Saking minimnya pengalaman berkesan di jaman pandemi ini, aku sampai keseringan menengok kembali berbagai peristiwa yang terjadi pada masa aku ketika kelas V. Aku jadi macam Dr. Doofenshmirtz saja yang punya banyak cerita latar belakangnya atau bahasa kerennya "flashback". Masih edisi Jurnal Ramadhan nih. Berhubung saat ketiadaan mood aku untuk mengisi blog ini ketika bulan suci tersebut masih berlangsung, catatan yang waktu itu kutulis di buku kuketik ulang di sini menjadi postingan blog.
Catatan tanggal 22 April 2021
Bulan Ramadhan untuk tahun 2021 ini jatuh mulai pada tanggal 13 April lalu. Hari ini adalah hari kesepuluh dari bulan suci tersebut. Karena kebiasaanku bernostalgia, apalagi hari ini masih juga harus "di rumah aja" jadinya gabut luar biasa deh ingatanku mendadak kembali ke 12 tahun yang lalu pada bulan yang sama. Tepatnya pada April 2009, aku lupa persisnya tanggal berapa, aku mengikuti sebuah field trip bersama sekolahku ke sebuah kavaleri (markas pasukan berkuda) di Lembang, saat aku masih kelas V.
Perjalanan itu terjadi kira-kira minggu kedua bulan April pada tahun tersebut. Diperkirakan "insiden kelinci" tersebut sudah berlalu tujuh bulan sebelumnya, karena terjadi pada tanggal yang mudah diingat, yakni hari pertama puasa tahun 2008 yang jatuh pada tanggal 1 September. Di kavaleri tersebut, semua murid dari sekolah kami berkumpul untuk menonton sebuah pertunjukan atraksi kuda di tengah sebuah lapangan. Kami semua yang berjumlah 400 (empat ratus) orang duduk di kursi mirip teater, hanya saja terletak secara outdoor. Satu atau dua orang anggota kavaleri menunggangi masing-masing satu ekor kuda yang tentunya sudah terlatih untuk unjuk kemampuan hewan tersebut.
Kuda tunggangan anggota kavaleri tersebut diperintahkan oleh penunggangnya dan juga MC untuk melakukan berbagai pertunjukan, seperti melompati palang rintangan, melewati lingkaran (tentu saja tanpa dibakar karena lingakaran tersebut dipegang tangan langsung!), dan sebagainya. Usai atraksi tersebut, sang MC menutupnya dengan sebuah pesan untuk para penonton ciliknya plus para guru. Bagi hampir semua orang di sana, seruan MC tersebut terdengar wajar-wajar saja, sayangnya bagiku lagi-lagi membuatku berpikir secara mendalam dan tentunya berbeda dari orang umum!
"Kalian kalau disuruh orangtua atau guru harus mau nurut ya. Masa kuda aja mau nurut kalian nggak?" seru sang MC lewat megafon yang dipegangnya.
Memang seruan tersebut bukan berarti apa-apa selain untuk memberi pesan yang baik untuk anak-anak sekolah yang menonton. Kontan semua anak yang mendengarnya tertawa, kecuali aku. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit tertawa di tengah terbahak-bahaknya orang sekitarku! Penyebab bungkamnya kotak tertawaku untuk kasus ini adalah kata-kata MC barusan yang malah dipikirkan terlalu dalam-dalam, selain sifatku yang dikenal sulit untuk ikut merasa lucu akan jokes.
Ohohooo, bukannya aku merasa tersinggung or mengira disamakan dengan kuda tempur, ya! Dengan perkataan tentara yang membawakan acara atraksi itu—sadarlah aku ternyata—tujuh bulan sejak insiden kelinci yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun sebelum field trip tersebut. Diriku masih saja mencari sebab mengapa Papa merasa tersinggung dengan pertanyaan yang beliau rasa aku menyamakan antara adikku yang manusia dengan seekor hewan bernama kelinci. Kukira rasa sedihku akibat insiden tersebut itu sudah hilang, karena biasanya juga kesedihan akibat dimarahi Papa itu cepat menguap.
Beliau merasa aku menyamakan manusia dengan binatang, tetapi perkataan MC tadi bukankah melakukan hal yang sama? batinku yang masih naif setelah acara atraksi tersebut bubar.
Ternyata sampai lebih dari enam bulan dari kejadiannya, rasa susah hati dan sesal itu masih bertahan. Bukan momen yang jarang juga sih aku dimarahi Papa, tetapi khusus untuk kasus ini dampaknya sungguh besar.
"Teteh jangan menyalahkan Papa," kata Mama suatu hari ketika aku membicarakan perasaanku yang tidak biasa ini.
"Kamu jangan salahkan Papa kamu," ujar salah satu keponakan dari pihak Eyang Putri dengan maksud senada.
Jujur, dua tahun pertama dari "insiden kelinci" itu mungkin aku memang ada unsur menyalahkan beliau. Namun, semakin bertambahnya usiaku dan seiring berjalannya waktu, bukan lagi kemarahan beliaunya yang diberi highlight. Semakin lama berlalunya peristiwa itu yang tidak menyenangkan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, aku lebih menekankan dampaknya dari insiden itu. Salah satunya, lebih aware akan dampak dari pikiranku yang sering berkelana tak tentu arah, sehingga banyak masalah ditimbulkan dari hal-hal ngelantur yang dihasilkannya.
Sifat naifku ini memang tidak ketulungan, karena pada saat itu aku belum juga mengerti kesalahanku pada insiden tersebut. Meskipun adikku Irsyad yang berusia tiga tahun di bawahku sudah langsung dapat memahami di mana letak kesalahanku, buatku membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk kupahami, sampai memakan waktu bertahun-tahun setelahnya. Ya, akulah "Sang Pengelana Naif" dari Negeri Halu.
"Pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dengan binatang," kata adik terbesarku itu saat kami berdua sedang dalam perjalanan berangkat sekolah dengan mobil keluarga kami, saat itu aku kelas V dan dia kelas II.
Untung saja saat itu bukan Papa yang menyetir, tetapi sopir. Jika beliau yang membawa mobilnya, pasti beliau akan mendengarkan percakapan kami berdua. Beliau memang biasa menyimak kedua anaknya mengobrol. Khawatir amarahnya beliau akan tersulut, lagi, karena aku mulai membahas insiden yang menyinggung perasaannya itu.
Mendengar jawaban itu, kekagetanku ternyata belum waktunya untuk berakhir. Mengapa dianggap menyamakan? Rasanya segala hal yang berkaitan pada kasus itu berada di luar kendaliku. Sampai benakku juga tidak dapat kukendalikan pada insiden sahur hari pertama itu!
Juga, mengapa membandingkan seperti itu dianggap suatu kesalahan? batinku sebelum naik ke kelas VI.
"Tetapi, waktu kunjungan ke kavaleri itu kan kata MC kita harus nurut karena kuda aja mau menurut. Bukannya itu juga menyamakan manusia dengan hewan?" tanyaku polos dan naif. Irsyad juga ikut menonton atraksi tersebut, karena kami satu sekolah dan field trip tersebut adalah acara massal untuk seluruh muridnya.
"Ya itu mah beda atuh, Teh. Yang di kavaleri itu kan niatnya memberi semangat untuk anak-anak yang menonton," jawabnya sabar (?)
Bisa jadi Irsyad lebih cepat sampai pemahamannya bukan hanya karena dia tidak sama naifnya denganku, tetapi karena itu bukan kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pada umumnya memang lebih mudah untuk memahami letak kesalahan orang lain ketimbang kesalahan sendiri. Begitu juga denganku, kalimat tadi bukan untuk menyalahkan atau menyindir adikku. Mendengar jawabannya, mulut ini ber-ooh saja.
Niatku juga sebenarnya bukan untuk menghina adiknya Irsyad yang lebih besar sekaligus kakaknya Fariz itu yang sudah mendahului kami. Saking naifnya, sampai pada saat itu belum tahu bahwa perkataan seperti itu adalah tidak etis dan tidak dapat diterima umum. Hanya sekadar untuk memuaskan kekepoan yang sepintas tampak konyol. Intinya, aku tidak ada niat buruk sama sekali di dalamnya.
Malahan sampai pada tahun terakhir dekade 2000-an bahkan sampai masuk tahun 2010 (itu tahun aku siap dan sudah masuk SMP, cuy), aku masih belum juga dapat memahami apanya yang menyinggung dari perbandingan seperti yang kutanyakan itu. Sebelumnya, selama sepuluh tahun pertama menjadi penduduk Bumi atau alam dunia, kukira hanya mengejek seseorang dengan sebutan hewan saja yang dianggap tidak sopan karena "menyamakan manusia dengan hewan". Dari field trip ke Kavaleri Lembang ini, dapat kutarik satu pelajaran : tidak semuanya perbandingan atau penyamaan manusia dengan hewan adalah buruk atau menghina. MC tadi itu meminta para penontonnya agar menjadi anak penurut seperti kuda yang tampil pada atraksi outdoor itu, meski ketika pertunjukan berlangsung ada seekor yang tidak mau melompati palang dan malah bergeming di belakang palang.
Baiklah, kusadari aku sudah terobsesi dengan kisah insiden kelinci ini. Namun, obsesi ini bukan sekadar ngagugulung peristiwa itu saja kalau orang Sunda menyebutnya, karena tidak hanya berhenti di flashback saja. Bagiku kasus unik ini menimbulkan kekepoan yang sangat, karena sifat naif ini menyebabkan minatku untuk mengeksplorasi diriku lebih jauh. Tiada habisnya kasus ini diulik, karena seperti yang sudah sering kubilang, efeknya sungguh tidak seperti peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidupku.
Untuk memahami bahwa berkata bohong atau mencela orang lain adalah perbuatan salah, itu mudah bagiku. Sangat mudah malah, karena diajarkan di banyak buku budi pekerti. Kalau kasusnya seperti insiden kelinci tadi, siapapun tidak akan menduganya, jadinya tidak akan ditemukan di buku manapun. Terlalu mengejutkan di telinga orang.
Menyamakan fisik manusia dengan binatang itu jelas tidak etis, karena termasuk kategori "body shaming".
"Tetapi, menyamakan hilangnya kehidupan dari manusia dan hewan, mengapa dianggap tidak etis ?" tanyaku kepada diri ini selama bertahun-tahun.
Namun, jika kita menyebut bayi atau anak kecil dengan sebutan "kucing" karena gemas, itu tidak pernah dianggap buruk. Wah, topik manusia dan hewan ini sungguh sangat fleksibel, ada kalanya bisa menjadi buruk, netral, bahkan baik atau bahkan dalam kasus tertentu, bisa jadi malah wajib dilakukan, misalnya untuk membandingkan ukuran spesies hewan tertentu dengan tubuh manusia sebagai ilmu pengetahuan.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment