Thursday, June 30, 2022

Majalah Lama Penuh Insight

Catatan 30 Juni 2022

"Kita itu harus adil dalam menilai kejadian tersebut!" seru Mama ketika aku menanyakan kepada beliau bagaimana caranya menghilangkan traumaku atas Insiden Kelinci itu.

Dari kalimat dialog di atas, sebenarnya memang tidak ada hal yang salah. Namun, beliau mengucapkan kalimat tadi itu karena dianggapnya aku tidak terima atas kemarahan Papa atau menyalahkan beliau. Padahal, seperti yang biasa kubilang, justru diriku sendirilah yang selalu kusalahkan selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. Akan tetapi, kurasa tidak pernah ada orang yang memintaku agar adil dalam menilai diri sendiri, oleh karena itu aku harus memintanya kepada diri sendiri. 


Aku membeli lagi sebuah majalah populer berjudul "Girls" edisi 15 tahun III bulan Maret 2008, karena majalah edisi tersebut pernah kumiliki sebagai kenang-kenangan ketika sekolahku waktu SD mengadakan field trip ke sebuah toko buku sohor pada tahun yang sama dengan terbitnya majalah tersebut. Toko buku itu menghadiahkan majalah itu kepada semua pengunjung dari angkatan kami, seingatku malah anak-anak cowok juga diberikan! Padahal kan jelas majalah itu konsumsi untuk anak-anak perempuan, judulnya saja "Girls"! Untungnya edisi tersebut tertolong oleh fotonya Kak Bobby Joseph di sampulnya, sehingga teman-teman cowok di kelasku tidak akan begitu risih memegang majalah itu.

Majalah tadi itu membahas topik "mencintai diri sendiri". Berhubung majalah tersebut sudah lama sekali, tentu saja sudah hilang. Faktor utama yang membuatku membeli ulang majalah edisi tersebut dari sebuah toko online adalah sebuah rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?", adalah tentang seberapa narsisnya kita sebagai pembaca. Terdapat tiga kategori untuk hasil dari kuis tersebut : "narsis", "mencintai diri sendiri", dan "sebal dengan diri sendiri".


Seumur hidupku, jelas aku tidak pernah menjadi cewek narsis. Ketika baru pertama kalinya membaca rubrik kuis tersebut, kukira hasilnya adalah kategori yang terakhir, yaitu "sebal dengan diri sendiri". Ternyata, setelah kujawab semua pertanyaannya, hasil yang keluar adalah kategori yang pertengahan, yaitu "mencintai diri sendiri", itu artinya aku (dulunya) mencintai diri tetapi tidak berlebihan hingga mencapai kategori yang pertama, "narsis". Kuis itu kujawab beberapa bulan sebelum Insiden Kelinci terjadi dan rupanya hasilnya malah berubah setelah insiden itu!

Ya, aku jadi "sebal dengan diri sendiri" sejak keceplosan melontarkan pertanyaan teraneh dan juga kurang sopan untuk ditanyakan itu. Teman-teman di sekolahku saat itu yang sering mengejekku "bodoh", kuanggap mereka itu benar selama belasan tahun lamanya. Pada tahun ketigabelas dari kejadian itu, syukur Alhamdulillah aku mendapat rejeki untuk berkonsultasi dengan psikolog yang hasilnya adalah anggapan rendah untuk diri sendiri itu adalah tidak tepat atau irasional. Di tahun 2022 ini, kucoba untuk menjawab lagi kuis yang sama dari majalah dengan foto Kak Bobby Joseph ketika remaja yang kubeli ulang itu.

Memang tidak seperti cewek pada umumnya yang membeli majalah karena foto artis pujaannya di cover majalah itu, melainkan aku membelinya karena kuis tersebut. Kak Bobby Joseph pada covernya yang dulu adalah pemain sinetron "Candy" sebagai Terry dan sinetron "Mentari" sebagai "Bara", entah mengapa tidak begitu membuatku antusias atau terpesona. Sempat kukira hasil jawabanku dari kuis "uji narsis" itu adalah "sebal dengan diri sendiri", seperti keadaanku selama ini. Namun, ternyata hasilnya masih tepat sama seperti jawaban dari empat belas tahun lebih yang lalu!

Aku belum sepenuhnya kehilangan cintaku kepada diri sendiri! Pertanyaan pertama kuis tersebut adalah "Jika kamu menilai dirimu sendiri, kamu adalah cewek dengan nilai ..." Hampir saja kujawab "2-4" yang merupakan jawaban yang akan dipilih oleh cewek yang tidak ada rasa cinta kepada dirinya. Tiba-tiba saja terbersit pikiran bahwa aku ini harus adil dalam menilai diri sendiri, masa hanya gara-gara satu kesalahanku saja penilaian diri malah jadi hancur lebur?

Kemudian, jawabannya adalah "5-7", angka yang termasuk dalam jumlah nilai di batas rata-rata. Masih tepat sama seperti dahulu, sebelum insiden yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun 2008 itu. Angka segitu cukup untuk menilai diri ini. Kita menyadari tidak mencapai nilai "8-10" karena kita tahu betul diri kita ini tidaklah sempurna, sedangkan kita juga tidak boleh kufur nikmat dengan melabeli diri menggunakan nilai angka yang teramat rendah. 

Rasanya terharu ketika masih menemukan rasa cinta akan diri sendiri dalam hati ini dalam kadar yang aman, tidak terlalu sedikit dan tidak juga berlebihan. Majalah itu ternyata sangat bermanfaat untuk mengurangi, kalau belum bisa sepenuhnya mengusir, penilaian buruk terhadap diriku ini. Kata psikolog aku waktu itu, wajib hukumnya untuk berfokus pada minat untuk mengembangkan kelebihanku, bukan lagi berfokus pada perasaan yang negatif. Diulas juga dalam majalah itu film Spiderwick Chronicles, di film tersebut terdapat sebuah buku legendaris yang membuatku selalu ingin memilikinya!

Jika menemukan buku yang menjadi poin penting dalam film atau serial, selalu saja timbul rasa ingin memiliki benda serupa! Jelas saja pada kenyataannya tidak akan menyamai persis buku tersebut. Kalau sudah begitu, aku selalu ingin membuat buku seperti itu dalam versiku sendiri. Biasanya buku jenis begitu mirip-mirip buku katalog, dalam versiku adalah buku katalog pengenalan tokoh ceritaku.

Last but not least, bagian kesukaanku yang lain dari rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?" tadi itu adalah gambar gadis kartun berambut hijau kebiruan berombak. Sebenarnya total ada tiga gambar gadis kartun yang nongol dalam rubrik kuis-tidak-berhadiah tersebut, akan tetapi menurutku si rambut hijau itu outfit-nya paling ikonik. Gadis-gadis itu bukanlah karakter dari acara animasi yang sudah ada semisal Vanessa Doofenshmirtz, melainkan hanya rekaan sang illustrator majalah dan mereka tampil hanya satu kali saja. Bahkan, mereka tidak perlu memiliki nama! 


Gambar si gadis rambut hijau teal itu juga memantik ideku menggambar! Sudah lama sekali aku ingin menggambar Michiru Kaio alias Sailor Neptune dengan pakaian yang dikenakan gadis pada rubrik itu. Model dan warna rambutnya memang hampir sama seperti Michiru itu tadi. Ah, sepertinya hanya kebetulan saja.

Ilustrasi dari rubrik kuis tersebut adalah karyanya Kak Iwan Nazif.

Penerbit : PT. Kompas Gramedia/Gramedia Majalah
Jenis terbitan : majalah gadis pra-remaja
Penulis : tim redaksi majalah
Tahun Terbit : 2008
Negara Asal : Indonesia 
Bahasa Asli/Terjemahan : bahasa asli
Bahasa : Indonesia 

Wednesday, June 29, 2022

Mengapa Menulis Surat untuk Doof?

Catatan 29 Maret 2022

PERHATIAN : Catatan ini agak berbau 18+!

Rupanya, sama seperti menulis surat imajiner untuk almarhum Papah, untuk Dr. Doofenshmirtz juga harus kutulis sekurang-kurangnya tiga kali. Awalnya, aku sempat bingung, untuk apakah aku menulis surat imajiner untuk tokoh yang jelas-jelas tidak pernah ada? Tujuannya tentu saja berbeda dengan surat imajiner untuk Papah, karena surat untuk beliau adalah untuk menyampaikan apa yang mendasari pertanyaanku pada insiden kelinci yang sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu. Kalau untuk Doof, tidak mungkin aku pernah berbuat kesalahan yang terus mengganjal diriku seperti kepada ayahku itu. 

Setelah kutuliskan hampir yang ketiga kalinya, barulah aku paham mengapa surat imajiner untuk Dr. Heinz Doofenshmirtz harus kutuliskan. Dengan menuliskan apa saja yang kurasakan tentang tokoh kartun yang juga imajiner itu, terbukalah latar belakang dari banyak perasaanku yang aneh itu. Ternyata, bukan tokoh itulah yang paling berbahaya, melainkan tokoh ciptaanku sendiri yang seakan "membayangi" Doof, sehingga menyebabkanku selalu merasa "ingin pipis" ketika melihatnya tidak berpakaian lengkap. Konsep ini mungkin agak sulit untuk dicerna banyak orang, karena mungkin nyaris tidak ada orang lain yang menganggap suatu tokoh secara "dobel" seperti tadi itu. 

Dengan menuliskan surat imajiner ini, diharapkan akan mengobati perasaan ingin pipis tadi itu. Sekaligus juga mengobati kegelisahanku sebagai gadis yang masih jomblo, belum menikah. Karena hanya dengan menikah rasa ingin pipis itu dapat tersalurkan secara aman dan berpahala karena dinilai ibadah! Itulah yang membuatku gelisah karena belum menikah, sehingga belum dapat menyalurkan perasaan itu secara halal dan berkah.

Awal dari ketertarikan aku pada Heinz Doofenshmirtz adalah ketika aku menggambar ulang tokoh itu. Dalam satu episode, Heinz pernah hanya mengenakan bathrobe dan celana boxer saja tanpa kaus dalam. Entah mengapa, selepas aku menonton episode tersebut, tanganku tergerak untuk menggambar ulang momen tersebut, hanya saja bukan tokoh tersebut per say yang kugambar. Penampilan tokoh yang biasa dipanggil dengan nama Heinz atau Doof yang demikian itu rupanya mencetuskan sebuah gagasan yang paling "normal", jika dibandingkan dengan sederet keanehan pemikiranku yang lainnya.

Penampilan fanservice dari Doof yang kata aku ter-memorable setelah adegan boxer bercorak Perry The Platypus

Sketsa spontan dari sebuah karakter random yang kubuat begitu selesainya episode Doof dalam handuk seksi berbentuk jubah hijau tadi

Aku menggambarkan tokoh tersebut menjadi sebuah karakter lelaki random yang jauh lebih good looking, tetapi belum bernama, dengan pakaian yang sama seperti yang dikenakan Doof tadi! Kurang lebih dua tahun dari pembuatannya, aku tertarik untuk mencari lebih banyak momen Doofenshmirtz ketika berpakaian yang memamerkan banyak kulitnya, karena doi ini demen umbar tubuh meski termasuk kaum lelaki. Untuk apa sih kucari gambarnya dalam penampilannya yang tidak menutup aurat seperti itu? Dari karakter random tadi, aku terpikir untuk mengembangkan lebih lanjut menjadi sebuah karakter yang proper dan pastinya akan kunamai, jadi aku perlu untuk membuat variasi pakaiannya yang didasarkan momen-momen Doof itu tadi.

Pengembangan dari karakter random yang tadi, di sini dia mulai berinteraksi dengan Davina, karakter yang sudah lebih dahulu kuciptakan. Di sini karakter random tadi itu sudah memiliki nama : Hans. Dulu nama keluarganya itu Mueller, lalu kuganti menjadi Durchdenwald.

Sumber inspirasi pakaian yang dikenakan oleh Hans. Jika pada satu episode, Doof memamerkan kulit tubuh depannya, maka di sini adalah variasinya : dia tidak mengenakan pakaian atasan lagi di balik apron hijaunya, sebagai gantinya dia menunjukkan kulit punggungnya, sehingga terbentuklah "backless apron"!

Bukannya sekali dua kali sahaja dia menampakkan tubuhnya, tetapi cukup sering dari keseluruhan serial dari mana dia berasal! Hal tersebut membuatku kurang nyaman awalnya, ketika aku baru pertama kali melihatnya saat aku masih remaja, karena terus terang saja aku kaget menemukan tokoh lelaki yang terlalu sering terbuka badannya di luar saat berenang atau ke pantai. Sayangnya, hal remeh seperti itu malah membuatku terus kepikiran. Baru kusadari di usia dewasa ini bahwa itulah yang dinamakan "overthinking".

Aku belum pernah menonton episode Doof yang menampilkan fanservice di atas ini, gambar di atas ini hanya kudapat dari IG.

Penampilan tokoh Hans diubah lagi menjadi berambut cokelat, meniru pakaiannya Doof di atas. Jas lab diganti jaket hoodie.

Beberapa pakaian aduhai dari Doof yang ingin aku gambar!

Dalam surat imajiner untuknya, seakan aku bercerita kepada si tokoh akan seluruh isi hatiku secara jujur, apa adanya. Tentu saja tanpa khawatir menyinggung siapa-siapa, karena dia hanya tokoh fiksi. Hasilnya, sudah mulai banyak mengurangi overthinking yang selama ini kurasakan terkait sang tokoh kartun. Dari menulis surat imajiner juga menghadirkan insight, selain mengurangi pikiran dan hasrat seksual yang mengganjal dan mengganggu karena aku belum menikah.

Apa insight yang timbul dengan menulis surat seperti itu? Ketika semua orang menganggap adegan-adegan Doof tanpa pakaian lengkap adalah sesuatu yang lucu atau gila, aku malah gelisah. Itu artinya, lagi-lagi aku di sini memiliki sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas populasi manusia! Juga, hasrat ingin pipis itu justru diperparah oleh karakter random yang kuciptakan sendiri, hal itu baru kutemukan setelah menulis surat imajiner untuk sang ilmuwan atau profesor.

Lalu, apa yang dimaksud dengan sebuah tokoh lain yang "membayangi" Heinz Doofenshmirtz? Nah, dari menulis surat imajiner tersebut, baru kusadari hal ini. Tokoh kartun lain yang terasa seperti "memfilter" Heinz atau Doof itu adalah karakter random dengan penampilan lebih "berseni" yang kubahas tadi. Sebelum menciptakan karakter random tadi, kulihat dengan benci setiap momen Doofenshmirtz tanpa menutup aurat secara penuh, sedangkan setelah membuat karakter itu, pandanganku akan adegan-adegan yang sama dari Doof berubah menjadi menggugah.

Edit : catatan ini ditulis TEPAT tiga bulan yang lalu pada 29 Maret dan baru terselesaikan pada tanggal 29 (zona waktu US) atau 30 Juni (zona waktu Indonesia). Blog pribadiku malah menggunakan zona waktu yang pertama. Karena suatu sebab yang entah apa, catatan ini malah tanpa sengaja masuk ke arsip dan lupa untuk kulanjutkan dan kukirim.

Surat Imajiner, Pembasmi Overthinking

Catatan 27 Juni 2022

Surat imajiner sejatinya adalah obat untuk overthinking yang paling tepat bagi orang dengan gejala sepertiku, yang memiliki sesuatu yang tidak sempat tersampaikan kepada seseorang yang kini telah tiada. Kuharap apa yang kutulis dalam surat imajiner itu tersampaikan kepada Papa di sana, karena katanya roh-roh manusia memiliki kemampuan di atas manusia yang masih hidup. Meski jelas mereka tidak akan sempat untuk menghantui kita, karena mereka terlalu sibuk mengurusi amalan perbuatan mereka ketika masih hidup di dunia. Penafsiranku sih soal "dihantui" itu sebenarnya perasaan kita kepada merekalah yang menghantui pikiran kita, bukannya roh mereka.

Begitu juga denganku, sebelum mengetahui jenis surat tersebut, rasa bersalahku kepada Papa akibat Insiden Kelinci begitu menggayuti pikiranku. Walaupun itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, belum pernah benar-benar tertuntaskan batinku hingga aku mengetahui surat imajiner itu. Ketika jaman medsos, ternyata segala perasaan dan memori pahit tentang insiden itu termasuk ke dalam "overthinking", karena masa lalu tidak dapat kita edit atau kendalikan. Masa lalu adalah seperti buku, hanya dapat kita pelajari dan tidak dapat diubah isinya. 

Walaupun Papa saat hidup sudah memaafkan kesalahanku pada insiden itu, tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku. Perasaan yang menjadi ganjalan hati itu sama sekali bukannya tidak terima atau sakit hati, melainkan ada hal yang belum tuntas kusampaikan kepada beliau terkait kasus itu. Selama beliau hidup, aku tidak pernah mempunyai keberanian untuk mengungkapkan apa yang mendasari keluarnya sebuah perbandingan dari mulutku yang membuat beliau tersinggung. Karena, khawatir akan membuat semua ini menjadi runyam jika malah kusampaikan saat itu dan ini malah bukannya menyelesaikan masalahku. 

Akhir-akhir ini sejak aku membaca buku "Filosofi Teras" karya Kak Henry Manampiring, aku mulai memahami istilah "dikotomi kendali", yang artinya kita harus berfokus hanya pada hal-hal yang dapat dikendalikan oleh kita. Seperti halnya yang sudah kusebutkan tadi, masa lalu termasuk ke dalam hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita. Namun, rasanya tetap saja gelisah jika dahulu tidak sempat meyakinkan almarhum Papa akan maksudku yang sebenarnya dari sebuah pertanyaanku yang membandingkan itu dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar kegelisahan itu hilang. Hal yang termasuk dalam kategori "mampu kukendalikan" adalah emosi diri dan apa saja yang dapat kulakukan, tetapi selama belasan tahun ini cukup sulit untuk menemukan apa yang bisa kuusahakan untuk mengatasi itu semua.

Kebanyakan perasaan pahit dalam diriku ini berasal dari overthinking, yaitu pikiran yang terus berputar-putar dalam hal-hal yang tidak menyenangkan dan juga tidak berada di dalam kendaliku. Untungnya baru sekitar dua kali pertemuan saja dengan psikolog yang sama, sudah kutemukan "surat imajiner" sebagai jalan keluarnya. Dengan menulis surat imajiner, aku menuangkan perasaan dan pikiranku dengan sejujur-jujurnya tanpa takut dihakimi oleh siapapun. Setelah kertas untuk menulis surat tersebut habis, wajib kusobek dan kubuang sebelum ada yang membacanya supaya segala penyebab ketidaksenangan itu bisa (perlahan tapi pasti) menghilang dari benakku ini.


Edit : sebenarnya catatan ini ditulis pada dua hari yang lalu, yaitu pada tanggal 27. Akan tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya tertunda untuk kukirimkan di sini.

Tuesday, June 28, 2022

Hentikanlah Mager Sebelum Ia Menghentikan Cita-cita

Catatan 28 Juni 2022

Pekan ini adalah hari-hari UAS semester genap nih! Semua tugas harus tuntas, tidak boleh berhutang! Sebelum menghasilkan karya yang spektakuler, aku harus mengerjakan semua tugas untuk menjalani ujian tersebut. Berhubung mata kuliah aku ini DKV, jadinya ujiannya bukan berupa hapalan seperti ujian ketika sekolah dulu.

