Thursday, June 17, 2021

Apakah Sudah Waktunya Untuk Move On?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Waktunya kembali ke jati diriku sebagai penikmat acara kartun atau animasi! Kalau membahas atau menonton karakter-karakter 2 dimensi ini, sering aku dihinggapi rasa minder karena ingat umurku yang sudah kuliah. 

Blog ini rasanya terus diisi hal-hal yang berat selama belakangan ini. Selama empat hari berturut-turut! Kalau lihat judulnya, pasti banyak orang akan tercuri perhatiannya. Kapan sih topik "move on" tidak populer?

Catatan 25 April 2021

Yaps, untuk catatan hari ini biarlah aku tidak membahas yang berat-berat dahulu. Ini adalah sedikit pengalaman baruku tentang kartun. Aku ingin segera dapat move on dari rasa bersalahku akibat insiden kelinci itu. Berawal dari banyaknya meme tentang "versi bebek" dalam serial kartun Duck Tales dari tokoh kesukaanku, Dr. Doofenshmirtz. Mungkin tidak banyak yang mengenal kartun Duck Tales, tapi kalau kuberitahu "kartun tentang Gober Bebek dan Mimi Hitam" pasti banyak yang ber-ooh mulutnya.

Tentu saja yang kumaksudkan ini adalah Duck Tales versi reboot atau remake tahun 2017. Karena pada versi aslinya yang orang banyak tahu yang dibuat tepat 30 tahun sebelumnya, tokoh kesukaanku Dr. Doofenshmirtz dari kartun Phineas and Ferb belum ada. Begitu juga dengan kartun dari mana dia asalnya. Dalam Duck Tales reboot ini, ternyata memang terdapat satu tokoh yang diinspirasi dari Dr. Doofenshmirtz! 

Kukira Dr. Doof versi bebek ini hanya fanmade saja, alias karakter tidak resmi dan hanya ciptaan orang biasa, bukan kreator aslinya. Dugaanku ternyata salah, apakah salah biasa atau salah besar, aku tidak tahu pasti ya. Nama tokoh yang memiliki penampilan seperti tokoh kesukaanku yang absurd itu adalah Dr. Atmoz Fear. Selama ini kukira tokoh itu hanya dibuat oleh seorang fan yang penasaran bagaimana jika Dr. Doof berubah menjadi karakter Duck Tales! 

Zaman sekarang para fan dari kartun itu kreatif-kreatif, jadi kadang agak sulit membedakan antara mana tokoh asli dan mana yang fanmade (karya mereka sebagai fan). Jadi wajib cross check. Bicara tentang kreativitas, sebenarnya karya mereka itu lahir dari pemikiran yang liar dan aneh. Bahkan absurd!

"Teteh itu sering punya pemikiran yang aneh itu sebenarnya kreativitasnya tinggi. Kalau saja dijadikan karya, pastinya akan bagus hasilnya," ucap Mama sejak aku duduk di kelas V, saat aku berusia sebelas tahun. Karena memang tahun tersebut sedang terjadi "ledakan kegilaan", jadi aku semakin terlihat keanehannya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Insiden kelinci itu juga berangkat dari pemikiranku yang aneh. Pemikiran yang terlalu liar. Isi pikiranku sering berkelana ke mana-mana. Oleh karena itu, aku menyebut diriku adalah "pengelana."

Kembali ke tentang kartun kesukaanku. Para kreator animasi yang sesungguhnya jelas tidak kalah keren imajinasinya dengan penggemar acara yang mereka buat. Para desainer karakter untuk Duck Tales versi reboot ini memang lebih kreatif daripada yang versi original-nya. Mereka berhasil menciptakan tokoh yang membuatku terkesan karena tingginya imajinasi mereka yang ide mereka yang tidak biasa. 

Twist dari pengalamanku hari ini, tokoh yang berhasil merebut hatiku, eh, rasa tertarikku, bukannya Dr. Atmoz Fear yang sengaja dimiripkan dengan tokoh berpenampilan aneh yang kusukai itu! Memang sih jika sudah dijadikan bentuk bebek, dia tidak kelihatan terlalu absurd wajahnya seperti ketika masih menjadi manusia. Walaupun begitu, aku malah berakhir memilih tokoh yang sama sekali berbeda dengan Dr. Atmoz Fear maupun Dr. Doofenshmirtz. Jika sedang hepi, aku pasti akan terus membahas dunia animasi, dunia yang akan terus kudalami untuk pekerjaanku ke depannya. 

Ketika sedang searching nama dari tokoh bebek mirip Dr. Doofenshmirtz itu, aku malah menemukan juga satu tokoh lainnya yang berpenampilan lebih unik dan juga lebih elegan. Begitu nama untuk "Doofenshmirtz jadi bebek" telah ditemukan, aku malah jadi tertarik dengan Poe De Spell tokoh dari acara kartun yang sama. Poe adalah adiknya Magica De Spell, kalau orang kita (orang Indonesia) menyebutnya "Mimi Hitam". Untuk yang biasa baca Majalah Donal Bebek pasti tahu tokoh antagonis perempuan yang biasa berpakaian hitam-hitam itu, begitu juga dengan warna rambutnya yang mengkilap.

Pada cerita aslinya, sebenarnya tokoh Poe De Spell ini hadir juga. Hanya saja mungkin agak terlupakan, karena dalam Duck Tales versi classic alias yang original, dia dikutuk menjadi seekor burung gagak peliharaannya Mimi Hitam. Untuk adaptasi ke dalam versi barunya, Poe De Spell dibuatkan wujud "manusia" (sebenarnya bebek, bukan benar-benar orang). Apakah ini sudah waktunya untuk move on dari tokoh Dr. Doofenshmirtz?

Dengan keeleganan pakaian Poe De Spell yang memiliki aesthetic sama dengan kakak perempuannya, aku batal tertarik dengan Dr. Atmoz Fear yang mirip dengan Dr. Heinz Doofenshmirtz tadi! Oh, apakah aku belum menyebutkan kalau desain pakaian Poe ini juga tidak terlalu biasa, kalau bahasa kerennya adalah "antimainstream"? Hanya mengenakan pakaian elegan saja sih bagiku belum cukup menarik perhatianku. Poe ini bebek paling unik yang pernah aku tahu, walaupun sepintas pakaiannya itu terlihat biasa saja karena dia memakai setelan jas hitam. 

Hijau adalah warna kulit/ bulunya, sama seperti versi baru Mimi Hitam atau Magica De Spell. Warna itu menjadi keunikan mereka yang lain. Orang yang baru melihatnya akan mengira Poe memakai sabuk hijau di pinggangnya, padahal itu adalah bagian yang terbuka. Hmm, aku jadi terinspirasi untuk membuat tokoh yang mirip kakak-beradik De Spell itu, tapi tentu saja tokoh yang akan kubuat ini bukan bebek!

Tokoh yang akan kubuat ini bukan seratus persen tokoh baru sebenarnya, melainkan wujud atau penampilan baru dari tokoh ciptaanku yang sudah ada sebelumnya. Inginnya sih semua tokoh ciptaanku untuk karya novel yang sedang kugarap ini masing-masing punya kesempatan untuk berubah menjadi jahat. Entah perubahannya sementara atau tetap, itu urusan belakangan saja. Kira-kira tokoh yang akan mendapatkan penampilan baru seperti Poe De Spell tadi adalah Seymour Wynn, adiknya Frank Wynn tokoh yang telah kuciptakan sejak duduk di bangku kelas XII pada pertengahan 2015 lalu. 

Seymour Wynn sendiri sudah kuciptakan sejak tahun 2017, dua tahun dari terciptanya sang kakak. Itu adalah tahun keduaku sebagai mahasiswi DKV. Sejak tahun tersebut, aku sadar Seymour ini sangat jarang aku kembangkan karakternya. Jadi, selama empat tahun sejak "kelahirannya", baru sekarang ini di bulan Ramadhan 2021 M atau 1442 H dia mendapatkan pengubahan! 

Akhirnya catatan jurnalku ini tidak lagi berisi flashback terus. Walaupun tidak terjadi pengalaman besar, setidaknya aku menulis yang benar-benar terjadi pada hari ini. Saking minimnya pengalaman menarik di hari-hari puasaku, pikiranku malah keseringan berkelana kembali ke masa-masa silam, meski tidak selalu merupakan masa yang indah. Biasanya aku selalu menyukai tokoh manusia, ini adalah waktunya keluar dari "zona nyaman" dan pengalaman yang baruku ini juga mendatangkan ide anyar! 

Aku coba menggambar lagi tokoh Seymour yang sangat jarang aku gambar. Plus mungkin gaya rambutnya kuberi pengubahan sedikit, karena aku lupa-lupa ingat gaya rambutnya yang sebelumnya. Ini adalah wujud normalnya, belum kuberi penampilan yang mirip dengan Poe De Spell.

Bandung, 18 Juni 2021

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepikiran Lagi Karena Berita Komentar Negatif Soal Kapal Selam

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Di sini aku bukannya ingin membuka kembali luka dan duka lama bagi seluruh Tanah Air kita ya. Aku hanya ingin memberikan tanggapan atas orang yang membuat miris di saat musibah terjadi.

Catatan 27 April 2021

Kemarin terjadi sebuah kabar duka, yaitu kapal selam milik tentara dalam negeri yang tenggelam dan terbelah menjadi tiga bagian yang terpisah letaknya. Musibah negara ini sayangnya malah dilontari komentar-komentar yang tidak sopan. Pelakunya juga bukan hanya satu orang!

Musibah tenggelamnya kapal selam Nanggala 402 kemarin ternyata tidak semua orang menyikapinya dengan baik. Ada saja orang yang malah menjadikan musibah ini sebagai bahan candaan, bercandanya tidak senonoh pula. Terdapat lebih dari satu pelaku kasus seperti ini, di tempat yang berbeda. Satu orang pelaku mengatakan FB nya dibajak ketika sebuah komentar kotor mengenai korban Nanggala yang mengatasnamakan dirinya muncul, tetapi ada pula orang lainnya yang memang benar melakukannya dan dia tidak tahu bahwa perkataannya dapat membuat orang lain tersinggung!

Tentang pelaku yang kedua, aku tidak berani menilai dia hanya berdalih saja (kalau pelaku yang pertama memang mudah untuk dipercaya pengakuannya). Memang rasanya pasti kaget bagi siapapun jika menemukan adanya orang yang tidak dapat merasakan kesedihan  ketika kapal selam tersebut dikabarkan tenggelam. Perkataannya yang tidak mengandung empati seperti itu memang tidak dapat dibenarkan, akan tetapi bagaimana jika dia memang benar selama seumur hidupnya baru mengetahui bahwa ucapannya sama sekali bukan hal yang baik? Menurut analisisku, bisa jadi dia tinggal di lingkungan yang semua orang di dalamnya sering melontarkan lelucon macam begitu, sehingga dia tidak dapat lagi membedakan mana ucapan yang benar dan mana yang salah. 

Di sini aku bukannya membela orang yang berbicara kotor tentang keluarganya para angkatan laut yang berpatroli abadi itu. Namun, lebih berkaca kepada pengalamanku sendiri.

Suatu pagi di bulan November 2008 (aku ingat bulannya karena ini terjadi dua bulan setelah insiden kelinci itu), Papa memergokiku mengeluarkan air mata–tetapi tanpa isakan–ketika beliau hendak membangunkanku untuk pergi ke sekolah.

"Teteh kenapa menangis?" tanya beliau kaget kepadaku. Aku adalah anak perempuan satu-satunya yang juga anak sulung, jadi aku dipanggil dengan sebutan "Teteh". 

"Aku masih sedih karena peristiwa hari pertama bulan puasa waktu itu," jawabku di tengah sembapnya mataku.

"Lho, itu kan terjadinya sudah dua bulan yang lalu?" tanya Papa lagi karena heran.

"Habisnya aku benar-benar kaget, sama sekali tidak menyangka Papa akan marah karena hal itu." Aku berbicara dengan hidung yang mampat karena air mata.

"Teh, tahu tidak kalau bertanya seperti itu adalah tidak etis?" kata Papa dengan nada serius, tetapi tidak meninggi.

Aku yang saat itu baru satu bulan berusia sebelas tahun, baru pertama kalinya mendengar kosa kata "etis". Kalau etika atau etiket, setidaknya sudah beberapa kali mendengarnya. 

"Tidak etis itu apa, Pa?" Aku balik bertanya dengan polosnya.

"Ya, semacam tidak sopan begitulah," tutur beliau.

"Mengapa tidak etis, ya, Pa?" tanyaku lagi. Sumpah, sejak insiden tersebut, hidupku serasa dihujani serentetan hal-hal yang bias.

"Orangtua yang kehilangan anak sendiri, tentunya terlalu sedih dan tersinggung jika peristiwa meninggalnya anak dibandingkan dengan matinya hewan," jawab Papa serius. Nada suara beliau tetap terjaga agar tetap rendah. Tidak menjadi bentakan.

Dheg! 

Seketika tubuhku membeku. Punggungku serasa disiram air es. Kepalaku mati rasa. Pertanyaan yang kuajukan itu hanyalah rasa keingintahuanku tentang topik kematian, yang ternyata malah menjadi sesuatu hal yang menyinggung perasaan orangtuaku dan tidak taat etika!

Selama aku berbicara dengan Papa tadi, aku tidak kunjung membuka mataku. Khawatir air mataku akan membanjiri kedua pipiku, aku malas menyekanya. Walaupun rasa kaget yang tidak main-main telah mengunci mulutku, tetap kedua mataku tidak jadi membelalak. Kujaga agar kedua jendela hatiku itu tetap tertutup, tidak berani kulihat wajah Papa.

Segitunyakah makna dari pertanyaanku itu? Sungguh, tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku bahwa rasa ingin tahuku dapat menjadi hal yang begitu menyakiti hati Papa. 

Sama sekali tidak pernah kutahu bahwa pertanyaan seperti itu adalah sesuatu yang menghinakan! batinku di saat speechless menyerangku. 

Insiden kelinci dapat terjadi hanya karena ketidaktahuanku bahwa pertanyaan yang bersifat membandingkan atau menyamakan itu adalah tidak sopan. Begitu juga dengan si pelaku yang tidak paham bahwa candaannya terkait tenggelamnya KRI 402 adalah sesuatu yang tidak bermoral. Setiap kali ada musibah kematian, orang yang berbicara tidak etis, atau bahkan hanya mendengar frasa 'tidak etis' itu, aku selalu kepikiran lagi tentang "insiden kelinci" itu. Walau orang normal menganggapku sangat bersalah, tetapi pada saat itu terjadi,  memang bukan bullshit bahwa belum ada dalam pengetahuanku hukum bertanya akan hal seperti itu adalah haram.

Papa dan Mama mengiraku tidak ikut bersedih atas kehilangan salah satu anggota keluarga kami. Kata siapa aku tidak sedih? Bisa jadi kesedihanku tampak dengan cara yang tidak disangka-sangka oleh orang lain. Hingga detik ini, aku masih selalu mengenang adikku yang sekarang sudah menjadi pangais bungsu jika ia masih hidup. 

"Aku hanya ingin semua orang sedih dengan kematiannya kelinciku yang juga makhluk hidup," kataku lirih dan naif pada saat insiden kelinci tersebut.

"Tidak semua orang sedih dengan cara menangis. Ada pula yang sedih dengan cara melupakan!" kata Papa tegas.

Aku pun begitu. Melupakan adalah cara yang kupilih, karena aku tidak ingin terus berlarut di dalam kedukaan. Rasa kehilangan dan sedih akibat ditinggal adik kandung yang masih berusia bayi, siapa yang tidak mengalaminya? Sekali lagi, ingatanku akan meninggalnya adik tengahku itu malah terpicu kembali dengan cara yang sama sekali tidak ada wajar-wajarnya, yaitu oleh matinya seekor kelinci peliharaan yang kedua setelah satu ekor lainnya mendahuluinya.

Ketika semua orang mengecam candaan tidak senonoh tentang kapal selam milik negara yang menewaskan 53 orang kemarin, aku malah merasa si pelaku mungkin berada dalam kondisi yang sama denganku ketika insiden kelinci tersebut. Hanya saja, aku dalam kasus tersebut sama sekali bukan rangka bercanda. Di situ justru serius ingin menanyakan satu hal, yaitu sebab perbedaan nyawa manusia dan hewan. Cuma jawaban yang kuinginkan dari Papa, yang saat itu adalah orang dewasa yang terdekat dari posisiku duduk untuk makan sahur, bukan niat jahat apapun.

Untung saja soal perkataan yang tidak senonoh, aku sudah ditanamkan sejak dini bahwa perkataan seperti itu harus dihindari. Jadinya dalam kesempatan apapun, aku sudah otomatis tidak mengatakan hal-hal yang jorok. Tapi kalau soal membandingkan hilangnya hidup manusia dan hewan, tidak ada yang pernah membahasnya karena terlalu tidak umum dikatakan orang. Hasilnya, sampai tiga tahun setelah kejadian itu, tepatnya hingga tahun 2011, aku berada dalam keadaan tidak tahu apa-apa soal mengapa bertanya seperti itu adalah sesuatu yang salah dan selalu diliputi kabut hitam kesedihan yang membingungkan. 

Aku sebenarnya agak ragu dan khawatir tulisanku ini membuat sedih banyak orang. Tetapi, demi menyelesaikan tugas kepenulisan yang diangkat dari kisah nyataku.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Wednesday, June 16, 2021

Relevansi Kisah Masa Laluku dengan Kehidupanku Zaman Sekarang

Catatan tanggal 24 April 2021

Sejak aku biasa mengulik apa saja yang terjadi setelah insiden kelinci saat kelas V itu, aku menemukan satu sebab mengapa hanya peristiwa itu saja yang memberi dampak begitu besar dan terus menetap dalam memoriku. Untuk kasus ini, aku jarang berterus terang menceritakan kisah itu dan tidak segera mencari pemecahannya, malah terus kututupi. Padahal sebelumnya sering juga Papah memarahi anak perempuannya satu-satunya ini, tetapi biasanya kesedihan akibat hal itu cepat hilang. Misalnya, ketika ayahku marah kepadaku karena aku berkata kasar, keesokan harinya mood sudah kembali ceria dan segera lupa akan kesedihanku. 

Namun, kasus insiden kelinci ini sangat berbeda, karena rasa sedihnya berlangsung sampai lebih dari satu tahun sejak kejadiannya! Biasanya jika aku sedang sedih setelah dibentak Papah, aku langsung cerita kepada Mamah atau siapapun yang berada di dekatku. Kalau untuk kasus ini sikapku tidak demikian, Mamah malah baru mengetahui kisah ini setelah setahun kejadiannya, yaitu pada saat aku sudah duduk di kelas VI. Rasa insecure takut ditertawakan menghalangiku untuk curhat secara terbuka akan hal ini, karena kesalahanku dalam kasus ini sungguhlah aneh, menanyakan sebabnya orang tidak sedih akan kematiannya hewan dan berbeda dengan jika sesama manusia yang meninggal, terutama anggota keluarga.

Mengapa Insiden Kelinci Begitu Membekas?

Karena jarang berterus terang kuceritakan, jelaslah problemnya sulit terselesaikan dengan tuntas. Pada saat jam pelajaran Keputrian pada Jumat antara pekan kedua atau ketiga Ramadhan tahun 2008, ketika teman-teman lelaki di sekolahku sedang salat Jumat, pernah aku terpergok sedang menangisi insiden itu oleh temanku jaman SD. 

Saat Heidi temanku dari kelas sebelah yaitu 5B (aku anak kelas 5A) bertanya, "Hanna, kenapa kamu?" aku tidak sepenuhnya berkata yang sebenarnya.

Jawabanku adalah "Kelinciku mati" padahal bukan itu alasan utamanya, apalagi saat itu masih bulan puasa, semua orang tahu bahwa berbohong di saat menjalankan ibadah puasa itu dilarang secara lebih keras daripada bulan biasa. 

Tahu kan kalau teman yang berkomentar itu kemungkinan besar (kata "pasti" di sini kuhindari, karena selalu ada kemungkinan yang lain) mulutnya tajam, apalagi waktu itu kami hanyalah anak kelas V SD yang masih labil? Padahal belum tentu begitu juga seandainya saat itu kukatakan dengan sesuai kenyataannya. Bisa jadi teman-temanku yang mengikuti Keputrian bersamaku itu malah menghiburku. Ah, perasaan insecure ini terlalu kuat. 

