Friday, June 24, 2022

Setiap Perbuatan Kita Didasari Oleh Pikiran Kita Pada Hari-hari Sebelumnya

Catatan tanggal 23 Juni 2022

Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, atau tepatnya pada tahun ini sedang menuju tahun keempatbelas dari Insiden Kelinci, aku terus bertanya ke dalam diriku sendiri seperti ini :

"Memangnya apa sih yang menyebabkan pikiranku tercetus pertanyaan kontroversial itu, pada hari pertama bulan puasa 14 tahun yang lalu itu?" 

Suatu perbuatan, perkataan, atau bahkan hanya pikiran, selalu didasari oleh peristiwa apapun yang terjadi sebelumnya. Biasanya isi pikiran yang mendasari perbuatan kita hari ini, terjadi karena peristiwa beberapa hari atau minggu sebelumnya. Lalu, aku teringat kembali dengan percakapan dengan Nenek mengenai perbedaan tingkat keseraman jenazah manusia dengan bangkai hewan yang sudah kutulis kemarin itu. Barulah kusadari pada tahun ini, bahwa pertanyaanku pada insiden kelinci itu sebenarnya adalah "sekuel" dari pertanyaanku ketika bercakap-cakap dengan ibunya Papa saat itu. 

Dialog kami terjadi hanya beberapa hari sebelum Insiden Kelinci, tidak sampai semingguan. Setelah menulis ini, baru kusadari juga bahwa penamaan kesalahanku pada bulan puasa 2008 itu masih kurang tepat. Karena, percakapanku dengan Nenek juga dapat disebut pula sebagai Insiden Kelinci, karena dipicu oleh spesies hewan yang sama. Jadi, ketika kelinci yang pertama mati, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat keseraman jenazah dan bangkai, sedangkan pada saat kelinci yang kedua menyusul saudaranya, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat kesedihan antara meninggalnya manusia dengan matinya hewan.

Pada kasus yang pertama, aku menyebut jenazah manusia secara umum, sehingga pertanyaanku kepada Nenek itu tidak terkesan problematik. Sayangnya, pada kasus yang kedua, yang jauh lebih membekas dalam hidupku, itu lain ceritanya. Ketika aku menanyakan pertanyaan pada kasus selanjutnya, aku malah menyebut nama adikku yang telah wafat. Semestinya kusebutkan saja peristiwa kematian manusia secara umum, agar tidak menyinggung dan membuat sedih.

Jadi, sebaiknya pertanyaanku itu berbunyi seperti ini :
"Mengapa jika sesama manusia yang meninggal, semua orang bersedih, tetapi jika hewan yang mati, hanya saya yang bersedih?"

Itu setidaknya terdengar tidak terlalu menyinggung daripada pertanyaanku yang kuucapkan di kenyataannya, bukan?

Dalam salah satu surat imajiner untuk Papa, sudah kutulis apa yang menjadi kekeliruanku pada peristiwa itu. Sehingga, beliau sudah "mengetahui" bahwa diriku sudah memiliki kesadaran di mana letak kesalahanku pada saat itu terjadi. Semoga beliau dapat "memahamiku" yang kenyataannya bukanlah seorang anak dan kakak yang tidak berempati atas kehilangan anggota keluarganya sendiri. Aku memang menyikapi peristiwa kehilangan nyawa secara berbeda dari kebanyakan orang-orang, bukan hanya dibandingkan dengan kedua orang tuaku saja. 

Kebanyakan orang enggan untuk membicarakannya karena tidak mau membuka kembali kesedihan. Lain halnya denganku, bagiku segala kematian adalah sesuatu hal yang begitu mengundang rasa penasaran. Benar kata Papa, aku hanya memiliki sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas populasi manusia, bukannya kebodohan. Kutulis juga dalam surat tersebut, perkataan beliau sudah terbukti kebenarannya. 

Meskipun kecerdasan emosionalku agak terlambat daripada orang-orang seusiaku, setidaknya aku akhirnya dapat memahami sendiri jawaban dari pertanyaanku. Baik yang kutanyakan pada saat matinya kelinci yang pertama dan yang kedua. 

• Jawaban dari pertanyaan pertama (percakapanku dengan Nenek) : pada jenazah manusia, terdapat unsur uncanny valley, yaitu rasa ngeri atau seram ketika mendapati sesuatu yang terasa familiar, tetapi terdapat juga sesuatu yang salah atau ganjil darinya. Jenazah terasa familiar karena merupakan tubuh dari sesama manusia seperti kita, tetapi jelas memiliki sesuatu yang terasa berbeda karena tidak lagi hidup, bergerak, bernapas, atau bahkan tidak lagi utuh. Bangkai hewan meski sehancur apapun kondisinya, merupakan jenis yang berbeda dengan kita sehingga tidak menimbulkan perasaan uncanny valley itu karena bukan hal yang membuat kita relate dan jika ada rasa seperti itu, kadarnya tentu kecil sekali. 

• Jawaban dari pertanyaan kedua (hal yang ternyata sensitif yang malah kutanyakan pada Papa) : manusia kebanyakan hanya dapat related dengan sesama manusia saja dan hanya penikmat hewan peliharaan saja yang akan bersedih dengan kematian hewan, terutama jika hewan yang bersangkutan adalah peliharaannya. Pada saat kelinci pemberian Uwa Aden itu mati, hanya aku saja yang merasa sedih karena orang-orang lain tidak begitu antusias memeliharanya. Sebaliknya ketika Kenéng-kenéng, kucing kami hilang, nyaris semua orang di rumah (kecuali Eyang Putri yang cenderung sebal dengan kucing) merasakan kehilangan, karena kami semua memang menyukainya. 

Perbedaan antusiasme dalam memperlakukan hewan peliharaan saja dapat memberikan efek yang juga berbeda untuk satu dengan satu orang  lainnya ketika hewan tersebut tidak lagi berada di sekitar kita. Apalagi jika yang hilang itu nyawa manusia terutama keluarga sendiri! Aku pun sebagai kakaknya tentu hancur perasaannya, kemudian menjadikan hewan peliharaan hanya sebagai pelipur lara hatiku, sama sekali tiada yang dapat menggantikan posisi adikku sendiri di hatiku. Oleh karena itu, kesedihan akibat kehilangan sesama manusia akan lebih dirasakan secara universal, tidak hanya bagi orang-orang tertentu saja.

No comments:

Post a Comment

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...