Sumpah, ujian yang sekarang ini lebih bikin deg-degan ketimbang Ujian Nasional pas SMA dulu kataku. Pasalnya, tugasnya adalah membuat desain kemasan baru untuk sebuah brand dan juga membuat "kinetic typography" dari sebuah lagu yang, bukan top favorite tetapi dinyanyikan oleh dua tokoh kartun yang paling diidolakan saat ini, yaitu Dr. Heinz Doofenshmirtz! Menurutku, tugas UAS yang kedua ini benar-benar rumit jika dikerjakan pada ponsel layar sentuh, karena ada proses tertentu yang sangat dipengaruhi oleh sentuhan layarnya (ini butuh penjelasan yang cukup panjang mengenai teknis pengerjaannya). Setidaknya, dengan memasukkan tokoh yang kusukai ke dalam tugas, tiada lagi istilah "berkutat terlalu erat" seperti ketika menyukai Danny Phantom dahulu. 

Walaupun sudah melibatkan bukan hanya satu tetapi dua tokoh idolaku, yaitu Dr. Doofenshmirtz beserta "kembarannya" dari dimensi lain, tetap saja mengerjakan tugas kinetic typography ini lumayan malesin. Jangan sampai mager ini membunuh nilai-nilai dan IPK! Agar sifatku yang suka menunda-nunda pekerjaan ini dapat teratasi, aku mengambil banyak tangkapan layar (screenshot) dari tweet yang inspiratif. Di antaranya adalah "Latihlah dirimu agar berhenti menunggu 'waktu yang tepat'", "Tanpa disiplin diri, kesuksesan adalah mustahil", dan keenam cara mendisiplinkan diri.

Dari keenam cara mendisiplinkan diri seperti pada tweet (kicauan) yang sudah ku-screenshot/SS itu, cara pertama, kedua, ketiga, dan kelima yang paling berhasil bagiku. Hal ini jelas berbeda-beda tergantung orangnya. Namun, cara pertamalah yang paling menarik di antara semua cara-cara yang tadi disebutkan. Inilah keseluruhan cara dari kicauan tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

1. Aturlah tujuan-tujuan kecil terlebih dahulu
2. Taruhlah tujuan-tujuan tersebut pada tempat yang mudah terlihat setiap harinya
3. Ingatkan dirimu sendiri mengapa kamu memulainya
4. Buatlah prioritas
5. Ketahuilah kelemahanmu
6. Carilah teman-teman untuk selalu mengingatkanmu 

Nomor enam bagiku adalah sesuatu yang sifatnya opsional setelah kelima cara sebelumnya belum berhasil. Jika membuat prioritas tugas, untukku itu tidak begitu kuat pengaruhnya, karena sifatku yang cenderung menawar-nawar. Nah, dari situ saja sudah kulalui cara yang kelima, yaitu mengetahui kelemahan dari diriku sendiri. Cara kedua sih sudah mulai kulakukan, yaitu menempelkan catatan tugas pada sebuah papan karton, akan tetapi masih harus dipecah lagi menjadi beberapa tugas kecil seperti pada nomor pertama.

Monday, June 27, 2022

Jangan Biarkan Penyesalanmu Menghambat Kemajuanmu

Catatan 27 Juni 2022

Kemarin aku tidak sempat untuk menulis catatan, karena sedang menyelesaikan satu tugas kuliah yang lumayan rumit. Sebenarnya hari ini juga masih ada tugas kuliah, tetapi lebih simpel ketimbang yang kemarin (tetap saja harus dikerjakan, ya!) Juga, tugas yang hari ini adalah lanjutan dari tugas yang kemarin, itulah yang membuatnya tidak serumit tugas kemarin. Begitu juga dengan catatan hari ini yang merupakan lanjutan dari catatan-catatan tahun lalu di blog pribadiku.

Walaupun baru beberapa kali konsultasi dengan psikolog, hasilnya sudah cukup signifikan untuk mengatasi banyak "sampah pikiran" di dalam benakku. Selain dengan menulis surat imajiner, beliau juga memberikan tugas berupa "men-challenge atau counter dari seluruh pikiran negatif atas diriku sendiri". Artinya, aku harus menguji lagi tentang pikiran buruk yang membuatku rendah diri alias insecure, apakah pikiran tersebut tepat atau tidak. Bahasa psikologinya sih, apakah pikiran itu termasuk pikiran yang rasional atau irasional.

Beliau untungnya saja adalah seorang wanita juga, jadi setidaknya memiliki pola pikir yang lebih mendekati kesamaan denganku. Pada pertemuan pertama kami, aku sengaja meminjamkan banyak jurnal harianku supaya beliau lebih mudah untuk mendalami kasusku. Isi catatanku di buku itu adalah catatan-catatan blog yang terdahulu, karena aku sengaja mengetikkan isinya menjadi postingan blog. Beliau seketika sudah banyak mengetahui seluk-beluk Insiden Kelinci, oleh karena itu beliau dapat memberikanku tugas menulis surat imajiner.

Pertemuan kami dimulai sejak akhir November 2021 lalu, sayangnya tanggalnya aku malah lupa. Tak apa, hal yang terpenting adalah intisari dari pertemuan kami yang kuingat.

"Dalam buku-buku jurnalmu itu, kamu menuliskan kisah pertemuanmu dengan teman-teman dalam terapi crafting (membuat buket bunga) sebagai terapi stres. Kamu menceritakan pengalamanku itu kepada mereka. Lalu, mereka bilang penyebabnya kamu bertanya seperti pada Insiden Kelinci itu adalah kamu menganggap semua nyawa itu berharga, kan?" tanya Bu psikolog.

"Iya benar, Bu. Mereka mengatakan itu. Akan tetapi, saya masih menganggap saya ini bodoh karena bisa sebegitu naifnya soal itu. Semestinya anak balita yang pertanyaannya seperti itu, bukannya anak yang saat itu akan berumur sebelas tahun," jawabku.

"Dalam catatan yang lain, kamu juga menuliskan tentang Papamu yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki sudut pandang yang berbeda. Betul?" Bu psikolog mengonfirmasikan apa yang dibacanya.

"Benar, Ibu." Aku mengiyakan.

"Nah, sebenarnya kamu di situ sudah berusaha men-challenge pikiran negatif dan irasionalmu yang mengatakan dirimu itu bodoh. Kamu telah mencari penyebab yang sebenarnya di balik terlontarnya pertanyaan yang menanyakan perbedaan sikap orang-orang di sekitar antara meninggalnya anggota keluarga dengan matinya hewan peliharaan, dengan bercerita kepada teman seperjuangan. Dengan mengingat perkataan Papa tentang keunikanmu, itu juga adalah bentuk challenge dari pikiranmu yang merendahkan dirimu sendiri," terang beliau.

Mendengar itu semua, aku hanya dapat mengiyakan saja tanpa banyak berkata-kata lagi, karena saking kagetnya. Berarti, catatanku selama berbulan-bulan sebelum aku akhirnya konsultasi dengan tenaga ahli itu adalah usahaku yang sebenarnya cukup besar untuk mengatasi banyak kesedihanku. Ibu psikolog tadi itu juga adalah satu dari sedikit orang yang tidak menganggapku menyalahkan Papa (yang kini telah almarhum) atas kejadian itu. Kenyataannya, justru aku sendirilah yang terus menerus kusalahkan dan Ibu psikolog itu dapat menemukan fakta itu.

"Jadi kesimpulannya, anggapan yang mengatakan dirimu itu bodoh itu adalah irasional, atau tidak tepat. Kamu itu kreatif," pungkasnya.

"Bagaimana bisa saya ini kreatif, Bu? Kata Mama, jika saya ini benar seperti itu, seharusnya dapat membuat karya yang spektakuler," tanyaku masih ragu.

"Kreativitas itu ditandai oleh kemampuan melihat dari sudut pandang yang berbeda daripada kebanyakan orang lain, seperti kata Papamu itu. Agar kreativitasmu itu dapat berkembang, fokuslah dengan kelebihanmu! Ibu baca, kamu suka sekali menggambar dan menulis, ya?" 

"Iya, benar sekali, Bu!" Semangatku kembali timbul setelah tadinya sedih.

"Pikiran-pikiran irasional yang memenuhi kepalamu itu ibaratnya kamu membawa sebuah tas ransel berat penuh barang. Karena membuatmu keberatan, kamu kelelahan dan langkahmu menjadi lambat. Dengan menuliskan surat imajiner untuk Papa yang saat ini tentu tidak dapat lagi berkomunikasi denganmu, itu menjadi salah satu caramu untuk mengeluarkan satu persatu barang yang menjadi beban berat dalam tas ranselmu."

Seketika aku teringat kembali ketika menginap di rumah Nenek, ibunya Papa ketika masih kelas VI. Nenek bilang, dari napasku saat tidur saja sudah menandakan bahwa aku ini capek sekali. Saat itu tidurku belum terlalu nyenyak, jadinya masih bisa mendengar percakapan antara beliau dengan kedua orangtuaku. Padahal kesibukan saat itu jelas belum sebanyak sekarang ketika aku sudah kuliah, hanya sebatas menghafalkan surat-surat pendek Juz Amma sebagai syarat kelulusan SD!

Mungkin rasa lelahku itu banyak bersumber dari pikiran yang tidak perlu, seperti diibaratkan membawa tas ransel penuh barang yang melelahkan tadi. Ternyata kelelahan itulah yang menghalangiku berkarya. Oleh karena itu, aku diminta untuk berfokus pada hal-hal yang kuminati agar menjadi karya. Bukan lagi sebagai pelarian dari suatu masalah yang malah akan mendatangkan banyak masalah baru.

Saturday, June 25, 2022

Obsesi Adalah Pelarian, Bukannya Penyelesaian dari Masalah

Catatan 25 Juni 2022

Banyak orang yang menggunakan cara yang sama seperti untuk menyelesaikan masalah sebelumnya ketika menghadapi masalah yang baru. Itu termasuk aku sendiri dan catatan ini juga adalah kisahku sendiri, jadi aku di sini hanya akan membahas pengalaman pribadi. Padahal, momentum untuk masalah yang baru ini berbeda dengan masalah sebelumnya, sehingga cara penyelesaiannya juga tidak bisa disamakan. 

Selama empat tahun lebih, aku berkutat dalam dunia Danny Phantom sejak kelas V sebagai obat dari perasaan sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Begitu aku masuk SMP, terbersit pikiran bahwa mengikatkan diriku dalam sang karakter bukannya menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah baru. Bukannya menghilangkan traumaku, tetapi menjadikan obsesiku itu semakin tidak sehat. Dari pengalamanku sebagai penggemar sangat berat DP selama lebih dari empat tahun tadi itu, kusimpulkan bahwa kesedihan akibat kesalahanku pada insiden tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan hiburan seperti kasus-kasus lainnya ketika aku sedang bersedih karena dimarahi.

Karena serial Danny Phantom sudah tamat, tidak lagi dibuat episode yang baru, tentu saja aku mudah bosan. Meskipun sudah mulai bosan dengannya, dulu ketika masih SD kelas V hingga VI, aku tetap memaksakan diriku agar tidak berhenti menyukainya. Asumsiku saat itu adalah dengan fokus dalam minat dan hobiku, akan mengobati perasaan negatif. Padahal, tidak semua masalahku solusinya seperti itu.

Apa sih yang membuatku sulit untuk menghilangkan traumaku dari insiden kelinci itu? Pada awalnya, aku kaget dan bingung menghadapi kemarahan Papa pada insiden itu, karena sebelumnya aku tidak paham mengapa pertanyaanku pada insiden itu dianggap salah oleh beliau. Setelah kurang lebih satu tahun dari peristiwa itu, aku membicarakannya dengan Mama dan baru memahami sebab tersinggungnya Papa karena pertanyaan yang kulontarkan secara spontan pada saat itu. Timbullah kekagetan baru, karena antara maksud dari perkataanku dengan anggapan Papa tentang itu sangatlah berbeda.

Semakin bertambahnya usia, aku semakin paham bahwa meninggalnya anak kandung sendiri adalah hal yang jangan diutak-atik. Pemahamanku itu menimbulkan perasaan bersalah yang semakin dalam setiap tahunnya. Bahkan sampai timbul pikiran seperti ini, "Apakah aku ini bodoh, bisa sampai senaif itu, bisa tidak paham jawaban dari hal yang kutanyakan itu dan juga tidak paham bahwa hal tersebut adalah tidak sesuai dengan etika?" Saat itu aku sudah keluar dari Danny Phantom, tetapi juga belum mendapat solusi yang tepat untuk meredakan semua perasaanku yang negatif itu tadi.

Perasaanku yang semula heran, kemudian berubah menjadi insecure. Selama lebih dari sepuluh tahun, bahkan hingga aku kuliah, aku terus merasa bodoh tetapi bukan masalah pelajaran sekolah atau kuliah. Setiap kali ada orang yang memujiku atau menganggapku pintar, aku selalu menyangkalnya dalam hatiku. Kataku adalam batin, "Jika aku ini memang smart, tidak mungkin aku bisa sampai setidakpaham itu ketika Insiden Kelinci! Semua orang pastinya akan langsung memahaminya, meskipun orang yang biasa saja juga!"