"Saat aku masih kecil dulu, aku juga pernah bertanya 'mengapa Papa tidak pernah bosan dengan Mama, sedangkan aku kadang bosan bersama teman' kepada Eyang Kakung. Seharusnya dahulu kamu menanyakannya kepada beliau," kenang seorang kerabat. Eyang Kakung adalah ayahnya Mama dan kerabatku itu, seperti yang sudah sering aku jelaskan. 

"Tetapi pertanyaannya yang kuajukan itu berbeda konteksnya. Aku membandingkan meninggalnya adik kandungku sendiri dengan hewan peliharaan yang masih dapat dibeli lagi yang baru!" seruku masih dengan muram.

"Sebenarnya konteksnya justru sama. Menanyakan sebab dari perbedaan perasaan manusia pada dua kejadian yang serupa tetapi dengan situasi-kondisi yang berbeda," jelas beliau. 

Kesulitan Berbagi Cerita: Pelajaran dari Masa Lalu

Padahal aku sebenarnya dahulu memiliki cukup banyak waktu dari sejak insiden itu yang terjadi pada 1 September 2008 hingga wafatnya Eyang Kakung pada 29 Januari 2010 lalu. Mengapa aku bisa tidak sempat untuk mencurahkan pengalamanku yang kurasa menyedihkan ini kepada kakekku yang dikenal sebagai pendengar yang baik tersebut? Aku terlalu malu dan takut untuk disalahkan—meski yang kulakukan itu memang tidak dapat diterima (mayoritas) masyarakat—dan itu malah akan membuat keadaan emosiku semakin buruk! Bahkan aku sampai detik ini belum berani bercerita kepada Nenek, ibunya Papah karena jika aku curhat kepada beliau, khawatir tanggapannya akan sama marahnya seperti ayahku yang merupakan anaknya, wah sudah hampir 13 tahun beliau belum mengetahui kisah ini.

Untung saja Nenek masih hidup hingga kini ketika catatan ini kutulis. Kuharap beliau sehat terus dan jika kucurahkan pengalamanku ini tidak membuatnya jatuh sakit. Kalaupun tidak sampai sakit, semoga beliau tidak sakit hati karenanya.
 
Pentingnya Keterbukaan dalam Mengatasi Masalah

Ternyata sifatku yang sulit berterus-terang membicarakan masalahku ini masih berlanjut hingga kini aku duduk di bangku perkuliahan! Masih berlanjut sampai sekarang, di tahun 2021 ini! Hal ini bahkan sampai memengaruhi tugas kampusku, jika mengalami kesulitan ketika mengerjakannya, aku malah berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bukannya meminta bantuan kepada orang sekitarku, misalkan Mamah. Padahal tidak jarang ibuku itu dapat memecahkan kesulitanku dengan jitu, seperti yang sudah sering terbukti.

Dengan mempelajari kilas balik masa pra-remajaku, akhirnya aku menemukan bahwa sifatku inilah yang sering menyeretku kepada masalah tidak berkesudahan. 

Segini saja dulu ya catatan hari ini.

Tuesday, June 15, 2021

Kok, Masih Ganjal, Ya?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Masih dalam seri "Jurnal Ramadhan" ya. Setelah blog ini hiatus selama dua bulan, sekarang waktunya menjadi produktif, caranya dengan update setiap harinya!

Catatan 23 April 2021

Jurnal Ramadhanku ini kebanyakan berupa flashback ke bulan puasa di masa lalu, terutama momen bulan puasa ketika aku kelas V. Saat itu merupakan momen yang benar-benar mengubah diriku. Pandangan hidupku berubah drastis. Bisa jadi bagi orang lain tidak ada perubahan yang jelas dalam sikapku, meski begitu, aku sangat merasakan betapa berbedanya suasana hatiku dan cara berpikirku setelah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah yang bertepatan dengan bulan dengan urutan yang sama pada kalender Masehi khusus tahun 2008 itu. 

Ramadhan adalah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah. September menempati urutan yang sama pada kalender Masehi. Apalagi tanggal dimulainya kedua bulan tersebut juga bersamaan untuk tahun akhir dekade 2000-an itu. Tanggal 1 Ramadhan 1429 H bertepatan dengan tanggal 1 September 2008 M, sungguh fenomena yang unik sekali, bukan?

Itulah salah satu hal yang menjadi sebab "insiden kelinci" sulit sekali kulupakan, karena terjadi pada fenomena waktu yang tidak biasa. Bukan karena dendam kepada Papa atau apapun. Sekali lagi, bukan kemarahan beliaunya yang di-highlight. Jika sedang kubahas insiden itu, lebih dimaksudkan untuk mengupas tuntas apapun pengaruhnya dalam hidupku.

Lalu, bagaimana dengan Ramadhan di tahun 2021 ini, di tahun kedua pandemi covid-19? Alhamdulillah, rasanya sangat bersyukur dengan dibukanya kembali masjid untuk tarawihan berjamaah. Aku  tidak lagi terlalu merendahkan diriku akibat insiden kelinci itu seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya, sudah pernah aku disemangati ketika "insiden kelinci" telah berlalu satu bulan lebih, oleh seorang ART yang ikut menemani perjalanan keluargaku halal bihalal ke Lembah Bougenville Resort, Lembang.

Acara kumpul keluarga besar ini diadakan pada tanggal 12 Oktober 2008, sebelas hari dari tanggal Idul Fitri 1 Syawal yang jatuh pada tanggal 1 Oktobernya. Saat itu aku, adikku Irsyad, dan keluargaku yang lainnya kecuali Mama, Papa, serta adikku Fariz yang baru berumur dua tahun kurang, sedang fish dip di kolam berisi ikan koi besar-besar. Lupa lagi apa hal yang memicu percakapan antara aku dengan Mbak Yanti, satu dari dua ART yang diajak ikut menemani rombongan kami. Sedangkan saudaranya, Mbak Kokom sedang menjaga Irsyad yang baru saja milad kedelapan. 

Entah momen apa saat itu yang menyebabkan aku curhat di tengah kegiatan fish dip yang ramai itu, aku lupa. Begitu terbersit keinginan untuk menceritakan kegalauanku akan insiden satu bulan sebelumnya, langsung saja kutumpahkan pada Mbak Yanti. Aneh sekali rasa sedih akibat dimarahi Papa dapat bertahan hingga satu bulan,  oleh karena itu kusadari telah terjadi sesuatu yang salah, sehingga membuatku harus segera mencari pertolongan. Kegalauanku adalah karena aku merasa diriku ini begitu bodoh, tanpa buang waktu lagi langsung saja kuceritakan pada Mbak Yanti yang pada saat itu masih berusia muda, bahkan pada tahun itu mungkin masih remaja!

Hehehe, jangan bayangkan ART yang seperti emak-emak ya. Keduanya masih berusia sekitar 15 hingga 20 tahunan saat itu. Rasanya sudah bagaikan sobat karib saja mereka bagiku.

"Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak orang yang menganggap kita lebih berilmu dan ingin sama pandainya dengan kita," hibur Mbak Yanti di tengah gemericik air kolam, seruan orang-orang yang geli kakinya digigiti ikan koi, dan gerakan gerombolan ikan-ikan berukuran besar tersebut.

Redaksi yang sebenarnya itu agak berbeda, karena akan berbeda konotasinya jika diubah ke dalam bahasa tulisan. Karena di real life-nya beliau mengatakan, "Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak yang lebih bodoh daripada kita". Jika dalam bahasa lisan atau omongan langsung, kata-kata tersebut tidaklah terlalu terasa kasar. Lain halnya jika kuubah menjadi bahasa tulisan, rasanya akan lebih terkesan kurang sopan dan merendahkan, oleh karena itu dalam catatan ini aku mengganti beberapa kata dalam ucapannya. 

Selanjutnya aku bersama adikku yang besar dan sepupuku Mayang serta dua tetanggaku Andika dan Icha melanjutkan bermain aneka permainan seperti ayunan, perosotan, dan sebagainya. Meskipun sudah dimotivasi barusan oleh Mbak Yanti, aku belum sepenuhnya merasa lega. Rasanya masih ada yang mengganjal, karena aku tidak menceritakan secara detail mengapa perasaan rendah diri tadi itu bisa muncul. Bahkan kisah insiden  kelinci itu sama sekali tidak kusebut, karena terlalu takut untuk ditertawakan, saking absurdnya kisah itu. 

Keberanianku untuk menceritakan insiden itu belum ada, aku terlalu malu. Belum pernah kutemukan orang lain berbuat kesalahan yang sama denganku waktu insiden itu terjadi. Belum pernah kudengar orang lain melontarkan pertanyaan yang sama, bahkan sekadar sama kadar keanehannya juga belum kutemukan. Bahkan belum pernah juga menemukan kasus orang lain yang membandingkan kematian hewan dan manusia!

Pada saat insiden itu terjadi, Mbak Yanti dan Mbak Kokom belum bekerja di rumahku. Sebenarnya, rumahnya Eyang Kakung dan Eyang Putri, orangtuanya Mama, karena kami tinggal di rumah mereka. Umurku baru menginjak sebelas tahun selama sembilan hari ketika halal bihalal itu diadakan. Tidak terbayangkan ada gadis kecil berumur sama sudah memikirkan topik seberat dan seaneh itu. 

Ketika sedang makan bareng di shelter, aku melihat Mayang sepupuku sedang minum. Kelihatannya menggiurkan, karena minumannya berwarna pink cerah tetapi tidak mencolok seperti merahnya Fanta.

"Lagi minum apa itu?" tanyaku.

"Yahat," jawab Mayang di tengah aktivitas minumnya.

"Yahat? Apa itu?" 

Apakah itu merek minuman baru? Tahun segitu sedang marak-maraknya produk minuman dengan bertambahnya banyak merek baru.

Mayang mencopot gelas itu dari mulutnya, pertanda minumannya telah habis. 

"Yoghurt," jelasnya.

Hohoho, ternyata hanya yoghurt. Jelas bukan hal yang aneh. Aku hanya tertawa dan segera mengambil minuman yang sama. Setelah disemangati oleh Mbak Yanti tadi, aku kembali berwajah ceria bersama keluargaku. 

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, bus yang membawa rombonganku semakin kosong, karena satu persatu penumpangnya turun. Saudara kami banyak yang pulang duluan ketika melewati rumahnya, jadi tidak menunggu bus berhenti di titik kumpul yang sama dengan ketika berangkat tadi pagi. Alhasil kendaraan besar beroda empat itu semakin terasa lengang dan sepi seiring turunnya matahari. Rupanya di saat hari mulai menggelap memasuki waktu Magrib, wajahku yang tadinya sudah cerah malah berubah mendung kembali.

Tangisanku akan insiden kelinci tersebut rupanya masih mengalir. O-ow, kukira dukungan dari Mbak Yanti tadi sudah cukup untuk menenangkanku. Sepulang dari lokasi acara kami, mataku mengalirkan air tanpa diikuti suara. Kupastikan tidak seorangpun yang melihatku menangis, karena untuk menjelaskan sebabnya tentu akan membuatku sangat kebingungan, apalagi ini momen sehabis acara keluarga.

Tuh, kan, ujung-ujungnya aku flashback lagi! Bagaimana dengan keseharianku di tahun puasa dengan protokol kesehatan ini? Sejauh ini belum ada pengalaman yang luar biasa selain merasakan salat tarawih dengan saf berjarak demi mencegah penularan virus Corona. Kegiatanku hanya mengerjakan tugas kuliahku, itupun banyak mulurnya. 

Eh, kalau pengalaman luar biasa sih ada, jika dibandingkan dengan bulan Ramadhan tahun pertama di dekade 2020. Keberanianku untuk menceritakan masalahku sudah jauh lebih meningkat, sehingga lebih cepat juga aku terangkat dari masalah. Hikmah yang kudapat dari perjalanan halal bihalal 2008 ke Lembah Bougenville Resort ini adalah jika kita berani berterus terang menceritakan problem kita, akan lebih mudah untuk dipecahkan problemnya, selain hikmah dari perkataan Mbak Yanti tadi. Kesedihanku akan insiden itu tetap bercokol dalam benakku sama sekali bukan salahnya beliau, melainkan karena aku selalu menutupi permasalahanku ini, tidak pernah bercerita sejujur-jujurnya.

Huuufft, lumayan panjang juga ya kisah ini? Sudah berapa hari ya aku menulis postingan yang panjang seperti ini? Ya sudah, catatan ini sampai di sini saja. Kuakhiri dengan napas lega.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.






Monday, June 14, 2021

Kuda dan Kelinci

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rasanya tahun kelimaku di Sekolah Dasar adalah salah satu tahun yang paling sering terdapat memori banyak rasa. Maksud dari "banyak rasa" di sini adalah memang banyak pengalaman yang nyeleneh, menggemparkan, lucu, seru, dan memberi kenangan menyenangkan meski saat itu aku belum tertarik dengan cowok sungguhan dan lebih memilih cowok 2 dimensi alias tidak nyata.

Saking minimnya pengalaman berkesan di jaman pandemi ini, aku sampai keseringan menengok kembali berbagai peristiwa yang terjadi pada masa aku ketika kelas V. Aku jadi macam Dr. Doofenshmirtz saja yang punya banyak cerita latar belakangnya atau bahasa kerennya "flashback". Masih edisi Jurnal Ramadhan nih. Berhubung saat ketiadaan mood aku untuk mengisi blog ini ketika bulan suci tersebut masih berlangsung, catatan yang waktu itu kutulis di buku kuketik ulang di sini menjadi postingan blog.

Catatan tanggal 22 April 2021

Bulan Ramadhan untuk tahun 2021 ini jatuh mulai pada tanggal 13 April lalu. Hari ini adalah hari kesepuluh dari bulan suci tersebut. Karena kebiasaanku bernostalgia, apalagi hari ini masih juga harus "di rumah aja" jadinya gabut luar biasa deh ingatanku mendadak kembali ke 12 tahun yang lalu pada bulan yang sama. Tepatnya pada April 2009, aku lupa persisnya tanggal berapa, aku mengikuti sebuah field trip bersama sekolahku ke sebuah kavaleri (markas pasukan berkuda) di Lembang, saat aku masih kelas V. 

Perjalanan itu terjadi kira-kira minggu kedua bulan April pada tahun tersebut. Diperkirakan "insiden kelinci" tersebut sudah berlalu tujuh bulan sebelumnya, karena terjadi pada tanggal yang mudah diingat, yakni hari pertama puasa tahun 2008 yang jatuh pada tanggal 1 September. Di kavaleri tersebut, semua murid dari sekolah kami berkumpul untuk menonton sebuah pertunjukan atraksi kuda di tengah sebuah lapangan. Kami semua yang berjumlah 400 (empat ratus) orang duduk di kursi mirip teater, hanya saja terletak secara outdoor. Satu atau dua orang anggota kavaleri menunggangi masing-masing satu ekor kuda yang tentunya sudah terlatih untuk unjuk kemampuan hewan tersebut.

Kuda tunggangan anggota kavaleri tersebut diperintahkan oleh penunggangnya dan juga MC untuk melakukan berbagai pertunjukan, seperti melompati palang rintangan, melewati lingkaran (tentu saja tanpa dibakar karena lingakaran tersebut dipegang tangan langsung!), dan sebagainya. Usai atraksi tersebut, sang MC menutupnya dengan sebuah pesan untuk para penonton ciliknya plus para guru. Bagi hampir semua orang di sana, seruan MC tersebut terdengar wajar-wajar saja, sayangnya bagiku lagi-lagi membuatku berpikir secara mendalam dan tentunya berbeda dari orang umum!

"Kalian kalau disuruh orangtua atau guru harus mau nurut ya. Masa kuda aja mau nurut kalian nggak?" seru sang MC lewat megafon yang dipegangnya. 

Memang seruan tersebut bukan berarti apa-apa selain untuk memberi pesan yang baik untuk anak-anak sekolah yang menonton. Kontan semua anak yang mendengarnya tertawa, kecuali aku. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit tertawa di tengah terbahak-bahaknya orang sekitarku! Penyebab bungkamnya kotak tertawaku untuk kasus ini adalah kata-kata MC barusan yang malah dipikirkan terlalu dalam-dalam, selain sifatku yang dikenal sulit untuk ikut merasa lucu akan jokes.

Ohohooo, bukannya aku merasa tersinggung or mengira disamakan dengan kuda tempur, ya! Dengan perkataan tentara yang membawakan acara atraksi itu—sadarlah aku ternyata—tujuh bulan sejak insiden kelinci yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun sebelum field trip tersebut. Diriku masih saja mencari sebab mengapa Papa merasa tersinggung dengan pertanyaan yang beliau rasa aku menyamakan antara adikku yang manusia dengan seekor hewan bernama kelinci. Kukira rasa sedihku akibat insiden tersebut itu sudah hilang, karena biasanya juga kesedihan akibat dimarahi Papa itu cepat menguap. 

Beliau merasa aku menyamakan manusia dengan binatang, tetapi perkataan MC tadi bukankah melakukan hal yang sama? batinku yang masih naif setelah acara atraksi tersebut bubar.

Ternyata sampai lebih dari enam bulan dari kejadiannya, rasa susah hati dan sesal itu masih bertahan. Bukan momen yang jarang juga sih aku dimarahi Papa, tetapi khusus untuk kasus ini dampaknya sungguh besar. 

"Teteh jangan menyalahkan Papa," kata Mama suatu hari ketika aku membicarakan perasaanku yang tidak biasa ini.

"Kamu jangan salahkan Papa kamu," ujar salah satu keponakan dari pihak Eyang Putri dengan maksud senada.

Jujur, dua tahun pertama dari "insiden kelinci" itu mungkin aku memang ada unsur menyalahkan beliau. Namun, semakin bertambahnya usiaku dan seiring berjalannya waktu, bukan lagi kemarahan beliaunya yang diberi highlight. Semakin lama berlalunya peristiwa itu yang tidak menyenangkan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, aku lebih menekankan dampaknya dari insiden itu. Salah satunya, lebih aware akan dampak dari pikiranku yang sering berkelana tak tentu arah, sehingga banyak masalah ditimbulkan dari hal-hal ngelantur yang dihasilkannya. 

Sifat naifku ini memang tidak ketulungan, karena pada saat itu aku belum juga mengerti kesalahanku pada insiden tersebut. Meskipun adikku Irsyad yang berusia tiga tahun di bawahku sudah langsung dapat memahami di mana letak kesalahanku, buatku membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk kupahami, sampai memakan waktu bertahun-tahun setelahnya. Ya, akulah "Sang Pengelana Naif" dari Negeri Halu.

"Pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dengan binatang," kata adik terbesarku itu saat kami berdua sedang dalam perjalanan berangkat sekolah dengan mobil keluarga kami, saat itu aku kelas V dan dia kelas II.

Untung saja saat itu bukan Papa yang menyetir, tetapi sopir. Jika beliau yang membawa mobilnya, pasti beliau akan mendengarkan percakapan kami berdua. Beliau memang biasa menyimak kedua anaknya mengobrol. Khawatir amarahnya beliau akan tersulut, lagi, karena aku mulai membahas insiden yang menyinggung perasaannya itu.

Mendengar jawaban itu, kekagetanku ternyata belum waktunya untuk berakhir. Mengapa dianggap menyamakan? Rasanya segala hal yang berkaitan pada kasus itu berada di luar kendaliku. Sampai benakku juga tidak dapat kukendalikan pada insiden sahur hari pertama itu!

Juga, mengapa membandingkan seperti itu dianggap suatu kesalahan? batinku sebelum naik ke kelas VI. 

"Tetapi, waktu kunjungan ke kavaleri itu kan kata MC kita harus nurut karena kuda aja mau menurut. Bukannya itu juga menyamakan manusia dengan hewan?" tanyaku polos dan naif. Irsyad juga ikut menonton atraksi tersebut, karena kami satu sekolah dan field trip tersebut adalah acara massal untuk seluruh muridnya. 

"Ya itu mah beda atuh, Teh. Yang di kavaleri itu kan niatnya memberi semangat untuk anak-anak yang menonton," jawabnya sabar (?)

Bisa jadi Irsyad lebih cepat sampai pemahamannya bukan hanya karena dia tidak sama naifnya denganku, tetapi karena itu bukan kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pada umumnya memang lebih mudah untuk memahami letak kesalahan orang lain ketimbang kesalahan sendiri. Begitu juga denganku, kalimat tadi bukan untuk menyalahkan atau menyindir adikku. Mendengar jawabannya, mulut ini ber-ooh saja.

Niatku juga sebenarnya bukan untuk menghina adiknya Irsyad yang lebih besar sekaligus kakaknya Fariz itu yang sudah mendahului kami. Saking naifnya, sampai pada saat itu belum tahu bahwa perkataan seperti itu adalah tidak etis dan tidak dapat diterima umum. Hanya sekadar untuk memuaskan kekepoan yang sepintas tampak konyol. Intinya, aku tidak ada niat buruk sama sekali di dalamnya. 

Malahan sampai pada tahun terakhir dekade 2000-an bahkan sampai masuk tahun 2010 (itu tahun aku siap dan sudah masuk SMP, cuy), aku masih belum juga dapat memahami apanya yang menyinggung dari perbandingan seperti yang kutanyakan itu. Sebelumnya, selama sepuluh tahun pertama menjadi penduduk Bumi atau alam dunia, kukira hanya mengejek seseorang dengan sebutan hewan saja yang dianggap tidak sopan karena "menyamakan manusia dengan hewan". Dari field trip ke Kavaleri Lembang ini, dapat kutarik satu pelajaran : tidak semuanya perbandingan atau penyamaan manusia dengan hewan adalah buruk atau menghina. MC tadi itu meminta para penontonnya agar menjadi anak penurut seperti kuda yang tampil pada atraksi outdoor itu, meski ketika pertunjukan berlangsung ada seekor yang tidak mau melompati palang dan malah bergeming di belakang palang. 

Baiklah, kusadari aku sudah terobsesi dengan kisah insiden kelinci ini. Namun, obsesi ini bukan sekadar ngagugulung peristiwa itu saja kalau orang Sunda menyebutnya, karena tidak hanya berhenti di flashback saja. Bagiku kasus unik ini menimbulkan kekepoan yang sangat, karena sifat naif ini menyebabkan minatku untuk mengeksplorasi diriku lebih jauh. Tiada habisnya kasus ini diulik, karena seperti yang sudah sering kubilang, efeknya sungguh tidak seperti peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidupku. 

Untuk memahami bahwa berkata bohong atau mencela orang lain adalah perbuatan salah, itu mudah bagiku. Sangat mudah malah, karena diajarkan di banyak buku budi pekerti. Kalau kasusnya seperti insiden kelinci tadi, siapapun tidak akan menduganya, jadinya tidak akan ditemukan di buku manapun. Terlalu mengejutkan di telinga orang.

Menyamakan fisik manusia dengan binatang itu jelas tidak etis, karena termasuk kategori "body shaming". 

"Tetapi, menyamakan hilangnya kehidupan dari manusia dan hewan, mengapa dianggap tidak etis ?" tanyaku kepada diri ini selama bertahun-tahun. 

Namun, jika kita menyebut bayi atau anak kecil dengan sebutan "kucing" karena gemas, itu tidak pernah dianggap buruk. Wah, topik manusia dan hewan ini sungguh sangat fleksibel, ada kalanya bisa menjadi buruk, netral, bahkan baik atau bahkan dalam kasus tertentu, bisa jadi malah wajib dilakukan, misalnya untuk membandingkan ukuran spesies hewan tertentu dengan tubuh manusia sebagai ilmu pengetahuan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hantu yang Menyesal

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Sudah fix, sharing tentang sulap ala rumahan dari cowok Bogor itu tidak akan kulakukan dulu dalam waktu dekat ini, pasti akan kuceritakan. Demi mempertahankan aktifnya blog ini, aku akan terus menuliskan Jurnal Ramadhan di sini.

Kuharap pembacaku yang setia—saat ini memang belum ada yang setia, maksudnya pembaca blog ini, tapi yakin deh nantinya blog ini akan di-notice banyak orang, aamiin—tidak bosan aku membahas impact dari "insiden kelinci" itu. Bahkan pengaruhnya sampai ke cerita hantu, lho! Ajaib, bukan? Eits, jangan takut dulu kalian kalau belum baca catatanku sampai habis! 

Catatan tanggal 21 April 2021

Pada bulan dan tahun yang sama dengan terjadinya insiden kelinci itu, aku, Papa, dan adikku Irsyad yang sebentar lagi akan berumur delapan tahun melakukan sebuah perjalanan ngabuburit. Pastinya sih perjalanan ini terjadi pada September 2008, masih bulan puasa tetapi lupa minggu yang keberapanya. Saat itu adikku Fariz masih kecil, usianya masih dua tahun kurang. Jadi, dia dijaga oleh Mama di rumah.

Kami bertiga ngabuburit ke toko buku terdekat. Aku membeli sebuah majalah manga kompilasi. Ternyata dalam majalah tersebut terdapat satu rubrik yang membahas tentang hantu-hantu Jepang, wuih syerem ya!? Untuk satu hantu yang bernama Yuurei, alih-alih ketakutan, aku malah trenyuh membaca kisahnya.

Yuurei adalah hantu seorang pelayan wanita yang semasa hidupnya tak sengaja memecahkan satu dari piring-piring koleksi tuannya. Lupa lagi apakah Yuurei ini nasibnya entah dibunuh, sakit parah, atau bunuh diri yang menjadi penyebab kematiannya. Dia yang jelas meninggal dan ruhnya menghantui rumah tuannya setelah sang tuan memarahinya karena pecahnya satu buah piring koleksinya. Setelah menjadi hantu, Yuurei selalu menghitung piring yang tersisa dari koleksi milik mantan tuannya dan dia selalu menangisi satu piring yang kurang, begitu sampai pada hitungan yang terakhir. 

Rasanya jarang sekali aku dapat relate dengan cerita hantu seperti ini. Sama sekali bukannya ketakutan atau ngeri yang kurasakan setelah membaca kisah ini. Kondisi hantu pelayan wanita itu adalah menyesali sedalam-dalamnya perbuatannya pada akhir hidupnya yang dia tidak sengaja lakukan. Sama sepertiku yang belum dapat menghela napas jika teringat omonganku yang tidak kumaksudkan untuk menyakiti hati Papa ketika insiden kelinci itu. Iya, iya, aku sebaiknya memang tidak boleh terus mengasihani diriku, hanya saja cuma legenda Yuurei itu satu-satunya kisah horor yang dapat kuhayati didalamnya sejauh ini.

Eits, ini bukan berarti aku merasa diriku rendah sehingga menyamakan diriku sendiri dengan bekas pelayan keluarga orang, ya! Tanpa Yuurei dikisahkan sebagai pelayan juga aku akan tetap merasa senasib dengannya, karena sama-sama menyesali sedalam-dalamnya atas perbuatannya yang tanpa disengaja. Pemikiranku yang barangkali dirasa ngelantur ini tidak kuceritakan kepada siapapun sebelum catatan harian ini ditulis. Dengan memahami kesedihan di balik kisahnya si hantu pelayan, kusadari bahwa rasa sedihku akibat insiden itu bukanlah kesedihan biasa karena sulit dan lama sekali hilangnya.

