyakinan umum. Melainkan karena Danny 'kan bukan manusia seutuhnya, tetapi setengah dari hantu, yang makhluk dunia gaib (kalo kultur luar sih hantu atau roh manusia juga disebut "demon" yang artinya "iblis").
Saat itu jatuh pada tanggal 31 Agustus, ketika belum kelar sedihnya akibat kelinci pertama yang mati tiga hari ke belakangnya. Aku sedih karena waktu itu Papah nggak mau terima pemahaman lainnya untuk iblis. Untuk cerita selengkapnya bisa dibaca di salah satu catatanku yang lama. Lalu, pada saat sahur pertama, baru juga mulai makan, udah kaget lagi dapet kabar bahwa kelinci satunya lagi juga mati!
Kebayang, 'kan, mental aku lagi rapuh-rapuhnya pada saat itu? Ini menjadi salah satu sebab mengapa ketika Insiden Kelinci terjadi itu aku kesulitan berpikir jernih.
📖 "Pelajari Sebab dan Akibat"
Butuh waktu sekian lamanya untuk memahami letak kesalahanku pada insiden kelinci itu. Setidaknya aku membutuhkan waktu tiga tahunan. Selama tiga tahun itu, sudah pernah dikatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dan hewan. Pada saat itu, aku belum langsung paham karena menurut persepsiku hal yang disebut menyamakan manusia dan hewan hanya sebatas mengejek dengan sebutan hewan saja.
Ternyata, menurut common sense lokal, hewan itu derajatnya di bawah manusia, alhasil dianggap hina dan rendah. Sehingga jangan diperlakukan dengan sikap yang sama, karena seperti menyetarakan kedudukan manusia jadi rendah seperti hewan. Itulah sebabnya Papah merasa tersinggung dengan ungkapan keherananku akan perbedaan sikap orang lain denganku untuk kelinci yang mati. Karena pemikiranku yang tidak seperti itu untuk hewan (tidak menganggap rendah), maka butuh waktu yang lama untuk memahami mengapa pertanyaan itu menyinggung perasaannya beliau, secara hal seperti ini tidak pernah diajarkan di buku-buku budi pekerti.
Pemikiranku ini malah lebih mirip orang luar ketimbang warga lokal negara ini, walaupun tidak akan sama persis dengan kisah berikut ini. Dalam manga Honey Rabbit, seorang ibu yang kehilangan anak lelakinya bahkan memelihara beberapa ekor kelinci sebagai anak asuhnya, bukan lagi sekadar peliharaan. Mereka menempati posisi yang hilang dari hati sang ibu, yaitu anak (tentunya aku tidak akan sampai level segininya). Apabila ibu tersebut menganggap hewan itu makhluk yang rendah, tidak akan para kelincinya itu dianggap sebagai pengganti mendiang sang anak.
Tetapi kenapa ibu tadi bisa sampai menganggap para kelincinya itu sebagai pengganti anaknya yang telah di Surga? Aku nggak bisa spill di sini, karena itu spoiler dari manga ini!
📖 "Pelajari Dirimu"
Meski ditaruhnya terakhir, justru inilah poin yang paling penting. Kalo bahasa kerennya sih "the last, but not the least". Jika kita tidak mengenal diri sendiri, akan sulit pula untuk mencintai diri ini. Dalam periode tertentu setelah Insiden Kelinci itu, aku sempat merasa sebal dengan diriku sendiri, yang tadinya cukup mencintai diri.
Selama lebih dari sepuluh tahun setelah insiden tersebut, aku terus merasa diri sendiri ini bodoh karena bisa-bisanya logikanya nggak nyampe untuk sebabnya orang memperlakukan manusia dan hewan secara berbeda. Jikalau tidak separah kata "bodoh", mungkin "naif" itu lebih mendekati. Sampai-sampai membuatku curiga bahwa aku mengalami gangguan jiwa karena bisa sampai senaif itu pada usia sebelas tahun pada 2008 lalu. Namun, pada lain kesempatan, Papah pernah berkata bahwa aku memiliki cara pandang yang berbeda, tetapi itu bukanlah sebuah kelainan atau penyakit mental, tetapi justru sebuah keunikan.
Pada pertemuan pertamaku dengan psikolog pada 2021 lalu, aku menceritakan kisah insiden ini beserta keterangan dari Papah bahwa sudut pandangku tidak biasa. Beliau menyetujui itu, bahwa aku hanya memandang dari sudut lainnya, bukannya kesulitan untuk berpikir logis. Setelah teman-teman di terapi crafting, beliau adalah orang kedua yang menyadarkanku bahwa nalarku tidak selemah yang selama ini aku dan banyak orang pikir. Ketika sudut pandangku menganggap manusia dan hewan adalah egaliter, sebaliknya orang lokal pada umumnya memandang bahwa derajat hewan itu rendah.
Dengan semakin banyak menggali diri sendiri, perlahan luntur kebencianku terhadap diri sendiri. Aku menjawab lagi kuis dalam Majalah Girls, sebuah majalah untuk anak-anak perempuan, untuk menguji kecintaan terhadap diri sendiri. Hasilnya masih sama persis dengan 14 tahun yang lalu ketika majalah tersebut terbit, yaitu "mencintai diri sendiri". Lalu, nyaris setahun yang lalu, pada tahun 2022, aku menemukan fenomena psikologis "neurodivergent" yang artinya "memiliki pemikiran yang berbeda dengan umum".