Kurang lebih enam bulan yang lalu, seorang tokoh politik menuai kontroversi di bidang keagamaan. Kabarnya, beliau melakukan penghinaan terhadap agama, yaitu membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Aku penasaran dengan motif beliau, apakah memang iya beliau sampai setega itu dengan topik agama? Jika suara yang memanggil masyarakat muslim untuk segera mendirikan salat itu dirasa terlalu berisik oleh beliau, kurasa terlalu tidak wajar jika beliau sampai sangat membenci suara panggilan itu dengan menyamakannya dengan suara hewan yang dipandang sensitif oleh kebanyakan masyarakat dari agama Islam.
Seorang sahabatku memberikan link video ketika tokoh politik tersebut berujar hal yang penuh kontroversi itu. Aku coba dulu untuk menonton dan mendengarkannya dengan seksama, apa yang membuat kalimat yang (katanya) kurang pantas itu terucap dari mulut sang tokoh. Ternyata, beliau hanya salah memilih pembanding untuk menjelaskan kebijakannya mengatur tingkat kerasnya suara panggilan untuk melakukan salat lima waktu. Alhasil, perkataannya terdengar kurang baik karena kesalahan beliau memilih analogi tersebut.
Secara tingkat kekerasan suara, dalam ukuran desibel antara adzan dengan gonggongan anjing boleh jadi memang sama. Namun, tetap saja sebaiknya beliau memilih pembanding yang lebih kecil resikonya. Yaitu, pembanding lainnya yang desibelnya tetap sama besarnya dengan suara adzan lewat toa, tetapi konotasinya terdengar lebih aman daripada gonggongan anjing tadi itu. Peristiwa itu kira-kira memiliki same energy dengan "Insiden Kelinci" yang terjadi akibat pertanyaanku 13 tahun lebih sebelumnya.
Hampir sama dengan kasus suara adzan dari toa yang dibandingkan dengan suara anjing menggonggong tadi, kasusku adalah aku membandingkan reaksi orang-orang ketika adikku wafat dengan kelinciku waktu dia mati. Jika kasus politik tadi terjadi kesamaan dalam ukuran desibel dari kedua suara tersebut, maka dalam kasusku ini adalah kesamaan dari nilai nyawa setiap makhluk hidup secara filosofis. Meski demikian, pembanding yang kupilih juga kurang tepat. Karena tetap saja nyawa manusia tidak akan dapat tergantikan oleh apapun.
Begitu pula dengan seruan panggilan untuk ibadah salat lima waktu. Meskipun terdengar sama kerasnya dengan suara hewan yang paling keras itu, tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan suara semacam itu. Panggilan untuk beribadah adalah hal yang tinggi, sama seperti nyawa anggota keluarga, sehingga menjadikan kedua hal tersebut adalah sensitif dan jangan sampai sembarang memberikan pembanding. Dengan berkaca pada pengalaman pribadi, aku bersyukur tidak mudah terpengaruh oleh berita yang ada dan justru dapat memakluminya.
Aku pun bukannya bermaksud untuk menghina adikku sendiri, untuk apa, tidak ada untungnya. Tujuanku dari saat itu menanyakan sebabnya reaksi orang-orang di sekitarku yang berbeda ketika menghadapi peristiwa adikku yang wafat dengan kelinciku yang mati. Bagiku, semua kematian terasa sama saja menyedihkannya, mau itu anggota keluarga sendiri maupun hewan peliharaanku. Oleh karena itu, bagi pikiranku yang saat itu baru akan menginjak umur sebelas tahun, perbedaan semacam itu memancing rasa penasaranku.
Seperti yang telah banyak disebut dalam catatan-catatan sebelumnya, sebaiknya aku memilih untuk menyebutkan kasus meninggalnya manusia secara umum saja. Bukan berupa hanya satu kasus saja, yaitu saat satu adikku wafat. Penyelesaian dari insiden tokoh politik agama itu adalah memilih pembanding yang lebih aman daripada gonggongan anjing, maka penyelesaianku adalah memilih pembanding yang kurang menyinggung daripada menyebutkan suatu peristiwa kehilangan salah satu anggota keluargaku.
Mungkinkah terjadi "keceplosan" ketika membuat perbandingan yang kurang etis?
Apakah pembanding itu dipilih secara spontan, tidak disengaja? Untuk kasusku, jawabannya adalah "ya". Namun, aku tidak tahu pasti untuk kasusnya suara adzan ini. Barangkali tokoh politik sekaligus agama tersebut banyak mendengar suara anjing menggonggong dalam kesehariannya, sehingga jenis suara tersebut menjadi top of his mind, sama sepertiku yang pada saat itu masih terus teringat akan adikku, yang "keceplosan", terucap begitu saja ketika menemui peristiwa kematian yang skalanya lebih kecil.
Meskipun niatannya belum tentu buruk, alangkah baiknya bila tetap meminta maaf
Begitu peristiwa itu tone-nya kontras berbeda dengan percakapan antara aku dan Papah pada berbagai kesempatan lainnya, segera aku meminta maaf kepada beliau. Padahal saat itu aku belum sepenuhnya memahami di mana letak dari kesalahanku, malahan baru kupahami itu pada tiga tahun setelahnya. Walaupun demikian, permintaan maaf tetap kusebutkan. Hal yang sama berlaku untuk tokoh politik yang disebutkan sebelumnya, meskipun beliau tidak bermaksud buruk alangkah baiknya tetap meminta maaf kepada masyarakat.
"Jadi saya berharap pak menteri dan orang sekitarnya pak menteri tidak usah berargumen lah ya, tidak usah klarifikasi a-i-u, ndak usah, langsung mohon maaf, itu yes banget, prestise, dan martabat menteri langsung jadi tinggi ketika langsung mohon maaf, daripada stafnya mbulet-mbulet buat alasan ini-itu," kata Prof Zahro dikutip VIVA dari Channel Youtube Zahrowy TV, Selasa, 1 Maret 2022.Ia menyarankan sebaiknya Menag dan para pembantunya tidak sibuk beralibi atau memberikan klarifikasi yang justru akan semakin membuat persepsi miring terhadap Menag Yaqut. Pihak Kemenag juga tak bisa memaksakan persepsi masyarakat soal azan dan gonggongan anjing. "Kalau salah ya akui salah itu bagus banget, orang minta maaf itu enggak jatuh. Minta maaf bagus sudah, setelah minta maaf kemudian dijelaskan. Wong sudah salah stafnya jelaskan makin tidak jelas, wong salah kok keakehan polah," tegasnya
No comments:
Post a Comment