Wednesday, June 16, 2021

Relevansi Kisah Masa Laluku dengan Kehidupanku Zaman Sekarang

Catatan tanggal 24 April 2021

Sejak aku biasa mengulik apa saja yang terjadi setelah insiden kelinci saat kelas V itu, aku menemukan satu sebab mengapa hanya peristiwa itu saja yang memberi dampak begitu besar dan terus menetap dalam memoriku. Untuk kasus ini, aku jarang berterus terang menceritakan kisah itu dan tidak segera mencari pemecahannya, malah terus kututupi. Padahal sebelumnya sering juga Papah memarahi anak perempuannya satu-satunya ini, tetapi biasanya kesedihan akibat hal itu cepat hilang. Misalnya, ketika ayahku marah kepadaku karena aku berkata kasar, keesokan harinya mood sudah kembali ceria dan segera lupa akan kesedihanku. 

Namun, kasus insiden kelinci ini sangat berbeda, karena rasa sedihnya berlangsung sampai lebih dari satu tahun sejak kejadiannya! Biasanya jika aku sedang sedih setelah dibentak Papah, aku langsung cerita kepada Mamah atau siapapun yang berada di dekatku. Kalau untuk kasus ini sikapku tidak demikian, Mamah malah baru mengetahui kisah ini setelah setahun kejadiannya, yaitu pada saat aku sudah duduk di kelas VI. Rasa insecure takut ditertawakan menghalangiku untuk curhat secara terbuka akan hal ini, karena kesalahanku dalam kasus ini sungguhlah aneh, menanyakan sebabnya orang tidak sedih akan kematiannya hewan dan berbeda dengan jika sesama manusia yang meninggal, terutama anggota keluarga.

Mengapa Insiden Kelinci Begitu Membekas?

Karena jarang berterus terang kuceritakan, jelaslah problemnya sulit terselesaikan dengan tuntas. Pada saat jam pelajaran Keputrian pada Jumat antara pekan kedua atau ketiga Ramadhan tahun 2008, ketika teman-teman lelaki di sekolahku sedang salat Jumat, pernah aku terpergok sedang menangisi insiden itu oleh temanku jaman SD. 

Saat Heidi temanku dari kelas sebelah yaitu 5B (aku anak kelas 5A) bertanya, "Hanna, kenapa kamu?" aku tidak sepenuhnya berkata yang sebenarnya.

Jawabanku adalah "Kelinciku mati" padahal bukan itu alasan utamanya, apalagi saat itu masih bulan puasa, semua orang tahu bahwa berbohong di saat menjalankan ibadah puasa itu dilarang secara lebih keras daripada bulan biasa. 

Tahu kan kalau teman yang berkomentar itu kemungkinan besar (kata "pasti" di sini kuhindari, karena selalu ada kemungkinan yang lain) mulutnya tajam, apalagi waktu itu kami hanyalah anak kelas V SD yang masih labil? Padahal belum tentu begitu juga seandainya saat itu kukatakan dengan sesuai kenyataannya. Bisa jadi teman-temanku yang mengikuti Keputrian bersamaku itu malah menghiburku. Ah, perasaan insecure ini terlalu kuat. 

"Saat aku masih kecil dulu, aku juga pernah bertanya 'mengapa Papa tidak pernah bosan dengan Mama, sedangkan aku kadang bosan bersama teman' kepada Eyang Kakung. Seharusnya dahulu kamu menanyakannya kepada beliau," kenang seorang kerabat. Eyang Kakung adalah ayahnya Mama dan kerabatku itu, seperti yang sudah sering aku jelaskan. 

"Tetapi pertanyaannya yang kuajukan itu berbeda konteksnya. Aku membandingkan meninggalnya adik kandungku sendiri dengan hewan peliharaan yang masih dapat dibeli lagi yang baru!" seruku masih dengan muram.

"Sebenarnya konteksnya justru sama. Menanyakan sebab dari perbedaan perasaan manusia pada dua kejadian yang serupa tetapi dengan situasi-kondisi yang berbeda," jelas beliau. 

Kesulitan Berbagi Cerita: Pelajaran dari Masa Lalu

Padahal aku sebenarnya dahulu memiliki cukup banyak waktu dari sejak insiden itu yang terjadi pada 1 September 2008 hingga wafatnya Eyang Kakung pada 29 Januari 2010 lalu. Mengapa aku bisa tidak sempat untuk mencurahkan pengalamanku yang kurasa menyedihkan ini kepada kakekku yang dikenal sebagai pendengar yang baik tersebut? Aku terlalu malu dan takut untuk disalahkan—meski yang kulakukan itu memang tidak dapat diterima (mayoritas) masyarakat—dan itu malah akan membuat keadaan emosiku semakin buruk! Bahkan aku sampai detik ini belum berani bercerita kepada Nenek, ibunya Papah karena jika aku curhat kepada beliau, khawatir tanggapannya akan sama marahnya seperti ayahku yang merupakan anaknya, wah sudah hampir 13 tahun beliau belum mengetahui kisah ini.

Untung saja Nenek masih hidup hingga kini ketika catatan ini kutulis. Kuharap beliau sehat terus dan jika kucurahkan pengalamanku ini tidak membuatnya jatuh sakit. Kalaupun tidak sampai sakit, semoga beliau tidak sakit hati karenanya.
 
Pentingnya Keterbukaan dalam Mengatasi Masalah

Ternyata sifatku yang sulit berterus-terang membicarakan masalahku ini masih berlanjut hingga kini aku duduk di bangku perkuliahan! Masih berlanjut sampai sekarang, di tahun 2021 ini! Hal ini bahkan sampai memengaruhi tugas kampusku, jika mengalami kesulitan ketika mengerjakannya, aku malah berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bukannya meminta bantuan kepada orang sekitarku, misalkan Mamah. Padahal tidak jarang ibuku itu dapat memecahkan kesulitanku dengan jitu, seperti yang sudah sering terbukti.

Dengan mempelajari kilas balik masa pra-remajaku, akhirnya aku menemukan bahwa sifatku inilah yang sering menyeretku kepada masalah tidak berkesudahan. 

Segini saja dulu ya catatan hari ini.

Tuesday, June 15, 2021

Kok, Masih Ganjal, Ya?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Masih dalam seri "Jurnal Ramadhan" ya. Setelah blog ini hiatus selama dua bulan, sekarang waktunya menjadi produktif, caranya dengan update setiap harinya!

Catatan 23 April 2021

Jurnal Ramadhanku ini kebanyakan berupa flashback ke bulan puasa di masa lalu, terutama momen bulan puasa ketika aku kelas V. Saat itu merupakan momen yang benar-benar mengubah diriku. Pandangan hidupku berubah drastis. Bisa jadi bagi orang lain tidak ada perubahan yang jelas dalam sikapku, meski begitu, aku sangat merasakan betapa berbedanya suasana hatiku dan cara berpikirku setelah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah yang bertepatan dengan bulan dengan urutan yang sama pada kalender Masehi khusus tahun 2008 itu. 

Ramadhan adalah bulan kesembilan pada kalender Hijriyah. September menempati urutan yang sama pada kalender Masehi. Apalagi tanggal dimulainya kedua bulan tersebut juga bersamaan untuk tahun akhir dekade 2000-an itu. Tanggal 1 Ramadhan 1429 H bertepatan dengan tanggal 1 September 2008 M, sungguh fenomena yang unik sekali, bukan?

Itulah salah satu hal yang menjadi sebab "insiden kelinci" sulit sekali kulupakan, karena terjadi pada fenomena waktu yang tidak biasa. Bukan karena dendam kepada Papa atau apapun. Sekali lagi, bukan kemarahan beliaunya yang di-highlight. Jika sedang kubahas insiden itu, lebih dimaksudkan untuk mengupas tuntas apapun pengaruhnya dalam hidupku.

Lalu, bagaimana dengan Ramadhan di tahun 2021 ini, di tahun kedua pandemi covid-19? Alhamdulillah, rasanya sangat bersyukur dengan dibukanya kembali masjid untuk tarawihan berjamaah. Aku  tidak lagi terlalu merendahkan diriku akibat insiden kelinci itu seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya, sudah pernah aku disemangati ketika "insiden kelinci" telah berlalu satu bulan lebih, oleh seorang ART yang ikut menemani perjalanan keluargaku halal bihalal ke Lembah Bougenville Resort, Lembang.

Acara kumpul keluarga besar ini diadakan pada tanggal 12 Oktober 2008, sebelas hari dari tanggal Idul Fitri 1 Syawal yang jatuh pada tanggal 1 Oktobernya. Saat itu aku, adikku Irsyad, dan keluargaku yang lainnya kecuali Mama, Papa, serta adikku Fariz yang baru berumur dua tahun kurang, sedang fish dip di kolam berisi ikan koi besar-besar. Lupa lagi apa hal yang memicu percakapan antara aku dengan Mbak Yanti, satu dari dua ART yang diajak ikut menemani rombongan kami. Sedangkan saudaranya, Mbak Kokom sedang menjaga Irsyad yang baru saja milad kedelapan. 

Entah momen apa saat itu yang menyebabkan aku curhat di tengah kegiatan fish dip yang ramai itu, aku lupa. Begitu terbersit keinginan untuk menceritakan kegalauanku akan insiden satu bulan sebelumnya, langsung saja kutumpahkan pada Mbak Yanti. Aneh sekali rasa sedih akibat dimarahi Papa dapat bertahan hingga satu bulan,  oleh karena itu kusadari telah terjadi sesuatu yang salah, sehingga membuatku harus segera mencari pertolongan. Kegalauanku adalah karena aku merasa diriku ini begitu bodoh, tanpa buang waktu lagi langsung saja kuceritakan pada Mbak Yanti yang pada saat itu masih berusia muda, bahkan pada tahun itu mungkin masih remaja!

Hehehe, jangan bayangkan ART yang seperti emak-emak ya. Keduanya masih berusia sekitar 15 hingga 20 tahunan saat itu. Rasanya sudah bagaikan sobat karib saja mereka bagiku.

"Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak orang yang menganggap kita lebih berilmu dan ingin sama pandainya dengan kita," hibur Mbak Yanti di tengah gemericik air kolam, seruan orang-orang yang geli kakinya digigiti ikan koi, dan gerakan gerombolan ikan-ikan berukuran besar tersebut.

Redaksi yang sebenarnya itu agak berbeda, karena akan berbeda konotasinya jika diubah ke dalam bahasa tulisan. Karena di real life-nya beliau mengatakan, "Jangan pernah merasa bodoh, karena bisa jadi banyak yang lebih bodoh daripada kita". Jika dalam bahasa lisan atau omongan langsung, kata-kata tersebut tidaklah terlalu terasa kasar. Lain halnya jika kuubah menjadi bahasa tulisan, rasanya akan lebih terkesan kurang sopan dan merendahkan, oleh karena itu dalam catatan ini aku mengganti beberapa kata dalam ucapannya. 

Selanjutnya aku bersama adikku yang besar dan sepupuku Mayang serta dua tetanggaku Andika dan Icha melanjutkan bermain aneka permainan seperti ayunan, perosotan, dan sebagainya. Meskipun sudah dimotivasi barusan oleh Mbak Yanti, aku belum sepenuhnya merasa lega. Rasanya masih ada yang mengganjal, karena aku tidak menceritakan secara detail mengapa perasaan rendah diri tadi itu bisa muncul. Bahkan kisah insiden  kelinci itu sama sekali tidak kusebut, karena terlalu takut untuk ditertawakan, saking absurdnya kisah itu. 

Keberanianku untuk menceritakan insiden itu belum ada, aku terlalu malu. Belum pernah kutemukan orang lain berbuat kesalahan yang sama denganku waktu insiden itu terjadi. Belum pernah kudengar orang lain melontarkan pertanyaan yang sama, bahkan sekadar sama kadar keanehannya juga belum kutemukan. Bahkan belum pernah juga menemukan kasus orang lain yang membandingkan kematian hewan dan manusia!

Pada saat insiden itu terjadi, Mbak Yanti dan Mbak Kokom belum bekerja di rumahku. Sebenarnya, rumahnya Eyang Kakung dan Eyang Putri, orangtuanya Mama, karena kami tinggal di rumah mereka. Umurku baru menginjak sebelas tahun selama sembilan hari ketika halal bihalal itu diadakan. Tidak terbayangkan ada gadis kecil berumur sama sudah memikirkan topik seberat dan seaneh itu. 

Ketika sedang makan bareng di shelter, aku melihat Mayang sepupuku sedang minum. Kelihatannya menggiurkan, karena minumannya berwarna pink cerah tetapi tidak mencolok seperti merahnya Fanta.

"Lagi minum apa itu?" tanyaku.

"Yahat," jawab Mayang di tengah aktivitas minumnya.

"Yahat? Apa itu?" 

Apakah itu merek minuman baru? Tahun segitu sedang marak-maraknya produk minuman dengan bertambahnya banyak merek baru.

Mayang mencopot gelas itu dari mulutnya, pertanda minumannya telah habis. 

"Yoghurt," jelasnya.

Hohoho, ternyata hanya yoghurt. Jelas bukan hal yang aneh. Aku hanya tertawa dan segera mengambil minuman yang sama. Setelah disemangati oleh Mbak Yanti tadi, aku kembali berwajah ceria bersama keluargaku. 

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, bus yang membawa rombonganku semakin kosong, karena satu persatu penumpangnya turun. Saudara kami banyak yang pulang duluan ketika melewati rumahnya, jadi tidak menunggu bus berhenti di titik kumpul yang sama dengan ketika berangkat tadi pagi. Alhasil kendaraan besar beroda empat itu semakin terasa lengang dan sepi seiring turunnya matahari. Rupanya di saat hari mulai menggelap memasuki waktu Magrib, wajahku yang tadinya sudah cerah malah berubah mendung kembali.

Tangisanku akan insiden kelinci tersebut rupanya masih mengalir. O-ow, kukira dukungan dari Mbak Yanti tadi sudah cukup untuk menenangkanku. Sepulang dari lokasi acara kami, mataku mengalirkan air tanpa diikuti suara. Kupastikan tidak seorangpun yang melihatku menangis, karena untuk menjelaskan sebabnya tentu akan membuatku sangat kebingungan, apalagi ini momen sehabis acara keluarga.

Tuh, kan, ujung-ujungnya aku flashback lagi! Bagaimana dengan keseharianku di tahun puasa dengan protokol kesehatan ini? Sejauh ini belum ada pengalaman yang luar biasa selain merasakan salat tarawih dengan saf berjarak demi mencegah penularan virus Corona. Kegiatanku hanya mengerjakan tugas kuliahku, itupun banyak mulurnya. 

Eh, kalau pengalaman luar biasa sih ada, jika dibandingkan dengan bulan Ramadhan tahun pertama di dekade 2020. Keberanianku untuk menceritakan masalahku sudah jauh lebih meningkat, sehingga lebih cepat juga aku terangkat dari masalah. Hikmah yang kudapat dari perjalanan halal bihalal 2008 ke Lembah Bougenville Resort ini adalah jika kita berani berterus terang menceritakan problem kita, akan lebih mudah untuk dipecahkan problemnya, selain hikmah dari perkataan Mbak Yanti tadi. Kesedihanku akan insiden itu tetap bercokol dalam benakku sama sekali bukan salahnya beliau, melainkan karena aku selalu menutupi permasalahanku ini, tidak pernah bercerita sejujur-jujurnya.

Huuufft, lumayan panjang juga ya kisah ini? Sudah berapa hari ya aku menulis postingan yang panjang seperti ini? Ya sudah, catatan ini sampai di sini saja. Kuakhiri dengan napas lega.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.






Monday, June 14, 2021

Kuda dan Kelinci

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rasanya tahun kelimaku di Sekolah Dasar adalah salah satu tahun yang paling sering terdapat memori banyak rasa. Maksud dari "banyak rasa" di sini adalah memang banyak pengalaman yang nyeleneh, menggemparkan, lucu, seru, dan memberi kenangan menyenangkan meski saat itu aku belum tertarik dengan cowok sungguhan dan lebih memilih cowok 2 dimensi alias tidak nyata.

Saking minimnya pengalaman berkesan di jaman pandemi ini, aku sampai keseringan menengok kembali berbagai peristiwa yang terjadi pada masa aku ketika kelas V. Aku jadi macam Dr. Doofenshmirtz saja yang punya banyak cerita latar belakangnya atau bahasa kerennya "flashback". Masih edisi Jurnal Ramadhan nih. Berhubung saat ketiadaan mood aku untuk mengisi blog ini ketika bulan suci tersebut masih berlangsung, catatan yang waktu itu kutulis di buku kuketik ulang di sini menjadi postingan blog.

Catatan tanggal 22 April 2021

Bulan Ramadhan untuk tahun 2021 ini jatuh mulai pada tanggal 13 April lalu. Hari ini adalah hari kesepuluh dari bulan suci tersebut. Karena kebiasaanku bernostalgia, apalagi hari ini masih juga harus "di rumah aja" jadinya gabut luar biasa deh ingatanku mendadak kembali ke 12 tahun yang lalu pada bulan yang sama. Tepatnya pada April 2009, aku lupa persisnya tanggal berapa, aku mengikuti sebuah field trip bersama sekolahku ke sebuah kavaleri (markas pasukan berkuda) di Lembang, saat aku masih kelas V. 

Perjalanan itu terjadi kira-kira minggu kedua bulan April pada tahun tersebut. Diperkirakan "insiden kelinci" tersebut sudah berlalu tujuh bulan sebelumnya, karena terjadi pada tanggal yang mudah diingat, yakni hari pertama puasa tahun 2008 yang jatuh pada tanggal 1 September. Di kavaleri tersebut, semua murid dari sekolah kami berkumpul untuk menonton sebuah pertunjukan atraksi kuda di tengah sebuah lapangan. Kami semua yang berjumlah 400 (empat ratus) orang duduk di kursi mirip teater, hanya saja terletak secara outdoor. Satu atau dua orang anggota kavaleri menunggangi masing-masing satu ekor kuda yang tentunya sudah terlatih untuk unjuk kemampuan hewan tersebut.

Kuda tunggangan anggota kavaleri tersebut diperintahkan oleh penunggangnya dan juga MC untuk melakukan berbagai pertunjukan, seperti melompati palang rintangan, melewati lingkaran (tentu saja tanpa dibakar karena lingakaran tersebut dipegang tangan langsung!), dan sebagainya. Usai atraksi tersebut, sang MC menutupnya dengan sebuah pesan untuk para penonton ciliknya plus para guru. Bagi hampir semua orang di sana, seruan MC tersebut terdengar wajar-wajar saja, sayangnya bagiku lagi-lagi membuatku berpikir secara mendalam dan tentunya berbeda dari orang umum!

"Kalian kalau disuruh orangtua atau guru harus mau nurut ya. Masa kuda aja mau nurut kalian nggak?" seru sang MC lewat megafon yang dipegangnya. 

Memang seruan tersebut bukan berarti apa-apa selain untuk memberi pesan yang baik untuk anak-anak sekolah yang menonton. Kontan semua anak yang mendengarnya tertawa, kecuali aku. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit tertawa di tengah terbahak-bahaknya orang sekitarku! Penyebab bungkamnya kotak tertawaku untuk kasus ini adalah kata-kata MC barusan yang malah dipikirkan terlalu dalam-dalam, selain sifatku yang dikenal sulit untuk ikut merasa lucu akan jokes.

Ohohooo, bukannya aku merasa tersinggung or mengira disamakan dengan kuda tempur, ya! Dengan perkataan tentara yang membawakan acara atraksi itu—sadarlah aku ternyata—tujuh bulan sejak insiden kelinci yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun sebelum field trip tersebut. Diriku masih saja mencari sebab mengapa Papa merasa tersinggung dengan pertanyaan yang beliau rasa aku menyamakan antara adikku yang manusia dengan seekor hewan bernama kelinci. Kukira rasa sedihku akibat insiden tersebut itu sudah hilang, karena biasanya juga kesedihan akibat dimarahi Papa itu cepat menguap. 

Beliau merasa aku menyamakan manusia dengan binatang, tetapi perkataan MC tadi bukankah melakukan hal yang sama? batinku yang masih naif setelah acara atraksi tersebut bubar.

Ternyata sampai lebih dari enam bulan dari kejadiannya, rasa susah hati dan sesal itu masih bertahan. Bukan momen yang jarang juga sih aku dimarahi Papa, tetapi khusus untuk kasus ini dampaknya sungguh besar. 

"Teteh jangan menyalahkan Papa," kata Mama suatu hari ketika aku membicarakan perasaanku yang tidak biasa ini.

"Kamu jangan salahkan Papa kamu," ujar salah satu keponakan dari pihak Eyang Putri dengan maksud senada.

Jujur, dua tahun pertama dari "insiden kelinci" itu mungkin aku memang ada unsur menyalahkan beliau. Namun, semakin bertambahnya usiaku dan seiring berjalannya waktu, bukan lagi kemarahan beliaunya yang diberi highlight. Semakin lama berlalunya peristiwa itu yang tidak menyenangkan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, aku lebih menekankan dampaknya dari insiden itu. Salah satunya, lebih aware akan dampak dari pikiranku yang sering berkelana tak tentu arah, sehingga banyak masalah ditimbulkan dari hal-hal ngelantur yang dihasilkannya. 

Sifat naifku ini memang tidak ketulungan, karena pada saat itu aku belum juga mengerti kesalahanku pada insiden tersebut. Meskipun adikku Irsyad yang berusia tiga tahun di bawahku sudah langsung dapat memahami di mana letak kesalahanku, buatku membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk kupahami, sampai memakan waktu bertahun-tahun setelahnya. Ya, akulah "Sang Pengelana Naif" dari Negeri Halu.

"Pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dengan binatang," kata adik terbesarku itu saat kami berdua sedang dalam perjalanan berangkat sekolah dengan mobil keluarga kami, saat itu aku kelas V dan dia kelas II.

Untung saja saat itu bukan Papa yang menyetir, tetapi sopir. Jika beliau yang membawa mobilnya, pasti beliau akan mendengarkan percakapan kami berdua. Beliau memang biasa menyimak kedua anaknya mengobrol. Khawatir amarahnya beliau akan tersulut, lagi, karena aku mulai membahas insiden yang menyinggung perasaannya itu.

Mendengar jawaban itu, kekagetanku ternyata belum waktunya untuk berakhir. Mengapa dianggap menyamakan? Rasanya segala hal yang berkaitan pada kasus itu berada di luar kendaliku. Sampai benakku juga tidak dapat kukendalikan pada insiden sahur hari pertama itu!

Juga, mengapa membandingkan seperti itu dianggap suatu kesalahan? batinku sebelum naik ke kelas VI. 

"Tetapi, waktu kunjungan ke kavaleri itu kan kata MC kita harus nurut karena kuda aja mau menurut. Bukannya itu juga menyamakan manusia dengan hewan?" tanyaku polos dan naif. Irsyad juga ikut menonton atraksi tersebut, karena kami satu sekolah dan field trip tersebut adalah acara massal untuk seluruh muridnya. 

"Ya itu mah beda atuh, Teh. Yang di kavaleri itu kan niatnya memberi semangat untuk anak-anak yang menonton," jawabnya sabar (?)

Bisa jadi Irsyad lebih cepat sampai pemahamannya bukan hanya karena dia tidak sama naifnya denganku, tetapi karena itu bukan kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pada umumnya memang lebih mudah untuk memahami letak kesalahan orang lain ketimbang kesalahan sendiri. Begitu juga denganku, kalimat tadi bukan untuk menyalahkan atau menyindir adikku. Mendengar jawabannya, mulut ini ber-ooh saja.

Niatku juga sebenarnya bukan untuk menghina adiknya Irsyad yang lebih besar sekaligus kakaknya Fariz itu yang sudah mendahului kami. Saking naifnya, sampai pada saat itu belum tahu bahwa perkataan seperti itu adalah tidak etis dan tidak dapat diterima umum. Hanya sekadar untuk memuaskan kekepoan yang sepintas tampak konyol. Intinya, aku tidak ada niat buruk sama sekali di dalamnya. 

Malahan sampai pada tahun terakhir dekade 2000-an bahkan sampai masuk tahun 2010 (itu tahun aku siap dan sudah masuk SMP, cuy), aku masih belum juga dapat memahami apanya yang menyinggung dari perbandingan seperti yang kutanyakan itu. Sebelumnya, selama sepuluh tahun pertama menjadi penduduk Bumi atau alam dunia, kukira hanya mengejek seseorang dengan sebutan hewan saja yang dianggap tidak sopan karena "menyamakan manusia dengan hewan". Dari field trip ke Kavaleri Lembang ini, dapat kutarik satu pelajaran : tidak semuanya perbandingan atau penyamaan manusia dengan hewan adalah buruk atau menghina. MC tadi itu meminta para penontonnya agar menjadi anak penurut seperti kuda yang tampil pada atraksi outdoor itu, meski ketika pertunjukan berlangsung ada seekor yang tidak mau melompati palang dan malah bergeming di belakang palang. 

Baiklah, kusadari aku sudah terobsesi dengan kisah insiden kelinci ini. Namun, obsesi ini bukan sekadar ngagugulung peristiwa itu saja kalau orang Sunda menyebutnya, karena tidak hanya berhenti di flashback saja. Bagiku kasus unik ini menimbulkan kekepoan yang sangat, karena sifat naif ini menyebabkan minatku untuk mengeksplorasi diriku lebih jauh. Tiada habisnya kasus ini diulik, karena seperti yang sudah sering kubilang, efeknya sungguh tidak seperti peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidupku. 

Untuk memahami bahwa berkata bohong atau mencela orang lain adalah perbuatan salah, itu mudah bagiku. Sangat mudah malah, karena diajarkan di banyak buku budi pekerti. Kalau kasusnya seperti insiden kelinci tadi, siapapun tidak akan menduganya, jadinya tidak akan ditemukan di buku manapun. Terlalu mengejutkan di telinga orang.

Menyamakan fisik manusia dengan binatang itu jelas tidak etis, karena termasuk kategori "body shaming". 

"Tetapi, menyamakan hilangnya kehidupan dari manusia dan hewan, mengapa dianggap tidak etis ?" tanyaku kepada diri ini selama bertahun-tahun. 

Namun, jika kita menyebut bayi atau anak kecil dengan sebutan "kucing" karena gemas, itu tidak pernah dianggap buruk. Wah, topik manusia dan hewan ini sungguh sangat fleksibel, ada kalanya bisa menjadi buruk, netral, bahkan baik atau bahkan dalam kasus tertentu, bisa jadi malah wajib dilakukan, misalnya untuk membandingkan ukuran spesies hewan tertentu dengan tubuh manusia sebagai ilmu pengetahuan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hantu yang Menyesal

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Sudah fix, sharing tentang sulap ala rumahan dari cowok Bogor itu tidak akan kulakukan dulu dalam waktu dekat ini, pasti akan kuceritakan. Demi mempertahankan aktifnya blog ini, aku akan terus menuliskan Jurnal Ramadhan di sini.

Kuharap pembacaku yang setia—saat ini memang belum ada yang setia, maksudnya pembaca blog ini, tapi yakin deh nantinya blog ini akan di-notice banyak orang, aamiin—tidak bosan aku membahas impact dari "insiden kelinci" itu. Bahkan pengaruhnya sampai ke cerita hantu, lho! Ajaib, bukan? Eits, jangan takut dulu kalian kalau belum baca catatanku sampai habis! 

Catatan tanggal 21 April 2021

Pada bulan dan tahun yang sama dengan terjadinya insiden kelinci itu, aku, Papa, dan adikku Irsyad yang sebentar lagi akan berumur delapan tahun melakukan sebuah perjalanan ngabuburit. Pastinya sih perjalanan ini terjadi pada September 2008, masih bulan puasa tetapi lupa minggu yang keberapanya. Saat itu adikku Fariz masih kecil, usianya masih dua tahun kurang. Jadi, dia dijaga oleh Mama di rumah.

Kami bertiga ngabuburit ke toko buku terdekat. Aku membeli sebuah majalah manga kompilasi. Ternyata dalam majalah tersebut terdapat satu rubrik yang membahas tentang hantu-hantu Jepang, wuih syerem ya!? Untuk satu hantu yang bernama Yuurei, alih-alih ketakutan, aku malah trenyuh membaca kisahnya.

Yuurei adalah hantu seorang pelayan wanita yang semasa hidupnya tak sengaja memecahkan satu dari piring-piring koleksi tuannya. Lupa lagi apakah Yuurei ini nasibnya entah dibunuh, sakit parah, atau bunuh diri yang menjadi penyebab kematiannya. Dia yang jelas meninggal dan ruhnya menghantui rumah tuannya setelah sang tuan memarahinya karena pecahnya satu buah piring koleksinya. Setelah menjadi hantu, Yuurei selalu menghitung piring yang tersisa dari koleksi milik mantan tuannya dan dia selalu menangisi satu piring yang kurang, begitu sampai pada hitungan yang terakhir. 

Rasanya jarang sekali aku dapat relate dengan cerita hantu seperti ini. Sama sekali bukannya ketakutan atau ngeri yang kurasakan setelah membaca kisah ini. Kondisi hantu pelayan wanita itu adalah menyesali sedalam-dalamnya perbuatannya pada akhir hidupnya yang dia tidak sengaja lakukan. Sama sepertiku yang belum dapat menghela napas jika teringat omonganku yang tidak kumaksudkan untuk menyakiti hati Papa ketika insiden kelinci itu. Iya, iya, aku sebaiknya memang tidak boleh terus mengasihani diriku, hanya saja cuma legenda Yuurei itu satu-satunya kisah horor yang dapat kuhayati didalamnya sejauh ini.

Eits, ini bukan berarti aku merasa diriku rendah sehingga menyamakan diriku sendiri dengan bekas pelayan keluarga orang, ya! Tanpa Yuurei dikisahkan sebagai pelayan juga aku akan tetap merasa senasib dengannya, karena sama-sama menyesali sedalam-dalamnya atas perbuatannya yang tanpa disengaja. Pemikiranku yang barangkali dirasa ngelantur ini tidak kuceritakan kepada siapapun sebelum catatan harian ini ditulis. Dengan memahami kesedihan di balik kisahnya si hantu pelayan, kusadari bahwa rasa sedihku akibat insiden itu bukanlah kesedihan biasa karena sulit dan lama sekali hilangnya.

"Papa itu masygul (sangat sedih) sebenarnya ketika Teteh (panggilanku di keluarga, karena aku adalah anak tertua) bertanya seperti itu. Beliau merasa kamu tidak empati akan kehilangan Dik Hanif dan memilih menangis karena kelinci peliharaanmu," tutur Mama ketika aku menceritakan insiden kelinci ini setelah setahun lebih dari terjadinya insiden kelinci itu.

Jika saat itu terjadi aku masih duduk di kelas V, berarti aku menceritakan ini kepada Mama ketika sudah menempuh satu tahun selanjutnya, yaitu tahun terakhirku di Sekolah Dasar. Kalau tidak salah, ini adalah pertama kalinya aku curhat tentang hal ini kepada beliau. 

Hati Papa yang hancur karena menyangka aku lebih kehilangan hewan peliharaan dapat dianalogikan dengan pecahnya piring koleksi tuannya Yuurei. Mungkin kurang bagus ya menganalogikan diri dengan cerita yang sebenarnya adalah kisah horor, tetapi aku juga sama-sama menyesali sesuatu dan perasaan itu masih berlanjut hingga kini.

Lalu, bagaimana dengan aktivitas ngabuburit puasa hari ini? Apa boleh buat, bepergian haruslah diminimalisir karena harus menjaga protokol kesehatan. Puasa dan tarawih hari ini insyaallah lancar. 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sunday, June 13, 2021

Mimpi Bertemu Idola di Hari Ketujuh Berpuasa

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rencanaku untuk menulis pengalaman menonton sulap kecil-kecilan saat family gathering di Bogor itu kutunda lagi, meski tidak terpaksa amat. Ya, aku masih akan mengerjakan Jurnal Ramadhan sebagai tugas kepenulisan selama satu bulan. 

Ini adalah catatan yang disalin atau diketik ulang dari buku harianku pada tanggal 20 April 2021 lalu.

Tujuh hari sudah lewat dari tanggal hari pertama bulan puasa untuk tahun 2021 ini. Rencana tersembunyiku pada setiap bulan Ramadhan, untung saja tahun ini tercapai. Well, bukan rencana yang muluk-muluk sih, karena mampu menghadiri tarawihan lebih dari dua kali menurutku sudah lebih dari cukup memuaskan. Aku selalu berjaga-jaga agar jangan sampai sahur pertamaku dibumbui perkataanku yang absurd bahkan sampai tidak beretika, lagi. Syukur Alhamdulillah rencanaku yang satu ini selalu tercapai setiap tahunnya. 

Memang aku belum dapat mengontrol emosiku yang masih sering meledak-ledak. Namun, setidaknya aku tidak lagi mengatakan hal yang kontroversial seperti insiden kelinci itu. Terlalu di luar kewajaran, juga terlalu tidak masuk akal bagi masyarakat umum. Hanya segelintir orang yang dapat memahami isi pikiranku yang biasa berkelana.

Sebenarnya masih banyak perkataanku yang absurd selain "pertanyaan insiden kelinci" itu. Jika ucapan gilaku masih keluar, yakin deh efeknya tidak "sedahsyat" perkataanku pada sahur yang bersejarah bagiku itu! Jurnal Ramadhan hari ini tidak akan terlalu absurd isinya karena aku sudah merasa cukup membahas insiden yang, terus terang saja, membuatku masih menghela napas karena sesal di hati. Isi jurnal ini kebanyakan berupa flashback karena lockdown selama pandemi membuat khayalanku semakin berkelana. 

Catatan ini adalah saatnya aku membahas pengalaman yang wajar. Pengalaman yang biasa terjadi dalam hidup orang. Pengalaman yang tidak terkesan absurd or keluar batas kelaziman. Bahkan, pengalamanku yang sekarang ini sudah sangat sering dijumpai dalam kisah hidup kita, yaitu bertemu dengan idola!

Tadi malam, aku bermimpi hal yang memang sudah klise, tetapi sebenarnya aku jarang sekali mengalami mimpi seperti ini. Aku mimpi ketemu langsung idolaku! Memangnya siapa sih idolaku, selama ini kan aku hanya mengidolakan karakter fiktif seperti Dr. Doofenshmirtz? Eh, kata siapa juga aku tidak pernah mengidolakan sosok yang real atau nyata?

Barangkali baru kualami sekali saja dalam seumur hidupku mimpi seperti ini. Setelah pada hari Minggu kemarin aku melihat instastory Regita Anggia berupa foto masa kecilnya, aku langsung mimpi bertemu dengannya! Tidak hanya ketemu saja, dalam mimpiku ini juga aku berkunjung ke rumahnya dan menemukan banyak majalah tentangnya. Idolaku itu memang kutemukan profilnya lewat Majalah Komik Valens edisi 07 bulan Agustus 2004. 

ss instastory Regita pada tanggal 19 April 2021 lalu

Regita Anggia dulunya adalah model cilik berprestasi yang telah menjuarai banyak lomba fotogenik (bukan fotografi lho). Oleh karena itu, tidak aneh profilnya nongol di rubrik "Prestasi" majalah komik terbitan lokal tersebut. Belum terlalu lama ini, dia juga masih menorehkan prestasi. Pada tahun 2019, dua tahun yang lalu, namanya keluar sebagai peraih gelar Summa cum laude dengan IPK sempurna yakni 4,00 berkat skripsinya yang berkenaan dengan pilpres pada tahun itu. 

Kalau sudah begini, aku merasa sebagai Nobita dan dia adalah Dekisugi.

OOTD doi semasa masih cilik adalah salah satu sumber imajinasi dan inspirasiku dalam menciptakan karakter untuk novel yang sedang kutulis. Tokoh Davina Fenton si tokoh utama novel adalah versi tokoh fiksi dari Regita. Meski begitu, Davina bukan Regita. Davina adalah tokoh fiktif, Regita adalah manusia nyata. 

Setelah memasuki usia remaja, Regita mulai rutin atau istiqamah berhijab. Sedangkan aku berencana Davina tidak akan mengenakan jilbab sampai usia dewasa. Bukan apa-apa, aku hanya ingin menekankan bahwa mereka adalah individu yang berbeda. Kisah hidup Davina bukan biografi Regita. 

Oh, ya, ini adalah catatan untuk tanggal 20 April. Itu adalah hari kelahirannya Rasulullah Muhammad SAW! Umat Islam tentu wajib mengidolakan beliau, karena seluruh amal perbuatannya adalah sebagai teladan kaum muslimin. Sadar deh aku bahwa belum sepenuhnya mengidolakan Rasul kita, karena aku belum pernah ingin bermimpi bertemu dengan beliau.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Bukan Komedi Situasi

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Jangan khawatir, aku masih ingat kok dengan janjiku menulis sulap sederhana yang kusaksikan di Bogor waktu aku beserta rombongan keluarga sedang berkunjung ke rumah saudara kami. Namun, saat ini belum menjadi kesempatanku untuk bercerita pengalamanku yang mantap jiwa itu.

Ngomong-ngomong soal jiwa, perasaan aku masih galau soal kesalahanku pada insiden kelinci tersebut. Di sini aku akan menuliskan kembali catatanku ketika bulan puasa tahun ini. Saat berpuasa rasanya malas mengisi blog. Sekarang waktunya untuk aktif kembali!

Ini adalah salinan dari diary alias "buku harian" yang tidak pernah dan memang tidak bisa juga untuk protes karena aku sering sekali mengisinya dengan kegilaanku. Sama seperti blog ini yang fungsinya juga untuk menampung pikiranku yang nyeleneh. Catatan dari diary yang akan kusalin adalah catatan pada tanggal 19 April 2021 lalu :

Magrib ini ketika aku sedang berbuka puasa bersama dua adikku, televisi kami menanyakan acara sitcom atau komedi situasi jadul berjudul "Friends". Komedi situasi tersebut tentu tidak ketinggalan menjadi hiburannya satu orang kerabatku dan Mama semasa muda mereka. Acara tersebut memang acara yang bertujuan untuk mengundang tawa penonton—namanya juga komedi situasi—sayangnya aku tidak dapat tertawa karenanya dan episode Magrib ini malah membuatku tertegun. Episode in question adalah episode dari season 9, tapi lupa episode berapanya. 

