Showing posts with label surat imajiner. Show all posts
Showing posts with label surat imajiner. Show all posts

Saturday, February 25, 2023

Sisi "Gelap" dari Penciptaan Hans Durchdenwald

Catatan 25 Februari 2023

Dalam salah satu catatanku yang terdahulu, diceritakan bahwa alasan di balik turn on-nya aku kepada setiap kali Doofenshmirtz shirtless adalah karena aku menciptakan tokoh Hand Durchdenwald. Setelah membaca kembali banyak buku-buku diary, sketchbook, dan binder edisi lama, ternyata ini belum mencapai akarnya! Surat imajiner saja belum cukup untuk membongkar alasan mengapa bisa timbul rasa yang aneh terhadap Heinz Doofenshmirtz itu. Bersiaplah, mungkin ini akan menjadi sisi "gelap" dari karakter tersebut diciptakan!

Thursday, July 28, 2022

Batasan Antara Pets dengan Kita

Catatan 29 Juli 2022

Berapa bulan, nih, aku nggak nulis surat imajiner? Karena lalai nulis surat untuk terapi diri sendiri itu, jadinya sempat kambuh lagi kebiasaan burukku. Kira-kira tiga Minggu yang lalu, mulai lagi aku marah-marah dan ngamuk-ngamuk gegara pikiran yang nggak menyenangkan. Surat imajiner itu tidak sempat kutulis karena waktu itu ada tiga anak kucing yang suka lari-larian dan ngeloncatin meja kecil tempat aku biasa nulis.

Aku emang suka kucing, tapi mereka ini udah ganggu kamarku! Pas mereka loncatin itu meja, pernah sampai terguling dan kertas-kertas untuk nulis surat imajiner itu jadi berserakan di lantai! Udah diberesin mejanya, eh taunya ketiganya malah tidur di atasnya, bahkan kadang sama emak-emaknya bobo di atas meja kecil itu. Mau gak mau meja itu akhirnya dilipat dan semakin terlupakan untuk nulis surat imajiner itu.

Padahal, nulis surat itu kan salah satu bentuk terapi yang diberikan oleh psikolog aku! Hewan peliharaan memang gunanya agar mengurangi stres, tapi harus dibatasi juga aksesnya ke kamarku. Habis, mereka malah menghambat proses penyembuhan diriku dengan suasana jadi gak kondusif buat nulis. Pintu kamar terpaksa ditutup kalo aku tidur.

Dengan kehadiran mereka, aku jadi "dipaksa" untuk beresin kamar, secara aku ini emang males beres-beres. Buku-buku yang tadinya cuma ditaroh di kolong meja, karena sering jatuh pas dilewatin atau diloncatin anak-anak kucing tadi, jadi dimasukin ke lemari. Alat-alat gambar yang disimpan di atas meja kecil yang tadi disebutkan, dimasukin juga ke lemari lain biar nggak terlalu berantakan kalo meja itu jatuh terguling. Hasilnya kamar aku jadi jauh lebih lowong sekarang!

Setelah kamar aku jadi lowong, aku malah nggak tau mau nulis apa lagi untuk surat imajiner. Aku gak tau mau ngomong apa lagi ke almarhum Papah dan juga ... Heinz Doofenshmirtz lewat surat imajiner itu. Seriusan, psikolog aku itu nyuruh juga aku nulis surat buat Doof selain untuk Papahku. Mungkin dengan kamar yang rapi, overthinking jadi menurun tajam sehingga hampir tidak ada lagi beban pikiran untuk dituliskan pada surat itu.

Monday, June 27, 2022

Jangan Biarkan Penyesalanmu Menghambat Kemajuanmu

Catatan 27 Juni 2022

Kemarin aku tidak sempat untuk menulis catatan, karena sedang menyelesaikan satu tugas kuliah yang lumayan rumit. Sebenarnya hari ini juga masih ada tugas kuliah, tetapi lebih simpel ketimbang yang kemarin (tetap saja harus dikerjakan, ya!) Juga, tugas yang hari ini adalah lanjutan dari tugas yang kemarin, itulah yang membuatnya tidak serumit tugas kemarin. Begitu juga dengan catatan hari ini yang merupakan lanjutan dari catatan-catatan tahun lalu di blog pribadiku.

