Catatan 27 April 2021
Kemarin terjadi sebuah kabar duka, yaitu kapal selam milik tentara dalam negeri yang tenggelam dan terbelah menjadi tiga bagian yang terpisah letaknya. Musibah negara ini sayangnya malah dilontari komentar-komentar yang tidak sopan. Pelakunya juga bukan hanya satu orang!
Musibah tenggelamnya kapal selam Nanggala 402 kemarin ternyata tidak semua orang menyikapinya dengan baik. Ada saja orang yang malah menjadikan musibah ini sebagai bahan candaan, bercandanya tidak senonoh pula. Terdapat lebih dari satu pelaku kasus seperti ini, di tempat yang berbeda. Satu orang pelaku mengatakan FB nya dibajak ketika sebuah komentar kotor mengenai korban Nanggala yang mengatasnamakan dirinya muncul, tetapi ada pula orang lainnya yang memang benar melakukannya dan dia tidak tahu bahwa perkataannya dapat membuat orang lain tersinggung!
Tentang pelaku yang kedua, aku tidak berani menilai dia hanya berdalih saja (kalau pelaku yang pertama memang mudah untuk dipercaya pengakuannya). Memang rasanya pasti kaget bagi siapapun jika menemukan adanya orang yang tidak dapat merasakan kesedihan ketika kapal selam tersebut dikabarkan tenggelam. Perkataannya yang tidak mengandung empati seperti itu memang tidak dapat dibenarkan, akan tetapi bagaimana jika dia memang benar selama seumur hidupnya baru mengetahui bahwa ucapannya sama sekali bukan hal yang baik? Menurut analisisku, bisa jadi dia tinggal di lingkungan yang semua orang di dalamnya sering melontarkan lelucon macam begitu, sehingga dia tidak dapat lagi membedakan mana ucapan yang benar dan mana yang salah.
Di sini aku bukannya membela orang yang berbicara kotor tentang keluarganya para angkatan laut yang berpatroli abadi itu. Namun, lebih berkaca kepada pengalamanku sendiri.
Suatu pagi di bulan November 2008 (aku ingat bulannya karena ini terjadi dua bulan setelah insiden kelinci itu), Papa memergokiku mengeluarkan air mata–tetapi tanpa isakan–ketika beliau hendak membangunkanku untuk pergi ke sekolah.
"Teteh kenapa menangis?" tanya beliau kaget kepadaku. Aku adalah anak perempuan satu-satunya yang juga anak sulung, jadi aku dipanggil dengan sebutan "Teteh".
"Aku masih sedih karena peristiwa hari pertama bulan puasa waktu itu," jawabku di tengah sembapnya mataku.
"Lho, itu kan terjadinya sudah dua bulan yang lalu?" tanya Papa lagi karena heran.
"Habisnya aku benar-benar kaget, sama sekali tidak menyangka Papa akan marah karena hal itu." Aku berbicara dengan hidung yang mampat karena air mata.
"Teh, tahu tidak kalau bertanya seperti itu adalah tidak etis?" kata Papa dengan nada serius, tetapi tidak meninggi.
Aku yang saat itu baru satu bulan berusia sebelas tahun, baru pertama kalinya mendengar kosa kata "etis". Kalau etika atau etiket, setidaknya sudah beberapa kali mendengarnya.
"Tidak etis itu apa, Pa?" Aku balik bertanya dengan polosnya.
"Ya, semacam tidak sopan begitulah," tutur beliau.
"Mengapa tidak etis, ya, Pa?" tanyaku lagi. Sumpah, sejak insiden tersebut, hidupku serasa dihujani serentetan hal-hal yang bias.
"Orangtua yang kehilangan anak sendiri, tentunya terlalu sedih dan tersinggung jika peristiwa meninggalnya anak dibandingkan dengan matinya hewan," jawab Papa serius. Nada suara beliau tetap terjaga agar tetap rendah. Tidak menjadi bentakan.
Dheg!
Seketika tubuhku membeku. Punggungku serasa disiram air es. Kepalaku mati rasa. Pertanyaan yang kuajukan itu hanyalah rasa keingintahuanku tentang topik kematian, yang ternyata malah menjadi sesuatu hal yang menyinggung perasaan orangtuaku dan tidak taat etika!
Selama aku berbicara dengan Papa tadi, aku tidak kunjung membuka mataku. Khawatir air mataku akan membanjiri kedua pipiku, aku malas menyekanya. Walaupun rasa kaget yang tidak main-main telah mengunci mulutku, tetap kedua mataku tidak jadi membelalak. Kujaga agar kedua jendela hatiku itu tetap tertutup, tidak berani kulihat wajah Papa.
Segitunyakah makna dari pertanyaanku itu? Sungguh, tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku bahwa rasa ingin tahuku dapat menjadi hal yang begitu menyakiti hati Papa.
Sama sekali tidak pernah kutahu bahwa pertanyaan seperti itu adalah sesuatu yang menghinakan! batinku di saat speechless menyerangku.
Insiden kelinci dapat terjadi hanya karena ketidaktahuanku bahwa pertanyaan yang bersifat membandingkan atau menyamakan itu adalah tidak sopan. Begitu juga dengan si pelaku yang tidak paham bahwa candaannya terkait tenggelamnya KRI 402 adalah sesuatu yang tidak bermoral. Setiap kali ada musibah kematian, orang yang berbicara tidak etis, atau bahkan hanya mendengar frasa 'tidak etis' itu, aku selalu kepikiran lagi tentang "insiden kelinci" itu. Walau orang normal menganggapku sangat bersalah, tetapi pada saat itu terjadi, memang bukan bullshit bahwa belum ada dalam pengetahuanku hukum bertanya akan hal seperti itu adalah haram.
Papa dan Mama mengiraku tidak ikut bersedih atas kehilangan salah satu anggota keluarga kami. Kata siapa aku tidak sedih? Bisa jadi kesedihanku tampak dengan cara yang tidak disangka-sangka oleh orang lain. Hingga detik ini, aku masih selalu mengenang adikku yang sekarang sudah menjadi pangais bungsu jika ia masih hidup.
"Aku hanya ingin semua orang sedih dengan kematiannya kelinciku yang juga makhluk hidup," kataku lirih dan naif pada saat insiden kelinci tersebut.
"Tidak semua orang sedih dengan cara menangis. Ada pula yang sedih dengan cara melupakan!" kata Papa tegas.
Aku pun begitu. Melupakan adalah cara yang kupilih, karena aku tidak ingin terus berlarut di dalam kedukaan. Rasa kehilangan dan sedih akibat ditinggal adik kandung yang masih berusia bayi, siapa yang tidak mengalaminya? Sekali lagi, ingatanku akan meninggalnya adik tengahku itu malah terpicu kembali dengan cara yang sama sekali tidak ada wajar-wajarnya, yaitu oleh matinya seekor kelinci peliharaan yang kedua setelah satu ekor lainnya mendahuluinya.
Ketika semua orang mengecam candaan tidak senonoh tentang kapal selam milik negara yang menewaskan 53 orang kemarin, aku malah merasa si pelaku mungkin berada dalam kondisi yang sama denganku ketika insiden kelinci tersebut. Hanya saja, aku dalam kasus tersebut sama sekali bukan rangka bercanda. Di situ justru serius ingin menanyakan satu hal, yaitu sebab perbedaan nyawa manusia dan hewan. Cuma jawaban yang kuinginkan dari Papa, yang saat itu adalah orang dewasa yang terdekat dari posisiku duduk untuk makan sahur, bukan niat jahat apapun.
Untung saja soal perkataan yang tidak senonoh, aku sudah ditanamkan sejak dini bahwa perkataan seperti itu harus dihindari. Jadinya dalam kesempatan apapun, aku sudah otomatis tidak mengatakan hal-hal yang jorok. Tapi kalau soal membandingkan hilangnya hidup manusia dan hewan, tidak ada yang pernah membahasnya karena terlalu tidak umum dikatakan orang. Hasilnya, sampai tiga tahun setelah kejadian itu, tepatnya hingga tahun 2011, aku berada dalam keadaan tidak tahu apa-apa soal mengapa bertanya seperti itu adalah sesuatu yang salah dan selalu diliputi kabut hitam kesedihan yang membingungkan.
Aku sebenarnya agak ragu dan khawatir tulisanku ini membuat sedih banyak orang. Tetapi, demi menyelesaikan tugas kepenulisan yang diangkat dari kisah nyataku.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment