Monday, June 27, 2022

Jangan Biarkan Penyesalanmu Menghambat Kemajuanmu

Catatan 27 Juni 2022

Kemarin aku tidak sempat untuk menulis catatan, karena sedang menyelesaikan satu tugas kuliah yang lumayan rumit. Sebenarnya hari ini juga masih ada tugas kuliah, tetapi lebih simpel ketimbang yang kemarin (tetap saja harus dikerjakan, ya!) Juga, tugas yang hari ini adalah lanjutan dari tugas yang kemarin, itulah yang membuatnya tidak serumit tugas kemarin. Begitu juga dengan catatan hari ini yang merupakan lanjutan dari catatan-catatan tahun lalu di blog pribadiku.

Walaupun baru beberapa kali konsultasi dengan psikolog, hasilnya sudah cukup signifikan untuk mengatasi banyak "sampah pikiran" di dalam benakku. Selain dengan menulis surat imajiner, beliau juga memberikan tugas berupa "men-challenge atau counter dari seluruh pikiran negatif atas diriku sendiri". Artinya, aku harus menguji lagi tentang pikiran buruk yang membuatku rendah diri alias insecure, apakah pikiran tersebut tepat atau tidak. Bahasa psikologinya sih, apakah pikiran itu termasuk pikiran yang rasional atau irasional.

Beliau untungnya saja adalah seorang wanita juga, jadi setidaknya memiliki pola pikir yang lebih mendekati kesamaan denganku. Pada pertemuan pertama kami, aku sengaja meminjamkan banyak jurnal harianku supaya beliau lebih mudah untuk mendalami kasusku. Isi catatanku di buku itu adalah catatan-catatan blog yang terdahulu, karena aku sengaja mengetikkan isinya menjadi postingan blog. Beliau seketika sudah banyak mengetahui seluk-beluk Insiden Kelinci, oleh karena itu beliau dapat memberikanku tugas menulis surat imajiner.

Pertemuan kami dimulai sejak akhir November 2021 lalu, sayangnya tanggalnya aku malah lupa. Tak apa, hal yang terpenting adalah intisari dari pertemuan kami yang kuingat.

"Dalam buku-buku jurnalmu itu, kamu menuliskan kisah pertemuanmu dengan teman-teman dalam terapi crafting (membuat buket bunga) sebagai terapi stres. Kamu menceritakan pengalamanku itu kepada mereka. Lalu, mereka bilang penyebabnya kamu bertanya seperti pada Insiden Kelinci itu adalah kamu menganggap semua nyawa itu berharga, kan?" tanya Bu psikolog.

"Iya benar, Bu. Mereka mengatakan itu. Akan tetapi, saya masih menganggap saya ini bodoh karena bisa sebegitu naifnya soal itu. Semestinya anak balita yang pertanyaannya seperti itu, bukannya anak yang saat itu akan berumur sebelas tahun," jawabku.

"Dalam catatan yang lain, kamu juga menuliskan tentang Papamu yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki sudut pandang yang berbeda. Betul?" Bu psikolog mengonfirmasikan apa yang dibacanya.

"Benar, Ibu." Aku mengiyakan.

"Nah, sebenarnya kamu di situ sudah berusaha men-challenge pikiran negatif dan irasionalmu yang mengatakan dirimu itu bodoh. Kamu telah mencari penyebab yang sebenarnya di balik terlontarnya pertanyaan yang menanyakan perbedaan sikap orang-orang di sekitar antara meninggalnya anggota keluarga dengan matinya hewan peliharaan, dengan bercerita kepada teman seperjuangan. Dengan mengingat perkataan Papa tentang keunikanmu, itu juga adalah bentuk challenge dari pikiranmu yang merendahkan dirimu sendiri," terang beliau.

Mendengar itu semua, aku hanya dapat mengiyakan saja tanpa banyak berkata-kata lagi, karena saking kagetnya. Berarti, catatanku selama berbulan-bulan sebelum aku akhirnya konsultasi dengan tenaga ahli itu adalah usahaku yang sebenarnya cukup besar untuk mengatasi banyak kesedihanku. Ibu psikolog tadi itu juga adalah satu dari sedikit orang yang tidak menganggapku menyalahkan Papa (yang kini telah almarhum) atas kejadian itu. Kenyataannya, justru aku sendirilah yang terus menerus kusalahkan dan Ibu psikolog itu dapat menemukan fakta itu.

"Jadi kesimpulannya, anggapan yang mengatakan dirimu itu bodoh itu adalah irasional, atau tidak tepat. Kamu itu kreatif," pungkasnya.

"Bagaimana bisa saya ini kreatif, Bu? Kata Mama, jika saya ini benar seperti itu, seharusnya dapat membuat karya yang spektakuler," tanyaku masih ragu.

"Kreativitas itu ditandai oleh kemampuan melihat dari sudut pandang yang berbeda daripada kebanyakan orang lain, seperti kata Papamu itu. Agar kreativitasmu itu dapat berkembang, fokuslah dengan kelebihanmu! Ibu baca, kamu suka sekali menggambar dan menulis, ya?" 

"Iya, benar sekali, Bu!" Semangatku kembali timbul setelah tadinya sedih.

"Pikiran-pikiran irasional yang memenuhi kepalamu itu ibaratnya kamu membawa sebuah tas ransel berat penuh barang. Karena membuatmu keberatan, kamu kelelahan dan langkahmu menjadi lambat. Dengan menuliskan surat imajiner untuk Papa yang saat ini tentu tidak dapat lagi berkomunikasi denganmu, itu menjadi salah satu caramu untuk mengeluarkan satu persatu barang yang menjadi beban berat dalam tas ranselmu."

Seketika aku teringat kembali ketika menginap di rumah Nenek, ibunya Papa ketika masih kelas VI. Nenek bilang, dari napasku saat tidur saja sudah menandakan bahwa aku ini capek sekali. Saat itu tidurku belum terlalu nyenyak, jadinya masih bisa mendengar percakapan antara beliau dengan kedua orangtuaku. Padahal kesibukan saat itu jelas belum sebanyak sekarang ketika aku sudah kuliah, hanya sebatas menghafalkan surat-surat pendek Juz Amma sebagai syarat kelulusan SD!

Mungkin rasa lelahku itu banyak bersumber dari pikiran yang tidak perlu, seperti diibaratkan membawa tas ransel penuh barang yang melelahkan tadi. Ternyata kelelahan itulah yang menghalangiku berkarya. Oleh karena itu, aku diminta untuk berfokus pada hal-hal yang kuminati agar menjadi karya. Bukan lagi sebagai pelarian dari suatu masalah yang malah akan mendatangkan banyak masalah baru.

Saturday, June 25, 2022

Obsesi Adalah Pelarian, Bukannya Penyelesaian dari Masalah

Catatan 25 Juni 2022

Banyak orang yang menggunakan cara yang sama seperti untuk menyelesaikan masalah sebelumnya ketika menghadapi masalah yang baru. Itu termasuk aku sendiri dan catatan ini juga adalah kisahku sendiri, jadi aku di sini hanya akan membahas pengalaman pribadi. Padahal, momentum untuk masalah yang baru ini berbeda dengan masalah sebelumnya, sehingga cara penyelesaiannya juga tidak bisa disamakan. 

Selama empat tahun lebih, aku berkutat dalam dunia Danny Phantom sejak kelas V sebagai obat dari perasaan sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Begitu aku masuk SMP, terbersit pikiran bahwa mengikatkan diriku dalam sang karakter bukannya menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah baru. Bukannya menghilangkan traumaku, tetapi menjadikan obsesiku itu semakin tidak sehat. Dari pengalamanku sebagai penggemar sangat berat DP selama lebih dari empat tahun tadi itu, kusimpulkan bahwa kesedihan akibat kesalahanku pada insiden tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan hiburan seperti kasus-kasus lainnya ketika aku sedang bersedih karena dimarahi.

Karena serial Danny Phantom sudah tamat, tidak lagi dibuat episode yang baru, tentu saja aku mudah bosan. Meskipun sudah mulai bosan dengannya, dulu ketika masih SD kelas V hingga VI, aku tetap memaksakan diriku agar tidak berhenti menyukainya. Asumsiku saat itu adalah dengan fokus dalam minat dan hobiku, akan mengobati perasaan negatif. Padahal, tidak semua masalahku solusinya seperti itu.

Apa sih yang membuatku sulit untuk menghilangkan traumaku dari insiden kelinci itu? Pada awalnya, aku kaget dan bingung menghadapi kemarahan Papa pada insiden itu, karena sebelumnya aku tidak paham mengapa pertanyaanku pada insiden itu dianggap salah oleh beliau. Setelah kurang lebih satu tahun dari peristiwa itu, aku membicarakannya dengan Mama dan baru memahami sebab tersinggungnya Papa karena pertanyaan yang kulontarkan secara spontan pada saat itu. Timbullah kekagetan baru, karena antara maksud dari perkataanku dengan anggapan Papa tentang itu sangatlah berbeda.

