Saturday, June 25, 2022

Obsesi Adalah Pelarian, Bukannya Penyelesaian dari Masalah

Catatan 25 Juni 2022

Banyak orang yang menggunakan cara yang sama seperti untuk menyelesaikan masalah sebelumnya ketika menghadapi masalah yang baru. Itu termasuk aku sendiri dan catatan ini juga adalah kisahku sendiri, jadi aku di sini hanya akan membahas pengalaman pribadi. Padahal, momentum untuk masalah yang baru ini berbeda dengan masalah sebelumnya, sehingga cara penyelesaiannya juga tidak bisa disamakan. 

Selama empat tahun lebih, aku berkutat dalam dunia Danny Phantom sejak kelas V sebagai obat dari perasaan sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Begitu aku masuk SMP, terbersit pikiran bahwa mengikatkan diriku dalam sang karakter bukannya menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah baru. Bukannya menghilangkan traumaku, tetapi menjadikan obsesiku itu semakin tidak sehat. Dari pengalamanku sebagai penggemar sangat berat DP selama lebih dari empat tahun tadi itu, kusimpulkan bahwa kesedihan akibat kesalahanku pada insiden tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan hiburan seperti kasus-kasus lainnya ketika aku sedang bersedih karena dimarahi.

Karena serial Danny Phantom sudah tamat, tidak lagi dibuat episode yang baru, tentu saja aku mudah bosan. Meskipun sudah mulai bosan dengannya, dulu ketika masih SD kelas V hingga VI, aku tetap memaksakan diriku agar tidak berhenti menyukainya. Asumsiku saat itu adalah dengan fokus dalam minat dan hobiku, akan mengobati perasaan negatif. Padahal, tidak semua masalahku solusinya seperti itu.

Apa sih yang membuatku sulit untuk menghilangkan traumaku dari insiden kelinci itu? Pada awalnya, aku kaget dan bingung menghadapi kemarahan Papa pada insiden itu, karena sebelumnya aku tidak paham mengapa pertanyaanku pada insiden itu dianggap salah oleh beliau. Setelah kurang lebih satu tahun dari peristiwa itu, aku membicarakannya dengan Mama dan baru memahami sebab tersinggungnya Papa karena pertanyaan yang kulontarkan secara spontan pada saat itu. Timbullah kekagetan baru, karena antara maksud dari perkataanku dengan anggapan Papa tentang itu sangatlah berbeda.

Semakin bertambahnya usia, aku semakin paham bahwa meninggalnya anak kandung sendiri adalah hal yang jangan diutak-atik. Pemahamanku itu menimbulkan perasaan bersalah yang semakin dalam setiap tahunnya. Bahkan sampai timbul pikiran seperti ini, "Apakah aku ini bodoh, bisa sampai senaif itu, bisa tidak paham jawaban dari hal yang kutanyakan itu dan juga tidak paham bahwa hal tersebut adalah tidak sesuai dengan etika?" Saat itu aku sudah keluar dari Danny Phantom, tetapi juga belum mendapat solusi yang tepat untuk meredakan semua perasaanku yang negatif itu tadi.

Perasaanku yang semula heran, kemudian berubah menjadi insecure. Selama lebih dari sepuluh tahun, bahkan hingga aku kuliah, aku terus merasa bodoh tetapi bukan masalah pelajaran sekolah atau kuliah. Setiap kali ada orang yang memujiku atau menganggapku pintar, aku selalu menyangkalnya dalam hatiku. Kataku adalam batin, "Jika aku ini memang smart, tidak mungkin aku bisa sampai setidakpaham itu ketika Insiden Kelinci! Semua orang pastinya akan langsung memahaminya, meskipun orang yang biasa saja juga!"

Pada akhir 2021 lalu, kuputuskan untuk segera menemui psikolog untuk mencari penyelesaian dari pikiran negatif itu. Meski sudah melakukan journalling berulangkali tentang itu, ternyata belum terlalu membuahkan hasil. Rasa bersalah dan insecure yang membuatku masih selalu menyedihkan insiden itu, belum juga surut setelah kutulis dalam buku harianku selama bertahun-tahun. Jika sudah seperti ini, tandanya aku harus konsultasi dengan tenaga profesional dan tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara biasa.

Hasil dari konsultasi itu, ternyata aku harus menuliskan perasaanku itu langsung kepada Papa yang saat ini telah almarhum. Jika selama ini aku menulis jurnal harian sebagai monolog terhadap diri sendiri, kali ini adalah mengatakannya kepada beliau. Di situ kutuliskan apa saja yang membuatku tercetus melontarkan pertanyaan pada saat itu. Benar saja, itu yang seharusnya kulakukan, bukannya memelihara obsesi yang tidak sehat akan sebuah tokoh kartun yang tidak ada artinya. 

Dari situ terbitlah surat imajiner untuk Papa. Surat imajiner itulah yang sebenarnya mengatasi masalahku. Danny Phantom hanyalah pelarian supaya aku lupa dengan masalah itu, bukannya penyelesaian. Sebenarnya, selama ini aku selalu ingin mengungkapkan apa yang kutulis dalam jurnalku kepada Papa lewat mimpiku, tetapi kami tidak pernah sempat untuk bercakap-cakap dan surat imajiner itulah yang berhasil menyampaikannya kepada beliau meskipun jelas beliau tidak akan bisa lagi membaca tulisanku.




No comments:

Post a Comment

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...