Showing posts with label insiden kelinci. Show all posts
Showing posts with label insiden kelinci. Show all posts

Friday, December 27, 2024

Ketika Nobita dan Teman-Temannya Menangis Bersama: Refleksi tentang Perpisahan dan Hewan Peliharaan

Catatan Jumat, 27 Desember 2024

Baru-baru ini, aku menonton Doraemon: Nobita and The Birth of Japan versi remake tahun 2016. Salah satu adegan paling emosional adalah ketika Nobita dan teman-temannya menangis bersama karena harus berpisah dengan tiga hewan fantasi peliharaan: pegasus, naga, dan griffin. Meski aku belum menonton versi aslinya dari film ini, yang dirilis pada tahun 1989, menurut sebuah situs web yang kubaca, adegan perpisahan ini dibuat lebih emosional dalam versi remake-nya. Hewan-hewan tersebut tidak mati, melainkan dibawa ke masa depan yang lebih cocok untuk mereka. Namun, momen perpisahan itu tetap terasa sangat mendalam, tidak hanya bagi Nobita tetapi juga bagi penonton.

Adegan ini membawaku kembali ke masa pra-remajaku, ketika aku kehilangan kelinci peliharaan yang sangat kusayangi. Ketika kelinci itu dikabarkan mati, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Kelinci itu bukan sekadar binatang bagiku. Rasa sedih ini bahkan terasa hampir sama kuatnya dengan saat adikku wafat, yang pada waktu itu belum dua tahun berlalu. Namun, berbeda dengan respons Nobita dan teman-temannya dalam film tadi, orang-orang di rumahku tidak menunjukkan kesedihan yang sama. Dari sana, aku mulai menyadari bahwa ada perbedaan penting antara anggota keluarga sungguhan dan hewan peliharaan yang dianggap bagaikan anggota keluarga.

Jika Nobita sendirian yang menangis sedih, mungkin aku tidak akan terlalu merenungi adegan ini. Wajar jika dia yang paling terpukul, karena hanya dia yang memelihara ketiga hewan fantasi tersebut sejak mereka lahir. Namun, yang membuat adegan ini begitu menarik adalah bagaimana teman-temannya—yang tidak ikut memelihara—dapat menyerap kesedihan dari Nobita. Mereka menangis bersama-sama, merasakan emosi yang dialami Nobita, meskipun mereka tidak memiliki ikatan langsung dengan hewan-hewan tersebut. Aku pernah berharap orang-orang di sekitarku akan bersikap sama seperti adegan ini. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan dugaanku. Alih-alih berbagi kesedihan, mereka tetap tidak terpengaruh. Hal ini justru membuatku penasaran: mengapa empati semacam itu tidak terjadi di dunia nyata?

Pada saat itu, usiaku yang hampir sebelas tahun pada 2008 lalu mencoba mencari sendiri apa perbedaan besar antara manusia dan hewan. Penalaranku tentu masih terbatas, sehingga aku bertanya kepada Papah mengapa orang-orang di sekitarku memperlakukan manusia dan hewan secara berbeda. Namun, responsnya tidak seperti yang kuharapkan. Papah mengira aku menyamakan kedudukan manusia dan hewan. Aku sangat kaget ketika beliau bereaksi dengan marah, hingga "soak," kalau kata orang Sunda. Butuh waktu yang sangat lama bagiku untuk memahami di mana letak kesalahanku dengan bertanya seperti itu. Bahkan hingga kini, pemahamanku kadang berubah-ubah: terkadang aku merasa bersalah, tetapi di saat lain aku tidak bisa menemukan di mana letak kesalahannya.

Film ini juga membuatku berpikir tentang bagaimana hewan sering kali dihayati seperti manusia dalam berbagai cerita, baik di Doraemon maupun karya fiksi lainnya. Pegasus, naga, dan griffin dalam film ini bukan sekadar makhluk fantasi; mereka diberi karakteristik yang membuat mereka terasa seperti bagian dari keluarga Nobita. Mungkin inilah sebabnya adegan perpisahan itu begitu kuat secara emosional. Namun, aku juga menyadari bahwa apa yang digambarkan dalam film sering kali berbeda dengan dunia nyata. Tidak semua orang menghayati hewan peliharaan dengan kedalaman yang sama, dan itu tidak berarti mereka tidak peduli.

Film Nobita and The Birth of Japan (2016) mungkin hanyalah cerita animasi, tetapi bagi sebagian orang, termasuk aku, ia menjadi cermin untuk merefleksikan hubungan kita dengan hewan peliharaan dan cara kita menghadapi perpisahan. Adegan perpisahan Nobita dengan tiga hewan peliharaannya selalu mengingatkanku pada pertanyaan yang pernah muncul: apakah salah menghayati hewan sebesar kita menghayati saudara kita? Mungkin jawabannya tidak sederhana. Yang jelas, film ini menunjukkan bahwa emosi yang kita rasakan terhadap hewan peliharaan—dan kesedihan kita saat harus berpisah—tetap valid dan berharga, apa pun kata orang lain.

Pamanku pernah mengatakan bahwa aku sudah terlalu terobsesi dengan insiden kelinci itu. Mungkin ada benarnya, karena kenangan itu selalu muncul kembali setiap kali aku menyaksikan perpisahan dengan hewan peliharaan, seperti dalam adegan Doraemon: Nobita and The Birth of Japan. Aku tidak bisa begitu saja melupakan insiden tersebut. Rasanya seperti luka lama yang terus terasa nyeri, meskipun waktu telah berlalu. Namun, aku juga berpikir bahwa mungkin ini bukan soal obsesi, melainkan cara pikirku yang mencoba mencari makna dan alasan dari peristiwa yang pernah terjadi.

Wednesday, January 10, 2024

Insiden Kelinci Bukan Disebabkan oleh Autisme!

Catatan 10 Januari 2024

Ketika kecil, aku pernah dicurigai mengidap autisme. Namun, perjalanan panjang bersama psikolog dan psikiater akhirnya menjelaskan kebenaran yang lebih kompleks.

"An autistic person may have difficulty in communication; both the physical act and the meta-knowledge of the purpose of communication. People with more severe autism often have highly restricted vocabularies and subjects they are able to communicate about. They will typically not ask questions or initiate communication with others. A person with autism may develop an interest in a narrow range of subjects, and limit their communication almost exclusively to these things."


Pengalamanku Dicurigai Autis

Ketika kecil, aku dulunya dianggap pengidap autisme karena sering menunjukkan tindak-tanduk yang aneh dan tidak umum seperti memerhatikan sesuatu selama berjam-jam, misalnya mainan. Lalu masuk SD inklusi pada tahun 2004, aku mulai mengenal anak-anak yang tulen menderita autisme. Ternyata dari segi perilakunya, mereka sangat berbeda denganku sehingga tidak perlu pihak sekolah menyediakan guru pendamping (shadow teacher atau co-teacher) untukku. Akan tetapi, dengan obsesiku akan Danny Phantom ketika usiaku menginjak dua digit alias pra-remaja pada tahun 2008, aku jadi semakin dicurigai sebagai seorang anak autis karena aku begitu terpaku dengannya.

