Hari ini memasuki bulan Ramadan hari kedua, teringat akan pengalamanku mulai nulis kisah Insiden Kelinci dengan tema kisah inspiratif. Pertama aku nulis cerita ini dua tahun yang lalu, tepatnya pada Ramadan 2021. Karena pada saat itu kesedihanku akan insiden tersebut belum aja ketemu titik terang, alhasil aku kehilangan ide di tengah jalan dan tulisannya jadi mandeg. Alhamdulillah pada tahun yang sama, ada rejekinya datang ke psikolog untuk konsultasi, salah satunya agar bisa melupakan insiden itu.
Kemaren di hari pertama bulan puasa, aku nggak sempet ngobrol sama Nenek tentang kisah ini. Itu karena cuma Fariz adik aku yang bungsu aja yang nginep, aku nggak ikut nginep di rumah Nenek. Mau video call, eh hape Fariz lagi nggak ada kuotanya. Yah, masih banyak hari-hari lainnya di bulan puasa ini, rasanya kurang afdol jika di bulan "anti bohong" ini nggak jujur-jujuran.
Ketika menulis surat imajiner untuk almarhum Papah adalah cara terbaik untuk melupakan kesedihan dan penyesalan akibat Insiden Kelinci itu, kenapa nggak coba ngobrolin itu sama keluarganya beliau yang masih hidup? Berhubung kisah ini termasuk topik yang lumayan sensitif, seperti yang udah aku bilang di catatan kemaren, pertanyaan yang kontroversial dari insiden tersebut jangan disebut secara spesifik. Aku pengen minta pendapatnya Nenek, masih wajarkah aku di kelas lima kalo masih heran sama perbedaan orang memperlakukan antara kematian manusia dan hewan? Ini udah kepikiran sejak kurleb tiga bulan yang lalu, sejak terakhir kalinya ketemu beliau sebelum tahun 2023 ini.
Kunjunganku yang terakhir ke rumah beliau adalah sekitar Desember 2022 lalu. Saat itu beliau menceritakan kematian kelinci peliharaannya saat beliau masih muda dan Kakek (ayahnya Papah) masih hidup. Matinya kelinci itu gegara tetangga sebelah yang main tembak aja itu kelinci, padahal kelincinya ada yang pelihara. Padahal kejadiannya jelas udah puluhan tahun yang lalu, tapi masih membekas di hati Nenek dan beliau masih aja pengen nangis rasanya jika keingetan lagi dan air matanya beliau udah dikit keluar waktu menceritakan ini.
Kalo dipikir-pikir, reaksinya beliau akan pengalaman tersebut emang hampir sama kayak kedukaan buat sesama manusia, ya?
Dari kisah tersebut, aku juga ingin meminta pendapat Nenek, wajarkah dan seberapa tidak etisnya bila kita merasakan kesedihan yang sama dalamnya atau besarnya kayak ke orang untuk matinya hewan peliharaan? Semoga dari pembicaraanku dengan Nenek nanti bisa lanjutin lagi kisah inspiratif dari Insiden Kelinci ini. Ada satu warganet di Twitter yang bilang, bahwa semua ketikanku seputar insiden tersebut di blog pribadi aku udah kayak makalah psikiatris aja. Bahasa lebih gampangnya, tulisan-tulisan di blog itu tentang kisah tersebut katanya kayak ditulis sama psikiater, alih-alih orang awam kayak aku ini.
Padahal aku hampir sama sekali nggak ada background psikologi! Belajar psikologi secara khusus juga jarang banget. Pernahnya juga belajar mata kuliah "Psikologi Persepsi", itu juga lebih disesuaikan untuk topik desain karena aku ambil jurusan DKV. Semoga tulisanku ini bermanfaat buat para psikolog atau calon psikolog, meskipun aku nggak berkecimpung dalam bidang studi tersebut.
Satu hal yang harus digarisbawahi, aku nggak sakit hati sama almarhum Papah sama sekali. Aku bukannya nyalahin beliau karena marah sama pertanyaan dalam insiden itu. Hal yang bikin aku terus-menerus sedih itu jujur aja, masih sering kaget karena saking nggak nyangkanya bakalan dimarahin. Saking nggak tahu bahwa pertanyaan itu ternyata adalah sebuah kesalahan yang menyinggung, makanya makin tambah umur makin sedih kerasanya, karena tambah ngerti juga letak kesalahannya dan masih terus menyesal, meskipun udah nulis surat imajiner buat almarhum Papah.
Meskipun udah nyadar di mana letak salahnya aku pada kejadian itu, harus diakui bahwa rasa sedih, menyesal, dan kaget sebab itu juga memang hadir. Sedihnya juga bukan lagi karena kematian kelincinya itu sendiri, melainkan lebih ke "Ada apa dengan diriku sampai kepikiran pertanyaan aneh kayak gitu? Apakah aku ini gila?" Miturut buku pengembangan diri yang banyak aku baca, katanya kita harus memvalidasi semua perasaan yang timbul dalam diri kita dan janganlah kita menghakimi perasaan itu sendiri. Maksudnya, kita akui setiap dari perasaan yang muncul dalam hati kita, mau itu positif atau negatif dan jangan merasa seperti ini, "Aku nggak pantes marah atau sedih! Aku tidak boleh menghadirkan perasaan yang negatif ini! Jika aku merasakan itu, aku adalah orang yang lemah dan tidak tahan mental!"
Perasaan yang tidak enak itu mestilah dihilangkan, tetapi langkah paling pertamanya adalah mengakuinya seperti, "Aku merasakan marah atau sedih. Aku menerima perasaan ini hadir dalam diriku." Kemudian, barulah kita berusaha mengobati perasaan-perasaan itu.
No comments:
Post a Comment