Akibat chatting aku via WA dengan seorang kerabatku kemarin lusa, seketika aku mendapat insight. Dalam chat kami kemarin lusa itu, sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI yang ke-77, kami sempat membahas tentang seorang tokoh politik yang disebutkan dalam catatanku sebelumnya. Ya, kami berdua membahas tokoh politik itu yang aslinya hanya berniat untuk membatasi volume suara toa untuk mengumandangkan adzan itu. Lalu, kami berdua terpikirkan akan suatu hal : mengapa hewan anjing dianggap begitu rendahnya, terutama dalam hukum agama Islam, sehingga sang tokoh menuai kontroversi karena menyebutkan hewan itu.
"Pihak Kemenag juga tak bisa memaksakan persepsi masyarakat soal azan dan gonggongan anjing."
Sumber kutipan dari kalimat di atas, bacalah di sini.
Topik ini memang sudah tidak lagi hangat, karena sudah berlalu hampir enam bulan yang lalu. Namun, bagiku terasa begitu relatable. Karena hewan anjing begitu di-degrading, terutama masyarakat yang termasuk muslim, terpicu emosinya duluan begitu mendengar nama hewan itu dijadikan analogi, apalagi dengan panggilan untuk melakukan ibadah salat wajib lima waktu. Padahal jika saja kita mau meluangkan sedikit waktu kita untuk mencermati maksud dari perkataan tokoh tersebut, kita akan menyadari bahwa terlalu tidak wajar jika sampai beliau membenci adzan dengan merendahkannya hingga dibandingkan dengan suara gonggongan anjing.
Setelah aku mendengarkan perkataannya beliau dari satu video karena berangkat dari rasa penasaranku, dari intonasi bicaranya jelas tidak ada kebencian terhadap adzan. Beliau menyebutkan hewan tersebut hanya sebagai sesuatu yang memiliki tingkat kekerasan suara yang sama atau mirip. Niat beliau hanya untuk mengatur tingkat kekerasan dari adzan, jangan sampai yang fungsinya adalah untuk mengajak umat muslim untuk beribadah malah jadi mengganggu masyarakat. Karena nilai dari hewan yang begitu dianggap rendahnya, terutama anjing, maksud baik dari beliau malah tertutupi dan memicu keributan.
"Kepada saudaraku yang akan berdemo saya mengajak kita semua untuk secara otentik dan jujur mendengarkan bisikan nurani terdalam kita tanpa ada benci, dendam dan kepentingan tentang pernyataan Gus Menteri," ujar Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, Kamaruddin Amin kepada VIVA di Jakarta, Jumat, 4 Maret 2022.
Dia menambahkan, "Sembari membaca secara utuh pernyataan beliau, memahami konteks dan substansi surat edarannya. Insya Allah bisikan rohani kita akan berkata bahwa Gus Menteri punya niat baik, tidak ada maksud membandingkan antara suara azan dan gonggongan anjing."
Ia menjelaskan, latar belakang menteri agama sebagai seorang santri yang tumbuh besar di lingkungan pesantren di bawah tempaan almarhum ayahnya yang seorang ulama tak mungkin melakukan seperti yang dipersepsikan itu.
Sumber kutipan kalimat di atas berasal dari alamat ini.
Dari percakapan kami, aku teringat akan suatu kejadian yang tadi kusebutkan terjadi sekurang-kurangnya tiga bulan yang lalu. Kejadian ini belum pernah kubahas dengan kerabat tersebut hingga detik catatan ini ditulis. Inti dari kejadian ini menyisakan pertanyaan yang hampir sama : mengapa hewan dianggap makhluk yang sebegitu rendahnya? Berawal dari seekor kucing peliharaan kami yang bernama Meylin ...
Pada suatu pagi menjelang siang, aku sedang duduk di ruang tengah untuk sarapan. Maklum, sarapanku sering telat karena aku selalu kebagian kuliah online pagi hingga akhir Juni lalu. Di atas sebuah kursi di sebelahku, duduklah Meylin kucing peliharaan keluargaku. Datanglah anak bungsunya dari seorang ART di rumahku ke ruangan tersebut.
Anak tersebut yang masih berusia tiga setengah tahun bermain-main dengan Meylin, hingga akhirnya kucing itu merasa tidak nyaman dan kemudian mencakar anak itu. Karena rasa kaget dan perih akibat cakarannya, anak itu menangis. Malam pada hari yang sama setelah kejadian tersebut, aku menceritakannya kepada adikku yang paling terakhir. Saat itu, aku berada di ruangan yang sama dengan kejadian Meylin tadi bersama Mamah dan adikku yang termuda tadi itu.
"Ya itu sih salah dia (anaknya ART tadi) sendiri, dong," ujar adik terakhirku dengan nada agak kesal selepas aku mengakhiri ceritaku tentang Meylin pada tadi siangnya.
"Mengapa Ade lebih membela yang tidak punya akal?" tanyaku. Aku biasa memanggil adik bungsuku dengan sebutan 'Ade'.
"Dalam Islam, binatang itu kok rasanya direndahkan sekali. Seakan-akan kita para manusia saja yang unggul, sedangkan mereka begitu dianggap hina," tutur adik bungsuku itu heran.
"Sebenarnya bukan merekanya yang jelek, tetapi kita lebih memiliki kelebihan karena mampu berpikir," jelas Mamah.
"Iya juga ya, padahal jika dibandingkan dengan waktu kemunculannya mereka para hewan di muka Bumi ini, kita sebagai manusia itu justru newbie," kataku tersadar.
Tidak ada habisnya aku teringat akan insiden kelinci itu jika sudah membahas nilai dari hewan. Oleh karena dalam agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, hewan itu dianggap makhluk yang rendah derajatnya dibandingkan dengan manusia, hingga Papah tersinggung dengan pertanyaan yang kulontarkan pada saat insiden itu. Padahal secara filosofis, sejatinya hewan dan manusia dan juga tumbuhan, itu sama-sama berharganya. Mengapa hewan seringkali dianggap sebagai makhluk yang serendah-rendahnya, padahal mereka jelas tidak mungkin berbuat jahat, justru karena ketidakmampuan mereka untuk berpikir dan merencanakan?
No comments:
Post a Comment