Semakin bertambahnya usia, aku semakin paham bahwa meninggalnya anak kandung sendiri adalah hal yang jangan diutak-atik. Pemahamanku itu menimbulkan perasaan bersalah yang semakin dalam setiap tahunnya. Bahkan sampai timbul pikiran seperti ini, "Apakah aku ini bodoh, bisa sampai senaif itu, bisa tidak paham jawaban dari hal yang kutanyakan itu dan juga tidak paham bahwa hal tersebut adalah tidak sesuai dengan etika?" Saat itu aku sudah keluar dari Danny Phantom, tetapi juga belum mendapat solusi yang tepat untuk meredakan semua perasaanku yang negatif itu tadi.

Perasaanku yang semula heran, kemudian berubah menjadi insecure. Selama lebih dari sepuluh tahun, bahkan hingga aku kuliah, aku terus merasa bodoh tetapi bukan masalah pelajaran sekolah atau kuliah. Setiap kali ada orang yang memujiku atau menganggapku pintar, aku selalu menyangkalnya dalam hatiku. Kataku adalam batin, "Jika aku ini memang smart, tidak mungkin aku bisa sampai setidakpaham itu ketika Insiden Kelinci! Semua orang pastinya akan langsung memahaminya, meskipun orang yang biasa saja juga!"

Pada akhir 2021 lalu, kuputuskan untuk segera menemui psikolog untuk mencari penyelesaian dari pikiran negatif itu. Meski sudah melakukan journalling berulangkali tentang itu, ternyata belum terlalu membuahkan hasil. Rasa bersalah dan insecure yang membuatku masih selalu menyedihkan insiden itu, belum juga surut setelah kutulis dalam buku harianku selama bertahun-tahun. Jika sudah seperti ini, tandanya aku harus konsultasi dengan tenaga profesional dan tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara biasa.

Hasil dari konsultasi itu, ternyata aku harus menuliskan perasaanku itu langsung kepada Papa yang saat ini telah almarhum. Jika selama ini aku menulis jurnal harian sebagai monolog terhadap diri sendiri, kali ini adalah mengatakannya kepada beliau. Di situ kutuliskan apa saja yang membuatku tercetus melontarkan pertanyaan pada saat itu. Benar saja, itu yang seharusnya kulakukan, bukannya memelihara obsesi yang tidak sehat akan sebuah tokoh kartun yang tidak ada artinya. 

Dari situ terbitlah surat imajiner untuk Papa. Surat imajiner itulah yang sebenarnya mengatasi masalahku. Danny Phantom hanyalah pelarian supaya aku lupa dengan masalah itu, bukannya penyelesaian. Sebenarnya, selama ini aku selalu ingin mengungkapkan apa yang kutulis dalam jurnalku kepada Papa lewat mimpiku, tetapi kami tidak pernah sempat untuk bercakap-cakap dan surat imajiner itulah yang berhasil menyampaikannya kepada beliau meskipun jelas beliau tidak akan bisa lagi membaca tulisanku.




Friday, June 24, 2022

Aku Menderita OCD Bersama Tokoh Kartun Idolaku

Catatan 24 Juni 2022

Obsessive compulsive disorder (OCD) memang lebih baru untuk kuketahui ketimbang autisme. Aku sejak balita, tepatnya saat berumur empat tahun, sudah dicurigai sebagai pengidap kelainan mental yang terakhir disebutkan tadi. Namun, ketika aku masuk sebuah SD inklusif, jelas terdapat perbedaan antara aku dan para murid sana yang mengidap autis. Begitu duduk di bangku kelas V, Papah memperkenalkanku akan sebuah kelainan lainnya yang bernama OCD itu, yang sebelumnya tidak pernah kudengar ada murid sekolah itu yang menderita kelainan mental tersebut.