"Papa itu masygul (sangat sedih) sebenarnya ketika Teteh (panggilanku di keluarga, karena aku adalah anak tertua) bertanya seperti itu. Beliau merasa kamu tidak empati akan kehilangan Dik Hanif dan memilih menangis karena kelinci peliharaanmu," tutur Mama ketika aku menceritakan insiden kelinci ini setelah setahun lebih dari terjadinya insiden kelinci itu.

Jika saat itu terjadi aku masih duduk di kelas V, berarti aku menceritakan ini kepada Mama ketika sudah menempuh satu tahun selanjutnya, yaitu tahun terakhirku di Sekolah Dasar. Kalau tidak salah, ini adalah pertama kalinya aku curhat tentang hal ini kepada beliau. 

Hati Papa yang hancur karena menyangka aku lebih kehilangan hewan peliharaan dapat dianalogikan dengan pecahnya piring koleksi tuannya Yuurei. Mungkin kurang bagus ya menganalogikan diri dengan cerita yang sebenarnya adalah kisah horor, tetapi aku juga sama-sama menyesali sesuatu dan perasaan itu masih berlanjut hingga kini.

Lalu, bagaimana dengan aktivitas ngabuburit puasa hari ini? Apa boleh buat, bepergian haruslah diminimalisir karena harus menjaga protokol kesehatan. Puasa dan tarawih hari ini insyaallah lancar. 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sunday, June 13, 2021

Mimpi Bertemu Idola di Hari Ketujuh Berpuasa

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rencanaku untuk menulis pengalaman menonton sulap kecil-kecilan saat family gathering di Bogor itu kutunda lagi, meski tidak terpaksa amat. Ya, aku masih akan mengerjakan Jurnal Ramadhan sebagai tugas kepenulisan selama satu bulan. 

Ini adalah catatan yang disalin atau diketik ulang dari buku harianku pada tanggal 20 April 2021 lalu.

Tujuh hari sudah lewat dari tanggal hari pertama bulan puasa untuk tahun 2021 ini. Rencana tersembunyiku pada setiap bulan Ramadhan, untung saja tahun ini tercapai. Well, bukan rencana yang muluk-muluk sih, karena mampu menghadiri tarawihan lebih dari dua kali menurutku sudah lebih dari cukup memuaskan. Aku selalu berjaga-jaga agar jangan sampai sahur pertamaku dibumbui perkataanku yang absurd bahkan sampai tidak beretika, lagi. Syukur Alhamdulillah rencanaku yang satu ini selalu tercapai setiap tahunnya. 

Memang aku belum dapat mengontrol emosiku yang masih sering meledak-ledak. Namun, setidaknya aku tidak lagi mengatakan hal yang kontroversial seperti insiden kelinci itu. Terlalu di luar kewajaran, juga terlalu tidak masuk akal bagi masyarakat umum. Hanya segelintir orang yang dapat memahami isi pikiranku yang biasa berkelana.

Sebenarnya masih banyak perkataanku yang absurd selain "pertanyaan insiden kelinci" itu. Jika ucapan gilaku masih keluar, yakin deh efeknya tidak "sedahsyat" perkataanku pada sahur yang bersejarah bagiku itu! Jurnal Ramadhan hari ini tidak akan terlalu absurd isinya karena aku sudah merasa cukup membahas insiden yang, terus terang saja, membuatku masih menghela napas karena sesal di hati. Isi jurnal ini kebanyakan berupa flashback karena lockdown selama pandemi membuat khayalanku semakin berkelana. 

Catatan ini adalah saatnya aku membahas pengalaman yang wajar. Pengalaman yang biasa terjadi dalam hidup orang. Pengalaman yang tidak terkesan absurd or keluar batas kelaziman. Bahkan, pengalamanku yang sekarang ini sudah sangat sering dijumpai dalam kisah hidup kita, yaitu bertemu dengan idola!

Tadi malam, aku bermimpi hal yang memang sudah klise, tetapi sebenarnya aku jarang sekali mengalami mimpi seperti ini. Aku mimpi ketemu langsung idolaku! Memangnya siapa sih idolaku, selama ini kan aku hanya mengidolakan karakter fiktif seperti Dr. Doofenshmirtz? Eh, kata siapa juga aku tidak pernah mengidolakan sosok yang real atau nyata?

Barangkali baru kualami sekali saja dalam seumur hidupku mimpi seperti ini. Setelah pada hari Minggu kemarin aku melihat instastory Regita Anggia berupa foto masa kecilnya, aku langsung mimpi bertemu dengannya! Tidak hanya ketemu saja, dalam mimpiku ini juga aku berkunjung ke rumahnya dan menemukan banyak majalah tentangnya. Idolaku itu memang kutemukan profilnya lewat Majalah Komik Valens edisi 07 bulan Agustus 2004. 

ss instastory Regita pada tanggal 19 April 2021 lalu

Regita Anggia dulunya adalah model cilik berprestasi yang telah menjuarai banyak lomba fotogenik (bukan fotografi lho). Oleh karena itu, tidak aneh profilnya nongol di rubrik "Prestasi" majalah komik terbitan lokal tersebut. Belum terlalu lama ini, dia juga masih menorehkan prestasi. Pada tahun 2019, dua tahun yang lalu, namanya keluar sebagai peraih gelar Summa cum laude dengan IPK sempurna yakni 4,00 berkat skripsinya yang berkenaan dengan pilpres pada tahun itu. 

Kalau sudah begini, aku merasa sebagai Nobita dan dia adalah Dekisugi.

OOTD doi semasa masih cilik adalah salah satu sumber imajinasi dan inspirasiku dalam menciptakan karakter untuk novel yang sedang kutulis. Tokoh Davina Fenton si tokoh utama novel adalah versi tokoh fiksi dari Regita. Meski begitu, Davina bukan Regita. Davina adalah tokoh fiktif, Regita adalah manusia nyata. 

Setelah memasuki usia remaja, Regita mulai rutin atau istiqamah berhijab. Sedangkan aku berencana Davina tidak akan mengenakan jilbab sampai usia dewasa. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menekankan bahwa mereka adalah individu yang berbeda. Kisah hidup Davina bukan biografi Regita. 

Oh, ya, ini adalah catatan untuk tanggal 20 April. Itu adalah hari kelahirannya Rasulullah Muhammad SAW! Umat Islam tentu wajib mengidolakan beliau, karena seluruh amal perbuatannya adalah sebagai teladan kaum muslimin. Sadar deh aku bahwa belum sepenuhnya mengidolakan Rasul kita, karena aku belum pernah ingin bermimpi bertemu dengan beliau.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...