Walaupun baru beberapa kali konsultasi dengan psikolog, hasilnya sudah cukup signifikan untuk mengatasi banyak "sampah pikiran" di dalam benakku. Selain dengan menulis surat imajiner, beliau juga memberikan tugas berupa "men-challenge atau counter dari seluruh pikiran negatif atas diriku sendiri". Artinya, aku harus menguji lagi tentang pikiran buruk yang membuatku rendah diri alias insecure, apakah pikiran tersebut tepat atau tidak. Bahasa psikologinya sih, apakah pikiran itu termasuk pikiran yang rasional atau irasional.

Beliau untungnya saja adalah seorang wanita juga, jadi setidaknya memiliki pola pikir yang lebih mendekati kesamaan denganku. Pada pertemuan pertama kami, aku sengaja meminjamkan banyak jurnal harianku supaya beliau lebih mudah untuk mendalami kasusku. Isi catatanku di buku itu adalah catatan-catatan blog yang terdahulu, karena aku sengaja mengetikkan isinya menjadi postingan blog. Beliau seketika sudah banyak mengetahui seluk-beluk Insiden Kelinci, oleh karena itu beliau dapat memberikanku tugas menulis surat imajiner.

Pertemuan kami dimulai sejak akhir November 2021 lalu, sayangnya tanggalnya aku malah lupa. Tak apa, hal yang terpenting adalah intisari dari pertemuan kami yang kuingat.

"Dalam buku-buku jurnalmu itu, kamu menuliskan kisah pertemuanmu dengan teman-teman dalam terapi crafting (membuat buket bunga) sebagai terapi stres. Kamu menceritakan pengalamanku itu kepada mereka. Lalu, mereka bilang penyebabnya kamu bertanya seperti pada Insiden Kelinci itu adalah kamu menganggap semua nyawa itu berharga, kan?" tanya Bu psikolog.

"Iya benar, Bu. Mereka mengatakan itu. Akan tetapi, saya masih menganggap saya ini bodoh karena bisa sebegitu naifnya soal itu. Semestinya anak balita yang pertanyaannya seperti itu, bukannya anak yang saat itu akan berumur sebelas tahun," jawabku.

"Dalam catatan yang lain, kamu juga menuliskan tentang Papamu yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki sudut pandang yang berbeda. Betul?" Bu psikolog mengonfirmasikan apa yang dibacanya.

"Benar, Ibu." Aku mengiyakan.

"Nah, sebenarnya kamu di situ sudah berusaha men-challenge pikiran negatif dan irasionalmu yang mengatakan dirimu itu bodoh. Kamu telah mencari penyebab yang sebenarnya di balik terlontarnya pertanyaan yang menanyakan perbedaan sikap orang-orang di sekitar antara meninggalnya anggota keluarga dengan matinya hewan peliharaan, dengan bercerita kepada teman seperjuangan. Dengan mengingat perkataan Papa tentang keunikanmu, itu juga adalah bentuk challenge dari pikiranmu yang merendahkan dirimu sendiri," terang beliau.

Mendengar itu semua, aku hanya dapat mengiyakan saja tanpa banyak berkata-kata lagi, karena saking kagetnya. Berarti, catatanku selama berbulan-bulan sebelum aku akhirnya konsultasi dengan tenaga ahli itu adalah usahaku yang sebenarnya cukup besar untuk mengatasi banyak kesedihanku. Ibu psikolog tadi itu juga adalah satu dari sedikit orang yang tidak menganggapku menyalahkan Papa (yang kini telah almarhum) atas kejadian itu. Kenyataannya, justru aku sendirilah yang terus menerus kusalahkan dan Ibu psikolog itu dapat menemukan fakta itu.

"Jadi kesimpulannya, anggapan yang mengatakan dirimu itu bodoh itu adalah irasional, atau tidak tepat. Kamu itu kreatif," pungkasnya.

"Bagaimana bisa saya ini kreatif, Bu? Kata Mama, jika saya ini benar seperti itu, seharusnya dapat membuat karya yang spektakuler," tanyaku masih ragu.

"Kreativitas itu ditandai oleh kemampuan melihat dari sudut pandang yang berbeda daripada kebanyakan orang lain, seperti kata Papamu itu. Agar kreativitasmu itu dapat berkembang, fokuslah dengan kelebihanmu! Ibu baca, kamu suka sekali menggambar dan menulis, ya?" 