Aku sering bertanya mengenai my mental health, apakah iya aku anak autis atau bukan? Kata Mamah, penderita autisme secara umum tidak akan mempertanyakan hal seperti itu tentang dirinya. Bahkan menurut kutipan artikel di atas, penderita versi terparah dari autisme tidak akan bertanya apapun sama sekali atau hanya berbicara beberapa patah kata saja. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi.

Sementara anak dengan spektrum autisme yang lebih ringan biasanya terus menerus membahas mengenai topik kesukaannya kepada orang lain dan tidak ada inisiatif sendiri untuk bertanya kepada orang lain. Mereka tidak merasa perlu tahu hal-hal yang di luar minatnya, jadi mereka tidak akan bertanya apapun. Lalu, mereka tidak peduli dengan apa yang menjadi ketidaktahuan mereka. Jika mereka dimisalkan dengan aku, ibaratnya aku hanya ingin tahu tentang Danny Phantom atau apapun yang menjadi minatku saat itu, dan tidak akan penasaran dengan sikapnya orang-orang di sekitarku.

Mengapa Aku Bukan Anak Autis

Walaupun ciri khas autisme pada kalimat terakhir paragraf di atas juga timbul di dalam diriku (terus-menerus membicarakan tentang apa yang kusukai), ternyata tetap ada perbedaan yang jelas antara aku dan mereka. Penderita autisme seperti itu tidak akan pernah bertanya duluan kepada orang lain, mereka akan berbicara secara satu arah. Ini jelas adalah sebuah kontras dengan Insiden Kelinci! Meskipun terdengar sebodoh apapun kalimat yang kuucapkan waktu itu, insiden tersebut terjadi justru karena aku bertanya kepada Papah yang ternyata pertanyaannya menyinggung perasaan beliau dan itu tidak lazim untuk ditanyakan. 

Meskipun kontennya sepintas terdengar absurd dan tidak menggunakan logika, kalimat yang kuucapkan berupa kalimat tanya. Dulunya aku curiga kalimat tanya tersebut terlontar begitu saja dari mulutku karena aku ini adalah salah seorang penderita autisme. Kini, kecurigaan itu terpatahkan sudah karena anak autis tidak ada inisiatif apapun untuk mencari tahu akan suatu hal dengan bertanya kepada orang lain! Hasil pemeriksaan psikolog dan psikiater juga telah mementahkan asumsi orang-orang atas diriku. 


Peran Insiden Kelinci dalam Kesehatan Mentalku

Penderita autisme biasanya tidak peka akan sekelilingnya. Menurut salah satu dari tiga psikolog tempatku terapi, penderita kelainan mental seperti itu malahan tidak akan merespon apabila dikejutkan. Insiden kelinci terjadi karena aku noticed sikap orang banyak itu berbeda denganku dalam menanggapi kabar dari Eyang Putri (yang menurutku adalah kabar duka). Jika aku mempertanyakan sikap orang-orang, itu artinya aku memerhatikan sesuatu yang terjadi di antara kami.

"Anak autis itu gak akan ngeh jika sikapnya mereka itu tidak wajar atau jika mereka tidak memahami banyak hal, mereka tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya. Sedangkan kamu masih bisa peka sama orang lain," jelas Mamah ketika aku masih SD dulu. 

Seperti yang tadi sudah disebutkan, anak autis itu tidak ada rasa ingin tahu tinggi terhadap perilaku manusia lainnya. Satu pertanyaan yang diajukan olehku di usia pra-remaja kepada Papah itu, timbul karena keingintahuanku tentang bagaimana orang-orang di sekeliling bersikap. Ketika aku hanya sendirian yang menangis sedih karena kehilangan kelinci, aku pada saat itu penasaran mengapa aku hanya sendirian yang menangis. Keluargaku di rumah hanya berduka untuk kehilangan anggota keluarga saja dan tidak sepertiku yang juga merasa kehilangan untuk hewan peliharaan, hal itu membuatku berpikir bahwa "manusia dan hewan itu pasti memiliki setidaknya satu perbedaan yang mendasar". 

Umurku yang pada September 2008 itu akan menginjak sebelas tahun bulan berikutnya, masih belum dapat menemukan sendiri apa yang sebenarnya membedakan antara dua makhluk hidup itu. Walaupun, keduanya memiliki akhir kehidupan yang sama. Aku ingin mendapatkan jawaban dari Papah yang lebih pasti mengenai hal itu. Kemampuanku untuk memilih diksi dan merangkai kata yang saat itu masih jauh dari kata mahir menjadikan kalimat pertanyaannya salah yang keluar, jawaban yang kunantikan itu pun tidak kudapatkan dari ayahku.

Akibatnya, aku disangka sebagai anak dengan autisme karena disangka kesulitan untuk peka dan berempati dengan musibah kehilangan yang dialami keluargaku hampir dua tahun sebelumnya (pada tahun 2006). Kesedihan yang tadinya karena kematian kelinci, berubah menjadi kesedihan yang disebabkan oleh asumsi dari keluargaku sendiri. Mengapa bisa jadi timbul kesimpulan di benak mereka bahwa aku tidak dapat merasakan sakit akibat wafatnya adikku sendiri? Justru karena pernah terluka dengan kehilangan yang besar sebelumnya, maka kehilangan yang lebih kecil juga terasa hati bagiku. 

Saat adikku wafat, aku menangis dengan cara yang sama—air mataku mengalir tanpa henti, dan dadaku terasa sesak. Perasaan itu kembali hadir saat kelinciku mati, meskipun skalanya berbeda. Namun, luka lama membuat rasa kehilangan yang lebih kecil tetap terasa perih bagiku. Bagi orang lain, mungkin kehilangan hewan peliharaan hanyalah hal kecil. Namun bagiku, luka kehilangan yang pernah kualami membuat setiap perpisahan terasa lebih berat. Aku tidak hanya menangisi kelinci itu, tetapi juga kenangan yang seolah kembali membuka luka lamaku.

Ketika adikku wafat, semua orang menangis bersamaku. Tangisku dianggap wajar, bahkan sebagai bentuk kasih sayangku. Tapi saat kelinciku mati, tangisku dipandang aneh, seolah-olah aku tidak mengerti apa itu kehilangan yang sebenarnya. Padahal, bagiku, rasa kehilangan itu sama nyata.

Hubungan Gangguan Kecemasan dan Autisme

Kejanggalan pemikiranku sudah clear bahwa bukan disebabkan oleh faktor autisme. Sempat psikolog di kampusku menduga bahwa aku pengidap ADHD, tetapi psikiater tidak mengatakan hal yang sama. Beliau mendiagnosa aku mengidap anxiety atau kecemasan, yang dapat berujung pada depresi. Gejala-gejala mirip autisme yang muncul pada diriku sebenarnya mungkin lebih tepat jika disebut sebagai gejala salah satu gangguan kecemasan.

Apakah Insiden Kelinci yang terjadi ada kaitannya dengan anxietas? Aku hanya berharap akan mendapatkan jawabannya dari sesi terapi selanjutnya dengan psikolog di kampusku. Pastinya insiden pada tanggal 1 Ramadhan 1429 sebenarnya sudah dipicu sekitar satu atau dua bulan sebelumnya. Setelah adikku wafat, keluargaku berkunjung ke rumah Wa Aden(abang Papah) di Cirebon, lalu satu tahun setengah kemudian kami mengunjungi rumah yang sama untuk mengadakan khitanan bersama.

Kelinci itu diberikan oleh keluarga tersebut ketika mereka gantian mengunjungi keluargaku di Bandung. 

Sebenarnya hal yang membuatku teringat kembali memori kelam adikku itu bukanlah kematian kelincinya, tetapi semua hal tentang keluarga abangnya Papah(?)

Menangis karena kehilangan, baik besar maupun kecil, adalah tanda bahwa aku mampu merasakan kasih sayang dan keterikatan. Justru pengalaman kehilangan adikku yang membuatku lebih peka terhadap rasa duka, bukan kurangnya empati seperti yang diasumsikan keluargaku.

Friday, January 5, 2024

Support System dari Diri Kita Sendiri

Catatan 5 Januari 2024

Tahun sudah berganti, tetapi Insiden Kelinci masih juga bercokol di dalam hati. Kesekian kalinya sudah kukatakan, aku bukannya sakit hati atau dendam. Rupanya ini adalah kasus khusus di mana ini adalah sebuah kesedihan yang tidak cukup dihapus hanya dengan melakukan hiburan-hiburan kecil atau bahkan juga yang besar. Aku membutuhkan penanganan khusus supaya bisa melupakan kesedihan ini, yaitu curhat sama orang yang tepat!

Ingat deh ketika usiaku masih sebelas tahun pada tahun 2008, aku pernah menyadari bahwa teman curhat itu sangat penting untuk mengatasi kesedihan. Saat itu, Insiden Kelinci sudah berlalu agak lama, kurleb dua bulanan. Kusadari bahwa sudah terlalu lama untuk merasakan sedih atas insiden itu dan hal yang paling membuatku sedih bukanlah kematian sang kelinci piaraan. Butuh sekali aku untuk curhat, sayangnya belum tahu kepada siapa karena insiden ini menyangkut adikku yang khawatirnya mereka akan juga tersinggung seperti Papah ketika aku mencoba untuk curhat mengenai hal ini kepadanya.


Mengenang Support System Terdahulu

Di saat dulu itu aku sedang bingung akan curhat kepada siapa, aku teringat seorang saudara di keluarga besar Eyang Putri. Mundur sekitar tiga tahun sebelum insiden itu, Eyang Putri pernah memiliki seorang adik perempuan yang biasa menemaniku ketika di rumah. Berarti beliau adalah tantenya Mamah, sang "eyang dari pinggir" ini mengisi kelas Kursus menjahit yang diselenggarakan di garasi rumah tempatku tinggal alias rumahnya Eyang Putri. Aku biasa curhat banyak hal kepada beliau, sayangnya takdir memaksaku dan juga seluruh keluarga besarku, untuk berpisah dengan beliau pada pertengahan tahun 2005 ketika aku baru naik ke kelas 2 SD (beliau bahkan tidak sempat mengasuh almarhum adikku yang tengah).

Setelah tantenya Mamah itu wafat karena sakit, nyaris tidak ada lagi orang yang dapat kuajak curhat untuk mengatasi kesedihanku. Tidak ada pula orang lainnya di sekitar yang dapat menggantikan beliau terkait kedekatannya denganku. Dari sisi kelas kursus menjahit itu, untungnya masih memiliki pengajar yang lainnya sehingga orang-orang yang ingin belajar menjahit dengan kami tidak kesulitan. Ketika sedang sedih-sedihnya akibat miskomunikasi dengan Papah dalam Insiden Kelinci itu, aku dilanda kebingungan harus curhat kepada siapa lagi karena dulunya terlalu malu.

Dahulunya, aku hanya mengobrol dengan tantenya Mamah itu seputar topik-topik ringan seperti tokoh-tokoh komik manga Sailor Moon. Kalaupun aku saat itu sedang ada masalah dan butuh curhat dengan beliau, palingan karena berantem dengan adikku yang besar. Usiaku masih tujuh tahun setengah saat "eyang dari pinggir" wafat, sehingga belum pernah kami melakukan deep talk. Begitu usiaku sudah melebihi sepuluh tahun dan pengalaman yang cukup pelik ini terjadi, barulah aku merasakan kehilangan yang teramat sangat. 

Pentingnya Teman Curhat

Ketika usiaku sudah mencapai remaja hingga dewasa awal, barulah aku berani untuk membuka diriku berbagi kisah Insiden Kelinci ini dengan banyak orang. Jika di dunia nyata insiden tersebut masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan akal sehat, ternyata ada pula para netizen yang memiliki kisah hidup serupa mengenai hewan peliharaan. Pertemuanku dengan para peserta terapi crafting tiga tahun yang lalu, terutama dengan Mbak Icha dan Mas Daniel, benar-benar banyak membantuku mencapai mental health yang lebih baik. Tujuanku curhat mengenai insiden ini supaya orang lain memahami bahwa niatku itu tidak buruk ketika membandingkan reaksi orang lain antara dua peristiwa kematiannya makhluk hidup yang berbeda.

Walaupun, ternyata terdapat kesalahanku dalam merangkai kata untuk membuat kalimat tanya. Sehinggalah pertanyaan yang kuajukan malah menyinggung hatinya Papah tanpa kusengaja, sama sekali.

Pelajaran Tentang Support System

Pengalaman ini mengajarkanku, support system haruslah berasal dari diriku sendiri. Terkadang kita membutuhkan seseorang, tapi ternyata dia tidak selalu ada untuk kita. Arti dari "tidak ada" ini, bukan selalu karena orang yang kita butuhkan tidak mau men-support kita. Bisa jadi juga artinya orang yang selama ini memberikan dukungan untuk kita, ternyata takdir mengharuskannya berpisah dengan kita.

Kita sendirilah yang harus men-support diri sendiri agar kesempatan untuk mengatasi masalah, menjadi lebih besar. Setelah terbentuknya support system oleh diri kita sendiri, kita akan dapat lebih baik dalam mencari seorang teman curhat.


Pernahkah Anda merasakan kehilangan serupa? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Friday, October 20, 2023

Lebih Paham dengan Deep Talk daripada Dibentak

Catatan 20 Oktober 2023

Insiden Kelinci: Memahami Kesalahan dan Belajar dari Perspektif Orang Tua

Menfess tentang 'lebih paham dengan deep talk daripada dibentak' benar-benar terasa relatable untukku. Dua bulan setelah Insiden Kelinci, aku akhirnya berkesempatan melakukan deep talk dengan Papah mengenai kejadian itu. Saat insiden terjadi, aku hanya bisa kebingungan, bertanya-tanya: di mana letak kesalahanku? Namun, melalui obrolan dari hati ke hati, meskipun sempat terkejut dengan interpretasi beliau atas pertanyaanku, aku akhirnya mulai memahami mengapa kata-kataku membuatnya tersinggung.

Biasanya, kalau aku dimarahi orang tua, aku langsung tahu di mana letak kesalahanku. Tapi Insiden Kelinci berbeda. Hal ini terasa sangat memorable karena pada saat itu aku tidak langsung paham apa yang salah. Butuh dua bulan untuk mulai mengerti apa yang membuat Papah almarhum tersinggung. Ternyata, pertanyaan yang aku ajukan pada hari pertama Ramadan itu menyentuh hal yang sangat sensitif baginya.

Saking besarnya pengaruh dari pengalamanku itu, diduga kuat pengalaman ini sudah menjadi core memory untukku.

Mengapa Aku Bertanya Hal Itu?

Pertanyaanku saat itu sebenarnya lahir dari kebingungan dan rasa kehilangan yang besar. Ketika kelinciku dikabarkan mati, otakku secara otomatis memutar ulang memori tentang wafatnya adikku. Itu terjadi begitu mendadak. Alhasil, aku merasakan kesedihan yang sama dalamnya dengan ketika kami kehilangan anggota keluarga.

Namun, yang membingungkanku adalah sikap orang-orang di sekitarku. Mereka tidak terlihat sedih atas kehilangan kelinci itu seperti aku. Rasanya, kesedihanku dianggap berlebihan, sementara bagiku, rasa kehilangan ini nyata dan tak bisa dielakkan.

Momen itulah yang memicu rasa ingin tahu tinggi: apa yang sebenarnya membedakan antara manusia dan hewan? Papah, yang dikenal dengan wawasannya yang luas, kuharapkan bisa memberikan jawabannya. Ternyata, aku salah merangkai kata saat menyusun pertanyaanku. Akibatnya, beliau salah sangka ketika mendengarnya.

Percakapan yang Mengubah Perspektif

Insiden itu terjadi pada September 2008, tapi baru pada November aku dan Papah punya deep talk yang membuka semuanya. Beliau sempat kaget karena aku masih menangisi kejadian itu, bahkan dua bulan setelahnya. Aku sampai jujur mengakui bahwa aku menangis bukan karena mimpi buruk, tapi karena masih merasa sedih.

Padahal sehari sebelumnya aku baru saja ikut field trip ke Penerbit Mizan dan membeli buku seri KKPK berjudul "Ketika Waktu Berhenti"—hari yang seharusnya menyenangkan. Namun, malam itu semuanya berubah setelah Papah menjelaskan apa yang sebenarnya membuatnya marah.

Dengan nada kesal, beliau berkata, "Orang tua yang kehilangan anaknya karena meninggal pastinya akan sedih jika dibandingkan atau disamakan dengan binatang!"

Aku terkejut. Pertanyaanku tidak dimaksudkan untuk menyamakan manusia dengan hewan. Aku hanya merasa kehilangan kelinci kecilku mengingatkanku pada kehilangan adik kandungku yang lebih besar. Justru karena pernah terluka oleh pengalaman sedih dari kehilangan yang besar, kehilangan yang lebih kecil juga terasa menyakitkan untukku. 

Ketakutan dan Kebingungan

Papah juga mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung, "Nanti di akhirat Teteh disatuin sama kelinci, mau?"

Pernyataan itu membuatku takut. Aku membayangkan hal-hal buruk, seperti tubuhku menjadi hybrid dengan kelinci. Aku menjawab ketakutan, "Nggak, Pah!"

Beliau melanjutkan dengan nada lebih serius, "Naha atuh? Kenapa kamu bertanya begitu waktu itu?"

Aku hanya bisa diam. Dalam pikiranku, pertanyaan itu lahir dari kebingungan: kenapa orang-orang di sekitar tidak memiliki kesedihan yang sama untuk hewan seperti aku?

Belajar Memahami Perspektif Orang Tua

Setelah mendengar penjelasan Papah, aku mulai memahami mengapa beliau marah. Menurutnya, pertanyaanku saat itu bukan pertanyaan kritis, tetapi tidak etis. Aku memang tidak berniat merendahkan manusia atau keluargaku sendiri, tetapi sudut pandangku berbeda.

Papah juga sempat memberikan contoh tentang teman tanteku, "Ada orang tua yang rutin membawa anjing peliharaan mereka ke dokter hewan, tapi anak mereka yang giginya bolong tidak dibawa ke dokter gigi. Itu kan salah!"

Papah khawatir aku menjadi orang seperti itu. Namun, aku tahu dalam hati bahwa aku tidak seperti itu. Sejak kecil, aku selalu menyayangi hewan peliharaan dan manusia dalam porsi yang berbeda, tanpa mengurangi rasa hormat atau cinta pada keduanya.

Refleksi dan Pelajaran

Hingga kini, percakapan itu tetap membekas. Dari pengalaman ini, aku belajar dua hal:

1. Pentingnya memilih waktu dan orang yang tepat untuk bertanya. Tidak semua pertanyaan cocok untuk semua orang, apalagi topik-topik sensitif.


2. Berempati terhadap perspektif orang lain. Kadang, sudut pandangku yang berbeda membuatku sulit memahami orang lain, termasuk kedua orang tuaku.



Seperti yang pernah disampaikan psikologku di sesi terapi pada 2021, aku berpikir dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Karena itu, aku perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan rasa ingin tahu, terutama kepada orang-orang yang aku sayangi.

Bagaimanapun luasnya wawasan Papah, aku belajar bahwa ada hal-hal tertentu yang lebih bijak ditanyakan kepada orang lain. Setiap orang, termasuk beliau, punya batasan dalam hal yang sensitif. Momen ini mengajarkanku bahwa memahami perspektif orang lain tidak hanya tentang apa yang kita tanyakan, tetapi juga tentang kapan, bagaimana, dan kepada siapa pertanyaan itu diajukan.

Thursday, October 5, 2023

Validasi Perasaan: Menghadapi Insiden Kelinci dan Kehilangan Layaknya Anggota Keluarga

Catatan 5 Oktober 2023

Perasaan yang Abadi: Refleksi Usia Lebih dari Seperempat Abad

Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri. 

Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, (jangan bosan ya). Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia tepatnya anggota keluarga sendiri. Sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".  

Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan? Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.

Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum adikku. Itu ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi beliau bekerja pada perusahaan Eyang Putri. Maka, beliau jadi sering sekali bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. 

Kisah Insiden Kelinci mengingatkanky pada bagaimana aku meragukan perasaanku sendiri setelah kelinci peliharaanku meninggal. Sebuah kejadian yang memicu memori akan kehilangan yang lebih besar, yaitu adikku yang telah wafat sebelumnya.

Sebuah Flashback Emosional

Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar dari Eyang Putri kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo. Marlin mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaan sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara kami yang sudah agak jauh kekerabatannya tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku. 

Sepupu jauhku, sebagai salah seorang korban selamat dari bencana alam Tsunami Aceh 2004 juga pernah sementara waktu sering mengalami flashback ketika bencana alam itu terjadi. 

Validitas Perasaan: Menerima Perasaan Kehilangan

Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian atas kematian kelincinya. Kehilangan anggota keluarga dianggap wajar untuk berduka, tetapi apakah itu juga berlaku untuk hewan peliharaan?

Meskipun aku tahu perbedaan antara manusia dan hewan, tetap saja aku merasa bingung: apakah perasaanku atas kehilangan kelinci peliharaan juga valid? Di usia yang lebih dewasa, aku mulai menyadari bahwa setiap perasaan, baik itu terkait dengan kehilangan manusia atau hewan, adalah valid. Tidak perlu mencari validasi dari orang lain untuk merasa bahwa perasaan kita itu sah adanya.

Menemukan Dukungan: Masyarakat yang Semakin Mendukung Kesehatan Mental

Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid. Di saat usiaku hampir sebelas tahun pada akhir dekade 2000an, aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental pada dekade 2020an ini. Juga, banyak pet lovers yang sangat menjiwai piaraan mereka sampai-sampai mereka menangis dan berdukacita jika piaraannya mati. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid. 

Kesimpulan: Semua Perasaan Itu Valid

Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya. Tidak ada perasaan yang lebih penting atau kurang valid dari yang lain. Setiap perasaan kita adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihargai. Dengan menerima perasaan kita sendiri, kita dapat hidup lebih damai dan menerima diri.

Monday, March 6, 2023

Refleksi Dua Tahun Setelah Insiden Kelinci: Sebuah Catatan Pribadi dari Diary SMP

Catatan 6 Maret 2023

Pada tanggal 1 September 2010, tepat dua tahun setelah Insiden Kelinci, aku menulis entri di buku harian untuk memperingati hari tersebut. Hingga aku masuk kelas tujuh SMP, aku masih juga bingung mengapa Papah marah padaku saat itu. Meski adikku yang terbesar, Irsyad, berulang kali menjelaskan bahwa ayah kami tersinggung karena pertanyaanku yang menyamakan manusia dengan binatang, aku tetap tidak mengerti pada saat itu. Aku bahkan sempat berpikir ayah membenci kelinci peliharaanku yang terakhir, tetapi pada akhirnya aku menyadari bahwa pemahamanku selama ini salah.

Bagi aku, pertanyaan itu kerasanya nggak gitu, nggak kayak bikin manusia sama dengan binatang. Sebelum aku paham bener alasan di balik tersinggungnya Papah, pada saat itu sempet muncul dugaan aneh. Dalam dugaanku setelah insiden itu, Papah makanya nggak mau ada manusia yang dibandingkan dengan hewan itu karena beliau benci banget sama kelinci. Untuk situasi dan kondisi lainnya, membandingkan manusia dengan hewan itu tidak dianggap merendahkan atau menyamakan, ini dulu bikin makin aku bingung di mana letak kesalahannya!

Padahal waktu itu di sekolah baruku lagi acara Ramadhan Fair, aku dan teman-teman sekelompok lagi lomba menghias parcel. Setelah parcel kami rampung, aku masuk kelas dan membuka buku diary untuk mencatatkan hari peringatan dua tahunnya insiden kelinci. Nyaris malu aku untuk menceritakannya kepada teman-teman, makanya hanya berani untuk ditulis dalam buku harianku. Cuma sahabatku Diva yang sudah tahu kisah ini sejak kami berdua masih duduk di bangku SD, karena insiden ini terjadi pada saat aku masih kelas lima.

Ini akibat dari aku dulu nggak buruan curhat sama orang yang tepat, makanya problem ini malah jadinya makin runyam!

Versi bahasa sopan : Ketika pemahamanku terlambat dan aku mencoba untuk menebak-nebak sendiri, biasanya malah hasilnya jauh beda.

Versi bahasa kasar : Ketika aku lagi berada dalam "kebodohan", dengan berusaha mikir sendiri malah ujung-ujungnya makin ngaco pemahamannya.

Buku harian itu masih inget pake binder "Harvest" gambar Capricorn, padahal aku Libra tapi zodiak itu lagi nggak ada di tokonya. Atau mungkin aja ada alasan lainnya kah, kenapa nggak pilih gambarnya sesuai dengan zodiak aku? 


Ayo, kembali ke topik awal! Nanti bakalan ada sendiri catatan yang khusus membahas tentang binder tersebut!

Inilah entri buku harian aku untuk peringatan dua tahun Insiden Kelinci : (aku tulis seingetnya aja karena udah banyak lupanya, udah lama sih!) 

"Hari ini, tepat pada tanggal 1 September 2010 sudah dua tahun dari 'sahur hari pertama bulan puasa yang menyedihkan'. Ketika aku sedang sahur, Eyang Putri memberitahu bahwa kelinciku mati. Di saat aku bersedih karena kelinci itu mati, Papah memarahiku. Apakah beliau benci dengan kelinci peliharaanku? Jika iya Papah benci sama kelinci, kenapa nggak pernah bilang itu sebelumnya, sehingga Uwa ngasih kami dua kelinci waktu itu?" 

Entah gimana ceritanya, pada suatu malam setelah bulan puasa usai, adikku Irsyad nggak sengaja baca buku harian tersebut. Dulu aku belum ngerti kenapa diary itu harus pribadi dan rahasia, karena biasanya aku nggak nulis hal-hal yang memalukan kalo orang baca. Isinya palingan cuma kegiatan sehari-hari dan gambar-gambar karya sendiri. Kayaknya waktu itu tujuan awalnya buat ngeliatin ke Irsyad satu gambaran karya aku yang letaknya beberapa halaman sebelum entri tentang mengenang kembali dua tahunan Insiden Kelinci itu.

"Teh, ini sih jadinya kayak ngefitnah Papah! Di situ Teteh nggak nulis bahwa Teteh nanyain 'itu'. Padahal yang bikin Papah marah itu kan karena ditanyain soal 'itu'. Artinya seakan kayak Papah yang benci banget sama kelinci!" ujar Irsyad ketika nggak sengaja buka lembar-lembar selanjutnya dan baca tulisan itu. 

Langsung jantungan aku, takutnya Papah denger! Bisa bahaya tuh kalo sampai beliau denger terus baca catatan itu, malahan makin buruk! 

"Jadi, Papah itu marah ke Teteh hari itu bukan karena beliau benci kelinci?" tanyaku kaget, ternyata dugaanku selama dua tahun ini salah, tidak benar!

"Papah itu bukan benci sama kelinci, tapi karena Teteh waktu itu nanya yang menyamakan manusia dengan binatang!" jelas Irsyad. 

"HAAAH!?" Aku tersentak, menyadari kekeliruanku memahami insiden itu yang malah menjadi jauh berbeda daripada kejadian yang sebenarnya! Saat dia ngomong itu masih nggak ngerti juga kenapa pertanyaan pada insiden itu dianggap menyamakan manusia dan hewan, tapi setidaknya udah terbuka pemahamanku yang baru.