Pada akhir 2021 lalu, kuputuskan untuk segera menemui psikolog untuk mencari penyelesaian dari pikiran negatif itu. Meski sudah melakukan journalling berulangkali tentang itu, ternyata belum terlalu membuahkan hasil. Rasa bersalah dan insecure yang membuatku masih selalu menyedihkan insiden itu, belum juga surut setelah kutulis dalam buku harianku selama bertahun-tahun. Jika sudah seperti ini, tandanya aku harus konsultasi dengan tenaga profesional dan tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara biasa.

Hasil dari konsultasi itu, ternyata aku harus menuliskan perasaanku itu langsung kepada Papa yang saat ini telah almarhum. Jika selama ini aku menulis jurnal harian sebagai monolog terhadap diri sendiri, kali ini adalah mengatakannya kepada beliau. Di situ kutuliskan apa saja yang membuatku tercetus melontarkan pertanyaan pada saat itu. Benar saja, itu yang seharusnya kulakukan, bukannya memelihara obsesi yang tidak sehat akan sebuah tokoh kartun yang tidak ada artinya. 

Dari situ terbitlah surat imajiner untuk Papa. Surat imajiner itulah yang sebenarnya mengatasi masalahku. Danny Phantom hanyalah pelarian supaya aku lupa dengan masalah itu, bukannya penyelesaian. Sebenarnya, selama ini aku selalu ingin mengungkapkan apa yang kutulis dalam jurnalku kepada Papa lewat mimpiku, tetapi kami tidak pernah sempat untuk bercakap-cakap dan surat imajiner itulah yang berhasil menyampaikannya kepada beliau meskipun jelas beliau tidak akan bisa lagi membaca tulisanku.




Friday, June 24, 2022

Aku Menderita OCD Bersama Tokoh Kartun Idolaku

Catatan 24 Juni 2022

Obsessive compulsive disorder (OCD) memang lebih baru untuk kuketahui ketimbang autisme. Aku sejak balita, tepatnya saat berumur empat tahun, sudah dicurigai sebagai pengidap kelainan mental yang terakhir disebutkan tadi. Namun, ketika aku masuk sebuah SD inklusif, jelas terdapat perbedaan antara aku dan para murid sana yang mengidap autis. Begitu duduk di bangku kelas V, Papah memperkenalkanku akan sebuah kelainan lainnya yang bernama OCD itu, yang sebelumnya tidak pernah kudengar ada murid sekolah itu yang menderita kelainan mental tersebut.

Gambar Danny Phantom inilah yang dulu pernah membuatku terbahak-bahak hingga aku diduga mengidap Obsessive Compulsive Disorder, sekarang aku malah heran kenapa dulu bisa ketawa sama gambar ginian aja. 😓😕😔

Pada suatu subuh setelah sahur di bulan Ramadhan 2008, kira-kira beberapa hari atau minggu setelah Insiden Kelinci, aku tertawa terbahak-bahak ketika melihat sebuah gambar tokoh kartun idolaku yang bernama Danny Phantom. Aku melihat gambar tersebut dalam galeri ponsel milik Mamah (dulu belum punya ponsel sendiri) di kamar tidur. Papah yang sedang berbaring di sebelahku saat itu, segera memperingatkanku soal OCD itu. Karena baru pertama kalinya mendengar istilah tersebut, kontan saja dahiku mengernyit.

"Teh, hati-hati dengan Obsesif Kompulsif jika Teteh tertawa sendiri terus seperti itu!" seru beliau serius.

Aku yang mengernyitkan dahi setelah berhenti tertawa karena teguran dari Papah lalu bertanya, "Obsesif Kompulsif itu apa, ya, Pah?" 

Kebanyakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolahku saat itu jika bukan menderita autisme, ya ADHD vonisnya. Tetapi, tidak ada satupun murid sana yang menderita OCD itu. Anehnya, para guru di sana tidak ada yang menggolongkanku sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang artinya aku dapat belajar layaknya anak pada umumnya dan tidak memerlukan guru pendamping seperti para ABK di sekolahku. 

"Obsesif Kompulsif, atau Obsessive Compulsive Disorder, adalah sebuah kelainan di mana seseorang terus terpaku akan suatu hal," jawab Papah yang khawatir dengan mental health aku, anaknya yang pertama dan satu-satunya yang perempuan.

Sebenarnya, jawaban beliau masih kurang lengkap, sehingga saat itu aku belum dapat memahami seutuhnya mengenai kelainan psikologis tersebut. Bertahun-tahun sesudahnya, aku menemukan pengertian yang lebih tepat dan lebih lengkap dari jawaban ayahku itu tentang OCD. Gejalanya memang sama-sama terpaku pada satu hal saja seperti pada gejala autisme, akan tetapi penyebabnya yang berbeda. Pengidap autisme didorong oleh terjebaknya penderita di dalam dunianya sendiri, sedangkan orang yang menderita OCD melakukan sesuatu secara berulang-ulang, bahkan hampir menjadi seperti ritual baginya, untuk meredakan kecemasannya yang hanya dapat reda sementara.

Salah satu contoh yang paling umum dari gejala OCD adalah orang yang berulangkali mengecek kompor karena cemas benda itu belum dimatikan dengan benar. Untukku, memusatkan pikiranku pada hal-hal yang kusukai, salah satunya adalah Danny Phantom ketika aku SD, adalah caraku untuk mengobati rasa sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Berbulan-bulan sebelum insiden tersebut terjadi, aku memang sudah menyukai tokoh fiksi remaja tersebut dan cenderung mulai berlebihan, karena sejak kecil aku memang sering stres. Akan tetapi, selepas insiden itu, aku semakin menggilai tokoh pahlawan super dari serial animasi bernama sama itu.

Kalo mau tau kenapa Danny Phantom sebagai tokoh yang bikin aku terpaku dengannya, baca di sini nih :

Kegilaanku akan sang karakter benar-benar semakin tidak sehat sejak aku kelas V, karena aku kerap tertawa sendiri bahkan sampai terbahak-bahak, seperti pada penggalan peristiwa tadi. Setiap orang yang melihatku bertindak seperti itu pastinya akan timbul tanda tanya di kepalanya, karena ekspresi wajah Danny Phantom itu justru sangat serius. Dia bukanlah karakter konyol yang sering bertingkah aneh untuk memicu gelak tawa audiens, justru dia adalah pahlawan super! Tawaku bukannya dipicu oleh penampilan sang karakter itu sendiri, melainkan karena imajinasiku yang bermain secara gila ketika sedang memandang gambarnya.

Misalnya, kubayangkan dirinya mengenakan sebuah bikini dan rok berwarna pink cerah dan ngejreng. Dengan ekspresi seriusnya, dia mengenakan outfit seperti itu alih-alih seragam hitam dan putihnya yang ikonik sebagai pakaian untuk bertugas melawan para hantu jahat. Coba saja bayangkan dia memakai pakaian renang semacam begitu. Siapa sih yang dapat mengelak untuk mentertawakannya, ya kan? 

Tepatnya sih pakaian renang pink yang dikenakan anak cewek dari iklan es krim Spongebob pada gambar di atas ini yang aku bayangin jadi dipake sama Danny Phantom.


Coba bayangkan tokoh Danny Phantom yang berwajah serius di atas mengenakan bikini plus rok berwarna pink cerah kayak anak cewek di screenshot iklan tadi. Bayangin aja dulu.

Jika dirincikan semua imajinasi yang bermain di saat aku memandang gambar sang karakter, mungkin akan menjadi satu artikel utuh atau bahkan bisa saja bersambung! Untuk apa sih aku membayangkan hal-hal nyeleneh seperti itu? Seperti yang sudah kuceritakan, itu semua adalah upayaku untuk mengobati kesedihan akibat kesalahanku pada Insiden Kelinci. Karena, biasanya perasaan seperti itu dapat dengan mudahnya terobati dengan membayangkan berbagai jenis skenario konyol tentang Danny yang kusingkat dengan DP itu.

Entah sudah berapa kali diceritakan, ternyata kesedihanku akibat kasus pertanyaan yang kontroversial tentang kelinci yang mati itu, tidak semudah itu untuk hilang. Sebelum perasaan hancurku itu hilang, dulu aku semakin tenggelam dalam kenikmatan semu dari Danny Phantom. Bukan hanya tertawa dan mengkhayalkan saja yang menjadi tingkah gilaku : ide gambarku mandeg di seputar DP, selalu membahasnya tanpa henti, jika menyanyi liriknya pasti digantikan dengan namanya, dan masih banyak lagi! Sampai-sampai hampir semua orang di sekitarku saat itu mengeluh bosan dengan si tokoh!

Apakah kenyataannya rasa trauma akibat "peristiwa yang itu" hilang setelah aku menenggelamkan diriku dalam kubangan segala hal mengenai DP? Sayang sekali, jawabannya "tidak". Padahal tidak semua kesedihan dapat langsung terusir dengan hal-hal yang diminati, ada pula yang harus diatasi sampai ke akar masalahnya. Karena belum juga berhasil kuhibur diri ini dengan DP, aku semakin intens menyukainya, dan seperti itulah gejala dari Obsesif Kompulsif atau OCD.

Menurut pamanku (adik bungsu Papah), terjebaknya diriku dengan tokoh itu sebenarnya mirip orang yang kecanduan rokok, atau bahkan mungkin, alkohol (ini nggak pernah dicoba pamanku ya). Mereka sudah tahu benda berbentuk batangan putih yang dibakar dan diisap itu berbahaya bagi kesehatan, tetapi mereka tidak dapat menghentikannya selama kecemasan, kegelisahan, dan segala perasaan tidak menyenangkan lainnya belum juga hilang. Rokok memberikan ketenangan hanya sementara saja (ini masih kata pamanku tadi itu, ya, aku nggak pernah cukup nyali untuk mencoba merokok), padahal benda itu tidak mengatasi langsung penyebab perasaan-perasaan negatif seperti itu. Begitu juga dengan kasusku, aku sudah tahu bahwa tidaklah baik memandangi hingga berkhayal sampai memicu tawa yang tidak wajar, tetapi itu adalah upayaku (yang salah) untuk mengobati rasa sedih dan bersalahku akibat insiden tersebut.

Setiap Perbuatan Kita Didasari Oleh Pikiran Kita Pada Hari-hari Sebelumnya

Catatan tanggal 23 Juni 2022

Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, atau tepatnya pada tahun ini sedang menuju tahun keempatbelas dari Insiden Kelinci, aku terus bertanya ke dalam diriku sendiri seperti ini :

"Memangnya apa sih yang menyebabkan pikiranku tercetus pertanyaan kontroversial itu, pada hari pertama bulan puasa 14 tahun yang lalu itu?" 

Suatu perbuatan, perkataan, atau bahkan hanya pikiran, selalu didasari oleh peristiwa apapun yang terjadi sebelumnya. Biasanya isi pikiran yang mendasari perbuatan kita hari ini, terjadi karena peristiwa beberapa hari atau minggu sebelumnya. Lalu, aku teringat kembali dengan percakapan dengan Nenek mengenai perbedaan tingkat keseraman jenazah manusia dengan bangkai hewan yang sudah kutulis kemarin itu. Barulah kusadari pada tahun ini, bahwa pertanyaanku pada insiden kelinci itu sebenarnya adalah "sekuel" dari pertanyaanku ketika bercakap-cakap dengan ibunya Papa saat itu. 

Dialog kami terjadi hanya beberapa hari sebelum Insiden Kelinci, tidak sampai semingguan. Setelah menulis ini, baru kusadari juga bahwa penamaan kesalahanku pada bulan puasa 2008 itu masih kurang tepat. Karena, percakapanku dengan Nenek juga dapat disebut pula sebagai Insiden Kelinci, karena dipicu oleh spesies hewan yang sama. Jadi, ketika kelinci yang pertama mati, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat keseraman jenazah dan bangkai, sedangkan pada saat kelinci yang kedua menyusul saudaranya, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat kesedihan antara meninggalnya manusia dengan matinya hewan.

Pada kasus yang pertama, aku menyebut jenazah manusia secara umum, sehingga pertanyaanku kepada Nenek itu tidak terkesan problematik. Sayangnya, pada kasus yang kedua, yang jauh lebih membekas dalam hidupku, itu lain ceritanya. Ketika aku menanyakan pertanyaan pada kasus selanjutnya, aku malah menyebut nama adikku yang telah wafat. Semestinya kusebutkan saja peristiwa kematian manusia secara umum, agar tidak menyinggung dan membuat sedih.

Jadi, sebaiknya pertanyaanku itu berbunyi seperti ini :
"Mengapa jika sesama manusia yang meninggal, semua orang bersedih, tetapi jika hewan yang mati, hanya saya yang bersedih?"

Itu setidaknya terdengar tidak terlalu menyinggung daripada pertanyaanku yang kuucapkan di kenyataannya, bukan?

Dalam salah satu surat imajiner untuk Papa, sudah kutulis apa yang menjadi kekeliruanku pada peristiwa itu. Sehingga, beliau sudah "mengetahui" bahwa diriku sudah memiliki kesadaran di mana letak kesalahanku pada saat itu terjadi. Semoga beliau dapat "memahamiku" yang kenyataannya bukanlah seorang anak dan kakak yang tidak berempati atas kehilangan anggota keluarganya sendiri. Aku memang menyikapi peristiwa kehilangan nyawa secara berbeda dari kebanyakan orang-orang, bukan hanya dibandingkan dengan kedua orang tuaku saja. 

Kebanyakan orang enggan untuk membicarakannya karena tidak mau membuka kembali kesedihan. Lain halnya denganku, bagiku segala kematian adalah sesuatu hal yang begitu mengundang rasa penasaran. Benar kata Papa, aku hanya memiliki sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas populasi manusia, bukannya kebodohan. Kutulis juga dalam surat tersebut, perkataan beliau sudah terbukti kebenarannya. 

Meskipun kecerdasan emosionalku agak terlambat daripada orang-orang seusiaku, setidaknya aku akhirnya dapat memahami sendiri jawaban dari pertanyaanku. Baik yang kutanyakan pada saat matinya kelinci yang pertama dan yang kedua. 

• Jawaban dari pertanyaan pertama (percakapanku dengan Nenek) : pada jenazah manusia, terdapat unsur uncanny valley, yaitu rasa ngeri atau seram ketika mendapati sesuatu yang terasa familiar, tetapi terdapat juga sesuatu yang salah atau ganjil darinya. Jenazah terasa familiar karena merupakan tubuh dari sesama manusia seperti kita, tetapi jelas memiliki sesuatu yang terasa berbeda karena tidak lagi hidup, bergerak, bernapas, atau bahkan tidak lagi utuh. Bangkai hewan meski sehancur apapun kondisinya, merupakan jenis yang berbeda dengan kita sehingga tidak menimbulkan perasaan uncanny valley itu karena bukan hal yang membuat kita relate dan jika ada rasa seperti itu, kadarnya tentu kecil sekali. 

• Jawaban dari pertanyaan kedua (hal yang ternyata sensitif yang malah kutanyakan pada Papa) : manusia kebanyakan hanya dapat related dengan sesama manusia saja dan hanya penikmat hewan peliharaan saja yang akan bersedih dengan kematian hewan, terutama jika hewan yang bersangkutan adalah peliharaannya. Pada saat kelinci pemberian Uwa Aden itu mati, hanya aku saja yang merasa sedih karena orang-orang lain tidak begitu antusias memeliharanya. Sebaliknya ketika Kenéng-kenéng, kucing kami hilang, nyaris semua orang di rumah (kecuali Eyang Putri yang cenderung sebal dengan kucing) merasakan kehilangan, karena kami semua memang menyukainya. 

Perbedaan antusiasme dalam memperlakukan hewan peliharaan saja dapat memberikan efek yang juga berbeda untuk satu dengan satu orang  lainnya ketika hewan tersebut tidak lagi berada di sekitar kita. Apalagi jika yang hilang itu nyawa manusia terutama keluarga sendiri! Aku pun sebagai kakaknya tentu hancur perasaannya, kemudian menjadikan hewan peliharaan hanya sebagai pelipur lara hatiku, sama sekali tiada yang dapat menggantikan posisi adikku sendiri di hatiku. Oleh karena itu, kesedihan akibat kehilangan sesama manusia akan lebih dirasakan secara universal, tidak hanya bagi orang-orang tertentu saja.

Tuesday, June 21, 2022

Gadis Sebelas Tahun Pengulik Topik Kematian

Catatan tanggal 22 Juni 2022.

Setelah membaca lagi majalah yang pernah kupunya saat kelas IV dulu, mendadak banyak memori yang teringat kembali. Salah satunya adalah aku membahas sebabnya bangkai hewan harus dikuburkan. Memori ini memang sama sekali tidak berkaitan dengan isi majalahnya. Namun, otomatis terbuka lagi ingatanku akan percakapan itu ketika pikiranku menjelajah ke masa kecilku.

Satu dari dua kelinciku mati saat beberapa hari sebelum bulan puasa 2008, itu berarti kejadiannya sebelum "Insiden Kelinci". Ketika kelinci yang satunya lagi mati menyusul temannya tepat di hari pertama bulan puasa, barulah "Insiden Kelinci" itu terjadi. Pada kematian kelinci yang pertama, aku bertanya kepada Nenek dari pihak Papa soal penyebab kelinci itu jika mati harus tetap dikubur. Karena saat itu, Papa sedang mengubur kelinci yang duluan mati.

Di saat yang bersamaan, aku dan Nenek mengobrol di teras rumah Eyang Putri, (nenek dari pihak Mama) tempat keluargaku tinggal.

"Nek, mengapa kelinci yang mati harus dikubur juga? Kan bukan orang? Apakah supaya tidak menakutkan?" tanyaku.

"Bangkai hewan akan menyebarkan penyakit dari lalat yang memakannya. Jadi, bangkainya harus dikubur agar lalat tidak bebas beterbangan," jelas Nenek.

"Oh, jadi bukan supaya bangkai itu tidak terlihat menyeramkan?" aku meminta ketegasan.

"Bukan." Nenek menambahkan.

Rupanya, masih ada satu pertanyaan lagi yang kulontarkan. "Tapi, Nek, mengapa ya kalau mayat orang yang membusuk itu menyeramkan sekali? Apakah karena ukurannya yang besar jika dibandingkan kebanyakan hewan? Bangkai hewan sih tidak terlalu seram."

Nenek terdiam memikirkan jawabannya. Beliau seperti yang baru kepikiran bahwa jenazah manusia yang membusuk itu memang jauh lebih menyeramkan ketimbang bangkai hewan! 

"Hmm, mungkin imejnya ya yang bikin seram kalau yang membusuk itu jasad manusia." Ibunya Papaku itu menerka jawabannya.

"Bisa saja sih, Nek." Aku menyetujuinya.

Pada awalnya, percakapan tersebut terkesan biasa saja, tidak menyinggung. Meskipun, ya, jelas agak mengerikan topik seperti itu untuk aku yang dulu masih berusia menjelang sebelas tahun. Begitu aku mengulik lebih jauh topik perbedaan kematian antara manusia dengan hewan pada saat "Insiden Kelinci", aku mulai menyadari sesuatu yang kurang elok. Yaitu, janganlah terlalu 'kepo' dengan topik-topik berbau kematian, karena bisa jadi malah mengarahkan kepada perkataan yang tidak etis, tepat seperti pertanyaanku dalam insiden hari pertama puasa itu pada tahun yang sama.

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...