Papahku memang orangnya tegas dan ketat soal peraturan, jadi sebenarnya bukanlah hal yang langka jika beliau marah atas kesalahan yang kulakukan, entah itu berupa perkataan atau perbuatan. Harusnya sih ya aku tidak kaget dan trauma atas Insiden Kelinci itu. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa butuh waktu paling sedikit tiga tahunan untuk memahami letak kesalahanku pada insiden tersebut. Pemahamanku akan hal itu kudapat ketika pada saat liburan Lebaran 2011 yang membosankan!
Sebelum pandemi menyerang, jika sedang liburan keluargaku memang sudah biasa "di rumah saja" karena sering tidak punya waktu dan biaya untuk bepergian.
Lantaran hari-hari liburan yang sangat gabut karena tidak ada lagi rencana bepergian, aku saat itu hanya dapat merebahkan diri di atas kasur di kamarku. Aku menghitung lamanya Insiden Kelinci hingga tahun itu, ternyata sudah mencapai tiga tahun! Di situ aku termenung, memikirkan mengapa kemarahan Papah yang satu itu terasa begitu membekas, berbeda dengan kasus-kasus lainnya? Kasus yang satu ini memanglah unik, karena aku butuh berpikir dengan keras untuk menjadi paham letak dari kesalahanku pada saat terjadinya kasus ini.
Sambil rebahan, pikiranku melayang ke penjelasan Papah tentang apa yang bikin beliau marah karena pertanyaanku pada saat kelinci itu mati. Beliau berkata bahwa aku ini menyamakan atau membandingkan antara anggota keluarga sendiri dengan binatang. Sungguh, bagiku (padahal bagi kebanyakan orang lain hal ini mudah untuk dipahami) penjelasan beliau itu lumayan membingungkan. Mengapa dianggap menyamakan, padahal dulu itu sama sekali tujuannya bukan untuk making fun of my own the late brother, malahan kataku sendiri juga itu tidak funny atau fun sedikitpun!
Sebelum insiden itu terjadi, pemahamanku akan istilah "menyamakan hewan dengan manusia" itu hanya sebatas mencela atau mengejek bentuk tubuh maupun wajah seseorang yang kontennya adalah memiripkan orang yang bersangkutan dengan suatu hewan saja. Beneran, pengertian dari istilah tersebut ternyata lebih luas dari yang kuperkirakan! Baru kupahami maksud beliau ketika sedang rebahan di liburan Idul Fitri 2011 tanpa rencana apapun itu, tanpa kubertanya kepada siapapun! Begitu pikiran ini mendapat pencerahan lewat lamunan, rasanya bagaikan terkena petir di siang bolong, waktu itu memang sedang tengah hari juga.
Ternyata maksudnya dari istilah yang disebut oleh Papah itu adalah "menganggap matinya hewan itu sama pentingnya dengan meninggalnya manusia"! Namun, bagiku kepedulian terhadap makhluk hidup di luar manusia itu memang sama pentingnya dengan memperhatikan sesama anggota keluarga sendiri. Kita juga tidak boleh menelantarkan hidup hewan yang tidak memiliki akal pikiran seperti kita-kita ini, sama seperti kepada sanak saudara kita. Saat terakhir kulihat kelinciku yang berbulu coklat itu adalah pada sore hari menjelang Maghrib sedang berada di luar kandangnya dan semua orang di rumahku lupa untuk memasukkannya kembali ke dalamnya, itulah sebabnya kelinciku itu mati pada saat sahur pertama di bulan Ramadhan 2008.
"Jadi, menurut Teteh, antara meninggalnya adikmu dengan matinya kelinci itu sama, begitu!?" tanya Papah setelah beliau marah karena pertanyaanku itu.
Kalau ditanya begitu, agak dilematis untuk kujawab. Rasanya agak sulit jika dijawab dengan "Ya" atau "Tidak", karena memang menurutku hewan peliharaan itu sama layaknya untuk diperhatikan seperti manusia, bahkan anggota keluarga sendiri. Akan tetapi, jika kujawab dengan "Ya", beliau akan menyangka bahwa aku justru merendahkan nilai adikku sendiri yang telah wafat karena dibandingkan dengan seekor binatang. Padahal, maksudku sama sekali bukan seperti itu, tidak seburuk seperti kedengarannya bagi mayoritas manusia.
Lalu, jika sudah ketemu jawabannya dari apanya yang salah dari pertanyaan itu, mengapa kesedihan itu berlanjut hingga lebih dari sepuluh tahun kemudian? Perasaan pahit itu berawal dari kesadaranku akan kesalahan itu. Kepedulianku akan sesama makhluk hidup, sayangnya berakhir sebagai hal yang tidak etis. Semakin lama semakin kupahami bahwa wafatnya seorang anak adalah sesuatu yang sensitif, melebihi rasa kehilanganku sebagai seorang kakak, jadi tidak boleh diulik-ulik.
Untuk cari amannya, kujawab saja dengan "Tidak". Karena memang tujuannya benar-benar tidak untuk membuat worth dari nyawa adikku itu jatuh. Malahan aku kaget untuk yang kedua kalinya setelah mendengar Papah marah, begitu mengetahui ternyata bagi beliau pertanyaan itu dirasa melecehkan. Otakku berpikir keras untuk mencerna bahwa "menganggap nyawa hewan sama pentingnya dengan manusia adalah hal yang menyinggung".
Sudut pandangku ini langka, sehingga lumayan sulit untuk dipahami kebanyakan orang. Akibatnya, aku sering kesulitan untuk memahami sebab seseorang tersinggung dengan perkataanku. Maka, banyak orang yang mengiraku ini bodoh. Beruntunglah Papah sempat mengatakan tentang perbedaan caraku dan cara orang lain memandang banyak hal, yang justru merupakan keunikan tersendiri dari diriku dan bukannya penyakit mental.
"Orang yang kreatif adalah orang yang mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Karena kamu memiliki sudut pandang yang unik dibandingkan orang-orang, makanya kamu itu kreatif," terang psikolog aku.
Dengan menulis catatan ini, aku jadi mensyukuri liburan Lebaran 2011 yang gabut dan boring itu. Jika saja saat itu aku tengah piknik, tidak akan ada waktu untukku rebahan sambil merenungkan lebih dalam peristiwa itu. Malah justru banyak mengikuti piknik belum tentu menghiburku dan menemukan akar dari masalahku. Itu terbukti dari akhir tahun 2008 ketika aku banyak piknik, sekitar satu hingga tiga bulan dari insiden kelinci itu.
No comments:
Post a Comment