Hampir 13 tahun yang lalu, aku masuk SMP, tepatnya Juli 2010. Pelajaran Bahasa Indonesia kelas tujuh yang paling menarik adalah menulis diary, sekaligus menjadi yang paling signifikan dampaknya. Dampak dari tugas tersebut bukan hanya berefek pada kebiasaan aku sekarang ngetik blog pribadi doang. Sebenarnya bukan dari tugasnya itu yang ngaruhnya paling gede, melainkan apa yang waktu itu ditulis di buku itu.
Pada tahun kedua setelah Insiden Kelinci, yaitu tanggal 1 September 2010, di skul lagi ada Ramadhan Fair. Walaupun bukan kegiatan belajar biasa, tapi lomba-lomba, tetep aja ingatanku pada hari itu masih sering melayang ke masa-masa jaman SD. Padahal saat itu aku udah naik jenjang pendidikan! Kata pikiranku waktu itu : tepat pada hari ini adalah peringatan dua tahunnya Insiden Kelinci!
Waktu itu belum kunamai demikian sih untuk insiden tersebut. Dulu aku nyebutnya "sahur hari pertama puasa yang menyedihkan". Hari itu di koridor sekolah lagi lomba bikin parcel per kelompok karena acara Ramadhan Fair ini diadakan ketika udah deket hari-hari lebaran, untungnya aku bisa menyelesaikan lomba ini bareng temen-temen baru di SMP. Begitu kelar itu lomba, di ruangan kelas buru-buru nulis entri buku diary untuk hari itu, karena bagiku sih maaf kata, tidak ada hal yang luar biasa dari lomba parcel lebaran itu.
Telah berlalu dua tahun dari Insiden Kelinci, tetep aja aku belum paham apanya sih yang bikin Papah tersinggung akibat pertanyaan pada insiden itu. Walaupun adik aku Irsyad udah beberapa kali ngejelasin bahwa itu nyamain manusia dengan binatang, bagi pertanyaan aku itu kerasanya nggak gitu, nggak kayak bikin manusia sama dengan binatang. Sebelum aku paham bener alasan di balik tersinggungnya Papah, pada saat itu sempet muncul dugaan aneh bahwa beliau benci banget sama kelinci, makanya nggak mau ada manusia yang dibandingkan dengan hewan itu. Untuk situasi dan kondisi lainnya, membandingkan manusia dengan hewan itu tidak dianggap merendahkan atau menyamakan, ini dulu bikin makin bingung di mana letak kesalahannya!
Ini akibat dari aku dulu nggak buruan curhat sama orang yang tepat, makanya problem ini malah jadinya makin runyam!
Versi bahasa sopan : Ketika pemahamanku terlambat dan aku mencoba untuk menebak-nebak sendiri, biasanya malah hasilnya jauh beda.
Versi bahasa kasar : Ketika aku lagi berada dalam "kebodohan", dengan berusaha mikir sendiri malah ujung-ujungnya makin ngaco pemahamannya.
Buku harian itu masih inget pake binder "Harvest" gambar Capricorn, padahal aku Libra tapi zodiak itu lagi nggak ada di tokonya. Atau mungkin aja ada alasan lainnya kah, kenapa nggak pilih gambarnya sesuai dengan zodiak aku?
Ayo, kembali ke topik awal! Nanti bakalan ada sendiri catatan yang khusus membahas tentang binder tersebut!
Inilah entri buku harian aku untuk peringatan dua tahun Insiden Kelinci : (aku tulis seingetnya aja karena udah banyak lupanya, udah lama sih!)
"Hari ini, tepat pada tanggal 1 September 2010 sudah dua tahun dari 'sahur hari pertama bulan puasa yang menyedihkan'. Ketika aku sedang sahur, Eyang Putri memberitahu bahwa kelinciku mati. Di saat aku bersedih karena kelinci itu mati, Papah memarahiku. Apakah beliau benci dengan kelinci peliharaanku? Jika iya Papah benci sama kelinci, kenapa nggak pernah bilang itu sebelumnya, sehingga Uwa ngasih kami dua kelinci waktu itu?"
Entah gimana ceritanya, pada suatu malam setelah bulan puasa usai, adikku Irsyad nggak sengaja baca buku harian tersebut. Dulu aku belum ngerti kenapa diary itu harus pribadi dan rahasia, karena biasanya aku nggak nulis hal-hal yang memalukan kalo orang baca. Isinya palingan cuma kegiatan sehari-hari dan gambar-gambar karya sendiri. Kayaknya waktu itu tujuan awalnya buat ngeliatin ke Irsyad satu gambaran karya aku yang letaknya beberapa halaman sebelum entri tentang mengenang kembali dua tahunan Insiden Kelinci itu.
"Teh, ini sih jadinya kayak ngefitnah Papah! Di situ Teteh nggak nulis bahwa Teteh nanyain 'itu'. Padahal yang bikin Papah marah itu kan karena ditanyain soal 'itu'. Artinya seakan kayak Papah yang benci banget sama kelinci!" ujar Irsyad ketika nggak sengaja buka lembar-lembar selanjutnya dan baca tulisan itu.
Langsung jantungan aku, takutnya Papah denger! Bisa bahaya tuh kalo sampai beliau denger terus baca catatan itu, malahan makin buruk!
"Jadi, Papah itu marah ke Teteh hari itu bukan karena beliau benci kelinci?" tanyaku kaget, ternyata dugaanku selama dua tahun ini salah, tidak benar!
"Papah itu bukan benci sama kelinci, tapi karena Teteh waktu itu nanya yang menyamakan manusia dengan binatang!" jelas Irsyad.
