Friday, June 24, 2022

Aku Menderita OCD Bersama Tokoh Kartun Idolaku

Catatan 24 Juni 2022

Obsessive compulsive disorder (OCD) memang lebih baru untuk kuketahui ketimbang autisme. Aku sejak balita, tepatnya saat berumur empat tahun, sudah dicurigai sebagai pengidap kelainan mental yang terakhir disebutkan tadi. Namun, ketika aku masuk sebuah SD inklusif, jelas terdapat perbedaan antara aku dan para murid sana yang mengidap autis. Begitu duduk di bangku kelas V, Papah memperkenalkanku akan sebuah kelainan lainnya yang bernama OCD itu, yang sebelumnya tidak pernah kudengar ada murid sekolah itu yang menderita kelainan mental tersebut.

Gambar Danny Phantom inilah yang dulu pernah membuatku terbahak-bahak hingga aku diduga mengidap Obsessive Compulsive Disorder, sekarang aku malah heran kenapa dulu bisa ketawa sama gambar ginian aja. 😓😕😔

Pada suatu subuh setelah sahur di bulan Ramadhan 2008, kira-kira beberapa hari atau minggu setelah Insiden Kelinci, aku tertawa terbahak-bahak ketika melihat sebuah gambar tokoh kartun idolaku yang bernama Danny Phantom. Aku melihat gambar tersebut dalam galeri ponsel milik Mamah (dulu belum punya ponsel sendiri) di kamar tidur. Papah yang sedang berbaring di sebelahku saat itu, segera memperingatkanku soal OCD itu. Karena baru pertama kalinya mendengar istilah tersebut, kontan saja dahiku mengernyit.

"Teh, hati-hati dengan Obsesif Kompulsif jika Teteh tertawa sendiri terus seperti itu!" seru beliau serius.

Aku yang mengernyitkan dahi setelah berhenti tertawa karena teguran dari Papah lalu bertanya, "Obsesif Kompulsif itu apa, ya, Pah?" 

Kebanyakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolahku saat itu jika bukan menderita autisme, ya ADHD vonisnya. Tetapi, tidak ada satupun murid sana yang menderita OCD itu. Anehnya, para guru di sana tidak ada yang menggolongkanku sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang artinya aku dapat belajar layaknya anak pada umumnya dan tidak memerlukan guru pendamping seperti para ABK di sekolahku. 

"Obsesif Kompulsif, atau Obsessive Compulsive Disorder, adalah sebuah kelainan di mana seseorang terus terpaku akan suatu hal," jawab Papah yang khawatir dengan mental health aku, anaknya yang pertama dan satu-satunya yang perempuan.

Sebenarnya, jawaban beliau masih kurang lengkap, sehingga saat itu aku belum dapat memahami seutuhnya mengenai kelainan psikologis tersebut. Bertahun-tahun sesudahnya, aku menemukan pengertian yang lebih tepat dan lebih lengkap dari jawaban ayahku itu tentang OCD. Gejalanya memang sama-sama terpaku pada satu hal saja seperti pada gejala autisme, akan tetapi penyebabnya yang berbeda. Pengidap autisme didorong oleh terjebaknya penderita di dalam dunianya sendiri, sedangkan orang yang menderita OCD melakukan sesuatu secara berulang-ulang, bahkan hampir menjadi seperti ritual baginya, untuk meredakan kecemasannya yang hanya dapat reda sementara.

Salah satu contoh yang paling umum dari gejala OCD adalah orang yang berulangkali mengecek kompor karena cemas benda itu belum dimatikan dengan benar. Untukku, memusatkan pikiranku pada hal-hal yang kusukai, salah satunya adalah Danny Phantom ketika aku SD, adalah caraku untuk mengobati rasa sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Berbulan-bulan sebelum insiden tersebut terjadi, aku memang sudah menyukai tokoh fiksi remaja tersebut dan cenderung mulai berlebihan, karena sejak kecil aku memang sering stres. Akan tetapi, selepas insiden itu, aku semakin menggilai tokoh pahlawan super dari serial animasi bernama sama itu.