Tadinya kami berdua lagi di ruang belajar di bawah tangga untuk ke lantai dua, aku buru-buru ambil binder itu buat buang lembaran entri tanggal 1 September 2010 itu! Aku lari ke dapur buat buang lembar itu ke tempat sampah. Apa boleh buat, catatan tanggal 2-nya ikut ilang, deh, karena ditulis di halaman belakangnya. Guru Bahasa Indonesia juga nggak akan ngerasa aneh jika di buku itu dari tanggal 31 Agustus langsung lompat ke tanggal 3 September, karena aku emang sering lupa nulis entri diary sampai beberapa hari.

Ngeliat aku lari ke dapur, Eyang Putri yang lagi di kamarnya yang terletak di lorong menuju dapur belakang, nanya, "Ada apa Teh Hanna?"

"Nggak ada apa-apa! Mau buang sampah, Yang Ti!" sahutku sambil melanjutkan langkahku ke dapur belakang yang gelap.

Di situ aku nggak sepenuhnya bohong, karena arti dari sampah itu 'kan bisa juga "sesuatu yang udah nggak diperlukan atau nggak berguna lagi". Aku emang udah nggak perlu lagi catatan untuk tanggal 1 September itu, karena udah diberi paraf sama gurunya juga. Buku harian kami semua dikumpulkan untuk diberi paraf dan sesekali ditambahkan komentar oleh guru bahasa Indonesia kami. Ketentuannya, hanya beliau yang boleh baca buku harian kami semuanya dan jangan sampai dibaca sama temen!

Ternyata malah lebih bahaya kalo dibaca sama ortu sendiri! Udah kayak Nobita yang nyumputin kertas ulangan yang nilai nol dari emaknya! Guru Bahasa Indonesia itu untungnya nggak ngasih komentar yang macam-macam. Kalau tidak salah begini komennya beliau : "waduh, kenapa Papah Hanna bisa benci sama kelinci, tuh?"

Papah udah mencium gelagat bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu dari beliau. Biasanya, aku menyembunyikan karya gambarku yang berupa karakter kartun yang pakaiannya terbuka auratnya. Beliau nggak suka aku bikin gambar yang kayak gitu. Namun untuk kali ini, catatan topik sensitif kayak gitu malah jauh lebih buruk akibatnya kalo ketauan sama Papah ketimbang bikin gambar macam begitu! 

"Teteh bikin gambar yang 'malu' lagi, ya?" tanya Papah menyelidik dari ruang tamu. Beliau nggak suka kalo gambar baju terbuka itu dibilang "seksi", jadinya aku sebut itu "malu".

"Bukan, Pah!"

(Walaupun emang iya sih gambarnya cover dari binder Capricorn itu lumayan seksoy!)


Akhirnya aku berhasil menyobek lembar tersebut dari binder dan karena lagi buru-buru, aku nggak sempet buang ke tempat sampah. Lembar tersebut aku taruh asal aja di lantai dapur yang gelap. Padahal dalam kondisi normal, aku takut gelap apalagi di dapur belakang. Untuk kasus ini, sikonnya beda lagi dan jauh lebih serem kalo Papah sampai baca tulisan itu dan keingetan lagi kisah itu!

Padahal kenangan menyedihkan itu udah aku kubur dari keluarga walaupun masih aja suka kebaca sama Irsyad. (Sekarang malah sering aku sharing kisah ini ke banyak orang, termasuk strangers di Twitter karena aku tahu, orang yang beneran paham perasaanku nggak akan ngejek dan biasanya justru ketemunya yang emang relate dengan kisah ini).

Habis aku buang selembar kertas halaman binder Capricorn itu, rasanya lega banget. Aku segera nyamperin Papah ke ruang tamu dan aku ngejelasin bahwa itu bukan seperti dugaannya beliau. Isi buku yang aku umpetin dari beliau itu bukan gambar, tapi tulisan!

"Teh, Papah mah menghargai privasinya Teteh. Kalo kata Teteh bahwa Papah nggak boleh lihat itu, Papah juga nggak akan baca," tutur beliau kalem.

"Bukan gambar yang 'malu-malu', kok, Pah," kataku mempertegas. 

"Papah tahu, kok." jawab Papah tenang.

Di situ aku tenang banget, ternyata seruan Irsyad pas baru baca tulisan aku itu nggak kedengeran sampai ruang tamu tempat Papah berada. Aku menghela napas lega sekaligus sedih, karena beliau menghargai isi buku yang kurahasiakan padahal kontennya menyinggung beliau. Jarang juga lho ada ortu yang menghargai privasi anaknya kayak gitu. Inget aja kalo Nobita pulang ke rumah, ibunya suka nemuin kertas-kertas bekas ulangannya di lacinya.

Hingga beliau wafat, Papah nggak pernah tahu isi dari catatan aku di binder diary itu. Maafin Teteh ya, Pah. Padahal gambar sampulnya juga udah nggak aman binder Capricorn itu, tapi catatanku itu bikin gambar itu nggak ada apa-apanya! Sebutannya jaman sekarang itu "menggiring opini" untuk catatan tadi, padahal akunya aja waktu nulis itu udah lagi "tersesat" sama pemikiran sendiri!


Catatan : lembar zodiaknya aku itu yang sudut kanan bawah, Libra.

Ternyata, sampai aku lulus dari SMA masih juga aku merasa sedih dengan kemarahannya Papah karena pertanyaan itu. Terbukti dari aku yang menulis tentang ini di buku harian.

Tuesday, February 14, 2023

Insiden Kelinci Adalah Salah Satu "Core Memory" Buatku!

Catatan 15 Februari 2023

Rencananya, Disney mau ngeluarin beberapa sekuel tahun ini yaitu film Toy Story 5, Frozen III, Inside Out 2, dan Zootopia 2. Di sini yang bakalan jadi fokus aku itu Inside Out. Hal yang bikin film tadi itu unik adalah karena membahas tema psikologi, tepatnya istilah core memory dari film yang terakhir disebutkan. Banyak fenomena psikologis yang lebih mudah dijelaskan jika dikaitkan dengan film itu. 

Peran Penting Film Inside Out dalam Psikologi

Setiap kali aku akan brought up Insiden Kelinci, rasanya ragu, khawatir orang yang baca akan jadi bosan. Itu disebabkan karena ini adalah peristiwa yang paling kontroversial, setiap orang penerimaannya berbeda-beda. Juga merupakan insiden yang paling sulit bahkan alot untuk dilupakan. Adikku Irsyad punya penjelasan terkait Insiden Kelinci ini, dia menjelaskan hal ini dengan perumpamaan dari film Inside Out yang berkaitan erat dengan core memory tadi.

Dalam film yang menceritakan tentang kelima perasaan yang dipersonifikasikan ini (marah, senang, sedih, takut, dan jijik), terdapat visualisasi dari memori berupa bola-bola memori. Dari ribuan bahkan jutaan memori yang kita miliki, terdapat sebuah "memori inti" (core memory), yang digambarkan sebagai bola-bola yang bersinar paling kuat dan ditempatkan di wadah khusus yang berbeda dari memori biasa.


Apa Itu Core Memory?
 
"Mungkin ayah dan bunda sudah pernah mendengar istilah core memory. Istilah ini memiliki arti memori atau kenangan akan kejadian yang paling berpengaruh bagi si kecil. Core memory tidak hanya memberi kesan mendalam, tetapi juga bisa menjadi dasar dari nilai dan tabiat yang dimiliki anak saat dia dewasa." 


Hubungannya Core Memory dengan Insiden Kelinci

Aku nggak bermaksud menyalahkan Papah, aku cuma pengin tahu kenapa kejadian ini berpengaruh banget ke aku dan susah hilang dari pikiran.

Menurut adikku yang terbesar Irsyad, alasan di balik sulitnya aku melupakan Insiden Kelinci itu adalah karena peristiwa tersebut sudah merupakan core memory bagi aku seperti dalam film Inside Out. Sekarang sudah mulai jelas bahwa peristiwa itu terus melekat di benakku itu bukan karena aku hanya terobsesi akan kejadian itu, apalagi dendam sama Papah, melainkan karena memori akan insiden tersebut memberikan pengaruh yang mendalam bagiku. Lalu, mengapa insiden yang kontroversial itu bisa termasuk kenangan yang paling berpengaruh dan memberikan kesan yang dalam di kehidupanku, sehingga jadi memori inti? Ini juga masih ada penjelasannya dan dia itu ngejelasinnya dalam sekali duduk, bukan di momen yang berbeda. 

🔮 Ya, seperti yang kita baca dari kutipan artikel di atas (sebenarnya itu artikel buat parenting), ortu emang perannya nggak main-main buat menciptakan memori inti alias core memory dalam kepala kita yang anaknya mereka. Dalam Insiden Kelinci itu, aku waktu itu emang berkaitan erat bahkan berurusan sama Papah almarhum. Nah, dari siapa yang terlibat dalam kejadian aja udah ketebak sebabnya itu kejadian bisa masup ke memori inti. Sayangnya, ini nggak berhenti sampai di situ, karena nggak semua kemarahan Papah itu berbekas ampe segitunya.

Kemarahan Papah yang sampai mukul pun nggak bikin keingetan segitunya. Mungkin ada beberapa peristiwa macam begitu yang bikin kepikiran, tapi nggak alot juga untuk ngelupainnya. Bisa jadi nggak masuk-masuk ke memori inti acan. Mari kita simak penjelasan selanjutnya dari adik aku yang paling gede ini!

🔮 Pada insiden itu, aku jelas lagi sedih-sedihnya karena kelinci peliharaan yang mati. Jadi, dari awal emang udah sedih sebelum aku bikin Papah marah karena cara pandang beliau terhadap pertanyaan itu yang berbeda denganku. Pada kasus biasa, sedih itu setelah dimarahin, bukan sebelum dimarahin juga udah sedih. Di sini juga curiga aku udah ada gejala-gejala PTSD, karena kelinci mati doang bikin keingetan lagi sama adik yang udah meninggal. 

Emosi aku lagi intens ketika Insiden Kelinci itu terjadi (kesedihan pertama karena kematian kelinci dan kesedihan kedua karena dimarahi Papah tak disangka-sangka), peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam selain karena merupakan interaksi aku dengan orang tua, yaitu Papah. Dari sini udah ketemu dua faktor penyebab masuknya insiden ini ke dalam memori inti, yaitu faktor interaksi dengan orang tua dan faktor perasaan yang intens karena rasa sedih bertambah-tambah dan ditambah pula kekagetan karena dimarahi. Ini hanya bagian dari penjelasan adik aku yang posisinya netral dan dia satu-satunya saksi mata kejadian ini, jadi bukan aku menyalahkan Papah seperti yang beberapa orang anggap. Dari kejadian ini, aku belajar banyak soal hubungan emosional dengan orang tua dan gimana cara pikirku sendiri yang berbeda.

🔮 Contrary with most people believes, aku bukannya lebih sedih sama hewan peliharaan ketimbang adik sendiri. Kejadian ini bikin waktu itu nyadar satu hal : orang-orang menyikapi kehilangan sesama manusia dan hewan itu berbeda. Oleh karena itu, aku mempertanyakan soal itu di saat masih kelas lima, aku tidak menganggap itu membuat derajat manusia menjadi hina atau rendah. Bagiku, kematian adalah sebuah topik yang menarik untuk diulik, dicari tahu seluk-beluknya. 

Banyak orang pikir aku ini logika atau kecerdasan emosionalnya ketinggalan (terutama Mamah yang mikir gini), padahal kayaknya sih hanya karena perbedaan sudut pandang dengan orang biasa. Bahasa ilmiahnya itu neurodivergent, buat sudut pandang yang umum itu disebut neurotypical. Setelah ke psikolog, baru deh ngerti kenapa aku masih nanyain perihal itu yang kata orang "normal" itu udah jelas jelas jelaassss banget. Karena punya pemikiran yang nggak umum, dulu aku itu sama sekali had no idea bahwa itu bukan hal yang dianggap benar oleh masyarakat umum, setidaknya masyarakat yang umum di Indonesia. 

Jika momen dimarahin Papah biasanya udah tau letak kesalahannya sehingga nggak kaget lagi kalo beliau marah, kali ini sama sekali nggak ada dugaan sedikitpun bahwa pertanyaan seperti itu bakalan dimarahin. Rasa terkejutnya jadi di-up berkali-kali lipat dibandingkan kasus biasa, sampai menjadi core memory. Bahkan hingga kurang lebih tiga tahun dari kejadiannya, aku masih bertanya-tanya kenapa itu bikin beliau tersinggung. Sejak paham bahwa mayoritas warlok mikirnya hewan itu rendah, posisinya di bawah manusia, baru deh ngerti kenapa menyinggung (tapi nggak bikin ilang sedihnya). 

Udah ketemu tiga faktor nih kenapa itu kejadian jadi memori inti yang terus aja keingetan (ini beda dengan yang orang Sunda sebut "neuteuli") selama lebih dari sepuluh tahun lamanya :
1. Melibatkan interaksi dengan orang tua, apalagi ortu dalam kejadian ini udah meninggal. Jadinya aku nggak bisa verifikasi ke beliau. 
2. Kondisi emosi yang intens karena satu kesedihan ditambahkan satu kesedihan yang lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan (nggak sampe sejam dari kabar matinya kelinci ke aku dimarahin Papah karena nanyain itu). 
3. Rasa terkejut yang teramat sangat, yaitu berasal dari bentakan, tidak menyangka ucapanku bisa menyinggung, dan menemukan bahwa pemikiran orang di luar diriku ternyata jauh berbeda denganku. 