"HAAAH!?" Aku tersentak, menyadari kekeliruanku memahami insiden itu yang malah menjadi jauh berbeda daripada kejadian yang sebenarnya! Saat dia ngomong itu masih nggak ngerti juga kenapa pertanyaan pada insiden itu dianggap menyamakan manusia dan hewan, tapi setidaknya udah terbuka pemahamanku yang baru.
Tadinya kami berdua lagi di ruang belajar di bawah tangga untuk ke lantai dua, aku buru-buru ambil binder itu buat buang lembaran entri tanggal 1 September 2010 itu! Aku lari ke dapur buat buang lembar itu ke tempat sampah. Apa boleh buat, catatan tanggal 2-nya ikut ilang, deh, karena ditulis di halaman belakangnya. Guru Bahasa Indonesia juga nggak akan ngerasa aneh jika di buku itu dari tanggal 31 Agustus langsung lompat ke tanggal 3 September, karena aku emang sering lupa nulis entri diary sampai beberapa hari.
Ngeliat aku lari ke dapur, Eyang Putri yang lagi di kamarnya yang terletak di lorong menuju dapur belakang, nanya, "Ada apa Teh Hanna?"
"Nggak ada apa-apa! Mau buang sampah, Yang Ti!" sahutku sambil melanjutkan langkahku ke dapur belakang yang gelap.
Di situ aku nggak sepenuhnya bohong, karena arti dari sampah itu 'kan bisa juga "sesuatu yang udah nggak diperlukan atau nggak berguna lagi". Aku emang udah nggak perlu lagi catatan untuk tanggal 1 September itu, karena udah diberi paraf sama gurunya juga. Buku harian kami semua dikumpulkan untuk diberi paraf dan sesekali ditambahkan komentar oleh guru bahasa Indonesia kami. Ketentuannya, hanya beliau yang boleh baca buku harian kami semuanya dan jangan sampai dibaca sama temen!
Ternyata malah lebih bahaya kalo dibaca sama ortu sendiri! Udah kayak Nobita yang nyumputin kertas ulangan yang nilai nol dari emaknya! Guru Bahasa Indonesia itu untungnya nggak ngasih komentar yang macam-macam. Kalau tidak salah begini komennya beliau : "waduh, kenapa Papah Hanna bisa benci sama kelinci, tuh?"
Papah udah mencium gelagat bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu dari beliau. Biasanya, aku menyembunyikan karya gambarku yang berupa karakter kartun yang pakaiannya terbuka auratnya. Beliau nggak suka aku bikin gambar yang kayak gitu. Namun untuk kali ini, catatan topik sensitif kayak gitu malah jauh lebih buruk akibatnya kalo ketauan sama Papah ketimbang bikin gambar macam begitu!
"Teteh bikin gambar yang 'malu' lagi, ya?" tanya Papah menyelidik dari ruang tamu. Beliau nggak suka kalo gambar baju terbuka itu dibilang "seksi", jadinya aku sebut itu "malu".
"Bukan, Pah!"
(Walaupun emang iya sih gambarnya cover dari binder Capricorn itu lumayan seksoy!)
Akhirnya aku berhasil menyobek lembar tersebut dari binder dan karena lagi buru-buru, aku nggak sempet buang ke tempat sampah. Lembar tersebut aku taruh asal aja di lantai dapur yang gelap. Padahal dalam kondisi normal, aku takut gelap apalagi di dapur belakang. Untuk kasus ini, sikonnya beda lagi dan jauh lebih serem kalo Papah sampai baca tulisan itu dan keingetan lagi kisah itu!
Padahal kenangan menyedihkan itu udah aku kubur dari keluarga walaupun masih aja suka kebaca sama Irsyad. (Sekarang malah sering aku sharing kisah ini ke banyak orang, termasuk strangers di Twitter karena aku tahu, orang yang beneran paham perasaanku nggak akan ngejek dan biasanya justru ketemunya yang emang relate dengan kisah ini).
Habis aku buang selembar kertas halaman binder Capricorn itu, rasanya lega banget. Aku segera nyamperin Papah ke ruang tamu dan aku ngejelasin bahwa itu bukan seperti dugaannya beliau. Isi buku yang aku umpetin dari beliau itu bukan gambar, tapi tulisan!
"Teh, Papah mah menghargai privasinya Teteh. Kalo kata Teteh bahwa Papah nggak boleh lihat itu, Papah juga nggak akan baca," tutur beliau kalem.
"Bukan yang 'malu-malu', kok, Pah," kataku mempertegas.
"Papah tahu, kok."
Di situ aku tenang banget, ternyata seruan Irsyad pas baru baca tulisan aku itu nggak kedengeran sampai ruang tamu tempat Papah berada. Aku menghela napas lega sekaligus sedih, karena beliau menghargai isi buku yang kurahasiakan padahal kontennya menyinggung beliau. Jarang juga lho ada ortu yang menghargai privasi anaknya kayak gitu. Inget aja kalo Nobita pulang ke rumah, ibunya suka nemuin kertas-kertas bekas ulangannya di lacinya.
Hingga beliau wafat, Papah nggak pernah tahu isi dari catatan aku di binder diary itu. Maafin Teteh ya, Pah. Padahal gambar sampulnya juga udah nggak aman binder Capricorn itu, tapi catatanku itu bikin gambar itu nggak ada apa-apanya! Sebutannya jaman sekarang itu "menggiring opini" untuk catatan tadi, padahal akunya aja waktu nulis itu udah lagi "tersesat" sama pemikiran sendiri!
Catatan : lembar zodiaknya aku itu yang sudut kanan bawah, Libra.
No comments:
Post a Comment