Showing posts with label memori insiden kelinci. Show all posts
Showing posts with label memori insiden kelinci. Show all posts

Saturday, December 30, 2023

Kenangan dan Kehilangan: Memahami Akar Sejati di Balik Insiden Kelinci

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku jaman SMA mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat perasaan kehilangan akan wafatnya adikku yang tengah, 17 tahun yang lalu dan juga insiden kelinci pada 15 tahun yang lalu. 

Kenangan yang Terlupakan: Waktu yang Memudar

Ditambah dengan sebuah quote dari Boy Candra dari akun twitternya @dsuperboy yang dengan tepat menggambarkan kesedihanku yang sulit untuk dipadamkan ini. Bahkan, sebuah kenangan keluarga saja ternyata tanpa sadar membuat aku teringatkan kembali ke perasaan kehilangan itu. Aku mencoba untuk menggali lebih dalam tentang apa yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang mengubah banyak hal dalam hidupku sejak usia pra-remaja.


Tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci. Kalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci peliharaan itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa tahun itu. Kejadian ini membuatku semakin kuat keingintahuan akan hubungan manusia dan hewan. 

Pertemuan Keluarga: Awal Mula Kenangan

Kelinci itu diberikan satu minggu sebelum bulan puasa itu oleh abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008, ketika kedua anak lelakinya beliau sudah sembuh dari luka khitan bersamaan dengan adikku yang terbesar. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang sebenarnya membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku yang lahir di antara adikku yang besar dengan yang bungsu itu! 

Tidak mau terkesan tidak mensyukuri peristiwa yang membahagiakan keluarga Papah dan abangnya itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarganya Papah dari Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Tragedi yang Tertimbun: Kunjungan ke Cirebon

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana sambil menginap setelah beberapa hari wafatnya adikku yang tengah, dekat dengan hari Idul Adha tahun 2006. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya abangnya Papah itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 

Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember di tahun yang sama. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dan kehilangan dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa kelinci itu hanya seekor hewan peliharaan. Satu ekor kelinci lainnya, sudah mati sebelum sahur pertama kami ini.

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Mengingat Adikku: Kelinci yang Mengungkit Kesedihan

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 2x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Pertanyaan Tentang Kehilangan

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

Perbedaan Pandangan: Kehilangan Manusia vs. Hewan

Saat aku menangis sendirian, aku mulai merenung mengapa keluargaku tampak tidak merasakan kesedihan yang sama. Apa yang membuat perasaanku begitu berbeda dalam menghadapi kematian seekor hewan dibandingkan dengan kehilangan manusia? Aku bertanya-tanya apakah ada perbedaan mendalam antara keduanya, dan mengapa aku merasa seperti ini.

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.

Dialog Imajiner dengan Papah: Mencari Pemahaman

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku saat sahur itu adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri dalam hati. 

Kekecewaan yang Mendalam: Perasaan yang Tidak Tersampaikan

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku sudah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu pada kenyataannya malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.

Wednesday, October 11, 2023

Membedah Diary Jaman Lulus SMA

Catatan 12 Oktober 2023

(Sebenarnya ditulis pada tanggal 17) 

Manfaat Menulis Diary untuk Mengenang Masa Lalu

Menulis diary punya manfaat besar, salah satunya untuk "memperjelas kenangan yang samar". Aku akui, kadang ada rasa canggung ketika membaca diary yang kutulis lebih dari lima tahun lalu. Satu-satunya alasan aku menengok kembali diary dari masa-masa SMA adalah untuk membaca catatanku tentang Insiden Kelinci. Meskipun selama bertahun-tahun aku terus menulis tentang insiden itu, aku tahu tulisanku sudah berubah seiring dengan pemahamanku yang berkembang.

Insiden Kelinci dalam Catatan Diary Lawas

Entri yang aku tunjukkan fotonya di sini berasal dari 19 Juli 2016, tepat di beberapa halaman terakhir buku diaryku. Jadi, mencari tulisan tentang insiden kelinci itu nggak susah. Dulu, aku hanya menulis tentang pertanyaan yang muncul di kepalaku saat kelinciku mati, yang kemudian kutanyakan langsung pada almarhum Papah. Saat itu, aku belum tahu alasan kenapa aku bertanya seperti itu.

Mencoba Memahami Perspektif Orang Lain

Saat membaca kembali diary lama itu, aku mencoba memposisikan diriku sebagai orang lain, bukan diriku sendiri. Bayangkan saja aku adalah orang yang tidak mengalami peristiwa itu, hanya tahu dari cerita orang lain. Saat membaca kalimat demi kalimat, aku mulai paham kenapa banyak orang menyalahkanku dan menganggap aku tidak berempati terhadap adikku. Kalau aku membaca curhatan orang lain yang bertanya seperti itu, aku mungkin akan bingung juga. 

"Ya iyalah, orang pasti lebih sedih kehilangan adiknya daripada kelinci peliharaan!" Mungkin reaksinya akan seperti itu juga, tapi aku tidak akan tersinggung seperti Papah waktu itu. Walaupun aku berpikir "Ya iyalah", aku tetap penasaran, kenapa sih diriku di masa lalu bisa bertanya seperti itu?

Kehilangan Hewan Peliharaan vs Kehilangan Manusia

Sebab, bagi aku, kehilangan hewan peliharaan juga bisa sangat menyedihkan, sama seperti kehilangan anggota keluarga. Tapi dalam diary itu aku nggak menjelaskan kenapa aku merasa seperti itu. Aku belum mampu untuk menjelaskan bahwa saat kelinciku mati, aku teringat pada memori sedih tentang kehilangan yang lebih besar dalam keluargaku. Itulah detail penting yang hilang dalam catatanku saat itu. 

Sekarang, aku semakin paham kalau semua yang terjadi sebelum insiden itu sangat penting untuk diceritakan. Karena tanpa cerita latar belakang yang proper, aku mengeluarkan pertanyaan yang terdengar aneh dan nyeleneh itu malah membuatku semakin kuat dicurigai sebagai seorang anak yang tidak cukup sehat akalnya. 

Dulu, aku kira semua orang yang menyayangi hewan akan merasa sedih sepertiku saat kelinci mati. Tapi aku kaget, karena orang-orang di rumah tidak merasa begitu. Saat kelinci terakhir yang dibeliin abangnya Papah itu mati, aku merasakan duka cita dan ternyata ini perasaan yang tepat sama dalamnya ketika adikku wafat.

Terkadang aku bingung kenapa orang lain merasa tersinggung atau aneh dengan perkataanku. Pada umumnya, orang memisahkan manusia dan hewan. Mereka berpikir kalau menganggap hewan seperti manusia itu tidak masuk akal. Salah satu alasannya adalah karena hewan dianggap makhluk yang lebih rendah, jadi kita tidak seharusnya merasa sedih kehilangan hewan seperti kehilangan manusia. Ada juga orang yang bercerita padaku, betapa bingungnya orangtuanya karena kehilangan kucing, mereka merasa sama sedihnya seperti kehilangan orang.

Percakapan Berarti di Lembah Bougenville

Bagian dari diary ini sudah aku jelaskan dengan lebih rinci sekitar dua tahun yang lalu (2021). Pada foto diary kedua yang kutulis, aku ingat menulis tentang bagaimana aku menangis teringat insiden itu, saat jam keputrian di kelas pada Ramadhan 2008. Itu adalah momen yang meaningful bagiku, karena aku merasakan ketidaknyamanan atas sebuah kebohongan kecil di bulan puasa tahun itu. Saat itu, aku masih ragu untuk menceritakan kisah tentang bagaimana satu pertanyaan tentang perbedaan antara anggota keluarga dan hewan peliharaan bisa membuat orang tua tersinggung.