Jadi makin suka nih sama film-film Disney terutama yang keluaran Pixar, soalnya banyak berkaitan dengan kejiwaan. Sebenarnya kalo mau diulik lagi, Frozen terutama yang pertama, itu metafora dari masalah psikologis. Semoga saja Inside Out 2 ini lebih banyak ngulik tentang core memory itu. Core memory ini disebutkan pada kutipan artikel di atas bahwa dapat juga menjadi dasar tabiat anak ketika dewasa, andai saja tidak ada peristiwa itu kayaknya aku nggak akan segitu berminat untuk mengenal tentang diri sendiri.

Kecintaanku pada film-film Disney dan Pixar juga ditumbuhkan oleh Papah yang dahulu sering membeli VCD dan DVD nya. Aku sayang Papah, cuma kejadian ini memang susah aku lupakan karena dampaknya cukup besar.

Wednesday, June 16, 2021

Relevansi Kisah Masa Laluku dengan Kehidupanku Zaman Sekarang

Catatan tanggal 24 April 2021

Sejak aku biasa mengulik apa saja yang terjadi setelah insiden kelinci saat kelas V itu, aku menemukan satu sebab mengapa hanya peristiwa itu saja yang memberi dampak begitu besar dan terus menetap dalam memoriku. Untuk kasus ini, aku jarang berterus terang menceritakan kisah itu dan tidak segera mencari pemecahannya, malah terus kututupi. Padahal sebelumnya sering juga Papah memarahi anak perempuannya satu-satunya ini, tetapi biasanya kesedihan akibat hal itu cepat hilang. Misalnya, ketika ayahku marah kepadaku karena aku berkata kasar, keesokan harinya mood sudah kembali ceria dan segera lupa akan kesedihanku. 

Namun, kasus insiden kelinci ini sangat berbeda, karena rasa sedihnya berlangsung sampai lebih dari satu tahun sejak kejadiannya! Biasanya jika aku sedang sedih setelah dibentak Papah, aku langsung cerita kepada Mamah atau siapapun yang berada di dekatku. Kalau untuk kasus ini sikapku tidak demikian, Mamah malah baru mengetahui kisah ini setelah setahun kejadiannya, yaitu pada saat aku sudah duduk di kelas VI. Rasa insecure takut ditertawakan menghalangiku untuk curhat secara terbuka akan hal ini, karena kesalahanku dalam kasus ini sungguhlah aneh, menanyakan sebabnya orang tidak sedih akan kematiannya hewan dan berbeda dengan jika sesama manusia yang meninggal, terutama anggota keluarga.

Mengapa Insiden Kelinci Begitu Membekas?

Karena jarang berterus terang kuceritakan, jelaslah problemnya sulit terselesaikan dengan tuntas. Pada saat jam pelajaran Keputrian pada Jumat antara pekan kedua atau ketiga Ramadhan tahun 2008, ketika teman-teman lelaki di sekolahku sedang salat Jumat, pernah aku terpergok sedang menangisi insiden itu oleh temanku jaman SD. 

Saat Heidi temanku dari kelas sebelah yaitu 5B (aku anak kelas 5A) bertanya, "Hanna, kenapa kamu?" aku tidak sepenuhnya berkata yang sebenarnya.

Jawabanku adalah "Kelinciku mati" padahal bukan itu alasan utamanya, apalagi saat itu masih bulan puasa, semua orang tahu bahwa berbohong di saat menjalankan ibadah puasa itu dilarang secara lebih keras daripada bulan biasa. 

Tahu kan kalau teman yang berkomentar itu kemungkinan besar (kata "pasti" di sini kuhindari, karena selalu ada kemungkinan yang lain) mulutnya tajam, apalagi waktu itu kami hanyalah anak kelas V SD yang masih labil? Padahal belum tentu begitu juga seandainya saat itu kukatakan dengan sesuai kenyataannya. Bisa jadi teman-temanku yang mengikuti Keputrian bersamaku itu malah menghiburku. Ah, perasaan insecure ini terlalu kuat. 

"Saat aku masih kecil dulu, aku juga pernah bertanya 'mengapa Papa tidak pernah bosan dengan Mama, sedangkan aku kadang bosan bersama teman' kepada Eyang Kakung. Seharusnya dahulu kamu menanyakannya kepada beliau," kenang seorang kerabat. Eyang Kakung adalah ayahnya Mama dan kerabatku itu, seperti yang sudah sering aku jelaskan. 

"Tetapi pertanyaannya yang kuajukan itu berbeda konteksnya. Aku membandingkan meninggalnya adik kandungku sendiri dengan hewan peliharaan yang masih dapat dibeli lagi yang baru!" seruku masih dengan muram.

"Sebenarnya konteksnya justru sama. Menanyakan sebab dari perbedaan perasaan manusia pada dua kejadian yang serupa tetapi dengan situasi-kondisi yang berbeda," jelas beliau. 

Kesulitan Berbagi Cerita: Pelajaran dari Masa Lalu

Padahal aku sebenarnya dahulu memiliki cukup banyak waktu dari sejak insiden itu yang terjadi pada 1 September 2008 hingga wafatnya Eyang Kakung pada 29 Januari 2010 lalu. Mengapa aku bisa tidak sempat untuk mencurahkan pengalamanku yang kurasa menyedihkan ini kepada kakekku yang dikenal sebagai pendengar yang baik tersebut? Aku terlalu malu dan takut untuk disalahkan—meski yang kulakukan itu memang tidak dapat diterima (mayoritas) masyarakat—dan itu malah akan membuat keadaan emosiku semakin buruk! Bahkan aku sampai detik ini belum berani bercerita kepada Nenek, ibunya Papah karena jika aku curhat kepada beliau, khawatir tanggapannya akan sama marahnya seperti ayahku yang merupakan anaknya, wah sudah hampir 13 tahun beliau belum mengetahui kisah ini.

Untung saja Nenek masih hidup hingga kini ketika catatan ini kutulis. Kuharap beliau sehat terus dan jika kucurahkan pengalamanku ini tidak membuatnya jatuh sakit. Kalaupun tidak sampai sakit, semoga beliau tidak sakit hati karenanya.
 
Pentingnya Keterbukaan dalam Mengatasi Masalah

Ternyata sifatku yang sulit berterus-terang membicarakan masalahku ini masih berlanjut hingga kini aku duduk di bangku perkuliahan! Masih berlanjut sampai sekarang, di tahun 2021 ini! Hal ini bahkan sampai memengaruhi tugas kampusku, jika mengalami kesulitan ketika mengerjakannya, aku malah berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bukannya meminta bantuan kepada orang sekitarku, misalkan Mamah. Padahal tidak jarang ibuku itu dapat memecahkan kesulitanku dengan jitu, seperti yang sudah sering terbukti.

Dengan mempelajari kilas balik masa pra-remajaku, akhirnya aku menemukan bahwa sifatku inilah yang sering menyeretku kepada masalah tidak berkesudahan. 

Segini saja dulu ya catatan hari ini.

The Curious Connection Between Lou (UglyDolls) and Rancis Fluggerbutter (Wreck-It Ralph)

January 17, 2025 When it comes to animated characters, some connections are so striking that fans can’t help but imagine shared universes an...