Gambar Danny Phantom inilah yang dulu pernah membuatku terbahak-bahak hingga aku diduga mengidap Obsessive Compulsive Disorder, sekarang aku malah heran kenapa dulu bisa ketawa sama gambar ginian aja. 😓😕😔

Pada suatu subuh setelah sahur di bulan Ramadhan 2008, kira-kira beberapa hari atau minggu setelah Insiden Kelinci, aku tertawa terbahak-bahak ketika melihat sebuah gambar tokoh kartun idolaku yang bernama Danny Phantom. Aku melihat gambar tersebut dalam galeri ponsel milik Mamah (dulu belum punya ponsel sendiri) di kamar tidur. Papah yang sedang berbaring di sebelahku saat itu, segera memperingatkanku soal OCD itu. Karena baru pertama kalinya mendengar istilah tersebut, kontan saja dahiku mengernyit.

"Teh, hati-hati dengan Obsesif Kompulsif jika Teteh tertawa sendiri terus seperti itu!" seru beliau serius.

Aku yang mengernyitkan dahi setelah berhenti tertawa karena teguran dari Papah lalu bertanya, "Obsesif Kompulsif itu apa, ya, Pah?" 

Kebanyakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolahku saat itu jika bukan menderita autisme, ya ADHD vonisnya. Tetapi, tidak ada satupun murid sana yang menderita OCD itu. Anehnya, para guru di sana tidak ada yang menggolongkanku sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang artinya aku dapat belajar layaknya anak pada umumnya dan tidak memerlukan guru pendamping seperti para ABK di sekolahku. 

"Obsesif Kompulsif, atau Obsessive Compulsive Disorder, adalah sebuah kelainan di mana seseorang terus terpaku akan suatu hal," jawab Papah yang khawatir dengan mental health aku, anaknya yang pertama dan satu-satunya yang perempuan.

Sebenarnya, jawaban beliau masih kurang lengkap, sehingga saat itu aku belum dapat memahami seutuhnya mengenai kelainan psikologis tersebut. Bertahun-tahun sesudahnya, aku menemukan pengertian yang lebih tepat dan lebih lengkap dari jawaban ayahku itu tentang OCD. Gejalanya memang sama-sama terpaku pada satu hal saja seperti pada gejala autisme, akan tetapi penyebabnya yang berbeda. Pengidap autisme didorong oleh terjebaknya penderita di dalam dunianya sendiri, sedangkan orang yang menderita OCD melakukan sesuatu secara berulang-ulang, bahkan hampir menjadi seperti ritual baginya, untuk meredakan kecemasannya yang hanya dapat reda sementara.

Salah satu contoh yang paling umum dari gejala OCD adalah orang yang berulangkali mengecek kompor karena cemas benda itu belum dimatikan dengan benar. Untukku, memusatkan pikiranku pada hal-hal yang kusukai, salah satunya adalah Danny Phantom ketika aku SD, adalah caraku untuk mengobati rasa sedih dan bersalah akibat Insiden Kelinci. Berbulan-bulan sebelum insiden tersebut terjadi, aku memang sudah menyukai tokoh fiksi remaja tersebut dan cenderung mulai berlebihan, karena sejak kecil aku memang sering stres. Akan tetapi, selepas insiden itu, aku semakin menggilai tokoh pahlawan super dari serial animasi bernama sama itu.

Kalo mau tau kenapa Danny Phantom sebagai tokoh yang bikin aku terpaku dengannya, baca di sini nih :

Kegilaanku akan sang karakter benar-benar semakin tidak sehat sejak aku kelas V, karena aku kerap tertawa sendiri bahkan sampai terbahak-bahak, seperti pada penggalan peristiwa tadi. Setiap orang yang melihatku bertindak seperti itu pastinya akan timbul tanda tanya di kepalanya, karena ekspresi wajah Danny Phantom itu justru sangat serius. Dia bukanlah karakter konyol yang sering bertingkah aneh untuk memicu gelak tawa audiens, justru dia adalah pahlawan super! Tawaku bukannya dipicu oleh penampilan sang karakter itu sendiri, melainkan karena imajinasiku yang bermain secara gila ketika sedang memandang gambarnya.

Misalnya, kubayangkan dirinya mengenakan sebuah bikini dan rok berwarna pink cerah dan ngejreng. Dengan ekspresi seriusnya, dia mengenakan outfit seperti itu alih-alih seragam hitam dan putihnya yang ikonik sebagai pakaian untuk bertugas melawan para hantu jahat. Coba saja bayangkan dia memakai pakaian renang semacam begitu. Siapa sih yang dapat mengelak untuk mentertawakannya, ya kan? 

Tepatnya sih pakaian renang pink yang dikenakan anak cewek dari iklan es krim Spongebob pada gambar di atas ini yang aku bayangin jadi dipake sama Danny Phantom.


Coba bayangkan tokoh Danny Phantom yang berwajah serius di atas mengenakan bikini plus rok berwarna pink cerah kayak anak cewek di screenshot iklan tadi. Bayangin aja dulu.

Jika dirincikan semua imajinasi yang bermain di saat aku memandang gambar sang karakter, mungkin akan menjadi satu artikel utuh atau bahkan bisa saja bersambung! Untuk apa sih aku membayangkan hal-hal nyeleneh seperti itu? Seperti yang sudah kuceritakan, itu semua adalah upayaku untuk mengobati kesedihan akibat kesalahanku pada Insiden Kelinci. Karena, biasanya perasaan seperti itu dapat dengan mudahnya terobati dengan membayangkan berbagai jenis skenario konyol tentang Danny yang kusingkat dengan DP itu.

Entah sudah berapa kali diceritakan, ternyata kesedihanku akibat kasus pertanyaan yang kontroversial tentang kelinci yang mati itu, tidak semudah itu untuk hilang. Sebelum perasaan hancurku itu hilang, dulu aku semakin tenggelam dalam kenikmatan semu dari Danny Phantom. Bukan hanya tertawa dan mengkhayalkan saja yang menjadi tingkah gilaku : ide gambarku mandeg di seputar DP, selalu membahasnya tanpa henti, jika menyanyi liriknya pasti digantikan dengan namanya, dan masih banyak lagi! Sampai-sampai hampir semua orang di sekitarku saat itu mengeluh bosan dengan si tokoh!

Apakah kenyataannya rasa trauma akibat "peristiwa yang itu" hilang setelah aku menenggelamkan diriku dalam kubangan segala hal mengenai DP? Sayang sekali, jawabannya "tidak". Padahal tidak semua kesedihan dapat langsung terusir dengan hal-hal yang diminati, ada pula yang harus diatasi sampai ke akar masalahnya. Karena belum juga berhasil kuhibur diri ini dengan DP, aku semakin intens menyukainya, dan seperti itulah gejala dari Obsesif Kompulsif atau OCD.

Menurut pamanku (adik bungsu Papah), terjebaknya diriku dengan tokoh itu sebenarnya mirip orang yang kecanduan rokok, atau bahkan mungkin, alkohol (ini nggak pernah dicoba pamanku ya). Mereka sudah tahu benda berbentuk batangan putih yang dibakar dan diisap itu berbahaya bagi kesehatan, tetapi mereka tidak dapat menghentikannya selama kecemasan, kegelisahan, dan segala perasaan tidak menyenangkan lainnya belum juga hilang. Rokok memberikan ketenangan hanya sementara saja (ini masih kata pamanku tadi itu, ya, aku nggak pernah cukup nyali untuk mencoba merokok), padahal benda itu tidak mengatasi langsung penyebab perasaan-perasaan negatif seperti itu. Begitu juga dengan kasusku, aku sudah tahu bahwa tidaklah baik memandangi hingga berkhayal sampai memicu tawa yang tidak wajar, tetapi itu adalah upayaku (yang salah) untuk mengobati rasa sedih dan bersalahku akibat insiden tersebut.

Setiap Perbuatan Kita Didasari Oleh Pikiran Kita Pada Hari-hari Sebelumnya

Catatan tanggal 23 Juni 2022

Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, atau tepatnya pada tahun ini sedang menuju tahun keempatbelas dari Insiden Kelinci, aku terus bertanya ke dalam diriku sendiri seperti ini :

"Memangnya apa sih yang menyebabkan pikiranku tercetus pertanyaan kontroversial itu, pada hari pertama bulan puasa 14 tahun yang lalu itu?" 

Suatu perbuatan, perkataan, atau bahkan hanya pikiran, selalu didasari oleh peristiwa apapun yang terjadi sebelumnya. Biasanya isi pikiran yang mendasari perbuatan kita hari ini, terjadi karena peristiwa beberapa hari atau minggu sebelumnya. Lalu, aku teringat kembali dengan percakapan dengan Nenek mengenai perbedaan tingkat keseraman jenazah manusia dengan bangkai hewan yang sudah kutulis kemarin itu. Barulah kusadari pada tahun ini, bahwa pertanyaanku pada insiden kelinci itu sebenarnya adalah "sekuel" dari pertanyaanku ketika bercakap-cakap dengan ibunya Papa saat itu. 