"Iya, benar sekali, Bu!" Semangatku kembali timbul setelah tadinya sedih.

"Pikiran-pikiran irasional yang memenuhi kepalamu itu ibaratnya kamu membawa sebuah tas ransel berat penuh barang. Karena membuatmu keberatan, kamu kelelahan dan langkahmu menjadi lambat. Dengan menuliskan surat imajiner untuk Papa yang saat ini tentu tidak dapat lagi berkomunikasi denganmu, itu menjadi salah satu caramu untuk mengeluarkan satu persatu barang yang menjadi beban berat dalam tas ranselmu."

Seketika aku teringat kembali ketika menginap di rumah Nenek, ibunya Papa ketika masih kelas VI. Nenek bilang, dari napasku saat tidur saja sudah menandakan bahwa aku ini capek sekali. Saat itu tidurku belum terlalu nyenyak, jadinya masih bisa mendengar percakapan antara beliau dengan kedua orangtuaku. Padahal kesibukan saat itu jelas belum sebanyak sekarang ketika aku sudah kuliah, hanya sebatas menghafalkan surat-surat pendek Juz Amma sebagai syarat kelulusan SD!

Mungkin rasa lelahku itu banyak bersumber dari pikiran yang tidak perlu, seperti diibaratkan membawa tas ransel penuh barang yang melelahkan tadi. Ternyata kelelahan itulah yang menghalangiku berkarya. Oleh karena itu, aku diminta untuk berfokus pada hal-hal yang kuminati agar menjadi karya. Bukan lagi sebagai pelarian dari suatu masalah yang malah akan mendatangkan banyak masalah baru.

Saturday, February 26, 2022

Tiga Surat Imajiner untuk Papah

27 Februari 2022

Tadi malam, tanggal 26 Februari, kutuliskan surat imajiner untuk Papah yang ketiga kalinya, masih tentang insiden kelinci. Rupanya memang benar, harus lebih dari dua kali untuk menyampaikan isi hatiku untuk Papah di sana. Sebelum aku diberi tugas untuk menulis surat seperti ini, aku selalu ingin mimpi bertemu beliau untuk menyampaikan hal tersebut, sayangnya selalu tidak bisa. Apa sih yang menyebabkan tidak bisa sembarang orang bisa menjadi pilihan yang tepat untuk diceritakan kesedihanku dari insiden itu? 

Jika aku mengeluhkan sulitnya menghilangkan perasaan bersalah dan menyesal akan insiden itu kepada Mamah, beliau akan sedih karena menyangkut almarhum salah satu anaknya. Menceritakan tentang kisah ini kepada teman, tentu lebih "berbahaya", karena pertanyaannya memang sepintas terdengar ngawur. Saudara yang lain, belum tentu mereka memahami perasaan yang sedih itu dan malah menganggap aku menyalahkan Papah. Untungnya, satu kerabatku adalah satu dari segelintir orang yang dapat memahami perkataanku yang paling kontroversial itu. 

Dahulu, aku dengan beliau tidak dekat dan aku cenderung menjahilinya. Kami berbaikan beberapa tahun setelah Papah wafat. Dalam suratku yang ketiga ini, kuceritakan kami yang telah berdamai dan menjadi akrab, bahkan salah satu anggota keluargaku itu adalah orang yang paling memahami maksud dari pertanyaan dalam kisah "kelam" itu. Pasti ayahku akan bahagia mengetahui anak-anaknya telah rukun dengan sesama keluarga. 

Kusampaikan kepada Papah bahwa menurut sang kerabat, pertanyaan seperti itu bukanlah hal yang tidak cerdas, justru merupakan pertanyaan yang lintas disiplin ilmu. Penyebab marahnya Papah akan pertanyaan itu ada dua : merasa masygul karena menyangka aku lebih kehilangan kelinci dan kecewa mendapati putrinya seperti yang tidak cerdas karena belum dapat memahami perbedaan reaksi orang akan kematian manusia dan hewan. Kerabatku tersebut menjelaskan, keponakan terbesarnya, yaitu aku, tidaklah memenuhi dua sebab kemarahan Papah itu. Di situ, keinginanku agar semua orang ikut bersedih dengan matinya kelinciku tidak mengurangi rasa kehilanganku akan adik sendiri dan pertanyaanku itu timbul karena menganggap nyawa hewan peliharaan itu sama berharganya dengan manusia, bukannya kelainan pemikiran. 

