Catatan tanggal 24 April 2021
Sejak aku biasa mengulik apa saja yang terjadi setelah insiden kelinci saat kelas V itu, aku menemukan satu sebab mengapa hanya peristiwa itu saja yang memberi dampak begitu besar dan terus menetap dalam memoriku. Untuk kasus ini, aku jarang berterus terang menceritakan kisah itu dan tidak segera mencari pemecahannya, malah terus kututupi. Padahal sebelumnya sering juga Papah memarahi anak perempuannya satu-satunya ini, tetapi biasanya kesedihan akibat hal itu cepat hilang. Misalnya, ketika ayahku marah kepadaku karena aku berkata kasar, keesokan harinya mood sudah kembali ceria dan segera lupa akan kesedihanku.
Namun, kasus insiden kelinci ini sangat berbeda, karena rasa sedihnya berlangsung sampai lebih dari satu tahun sejak kejadiannya! Biasanya jika aku sedang sedih setelah dibentak Papah, aku langsung cerita kepada Mamah atau siapapun yang berada di dekatku. Kalau untuk kasus ini sikapku tidak demikian, Mamah malah baru mengetahui kisah ini setelah setahun kejadiannya, yaitu pada saat aku sudah duduk di kelas VI. Rasa insecure takut ditertawakan menghalangiku untuk curhat secara terbuka akan hal ini, karena kesalahanku dalam kasus ini sungguhlah aneh, menanyakan sebabnya orang tidak sedih akan kematiannya hewan dan berbeda dengan jika sesama manusia yang meninggal, terutama anggota keluarga.
Karena jarang berterus terang kuceritakan, jelaslah problemnya sulit terselesaikan dengan tuntas. Pada saat jam pelajaran Keputrian pada Jumat antara pekan kedua atau ketiga Ramadhan tahun 2008, ketika teman-teman lelaki di sekolahku sedang salat Jumat, pernah aku terpergok sedang menangisi insiden itu oleh temanku jaman SD.
Saat Heidi temanku dari kelas sebelah yaitu VB (aku anak kelas VA) bertanya, "Hanna, kenapa kamu?" aku tidak sepenuhnya berkata yang sebenarnya.
Jawabanku adalah "Kelinciku mati" padahal bukan itu alasan utamanya, apalagi saat itu masih bulan puasa, semua orang tahu bahwa berbohong di saat menjalankan ibadah puasa itu dilarang secara lebih keras daripada bulan biasa.
Tahu kan kalau teman yang berkomentar itu kemungkinan besar (kata "pasti" di sini kuhindari, karena selalu ada kemungkinan yang lain) mulutnya tajam, apalagi waktu itu kami hanyalah anak kelas V SD yang masih labil? Padahal belum tentu begitu juga seandainya saat itu kukatakan dengan sesuai kenyataannya. Bisa jadi teman-temanku yang mengikuti Keputrian bersamaku itu malah menghiburku. Ah, perasaan insecure ini terlalu kuat.
"Saat aku masih kecil dulu, aku juga pernah bertanya 'mengapa Papa tidak pernah bosan dengan Mama, sedangkan aku kadang bosan bersama teman' kepada Eyang Kakung. Seharusnya dahulu kamu menanyakannya kepada beliau," kenang seorang kerabat. Eyang Kakung adalah ayahnya Mama dan kerabatku itu, seperti yang sudah sering aku jelaskan.
"Tetapi pertanyaannya yang kuajukan itu berbeda konteksnya. Aku membandingkan meninggalnya adik kandungku sendiri dengan hewan peliharaan yang masih dapat dibeli lagi yang baru!" seruku masih dengan muram.
"Sebenarnya konteksnya justru sama. Menanyakan sebab dari perbedaan perasaan manusia pada dua kejadian yang serupa tetapi dengan situasi-kondisi yang berbeda," jelas beliau.
Padahal aku sebenarnya dahulu memiliki cukup banyak waktu dari sejak insiden itu yang terjadi pada 1 September 2008 hingga wafatnya Eyang Kakung pada 29 Januari 2010 lalu. Mengapa aku bisa tidak sempat untuk mencurahkan pengalamanku yang kurasa menyedihkan ini kepada kakekku yang dikenal sebagai pendengar yang baik tersebut? Aku terlalu malu dan takut untuk disalahkan—meski yang kulakukan itu memang tidak dapat diterima (mayoritas) masyarakat—dan itu malah akan membuat keadaan emosiku semakin buruk! Bahkan aku sampai detik ini belum berani bercerita kepada Nenek, ibunya Papah karena jika aku curhat kepada beliau, khawatir tanggapannya akan sama marahnya seperti ayahku yang merupakan anaknya, wah sudah hampir 13 tahun beliau belum mengetahui kisah ini.
Untung saja Nenek masih hidup hingga kini ketika catatan ini kutulis. Kuharap beliau sehat terus dan jika kucurahkan pengalamanku ini tidak membuatnya jatuh sakit. Kalaupun tidak sampai sakit, semoga beliau tidak sakit hati karenanya.
Ternyata sifatku yang sulit berterus-terang membicarakan masalahku ini masih berlanjut hingga kini aku duduk di bangku perkuliahan! Masih berlanjut sampai sekarang, di tahun 2021 ini! Hal ini bahkan sampai memengaruhi tugas kampusku, jika mengalami kesulitan ketika mengerjakannya, aku malah berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bukannya meminta bantuan kepada orang sekitarku, misalkan Mamah. Padahal tidak jarang ibuku itu dapat memecahkan kesulitanku dengan jitu, seperti yang sudah sering terbukti.
Dengan mempelajari kilas balik masa pra-remajaku, akhirnya aku menemukan bahwa sifatku inilah yang sering menyeretku kepada masalah tidak berkesudahan.
Segini saja dulu ya catatan hari ini.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment