Monday, April 17, 2023

Kartun Masa Kecil yang Jarang Ditonton Tapi Berkesan

Catatan 17 April 2023

Inget deh jaman umur empat tahunan pernah punya VCD kartun Joseph The King of Dreams, kisah tentang Nabi Yusuf. Nggak tau kenapa hampir nggak pernah muter VCD itu, kalo gak salah karena cepet rusak. Maklum, bukan yang asli tapi bajakan, soalnya gambar di atasnya itu nggak full color tapi monokrom. Terkait gambar yang jadi kelihatan kurang jelas di atas VCD ini, ada sedikit cerita nih.

Aku udah ngeh bajunya tokoh Joseph ini rada aneh meskipun gambarnya di atas kepingan VCD itu nggak berwarna. Itu kayaknya kebantu sama gambar versi aslinya di cover VCD nya deh yang full color, meskipun memorinya samar-samar. Soalnya cepet ilang sih covernya, kayaknya ada yang buang, hiks. Jadi, aku liat gambar ini lagi udah dua dekade lebih dari saat pertama kali liat, ternyata feeling aneh sama bajunya Joseph ini terbukti!

"Mah, ini tuh pake baju gak, sih?" tanya aku pas umur empat sambil nunjuk gambar Joseph (yang di tengah) di atas kepingan VCD, yang tadi kata aku gambarnya nggak berwarna itu.

"Pake, ah. Masa gak pake?" jawab Mamah.

Di situ aku udah sangsi, karena ada vague memory waktu liat covernya. Emang sih masih ada bajunya, tapi sejak saat itu udah ada perasaan "itu baju kayaknya nggak terlalu nutup, deh". Sampe beberapa kali nanya ke Mamah karena masih ragu-ragu. Jawabannya tetep sama aja dan aku masih mikirnya dia gak pake baju lengkap.

Ternyata eh ternyata, bener aja dugaanku jaman umur empat itu!

Soal cewek yang di sebelah kiri Joseph, yang bawa kucing kurus, juga ada ceritanya sendiri dari masa kecilku. Padahal aku nggak demen sama ceweknya (biasa aja), tapi entah kenapa pengen terus niruin ikat kepalanya. Waktu itu di rumah nggak ada lagi ikat kepala dari karet selain bekas aku bayi dulu, adanya bando dari plastik keras mungkin ya. Dulu aku mikir gini, "Apa ya yang ada karetnya tapi bukan celana?", soalnya aku bukan Shinchan!

Entah kenapa refleksnya itu malah ambil kebawahan mukena buat ditaruh di kepalaku! Lupa lagi mukena punya siapa, punya aku atau Mamah ya. Sering banget aku gagayaan begini sampai Papah aku motoin momen itu! Hihihi kayaknya nggak ada yang tau itu inspired dari cover art film kartun Joseph itu.

Padahal si cewek Mesir itu, seperti yang bisa dilihat dari gambar, nggak pake kain di kepalanya, lho. Itu kepaksa karena nggak ada lagi yang fungsinya kayak ikat kepala gitu. Eh, jatuhnya malah jadi mirip dengan karakter pria tua di sebelah kanannya Joseph. Ini kasus yang mungkin memorable, aku ngerasa agak aneh sama gambar itu karena ini yang dulu muncul di pikiran aku waktu umur empat :

"Ini laki-laki atau perempuan sih yang di tengah? Diliat dari pakaiannya sih laki-laki tapi mukanya kayak perempuan cuman rambutnya pendek. Eh, bajunya juga aneh, itu pasti bukan jaket! Dia juga kayak pake rok, bukan celana!" 

Karena terus kepikiran sama tokoh Joseph itu, aku anehnya malah jadi tertarik untuk cosplaying jadi cewek Mesir yang bawa kucing itu.

Saturday, April 8, 2023

Berhasil Juga Curhat Sama Nenek Tentang Insiden Kelinci!

Catatan 9 April 2023

Kemarin, aku berhasil mengunjungi rumah Nenek lagi, setelah malam tarawih pertama waktu itu. Hal yang lebih melegakan, akhirnya aku berhasil juga menceritakan kisah Insiden Kelinci kepada beliau. Tapi, nggak aku spill secara rinci, alias udah "disensor" dikit. Di sini aku nanya, "Wajar gak sih kalo saya udah kelas lima masih nanyain 'Kenapa orang semuanya sedih kalo orang yang meninggal, tapi kalo hewan peliharaan cuma saya yang sedih'? Karena kata Mamah itu lebih cocok ditanyain sama anak lima tahun."

Aku belum terlalu berani untuk menyebutkan kalimatnya secara terperinci. Poin dari pertanyaan itu kan emang meninggalnya orang secara umum. Sayangnya, kesalahanku pada Insiden Kelinci itu malah menyebutkan meninggalnya adikku, karena itulah yang muncul pertama di pikiranku sebagai contoh dari orang yang meninggal. Di sini aku sengaja menyebutkan pertanyaan itu menggunakan kata "orang" secara umum.

Nenek menjawab, "Wajar, karena semua pertanyaan anak itu wajar dan karakter setiap anak itu nggak sama. Ada anak yang datar aja kalo cuma binatang yang mati, ada juga anak yang justru sangat sedih ketika hewannya mati."

Alhamdulillah, rasanya lega banget denger jawaban beliau itu. Kebanyakan orang yang aku share kisah itu juga anggap wajar. Yang anggap aku di luar akal sehat atau logika cuma kedua ortu dan temen-temen dari organisasi keagamaan di kampus. Malah yang terang-terangan ngejek dan ngetawain cuma satu doang, temen pondok my ex-BFF (buat yang belum tahu, artinya "mantan sahabatku").

Gimana kalo ada yang ngetawain di belakang? Apapun yang kita lakukan, pasti ada aja yang kontra, jadi orang yang ngomongin di belakang itu nggak terhindarkan. Tapi aku yakin, orang-orang yang kasih respon positif untuk kisah itu nggak mungkin nusuk dari belakang. Alasannya kenapa, aku juga gak tahu dan feeling aku berkata demikian. 

"Semestinya ketika Mamah dan Papah nggak tahu jawabannya, bilang saja 'tidak tahu', karena bukan berarti mereka tidak mau menjawab tapi memang tidak tahu," Nenek melanjutkan perkataannya.

"Mereka bukannya nggak tahu jawabannya sih, karena mereka lebih ke tersinggung, mereka anggap aku nyamain manusia dengan hewan," terangku.

"Ya, meskipun dalam agama Islam kita harus menyayangi binatang, tentu saja kita akan lebih bersedih dengan orang, karena sesama manusia. Kalau binatang kan bagaimana pun derajatnya di bawah manusia. Orang tuamu itu pekerjaannya mirip ilmuwan, sehingga mereka tidak terlalu menaruh perasaan," urai Nenek.

"Tapi, Papah dan Mamah anggap aku nggak empati karena disangkanya mereka aku lebih sedih sama binatang daripada sesama orang," tambahku. 

Padahal, aku nggak pernah berpikir demikian. Justru karena pernah merasakan kehilangan sesama manusia, bahkan anggota keluarga sendiri, aku bisa bersedih akan kematiannya kelinciku. Emang mungkin agak aneh kedengarannya, tapi emang itulah yang terjadi. Jadi, gimana tanggapan Nenek mengenai kalimatku yang tadi itu?

"Pada saat itu, nggak ada orang yang baru meninggal, kan?" tanya Nenek.

Ketika akan menjawab pertanyaan tersebut, aku agak ragu menjawabnya. Iya sih, waktu nanyain itu, memang tidak ada orang yang kukenal baru-baru saja wafat. Namun, "orang" yang jadi pertanyaan aku dalam insiden itu 'kan adikku sendiri yang kedua, saat itu belum dua tahun dari kejadiannya meninggalnya dia. Walaupun kejadian meninggal adikku itu belum ada dua tahun, tetep aja bukan termasuk yang recently.

"Nggak ada orang waktu itu yang baru aja meninggal, kok, Nek," jawabku setelah berpikir sejenak.

"Kata Mamah, aku ini kecerdasan emosionalnya banyak ketinggalan makanya masih nanyain itu di usia anak kelas lima."

"Kamu itu justru sangat pintar, makanya nanyain itu, yang nggak banyak kepikiran sama orang. Di pikiran kamu itu sebenarnya udah ada jawabannya, tapi masih ragu-ragu makanya bertanya kepada orang tuamu yang kamu anggap lebih pintar. Justru karena kamu merasa masih belum pintar, makanya masih bertanya. Betul, kan?" papar Nenek. 

"Betul, Nek," tangkasku.

Seperti kata sopir angkot yang mengantarkan aku saat perjalanan pergi ke rumah beliau, "Malu bertanya sesat di jalan". Karena, aku masih belum hapal jalan untuk ke rumah beliau jika menggunakan kendaraan umum selain ojek atau taksi online. Makanya, kemarin itu adalah pertama kalinya aku naik angkot ke rumah Nenek. Jadi, ada dua kelegaan pada hari kemarin: berhasil curhat tentang Insiden Kelinci dan juga berhasil ke rumah Nenek dengan angkot.

Alhamdulillah jika ada anggota keluarga terdekatku yang menganggap itu wajar. Tahu gini sih aku curhat tentang ini dari dulu. Sebenarnya udah lamaaaaa banget pengen bahas ini sama Nenek, tapi belum kepikiran caranya karena ini topik yang sensitif, menyangkut adikku yang jelas juga cucunya. Dengan menyebut peristiwa kematian manusia secara umum, ternyata cukup aman.

Sebenarnya aku pribadi nggak terlalu setuju jika binatang itu terlalu direndahkan derajatnya. Tetapi, untuk konteks nyawa manusia dengan hewan, aku mulai membenarkannya. Ini bukan karena kuanggap hewan itu hina, tetapi karena peliharaan itu cenderung unlimited, bisa beli lagi. Lain halnya dengan anggota keluarga sendiri, nggak ada gantinya!

Ini pernah dijelasin sama seorang stranger di Twitter, untungnya dia juga pet lover makanya bisa jelasin dengan sabar.

"Nyawa manusia itu nggak ada gantinya, makanya manusia lebih sedih ke sesamanya. Kalo hewan kan bisa ganti lagi yang baru," jelasnya melalui ketikan berupa cuitan di Twitter.

Walaupun kuanggap manusia dengan hewan itu egaliter, tetap saja nggak akan bisa sama persis. Ini mirip dengan batuan atau logam mulia, jelas lebih berharga daripada batu atau besi biasa karena jarang/langka. Batu di jalanan atau besi yang biasa kita jumpai itu jauh lebih banyak tersedia di alam, makanya harganya nggak setinggi langit kayak berlian atau emas. Ya, begitu juga dengan nyawa manusia yang sekalinya hilang tidak tergantikan, berbeda dengan hewan yang bisa beli lagi atau menemukan lagi yang baru.

Untuk konteks ini, hewan dianggap lebih rendah bukan karena mereka hina, tetapi karena mereka tersedia melimpah.

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...