Aku juga mengatakan, saat ini perkataan Papah soal sudut pandangku yang berbeda dari orang kebanyakan itu, sudah terbukti. Di saat aku terkesan naif, itu hanyalah disebabkan oleh perbedaan sudut pandang saja sehingga malah menjadi sulit memahami sikap orang yang tidak sama sepertiku. Meski Papah sudah tak lagi di dunia fana ini, kuhibur beliau agar tidak tersinggung dan kecewa lagi denganku lewat surat itu. Tentunya beliau juga akan lega ternyata analisis beliau tentang diriku adalah benar. 

Meski si kerabat sudah "menghiburku" dengan fakta-fakta yang tidak buruk tentang perkataanku yang masih menghantuiku itu, perasaanku yang nyesek itu belum dapat hilang. Lalu aku mencoba konsultasi ke psikolog soal lamanya kesedihanku itu yang tidak wajar lagi - sampai memakan waktu lebih dari tigabelas tahun! Psikolog aku sudah membaca banyak buku harianku, sehingga beliau sudah mengetahui aku telah ribuan kali mencurahkan isi hatiku akan insiden itu, yang belum kunjung mereda. Akhirnya, beliau memintaku untuk menuliskannya secara langsung kepada almarhum Papah, bukan lagi hanya menceritakannya dalam jurnal atau buku harian seperti yang sebelumnya kulakukan. 

Friday, February 18, 2022

Dampak dari Menulis Surat Imajiner ... Yang Kedua Kalinya

15 Februari 2022

Apakah terlarang jika aku merasakan kesedihan akibat insiden kelinci itu? Sebenarnya, sudah kulakukan ribuan cara untuk menghilangkan kesedihan akan insiden tersebut. Sayangnya, hingga tigabelas tahun lebih sejak peristiwa yang abnormal tetapi kelam itu, rasa sedih itu tidak kunjung sirna. Hanya mungkin berkurang sedikit demi sedikit, tetapi belum pernah hilang seratus persen.

Jika aku bersedih akan peristiwa yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun 2008 itu, banyak orang yang menganggap aku menyalahkan Papah. Kenyataannya, justru akulah yang tiada hentinya menyalahkan diriku sendiri. Peristiwa itu menenggelamkan diriku dalam insecure tidak berkesudahan, karena aku merasa diriku ini sangat bodoh. Tinggal satu cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya, yaitu menulis surat imajiner. 

Ya, surat imajiner kepada Papah itulah cara yang paling ampuh untuk menaklukkan gunung kesedihan itu. Banyak hal yang tidak pernah bisa kusampaikan kepada beliau di masa hidupnya, akhirnya mulai tercurahkan dengan leluasa walau tentu saja beliau tidak akan dapat membacanya. Rupanya, menulis surat imajiner itu tidak cukup hanya satu kali. Sebab, banyak hal yang belum kepikiran ketika menulis surat tersebut untuk yang pertama kalinya. 

Kemarin malam, kutuliskan surat imajiner untuk almarhum Papah untuk yang kedua kalinya. Tanggal 14 Februari itu bukan sengaja kupilih, melainkan saat itu baru sempat untuk menuliskannya. Masih membahas tentang insiden kelinci itu, tetapi tiba-tiba saja terbersit ingatan terpendam yang jarang sekali muncul dalam pikiranku. Ingatan itu adalah tentang apa sebenarnya yang paling menjadi motivasiku untuk mengajukan pertanyaan yang absurd namun memilukan itu. 

Pertanyaan itu kuajukan sama sekali bukan karena ingin menjadikan meninggalnya adikku itu less worthy. Kematian kelinci itu disebabkan karena tidak sempatnya semua orang di rumah (termasuk aku) saat itu untuk memasukkan sang kelinci yang tersisa dari yang semula dua ekor, kembali ke kandangnya. Di situ aku ingin hewan peliharaan diperlakukan seperti anggota keluargaku sendiri, sehingga semuanya peduli untuk menjaga hewan itu dari bahaya. Ku teringat nama almarhum adikku dalam pertanyaan yang terdengar tidak etis itu, karena peristiwa itulah yang paling mengajarkanku arti dari kehilangan. 

Untuk seterusnya, semua kematian membuatku berduka, bahkan untuk hewan kecil sekalipun. Kulihat semua orang di sekitarku tampak biasa saja dengan kabar kematian hewan ini, mereka tidak sedih sepertiku. Pemahaman yang masih minim dari diriku yang saat itu berusia sebelas tahun kurang satu bulan, membuatku heran akan fenomena tersebut. Dalam otakku yang masih bocah itu, tersusun sebuah kalimat pertanyaan "Mengapa orang-orang bersikap biasa saja akan matinya kelinci dan hanya sedih jika adikku yang meninggal?"

Kini, di usiaku yang sudah mencapai lebih dari 20 tahun, tentu saja telah menemukan sendiri jawabannya dari pertanyaan itu. Hewan peliharaan bisa dibeli lagi, tetapi anggota keluarga tidak akan pernah bisa tergantikan. Walaupun begitu, aku tetap menganggap hewan peliharaan sama pentingnya dengan anggota keluargaku yang sesungguhnya. Justru karena pernah mengalami kehilangan anggota keluarga, aku ingin menjaga setiap makhluk hidup sebisaku.

Semestinya, kusebutkan saja kematian manusia secara umum saat menanyakan itu, jangan menyebut nama adikku atau siapapun. Akan tetapi, hal tersebut baru kusadari tahun-tahun terakhir ini, tepatnya sejak pandemi Corona melanda. Nama adikku itu disebutkan hanya sebatas karena itu adalah peristiwa kehilangan anggota keluarga yang paling dekat denganku saat itu saja. Hanya spontan saja, tidak ada tujuan lainnya, apalagi untuk merendahkannya. 

Mungkin saja surat imajiner ini perlu kutuliskan lagi, atau mungkin saja tidak. Lihat saja dulu ke depannya. Kuharap surat imajiner untuk Papah yang kedua ini banyak mengobati perasaanku. Karena dalam kenangan pahit ini sama sekali tidak kurasakan marah di dalamnya meski aku aslinya adalah orang yang mudah marah. Kalaupun ada perasaan itu, lebih ditujukan kepada diriku sendiri yang telah menyinggung ayahku tanpa kuinginkan, bukan kepada beliau

Surat Imajiner untuk Papah

 Februari 2022

Setelah tigabelas tahun lamanya, atau tepatnya sudah jalan tahun keempatbelas, akhirnya aku mulai dapat menghilangkan rasa sedih akibat kesalahanku sendiri pada insiden kelinci itu. Perasaan bersalah dan menyesal memang masih tersisa, tetapi porsinya tidak sebanyak ketika sebelum kutulis surat imajiner untuk Papah tempo hari. Surat imajiner itu hampir sama seperti surat pribadi biasa, hanya saja tujuan surat jenis ini adalah untuk seseorang yang telah tak mampu lagi kujangkau untuk selama-lamanya. Dalam surat tersebut, kutuliskan semua hal inti di balik perbuatanku yang keliru dalam insiden yang menyertai matinya kelinciku itu, insiden yang terjadi pada tahun 2008 tentu sama sekali bukan lagi peristiwa yang masih segar atau baru. 

Surat ini kutulis pada tanggal 8 Februari lalu, tepat sepuluh hari yang lalu. Sebenarnya, psikolog langgananku sudah memberiku tugas menulis surat ini sejak bulan Desember 2021 lalu, hanya saja baru sempat kutulis pada hari itu. Aku sempat dilanda kebingungan untuk merangkai kata yang akan kutuangkan ke dalam surat tersebut, karena seluruh isi hatiku harus tercurahkan di dalamnya. Pada bulan Januari lalu tahun ini, aku sibuk bekerja dan bulan ini aku dilanda sakit flu dan batuk, sehingga aku berhenti bekerja dahulu agar memastikan tidak tertular virus varian terbaru. 

Apa saja yang dimaksud dengan "hal inti" di balik kesalahan yang pernah kuperbuat itu? Yakni adalah perasaanku yang timbul sebelum mengajukan pertanyaan yang bagi orang pada umumnya dianggap tidak etis itu, motivasiku untuk menanyakan hal itu, dan juga pemahamanku yang saat itu masih kurang sehingga belum menyadari bahwa pertanyaan seperti itu adalah tidak dapat diterima. Selama Papah masih hidup, aku tidak pernah benar-benar berani untuk mengatakan semua itu, hingga beliau akhirnya wafat pada tahun keempat setelah insiden itu, pada tahun 2012 lalu. Pernah pada suatu hari aku membicarakan hal ini kepada beliau, itu pun kulakukan karena sangat terpaksa, tetapi ending-nya sangat menyedihkan dan malah membuatku menyesal sedalam-dalamnya karena telah membahasnya (ini sudah kuceritakan, ya, di catatan-catatan sebelumnya). 

Pada suatu pagi, Papah memergoki aku menangis tanpa suara. Tanpa sungai air mata yang berlinang di kedua pipiku. Hanya bulu mata yang mengkilap karena terbasahi oleh air mata. Wajar saja jika beliau penasaran dengan sebab di balik basahnya kedua mataku, kujawab saja apa yang membuatku menangis karena kesedihanku akan insiden itu tidak kunjung hilang meski sudah lama.

Biasanya, kesedihan akibat dimarahi oleh Papa dapat terobati dengan cepat hanya dengan membaca buku, menonton televisi, atau bepergian. Apapun caranya, semua penghiburan selalu berhasil. Namun, kasus ini sangatlah berbeda. Kesedihan, penyesalan, dan rasa malu untuk kasus insiden ini ternyata jauh lebih rumit untuk diobati daripada yang aku duga!  

Beliau tentu saja kaget, karena aku masih menyedihkan sebuah kejadian, yang saat itu sudah (atau "masih", jika dibandingkan dengan keadaan sekarang) dua bulan sejak waktu itu terjadi. Merasa sedih akibat dimarahi memang perasaan yang valid, tetapi bagaimana kalau kejadian dimarahinnya itu sudah lewat dua bulan yang lalu? Pada saat itu saja kesedihanku sudah dianggap terlalu lama, apalagi pada tahun ini yang sudah melebihi sepuluh tahun sejak peristiwa itu? Perasaanku yang bermuram durja ini bukanlah disebabkan oleh hatiku yang sakit kepada beliau, melainkan kaget yang sehebat-hebatnya karena dengan pemahamanku yang minim ini, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pertanyaan seperti itu akan menjadi perkataan yang buruk bahkan menyinggung. 

Awalnya saja aku sedih akibat dimarahi Papah, tetapi seiring dengan bertambahnya usia dan ilmuku, penyebab rasa sedih itu berubah. Dengan semakin menyadari di mana letak kesalahanku pada insiden tersebut, rasa sedih itu menjadi lebih ke arah menyesali diri. Semakin aku memahami mengapa Papah marah dengan pertanyaan itu, semakin juga kusadari bahwa pertanyaanku waktu itu bukannya konyol saja, tetapi dapat melukai tanpa kusengaja. Ibarat kusentuh sebuah senjata yang tidak banyak diketahui umum dan akupun baru melihatnya pertama kali, lalu senjata tersebut malah kuarahkan kepada seseorang yang kusayangi tanpa mengetahui dampak dari benda yang kugunakan itu. 

Aku tenggelam dalam penyesalan diri yang semakin mendalam setiap tahunnya, karena pemahamanku yang semakin meningkat akan hal apa saja yang pantas ditanyakan dan yang tidak. Namun, masa lalu tidak dapat kita ubah dan hanya dapat kita ambil pelajaran darinya. Seperti isi buku yang tidak dapat diedit dan hanya dapat dibaca serta diambil pengetahuannya. Lalu, perasaan negatif akibat insiden itu yang berlangsung dalam waktu yang sangat-sangat tidak wajar, hingga tigabelas tahun lebih lamanya sampai tulisan ini diketik, membuatku tetap harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya. 

Terasa sekali dampaknya bagiku setelah menulis surat imajiner untuk Papah untuk menyatakan segala hal yang berkaitan dengan insiden kelinci itu. Begitu selesai kutulis, surat itu wajib kusobek-sobek agar tidak terbaca terutama oleh orang lain lalu kepikiran lagi. Mungkin saja butuh lebih dari satu kali kutuliskan surat seperti itu kepada beliau, karena bisa saja belum seluruhnya kutuangkan di dalamnya. Alhamdulillah, usahaku untuk melenyapkan kesedihan itu sudah mulai membuahkan hasil. 

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...