Kalo mau tau kenapa Danny Phantom sebagai tokoh yang bikin aku terpaku dengannya, baca di sini nih :

Kegilaanku akan sang karakter benar-benar semakin tidak sehat sejak aku kelas V, karena aku kerap tertawa sendiri bahkan sampai terbahak-bahak, seperti pada penggalan peristiwa tadi. Setiap orang yang melihatku bertindak seperti itu pastinya akan timbul tanda tanya di kepalanya, karena ekspresi wajah Danny Phantom itu justru sangat serius. Dia bukanlah karakter konyol yang sering bertingkah aneh untuk memicu gelak tawa audiens, justru dia adalah pahlawan super! Tawaku bukannya dipicu oleh penampilan sang karakter itu sendiri, melainkan karena imajinasiku yang bermain secara gila ketika sedang memandang gambarnya.

Misalnya, kubayangkan dirinya mengenakan sebuah bikini dan rok berwarna pink cerah dan ngejreng. Dengan ekspresi seriusnya, dia mengenakan outfit seperti itu alih-alih seragam hitam dan putihnya yang ikonik sebagai pakaian untuk bertugas melawan para hantu jahat. Coba saja bayangkan dia memakai pakaian renang semacam begitu. Siapa sih yang dapat mengelak untuk mentertawakannya, ya kan? 

Tepatnya sih pakaian renang pink yang dikenakan anak cewek dari iklan es krim Spongebob pada gambar di atas ini yang aku bayangin jadi dipake sama Danny Phantom.


Coba bayangkan tokoh Danny Phantom yang berwajah serius di atas mengenakan bikini plus rok berwarna pink cerah kayak anak cewek di screenshot iklan tadi. Bayangin aja dulu.

Jika dirincikan semua imajinasi yang bermain di saat aku memandang gambar sang karakter, mungkin akan menjadi satu artikel utuh atau bahkan bisa saja bersambung! Untuk apa sih aku membayangkan hal-hal nyeleneh seperti itu? Seperti yang sudah kuceritakan, itu semua adalah upayaku untuk mengobati kesedihan akibat kesalahanku pada Insiden Kelinci. Karena, biasanya perasaan seperti itu dapat dengan mudahnya terobati dengan membayangkan berbagai jenis skenario konyol tentang Danny yang kusingkat dengan DP itu.

Entah sudah berapa kali diceritakan, ternyata kesedihanku akibat kasus pertanyaan yang kontroversial tentang kelinci yang mati itu, tidak semudah itu untuk hilang. Sebelum perasaan hancurku itu hilang, dulu aku semakin tenggelam dalam kenikmatan semu dari Danny Phantom. Bukan hanya tertawa dan mengkhayalkan saja yang menjadi tingkah gilaku : ide gambarku mandeg di seputar DP, selalu membahasnya tanpa henti, jika menyanyi liriknya pasti digantikan dengan namanya, dan masih banyak lagi! Sampai-sampai hampir semua orang di sekitarku saat itu mengeluh bosan dengan si tokoh!

Apakah kenyataannya rasa trauma akibat "peristiwa yang itu" hilang setelah aku menenggelamkan diriku dalam kubangan segala hal mengenai DP? Sayang sekali, jawabannya "tidak". Padahal tidak semua kesedihan dapat langsung terusir dengan hal-hal yang diminati, ada pula yang harus diatasi sampai ke akar masalahnya. Karena belum juga berhasil kuhibur diri ini dengan DP, aku semakin intens menyukainya, dan seperti itulah gejala dari Obsesif Kompulsif atau OCD.

Menurut pamanku (adik bungsu Papah), terjebaknya diriku dengan tokoh itu sebenarnya mirip orang yang kecanduan rokok, atau bahkan mungkin, alkohol (ini nggak pernah dicoba pamanku ya). Mereka sudah tahu benda berbentuk batangan putih yang dibakar dan diisap itu berbahaya bagi kesehatan, tetapi mereka tidak dapat menghentikannya selama kecemasan, kegelisahan, dan segala perasaan tidak menyenangkan lainnya belum juga hilang. Rokok memberikan ketenangan hanya sementara saja (ini masih kata pamanku tadi itu, ya, aku nggak pernah cukup nyali untuk mencoba merokok), padahal benda itu tidak mengatasi langsung penyebab perasaan-perasaan negatif seperti itu. Begitu juga dengan kasusku, aku sudah tahu bahwa tidaklah baik memandangi hingga berkhayal sampai memicu tawa yang tidak wajar, tetapi itu adalah upayaku (yang salah) untuk mengobati rasa sedih dan bersalahku akibat insiden tersebut.

No comments:

Post a Comment

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...