Ngomong-ngomong soal jiwa, perasaan aku masih galau soal kesalahanku pada insiden kelinci tersebut. Di sini aku akan menuliskan kembali catatanku ketika bulan puasa tahun ini. Saat berpuasa rasanya malas mengisi blog. Sekarang waktunya untuk aktif kembali!
Ini adalah salinan dari diary alias "buku harian" yang tidak pernah dan memang tidak bisa juga untuk protes karena aku sering sekali mengisinya dengan kegilaanku. Sama seperti blog ini yang fungsinya juga untuk menampung pikiranku yang nyeleneh. Catatan dari diary yang akan kusalin adalah catatan pada tanggal 19 April 2021 lalu :
Magrib ini ketika aku sedang berbuka puasa bersama dua adikku, televisi kami menanyakan acara sitcom atau komedi situasi jadul berjudul "Friends". Komedi situasi tersebut tentu tidak ketinggalan menjadi hiburannya satu orang kerabatku dan Mama semasa muda mereka. Acara tersebut memang acara yang bertujuan untuk mengundang tawa penonton—namanya juga komedi situasi—sayangnya aku tidak dapat tertawa karenanya dan episode Magrib ini malah membuatku tertegun. Episode in question adalah episode dari season 9, tapi lupa episode berapanya.
Penggalan dialog dari episode tersebut yang menyebabkan aku terdiam memikirkan hal lain di luar adegan yang kutonton bersama dua adikku, Irsyad dan Fariz itu. Dialog tersebut sebenarnya masih merupakan hal yang lucu, tetapi rasa sesal di hati mencegah tawaku keluar. Dialog yang kumaksud adalah percakapan antara dua tokoh perempuan dari sitcom yang kami tonton itu, Rachel dan Phoebe.
Rachel tidak sengaja menjatuhkan sekotak anak tikus milik Phoebe yang tersimpan di atas meja.
Aku lupa kata-kata persis dari Phoebe yang meminta temannya itu untuk lebih berhati-hati seperti memperlakukan "para bayi" tersebut sama dengan kehati-hatian Rachel terhadap anaknya sendiri. Anak-anak tikus tersebut memang baru lahir. Jika tidak salah, induk mereka yang merupakan tikus yang menghuni apartemen dibunuh oleh Phoebe dan suaminya, ternyata tikus yang baru mati tersebut baru saja melahirkan, jadi anak-anaknya terpaksa mereka urus! Namanya juga adegan dari acara komedi, kejadian ini tentunya hanya untuk membuat penontonnya minimal menyunggingkan senyum, kalau tidak bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
Percakapan antara dua tokoh tersebut bukannya terasa lucu bagiku, justru malah membuatku berpikir cukup dalam. Kalau sudah begini, tidak akan bisa untuk sekadar tersenyum karena mendengar mereka sekalipun. Lho, kok, bisa gitu? Selain karena aku sulit tertawa jika menonton acara komedi atau humor, khusus percakapan ini malah menyeretku akan sebuah ingatan akan kesalahanku yang sudah lama sekali berlalu.
"Kau membandingkan anakku dengan seekor tikus?" protes Rachel.
"Tujuh ekor tikus," Phoebe mengoreksi, padahal dia sendiri yang gagal paham inti dari perkataan Rachel, temannya, barusan.
Seharusnya sih ya tidak usah dipikirin ya, itu kan cuma lucu-lucuan saja. Kalau orang biasa yang menyimak dialog barusan pastinya akan tergelitik. Namun, aku malah menghela napas dalam, merasa tertohok untuk yang kesekian kalinya karena mengingatkanku dengan kesalahanku yang serupa dengan ucapan Phoebe tadi. Kesalahanku yaitu membandingkan anak manusia dengan hewan, masih "insiden yang itu".
Jika ada yang membaca jurnal Ramadhan karyaku ini mungkin si pembaca akan bosan karena aku terus mengulas insiden yang terjadi pada hari pertama puasa di tahun 2008 itu. Wajar jika mereka bosan, tapinya aku juga tidak bisa memungkiri bahwa pengaruh besar dari insiden yang super nyeleneh dan penuh kontroversi itu. Selama bertahun-tahun dari insiden kelinci itu, aku belajar banyaaaak hal darinya. Dari banyak tontonan (dan selalu tontonan yang berasal dari Negeri Paman Sam atau anime/manga), aku semakin menyadari di mana letak kesalahanku pada insiden kelinci itu. Soal anak adalah hal yang begitu sensitif bagi orangtuanya, apalagi jika disangkutpautkan dengan binatang, itu baru kusadari di umurku ketika menginjak remaja!
Pertanyaan Rachel tadi itu hampir sama dengan tanggapan Papa begitu aku membandingkan kesedihan orang antara adikku yang meninggal dengan ketika kelinciku mati. Karenanya, aku tidak bisa ikut tertawa dengan percakapan pada serial komedi situasi tadi. Jelas, hanya feel-nya yang berbeda. Tidak perlu kujelaskan lagi bahwa Papa juga tidak mungkin sedang berusaha mengundang tawa untuk yang mendengarnya.
"Jadi, Teteh menganggap bahwa meninggalnya Dik Hanif dengan matinya kelinci itu sama, begitu?" tanya Papa marah.
Jika kuingat perkataan almarhum ayahku ini, rasanya masih saja kaget hingga kini. Sama sekali tidak menyangka pertanyaan konyol (bagi sebagian orang) yang kulontarkan itu akan membuat beliau berpikir seperti itu. Saat itu rasanya mulutku terkunci, tenggorokanku tercekat, sulit sekali untuk berbicara. Aku waktu itu hanya ingin satu jawaban dari beliau atas pertanyaanku, bukannya menyamakan.
Siangnya setelah insiden tersebut, akhirnya aku berterus-terang bahwa saat sahur waktu terjadinya insiden itu adalah karena "keceplosan" saja. Spontan saja pertanyaan itu terucap tanpa berpikir terlalu dalam lagi. Untuk menanyakan sebab meninggalnya manusia dan matinya hewan disikapi secara berbeda, seharusnya kusebutkan saja secara umum, jangan mengaitkannya dengan soal almarhum adikku. Akan tetapi, ingatanku yang me-replay peristiwa tragis yang menimpa adikku juga sama spontannya, tidak ada maksud dan tujuan apapun.
Di antara keluarga dan teman, aku memang dikenal sulit tertawa jika mendengar lelucon, lawakan, atau acara komedi. Bagiku kadang perkataan yang dimaksudkan untuk meledakkan tawa penonton, bisa jadi malah mengingatkanku akan suatu masa lalu yang cukup suram. Pengalamanku yang penuh dengan penyesalan mendalam.
"Ditinggal anak memang merupakan soft spot bagi Papamu, tetapi juga seharusnya blio jangan semarah itu. Kamu juga seharusnya bertanya hal seperti itu kepada Eyang Kakung saja," jelas seorang kerabat yang tadi kusebutkan sebagai sesama penggemar F. R. I. E. N. D. S .
Kusesali dahulu hubunganku dengan kakekku kurang dekat. Padahal ayahnya Mama itu justru merupakan orang yang paling enak ditanya dan diajak bertukar pikiran. Akan tetapi,
Allah SWT telah memanggil beliau pada Januari 2010 lalu, bahkan sebelum kepulangannya Papa pada 2012. Bulan Ramadhan tahun 2021 ini sayangnya keluargaku tidak sempat nyekar ke makam Papa, Dik Hanif, dan Eyang Kakung.
Sampai jumpa di Jurnal Ramadhan selanjutnya! Dadah, cacaw!
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment