Februari 2022
Surat ini kutulis pada tanggal 8 Februari lalu, tepat sepuluh hari yang lalu. Sebenarnya, psikolog langgananku sudah memberiku tugas menulis surat ini sejak bulan Desember 2021 lalu, hanya saja baru sempat kutulis pada hari itu. Aku sempat dilanda kebingungan untuk merangkai kata yang akan kutuangkan ke dalam surat tersebut, karena seluruh isi hatiku harus tercurahkan di dalamnya. Pada bulan Januari lalu tahun ini, aku sibuk bekerja dan bulan ini aku dilanda sakit flu dan batuk, sehingga aku berhenti bekerja dahulu agar memastikan tidak tertular virus varian terbaru.
Apa saja yang dimaksud dengan "hal inti" di balik kesalahan yang pernah kuperbuat itu? Yakni adalah perasaanku yang timbul sebelum mengajukan pertanyaan yang bagi orang pada umumnya dianggap tidak etis itu, motivasiku untuk menanyakan hal itu, dan juga pemahamanku yang saat itu masih kurang sehingga belum menyadari bahwa pertanyaan seperti itu adalah tidak dapat diterima. Selama Papah masih hidup, aku tidak pernah benar-benar berani untuk mengatakan semua itu, hingga beliau akhirnya wafat pada tahun keempat setelah insiden itu, pada tahun 2012 lalu. Pernah pada suatu hari aku membicarakan hal ini kepada beliau, itu pun kulakukan karena sangat terpaksa, tetapi ending-nya sangat menyedihkan dan malah membuatku menyesal sedalam-dalamnya karena telah membahasnya (ini sudah kuceritakan, ya, di catatan-catatan sebelumnya).
Pada suatu pagi, Papah memergoki aku menangis tanpa suara. Tanpa sungai air mata yang berlinang di kedua pipiku. Hanya bulu mata yang mengkilap karena terbasahi oleh air mata. Wajar saja jika beliau penasaran dengan sebab di balik basahnya kedua mataku, kujawab saja apa yang membuatku menangis karena kesedihanku akan insiden itu tidak kunjung hilang meski sudah lama.
Biasanya, kesedihan akibat dimarahi oleh Papa dapat terobati dengan cepat hanya dengan membaca buku, menonton televisi, atau bepergian. Apapun caranya, semua penghiburan selalu berhasil. Namun, kasus ini sangatlah berbeda. Kesedihan, penyesalan, dan rasa malu untuk kasus insiden ini ternyata jauh lebih rumit untuk diobati daripada yang aku duga!
Beliau tentu saja kaget, karena aku masih menyedihkan sebuah kejadian, yang saat itu sudah (atau "masih", jika dibandingkan dengan keadaan sekarang) dua bulan sejak waktu itu terjadi. Merasa sedih akibat dimarahi memang perasaan yang valid, tetapi bagaimana kalau kejadian dimarahinnya itu sudah lewat dua bulan yang lalu? Pada saat itu saja kesedihanku sudah dianggap terlalu lama, apalagi pada tahun ini yang sudah melebihi sepuluh tahun sejak peristiwa itu? Perasaanku yang bermuram durja ini bukanlah disebabkan oleh hatiku yang sakit kepada beliau, melainkan kaget yang sehebat-hebatnya karena dengan pemahamanku yang minim ini, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pertanyaan seperti itu akan menjadi perkataan yang buruk bahkan menyinggung.
Awalnya saja aku sedih akibat dimarahi Papah, tetapi seiring dengan bertambahnya usia dan ilmuku, penyebab rasa sedih itu berubah. Dengan semakin menyadari di mana letak kesalahanku pada insiden tersebut, rasa sedih itu menjadi lebih ke arah menyesali diri. Semakin aku memahami mengapa Papah marah dengan pertanyaan itu, semakin juga kusadari bahwa pertanyaanku waktu itu bukannya konyol saja, tetapi dapat melukai tanpa kusengaja. Ibarat kusentuh sebuah senjata yang tidak banyak diketahui umum dan akupun baru melihatnya pertama kali, lalu senjata tersebut malah kuarahkan kepada seseorang yang kusayangi tanpa mengetahui dampak dari benda yang kugunakan itu.
Aku tenggelam dalam penyesalan diri yang semakin mendalam setiap tahunnya, karena pemahamanku yang semakin meningkat akan hal apa saja yang pantas ditanyakan dan yang tidak. Namun, masa lalu tidak dapat kita ubah dan hanya dapat kita ambil pelajaran darinya. Seperti isi buku yang tidak dapat diedit dan hanya dapat dibaca serta diambil pengetahuannya. Lalu, perasaan negatif akibat insiden itu yang berlangsung dalam waktu yang sangat-sangat tidak wajar, hingga tigabelas tahun lebih lamanya sampai tulisan ini diketik, membuatku tetap harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
Terasa sekali dampaknya bagiku setelah menulis surat imajiner untuk Papah untuk menyatakan segala hal yang berkaitan dengan insiden kelinci itu. Begitu selesai kutulis, surat itu wajib kusobek-sobek agar tidak terbaca terutama oleh orang lain lalu kepikiran lagi. Mungkin saja butuh lebih dari satu kali kutuliskan surat seperti itu kepada beliau, karena bisa saja belum seluruhnya kutuangkan di dalamnya. Alhamdulillah, usahaku untuk melenyapkan kesedihan itu sudah mulai membuahkan hasil.