Ini adalah waktunya menceritakan seterbuka mungkin dengan kejadian ini. Kelinciku yang mati adalah pemberian dari Uwa Aden, kakak lelakinya Papah yang tinggal di luar kota, tepatnya Kota Cirebon. Setahun sebelumnya tepatnya pada tahun 2007, Eyang Kakung (ayahnya Mamah) sudah pernah membelikan aku dan adikku yang terbesar Irsyad masing-masing satu ekor kelinci, akan tetapi saat itu kami belum begitu tertarik memelihara hewan kecil tersebut.
Saat Uwa Aden dan keluarganya mengunjungi kami di Bandung seminggu sebelum puasa, mereka baru saja membeli dua ekor kelinci. Ketiga anaknya Uwa Aden, yang merupakan sepupu kami, juga masing-masing memelihara hewan kecil bertelinga panjang dan berekor bulat itu. Jadi baru di sinilah aku bersemangat mengurus hewan itu. Hewan jinak itu diberikan kepada kami seminggu sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada 1 September 2008, tetapi satu dari dua ekor kelinci itu mati pada beberapa hari sebelum bulan suci itu dimulai, menjadikan beberapa hari sebelum puasa juga udah kerasa sedih.
September
- Awal Bulan Ramadan 1429 H: 1 Ramadan 1429 H, 01 September 2008, hari Senin
- Hari Pertama Puasa Ramadan 1429 H: 1 Ramadan 1429, 01 September 2008 hari Senin.
- Nuzulul Qur’an 1429 H: 17 Ramadan 1429, 17 September 2008 hari Rabu.
- 10 Hari Terakhir Ramadan 1429 H: 21 – 30 Ramadan 1429 H, 21 – 30 September 2008, hari Ahad – Selasa
Insiden kelinci itu terjadi pada hari pertama bulan puasa 2008, ketika kelinci yang satunya lagi mati. Saat baru saja aku hendak makan sahur bersama keluargaku, Eyang Putri mengabarkan bahwa kelinci pemberian kakaknya Papah yang tersisa itu, juga telah mati. Di pagi-pagi buta, sebelum subuh, sudah kudengar kabar yang menurutku cukup mengejutkan, padahal tadinya aku masih semi mengantuk. Lantaran ini adalah pertama kalinya aku serius memelihara hewan, walau bukan pertama kalinya memiliki kelinci, aku merasa terpukul layaknya mendengar kabar duka seseorang.
"Mengapa orang tidak sedih ketika kelinciku mati, tetapi orang semuanya sedih saat adikku Hanif meninggal?" Itulah pertanyaan yang muncul di benakku saat sahur hari pertama Ramadhan 2008 lalu. Tidak langsung aku menanyakannya hal yang terasa konyol bagi orang pada umumnya itu kepada Papah yang duduk di depanku ketika makan sahur. Sebelum kutanyakan, sudah kusiapkan mentalku jika beliau hanya menjawab sekedarnya seperti, "Kelinci kan hewan, adiknya Teteh itu manusia." Kenyataannya, tanggapan beliau atas pertanyaanku itu sama sekali di luar dugaanku sehingga benar-benar mengagetkanku, mentalku yang tadinya siap malah sama sekali tidak siap, dan tidak langsung kumengerti alasan beliau marah, hingga tiga tahun ke depannya.
Dari postingan ini, mau ditambahin :
Reaksinya Papah yang ngebentak aku setelah sekian menit terus menunggu jawaban, rasanya bagaikan tersambar petir di waktu dini hari, saking terkejutnya. Ini bahkan jauh lebih ngagetin daripada petir di siang bolong! Apalagi waktu kejadiannya juga lagi makan sahur, matahari jelas belum terbit. Kita berhubung masuk puasa mulai hari itu sampai sebulan 'kan nggak boleh makan keduluan matahari, kecuali kuat nggak makan samsek sampai maghrib.
Cuma inget Papah itu ngebentak aku, tapi beliau ngomong apa persisnya waktu itu justru lupa total. Bahkan satu katapun yang diucapkannya ketika lagi bentak juga nggak ada yang inget. Kesedihanku susah ilang, tapinya apa kata-kata persisnya yang beliau keluarkan malah sama sekali nggak bisa dimunculkan. Nggak mukul atau menyentil sih, tapi ini jauh lebih powerful daripada kasus lainnya yang melibatkan hukuman fisik.
Di situ aku udah dapet dikit konsep bahwa manusia dan hewan itu beda, tetep aja waktu itu aku pengen tahu lebih lanjut "apanya sih yang bikin beda". Kayaknya soal "manusia adalah makhluk berakal, derajatnya di atas hewan" aja nggak cukup untuk menjelaskan perbedaannya. Makanya nggak puas sama pemikiran sendiri dan akhirnya nanyain itu ke Papah, didorong rasa kepo yang kuat banget.
Dalam Bahasa Inggris, sebuah peribahasa untuk orang yang dapet hal buruk akibat terlalu kepo itu "curiosity killed the cat". Artinya secara harfiah adalah "rasa ingin tahu telah membunuh kucing itu". Kucing bisa mati gegara penasaran sama rasa suatu makanan, padahal makanan itu udah diracun buat dimakan tikus. Apakah peribahasa ini dapat diterapkan buat aku?
Setelah makan sahur usai, aku dan adikku yang terbesar Irsyad nonton TV. Lupa lagi acara apa yang kami tonton, pokoknya acara buatan dalam negeri yang aneh banget aja, formatnya live action! Adegannya aku inget banget : ada sekumpulan bapak-bapak kopiahan di rumah orang lagi ngobrol sama ketawa-ketiwi, terus ada suara bayi nangis kebangun sama suara mereka. Denger suara bayi nangis itu, mereka seketika hening dan main ayam-ayaman tanpa mengeluarkan sepatah katapun!
Jelas itu acara komedi! Namun, entah kenapa belum bisa menghiburku. Acara teve yang absurd parah itu udah habis, aku nggak mau nonton kartun kayak biasanya (ini lagi liburan sekolah karena hari pertamanya bulan puasa). Pengennya langsung tidur aja (harusnya sih sholat shubuh). Datang ke kamar, aku dengerin musik dari ponselnya Mamah lalu ketiduran sampai agak siangan.
Bangun tidur, kok masih sedih aja ya? Liat di atas lemari kamar ada satu bungkus kue Marie susu, yang bungkusannya putih dan sedikit biru. Aku santuy aja tuh makan satu keping kue. Baru juga ditelan satu keping, kok rasanya ada yang salah ya?
Oh iya, baru inget lagi hari itu udah masuk bulan puasa! Untung aku nggak panik, karena udah tau bahwa makan karena lupa itu nggak bikin batal puasa. Apalagi itu kan baru hari pertama! Baru ngeh sekarang bahwa aku makan biskuit Marie itu sebenarnya comfort food, untuk meredakan emosi akibat Insiden Kelinci tadi sahur, tapi kan baru aja mulai puasa.
Harus cari suasana baru nich untuk mencairkan kegalauan, keluar kamar deh aku. Soalnya kalo di situ terus bisa-bisa ngiler liat itu bungkusan biskuit Marie, mana kemasannya lebih distinctive dan tekstur bungkusnya lebih halus daripada varian regular lagian! Masa nanti kelepasan makan lagi kayak tadi! Di lantai atas itu beneran cuma sendirian, karena semua keluargaku lagi di bawah.
Nemu majalah Islami di depan pintu kamar, lupa lagi judulnya apa. Aku baca sampai habis, sampai inget di majalah itu ada cerpen tentang dua burung merpati yang melapisi kubah masjid pake lembaran emas. Baca majalah belum juga reda sedihnya, aku turun ke lantai satu. Kamarku di lantai dua rumah.
Di ruang makan, Papah lagi minum jus jeruk. Aku kira beliau juga kelupaan bahwa hari itu udah masuk bulan puasa kayak aku makan kue Marie tadi di kamar atas! Ternyata beliau memang lagi ada penyakit, makanya nggak bisa ikutan shaum. Cerita aja aku bahwa tadi sempet kelepasan makan itu biskuit, kami tertawa bersama.
Sampai sini kayak nothing wrong, sampai kemudian nyadar bahwa aku masih sedih sama kejadian tadi sahur. Aku bilang kepada beliau, bahwa aku nggak tau beliau bakalan marah sama pertanyaan kayak gitu. Emosi beliau udah turun bahkan bisa nanggepin itu dengan bercanda, "Ya kenapa dong Teteh nanya yang aneh gitu sih? Kira-kira dong!" Di situ aku speechless dibuatnya dan hanya bisa bilang, "Kenapa ya Pah ...?"
Papah bilang kata "kira-kira" tadi bikin aku keingetan proyek kelompok pelajaran IPS waktu beberapa hari ke belakang. Tugas kami bikin peta. Waktu Adit nulis kata "legenda" buat peta kami, dia nulisnya huruf L gede banget dan huruf-huruf sisanya terlalu kecil (kayak tulisan "The" yang dibuat sama Spongebob, tapi perbandingan ukurannya lebih jauh lagi antara huruf pertama dengan selanjutnya). Tau kan legenda di peta, bukan Legenda Nyi Roro Kidul lho!
Fildzah, temen sekelompok aku yang lainnya, ngeliat tulisan "Legenda" itu bilang, "L-nya segede gaban, tapi 'egenda'-nya kecil banget, ya kira-kira dong!" Aku ceritakan ini juga ke Papah dan beliau ketawa lagi. Cerita lucu ini terjadi di hari yang sama ketika Adit request aku bikin gambar Danny Phantom lagi jitak Cosmo yang dapet nilai ulangan nol.
"Jika Allah menghendaki, pasti nanti Teteh ketemu lagi dengan kelinci-kelinci itu di mimpi," hibur Papah sambil tersenyum.
Senyuman beliau kubalas. Seketika senyumanku hilang lagi, karena aku udah nggak pengen lagi bareng kelinci-kelinci pemberian abangnya Papah itu. Udah kehilangan niat buat pelihara kelinci lagi nanti, jadi udah bukan lagi sedih karena matinya mereka lagi. Makanya mereka nggak pernah datang dalam mimpiku hingga kini catatan ini diketik.
Kukira percakapan kami berdua bisa menghiburku, karena tone-nya udah berubah jadi bercanda. Sayangnya, kesedihanku karena kaget dimarahin itu berlanjut hingga keesokan harinya, minggu depannya, bulan selanjutnya ketika sudah menemui Hari Kemenangan yaitu Idul Fitri. Padahal biasanya dengan ngeliatin gambar Danny Phantom dan melakukan hobi (liatin si DP itu bukan hobi sih), itu cespleng buat ilangin sedih misalnya kalo di-bully terutama oleh Nadia atau Regian di sekolah. Karena kesedihan ini belum kunjung ilang, aku semakin terkunci dalam dunia Danny Phantom yang semu, fiktif, dan tidak nyata.
Belum hilang kesedihanku, semakin intens aku menatap wajah Danny Phantom. Itulah sebabnya aku lebih terpaku pada si cowok kartun itu ketimbang sebelum Insiden Kelinci. Dua bulan berlalu dari insiden ini, yaitu November 2008, aku mencoba curhat sama Papah, ternyata ending-nya kurang bagus. Serasa kesambar petir untuk yang kedua kalinya setelah insiden itu, beliau bilang, "Teteh nanti disatuin dengan kelinci di akhirat nanti, mau!?"
Rasanya curhat itu langkah yang percuma, makanya terus menutupi kesedihannya aku dengan ngehalu tentang Danny Phantom. Walaupun itu tidak terlalu membuahkan hasil, tetap saja kukerahkan pikiran ini untuk membuat diri ini keliatannya ketawa nonstop. Padahal yang diketawain juga bukan komuk Danny itu sendiri, karena ekspresi mukanya seratus persen terkondisikan nggak banyak gaya. Melainkan, lebih ngetawain imajinasinya aku yang di luar nalar seperti Danny pake jengger ayam bohongan di kepala, terus sang manusia setengah hantu itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara kayak ayam kalkun!
Kan gokil abiez, ye? Makanya aku dulu suka ketawa ngakak sendiri kalo liatin Danny Phantom. Orang jelas pada bingung liat aku ketawa gitu. Dicari ke mana, diliatin gambarnya Danny Phantom sampe melotot 5 jam juga mereka nggak akan nemu letak lucunya.
Hal yang bikin kesedihan dari insiden itu kayak yang permanen, karena aku kaget kenapa pertanyaan itu dianggap menyamakan manusia dan hewan. Buat kasus lainnya, kayak semisal aku bolos sekolah atau berantem sama adik terutama Irsyad sich udah jelas sebabnya kalo dimarahin Papah, beda banget dengan kejadian ini. Makanya sedih akibat Insiden Kelinci ini nggak ada lawannya dari kehidupan aku sendiri. Bagi aku yang neurodivergent, yang bikin sepintas kayak yang bodoh, pemahamanku akan hewan itu beda makanya susah connect dengan pemikiran ortu dan juga orang-orang di sekitarku.
Pemahamanku tentang insiden ini juga berubah-ubah setiap waktunya. Kadang pikiran aku bilang, anak itu segalanya bagi orang tuanya, makanya jangan ada yang membandingkan antara peristiwa kehilangan anak dengan matinya binatang yang nggak punya akal kayak manusia. Namun, di lain waktu, pikiran aku juga bilang begini, lho, kok Papah tersinggung sih? Aku kan cuma ingin tahu apa sih yang bikin meninggalnya manusia itu berbeda dengan matinya hewan?
Jadinya pikiran aku itu hilang-timbul, kadang udah paham kadang juga pahamnya ilang lagi.