Pada foto diary di atas, kutulis "tidak mungkin aku menceritakan yang sebenarnya" kepada temanku yang memergoki aku menangis teringat insiden itu saat jam keputrian di kelasku. Itu karena dulu aku biasa di-bully, salah satunya akibat pemikiranku yang sering aneh kata orang. Apalagi dulu kami masih sama-sama bocah! Udah aku dewasa aja masih ada temen yang nyalahin dan ngetawain insiden itu, apalagi kalo kami masih bocil!

Pada 12 Oktober 2008, tepat lima belas tahun yang lalu, keluargaku melakukan acara halal bihalal di Lembah Bougenville Resort, Lembang. Di sana, aku duduk bersama seorang ART keluarga di tepi kolam koi, dan kami berbicara tentang hal yang sangat meaningful. Beliau berkata, "Kita jangan merasa sebagai yang paling bodoh, karena banyak orang yang lebih bodoh dari kita." Mungkin lebih tepat kalau kata-katanya diubah jadi, "Jangan merasa kita paling bodoh, karena banyak yang mengagumi kita yang dianggap lebih cerdas daripada mereka."

Kata-kata ART itu memang tidak berkaitan langsung dengan insiden kelinci, karena saat itu aku belum berani bercerita tentang kejadian tersebut. Aku malah menyembunyikan cerita itu, bahkan dari Mamah, yang bukan saksi mata. Dulu, aku berusaha keras melupakan kejadian itu, tapi ternyata tidak bisa. Kejadian itu terus terngiang di kepalaku, meskipun aku tidak ingin membahasnya dengan siapa pun kecuali adikku yang besar, karena dia satu-satunya saksi mata. Catatanku tentang foto yang ketiga (pengalaman di Lembah Bougenville)


Mengatasi Trauma yang Berulang dari Insiden Kelinci

Mungkin ini pertama kalinya aku berani menulis pertanyaan yang membuat Papah marah dalam diaryku. Sebelumnya, di catatan waktu SMP, aku hanya menulis sekilas tentang bagaimana Papah marah karena aku bertanya tentang kelinci yang mati. Bahkan dulu, aku tidak menjelaskan kenapa beliau marah, karena aku kira orang mengira aku benci kelinci.

Dalam beberapa foto diary yang aku tunjukkan, seakan-akan semua peristiwa terjadi dalam waktu yang sangat dekat. Padahal, dari Insiden Kelinci hingga percakapan dengan ART, ada jarak waktu sebulan lebih. Insiden Kelinci terjadi di hari pertama bulan puasa, dan halal bihalal sudah lewat lebih dari seminggu setelah Lebaran. Dari percakapan dengan ART hingga peristiwa dimana Papah mengancam "menyatukan aku dengan kelinci" juga ada jarak waktu hampir sebulan.

Belajar Menerima dan Memahami Diri Sendiri

Ternyata, Insiden Kelinci ini dampaknya jauh lebih panjang daripada yang kubayangkan. Banyak orang yang mengira aku menyalahkan Papah dan merasa kasihan dengan diriku sendiri, tapi sedikit orang yang benar-benar paham maksudku, seperti sahabatku Diva sejak kelas V dan dua temanku dari terapi crafting, mas Daniel dan Mbak Icha. Dengan pemahamanku sekarang, kalau aku jadi orang lain, mungkin aku akan heran kenapa aku dulu butuh waktu lama untuk mengerti kesalahanku.

Pesan untuk Pembaca: Pentingnya Empati

Karena tidak semua orang menganggap hewan seperti aku, aku merasa bingung sama orang lain, dan mungkin mereka juga bingung sama aku. Tapi penting untuk diingat, bahwa meskipun aku sangat menghayati hewan, itu tidak berarti aku tidak merasa kehilangan dan sedih terhadap adikku sendiri.

Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...