Dialog kami terjadi hanya beberapa hari sebelum Insiden Kelinci, tidak sampai semingguan. Setelah menulis ini, baru kusadari juga bahwa penamaan kesalahanku pada bulan puasa 2008 itu masih kurang tepat. Karena, percakapanku dengan Nenek juga dapat disebut pula sebagai Insiden Kelinci, karena dipicu oleh spesies hewan yang sama. Jadi, ketika kelinci yang pertama mati, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat keseraman jenazah dan bangkai, sedangkan pada saat kelinci yang kedua menyusul saudaranya, aku mencari tahu tentang perbedaan derajat kesedihan antara meninggalnya manusia dengan matinya hewan.

Pada kasus yang pertama, aku menyebut jenazah manusia secara umum, sehingga pertanyaanku kepada Nenek itu tidak terkesan problematik. Sayangnya, pada kasus yang kedua, yang jauh lebih membekas dalam hidupku, itu lain ceritanya. Ketika aku menanyakan pertanyaan pada kasus selanjutnya, aku malah menyebut nama adikku yang telah wafat. Semestinya kusebutkan saja peristiwa kematian manusia secara umum, agar tidak menyinggung dan membuat sedih.

Jadi, sebaiknya pertanyaanku itu berbunyi seperti ini :
"Mengapa jika sesama manusia yang meninggal, semua orang bersedih, tetapi jika hewan yang mati, hanya saya yang bersedih?"

Itu setidaknya terdengar tidak terlalu menyinggung daripada pertanyaanku yang kuucapkan di kenyataannya, bukan?

Dalam salah satu surat imajiner untuk Papa, sudah kutulis apa yang menjadi kekeliruanku pada peristiwa itu. Sehingga, beliau sudah "mengetahui" bahwa diriku sudah memiliki kesadaran di mana letak kesalahanku pada saat itu terjadi. Semoga beliau dapat "memahamiku" yang kenyataannya bukanlah seorang anak dan kakak yang tidak berempati atas kehilangan anggota keluarganya sendiri. Aku memang menyikapi peristiwa kehilangan nyawa secara berbeda dari kebanyakan orang-orang, bukan hanya dibandingkan dengan kedua orang tuaku saja. 

Kebanyakan orang enggan untuk membicarakannya karena tidak mau membuka kembali kesedihan. Lain halnya denganku, bagiku segala kematian adalah sesuatu hal yang begitu mengundang rasa penasaran. Benar kata Papa, aku hanya memiliki sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas populasi manusia, bukannya kebodohan. Kutulis juga dalam surat tersebut, perkataan beliau sudah terbukti kebenarannya. 

Meskipun kecerdasan emosionalku agak terlambat daripada orang-orang seusiaku, setidaknya aku akhirnya dapat memahami sendiri jawaban dari pertanyaanku. Baik yang kutanyakan pada saat matinya kelinci yang pertama dan yang kedua. 

• Jawaban dari pertanyaan pertama (percakapanku dengan Nenek) : pada jenazah manusia, terdapat unsur uncanny valley, yaitu rasa ngeri atau seram ketika mendapati sesuatu yang terasa familiar, tetapi terdapat juga sesuatu yang salah atau ganjil darinya. Jenazah terasa familiar karena merupakan tubuh dari sesama manusia seperti kita, tetapi jelas memiliki sesuatu yang terasa berbeda karena tidak lagi hidup, bergerak, bernapas, atau bahkan tidak lagi utuh. Bangkai hewan meski sehancur apapun kondisinya, merupakan jenis yang berbeda dengan kita sehingga tidak menimbulkan perasaan uncanny valley itu karena bukan hal yang membuat kita relate dan jika ada rasa seperti itu, kadarnya tentu kecil sekali. 

• Jawaban dari pertanyaan kedua (hal yang ternyata sensitif yang malah kutanyakan pada Papa) : manusia kebanyakan hanya dapat related dengan sesama manusia saja dan hanya penikmat hewan peliharaan saja yang akan bersedih dengan kematian hewan, terutama jika hewan yang bersangkutan adalah peliharaannya. Pada saat kelinci pemberian Uwa Aden itu mati, hanya aku saja yang merasa sedih karena orang-orang lain tidak begitu antusias memeliharanya. Sebaliknya ketika Kenéng-kenéng, kucing kami hilang, nyaris semua orang di rumah (kecuali Eyang Putri yang cenderung sebal dengan kucing) merasakan kehilangan, karena kami semua memang menyukainya. 

Perbedaan antusiasme dalam memperlakukan hewan peliharaan saja dapat memberikan efek yang juga berbeda untuk satu dengan satu orang  lainnya ketika hewan tersebut tidak lagi berada di sekitar kita. Apalagi jika yang hilang itu nyawa manusia terutama keluarga sendiri! Aku pun sebagai kakaknya tentu hancur perasaannya, kemudian menjadikan hewan peliharaan hanya sebagai pelipur lara hatiku, sama sekali tiada yang dapat menggantikan posisi adikku sendiri di hatiku. Oleh karena itu, kesedihan akibat kehilangan sesama manusia akan lebih dirasakan secara universal, tidak hanya bagi orang-orang tertentu saja.

Tuesday, June 21, 2022

Gadis Sebelas Tahun Pengulik Topik Kematian

Catatan tanggal 22 Juni 2022.

Setelah membaca lagi majalah yang pernah kupunya saat kelas IV dulu, mendadak banyak memori yang teringat kembali. Salah satunya adalah aku membahas sebabnya bangkai hewan harus dikuburkan. Memori ini memang sama sekali tidak berkaitan dengan isi majalahnya. Namun, otomatis terbuka lagi ingatanku akan percakapan itu ketika pikiranku menjelajah ke masa kecilku.

Satu dari dua kelinciku mati saat beberapa hari sebelum bulan puasa 2008, itu berarti kejadiannya sebelum "Insiden Kelinci". Ketika kelinci yang satunya lagi mati menyusul temannya tepat di hari pertama bulan puasa, barulah "Insiden Kelinci" itu terjadi. Pada kematian kelinci yang pertama, aku bertanya kepada Nenek dari pihak Papa soal penyebab kelinci itu jika mati harus tetap dikubur. Karena saat itu, Papa sedang mengubur kelinci yang duluan mati.

Di saat yang bersamaan, aku dan Nenek mengobrol di teras rumah Eyang Putri, (nenek dari pihak Mama) tempat keluargaku tinggal.

"Nek, mengapa kelinci yang mati harus dikubur juga? Kan bukan orang? Apakah supaya tidak menakutkan?" tanyaku.

"Bangkai hewan akan menyebarkan penyakit dari lalat yang memakannya. Jadi, bangkainya harus dikubur agar lalat tidak bebas beterbangan," jelas Nenek.

"Oh, jadi bukan supaya bangkai itu tidak terlihat menyeramkan?" aku meminta ketegasan.

"Bukan." Nenek menambahkan.

Rupanya, masih ada satu pertanyaan lagi yang kulontarkan. "Tapi, Nek, mengapa ya kalau mayat orang yang membusuk itu menyeramkan sekali? Apakah karena ukurannya yang besar jika dibandingkan kebanyakan hewan? Bangkai hewan sih tidak terlalu seram."

Nenek terdiam memikirkan jawabannya. Beliau seperti yang baru kepikiran bahwa jenazah manusia yang membusuk itu memang jauh lebih menyeramkan ketimbang bangkai hewan! 

"Hmm, mungkin imejnya ya yang bikin seram kalau yang membusuk itu jasad manusia." Ibunya Papaku itu menerka jawabannya.

"Bisa saja sih, Nek." Aku menyetujuinya.

Pada awalnya, percakapan tersebut terkesan biasa saja, tidak menyinggung. Meskipun, ya, jelas agak mengerikan topik seperti itu untuk aku yang dulu masih berusia menjelang sebelas tahun. Begitu aku mengulik lebih jauh topik perbedaan kematian antara manusia dengan hewan pada saat "Insiden Kelinci", aku mulai menyadari sesuatu yang kurang elok. Yaitu, janganlah terlalu 'kepo' dengan topik-topik berbau kematian, karena bisa jadi malah mengarahkan kepada perkataan yang tidak etis, tepat seperti pertanyaanku dalam insiden hari pertama puasa itu pada tahun yang sama.

Saturday, February 26, 2022

Tiga Surat Imajiner untuk Papah

27 Februari 2022

Tadi malam, tanggal 26 Februari, kutuliskan surat imajiner untuk Papah yang ketiga kalinya, masih tentang insiden kelinci. Rupanya memang benar, harus lebih dari dua kali untuk menyampaikan isi hatiku untuk Papah di sana. Sebelum aku diberi tugas untuk menulis surat seperti ini, aku selalu ingin mimpi bertemu beliau untuk menyampaikan hal tersebut, sayangnya selalu tidak bisa. Apa sih yang menyebabkan tidak bisa sembarang orang bisa menjadi pilihan yang tepat untuk diceritakan kesedihanku dari insiden itu? 

Jika aku mengeluhkan sulitnya menghilangkan perasaan bersalah dan menyesal akan insiden itu kepada Mamah, beliau akan sedih karena menyangkut almarhum salah satu anaknya. Menceritakan tentang kisah ini kepada teman, tentu lebih "berbahaya", karena pertanyaannya memang sepintas terdengar ngawur. Saudara yang lain, belum tentu mereka memahami perasaan yang sedih itu dan malah menganggap aku menyalahkan Papah. Untungnya, satu kerabatku adalah satu dari segelintir orang yang dapat memahami perkataanku yang paling kontroversial itu. 

Dahulu, aku dengan beliau tidak dekat dan aku cenderung menjahilinya. Kami berbaikan beberapa tahun setelah Papah wafat. Dalam suratku yang ketiga ini, kuceritakan kami yang telah berdamai dan menjadi akrab, bahkan salah satu anggota keluargaku itu adalah orang yang paling memahami maksud dari pertanyaan dalam kisah "kelam" itu. Pasti ayahku akan bahagia mengetahui anak-anaknya telah rukun dengan sesama keluarga. 

Kusampaikan kepada Papah bahwa menurut sang kerabat, pertanyaan seperti itu bukanlah hal yang tidak cerdas, justru merupakan pertanyaan yang lintas disiplin ilmu. Penyebab marahnya Papah akan pertanyaan itu ada dua : merasa masygul karena menyangka aku lebih kehilangan kelinci dan kecewa mendapati putrinya seperti yang tidak cerdas karena belum dapat memahami perbedaan reaksi orang akan kematian manusia dan hewan. Kerabatku tersebut menjelaskan, keponakan terbesarnya, yaitu aku, tidaklah memenuhi dua sebab kemarahan Papah itu. Di situ, keinginanku agar semua orang ikut bersedih dengan matinya kelinciku tidak mengurangi rasa kehilanganku akan adik sendiri dan pertanyaanku itu timbul karena menganggap nyawa hewan peliharaan itu sama berharganya dengan manusia, bukannya kelainan pemikiran. 

Aku juga mengatakan, saat ini perkataan Papah soal sudut pandangku yang berbeda dari orang kebanyakan itu, sudah terbukti. Di saat aku terkesan naif, itu hanyalah disebabkan oleh perbedaan sudut pandang saja sehingga malah menjadi sulit memahami sikap orang yang tidak sama sepertiku. Meski Papah sudah tak lagi di dunia fana ini, kuhibur beliau agar tidak tersinggung dan kecewa lagi denganku lewat surat itu. Tentunya beliau juga akan lega ternyata analisis beliau tentang diriku adalah benar. 

Meski si kerabat sudah "menghiburku" dengan fakta-fakta yang tidak buruk tentang perkataanku yang masih menghantuiku itu, perasaanku yang nyesek itu belum dapat hilang. Lalu aku mencoba konsultasi ke psikolog soal lamanya kesedihanku itu yang tidak wajar lagi - sampai memakan waktu lebih dari tigabelas tahun! Psikolog aku sudah membaca banyak buku harianku, sehingga beliau sudah mengetahui aku telah ribuan kali mencurahkan isi hatiku akan insiden itu, yang belum kunjung mereda. Akhirnya, beliau memintaku untuk menuliskannya secara langsung kepada almarhum Papah, bukan lagi hanya menceritakannya dalam jurnal atau buku harian seperti yang sebelumnya kulakukan. 

Friday, February 25, 2022

"Kabita" Ingin Menggunakan Bingkai Foto yang Sama atau Mirip

Lantaran kecemburuan aneh itu, aku sampai "kabita" alias ingin, untuk meniru pigura foto milik Vanessa anaknya Heinz Doofenshmirtz! Di pasaran tapinya tidak ada pigura dengan gambar siput, tengkorak, kelelawar, dan ular! Tenanglah wahai diriku, segala sesuatunya masih bisa kita akali. Kita beli dulu pigura hitam polosnya, lalu kita buat stiker hewan" tersebut lalu tempelkan saja di piguranya.

Tidak sulit, bukan? 

Eh, tetapi mengapa sih ingin punya pigura yang sama seperti punyanya Vanessa? 

Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...