Penggalan dialog dari episode tersebut yang menyebabkan aku terdiam memikirkan hal lain di luar adegan yang kutonton bersama dua adikku, Irsyad dan Fariz itu. Dialog tersebut sebenarnya masih merupakan hal yang lucu, tetapi rasa sesal di hati mencegah tawaku keluar. Dialog yang kumaksud adalah percakapan antara dua tokoh perempuan dari sitcom yang kami tonton itu, Rachel dan Phoebe.

Rachel tidak sengaja menjatuhkan sekotak anak tikus milik Phoebe yang tersimpan di atas meja. 

Aku lupa kata-kata persis dari Phoebe yang meminta temannya itu untuk lebih berhati-hati seperti memperlakukan "para bayi" tersebut sama dengan kehati-hatian Rachel terhadap anaknya sendiri. Anak-anak tikus tersebut memang baru lahir. Jika tidak salah, induk mereka yang merupakan tikus yang menghuni apartemen dibunuh oleh Phoebe dan suaminya, ternyata tikus yang baru mati tersebut baru saja melahirkan, jadi anak-anaknya terpaksa mereka urus! Namanya juga adegan dari acara komedi, kejadian ini tentunya hanya untuk membuat penontonnya minimal menyunggingkan senyum, kalau tidak bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak. 

Percakapan antara dua tokoh tersebut bukannya terasa lucu bagiku, justru malah membuatku berpikir cukup dalam. Kalau sudah begini, tidak akan bisa untuk sekadar tersenyum karena mendengar mereka sekalipun. Lho, kok, bisa gitu? Selain karena aku sulit tertawa jika menonton acara komedi atau humor, khusus percakapan ini malah menyeretku akan sebuah ingatan akan kesalahanku yang sudah lama sekali berlalu.

"Kau membandingkan anakku dengan seekor tikus?" protes Rachel.

"Tujuh ekor tikus," Phoebe mengoreksi, padahal dia sendiri yang gagal paham inti dari perkataan Rachel, temannya, barusan.

Seharusnya sih ya tidak usah dipikirin ya, itu kan cuma lucu-lucuan saja. Kalau orang biasa yang menyimak dialog barusan pastinya akan tergelitik. Namun, aku malah menghela napas dalam, merasa tertohok untuk yang kesekian kalinya karena mengingatkanku dengan kesalahanku yang serupa dengan ucapan Phoebe tadi. Kesalahanku yaitu membandingkan anak manusia dengan hewan, masih "insiden yang itu".

Jika ada yang membaca jurnal Ramadhan karyaku ini mungkin si pembaca akan bosan karena aku terus mengulas insiden yang terjadi pada hari pertama puasa di tahun 2008 itu. Wajar jika mereka bosan, tapinya aku juga tidak bisa memungkiri bahwa pengaruh besar dari insiden yang super nyeleneh dan penuh kontroversi itu. Selama bertahun-tahun dari insiden kelinci itu, aku belajar banyaaaak hal darinya. Dari banyak tontonan (dan selalu tontonan yang berasal dari Negeri Paman Sam atau anime/manga), aku semakin menyadari di mana letak kesalahanku pada insiden kelinci itu. Soal anak adalah hal yang begitu sensitif bagi orangtuanya, apalagi jika disangkutpautkan dengan binatang, itu baru kusadari di umurku ketika menginjak remaja!

Pertanyaan Rachel tadi itu hampir sama dengan tanggapan Papa begitu aku membandingkan kesedihan orang antara adikku yang meninggal dengan ketika kelinciku mati. Karenanya, aku tidak bisa ikut tertawa dengan percakapan pada serial komedi situasi tadi. Jelas, hanya feel-nya yang berbeda. Tidak perlu kujelaskan lagi bahwa Papa juga tidak mungkin sedang berusaha mengundang tawa untuk yang mendengarnya. 

"Jadi, Teteh menganggap bahwa meninggalnya Dik Hanif dengan matinya kelinci itu sama, begitu?" tanya Papa marah.

Jika kuingat perkataan almarhum ayahku ini, rasanya masih saja kaget hingga kini. Sama sekali tidak menyangka pertanyaan konyol (bagi sebagian orang) yang kulontarkan itu akan membuat beliau berpikir seperti itu. Saat itu rasanya mulutku terkunci, tenggorokanku tercekat, sulit sekali untuk berbicara. Aku waktu itu hanya ingin satu jawaban dari beliau atas pertanyaanku, bukannya menyamakan.

Siangnya setelah insiden tersebut, akhirnya aku berterus-terang bahwa saat sahur waktu terjadinya insiden itu adalah karena "keceplosan" saja. Spontan saja pertanyaan itu terucap tanpa berpikir terlalu dalam lagi. Untuk menanyakan sebab meninggalnya manusia dan matinya hewan disikapi secara berbeda, seharusnya kusebutkan saja secara umum, jangan mengaitkannya dengan soal almarhum adikku. Akan tetapi, ingatanku yang me-replay peristiwa tragis yang menimpa adikku juga sama spontannya, tidak ada maksud dan tujuan apapun.

Di antara keluarga dan teman, aku memang dikenal sulit tertawa jika mendengar lelucon, lawakan, atau acara komedi. Bagiku kadang perkataan yang dimaksudkan untuk meledakkan tawa penonton, bisa jadi malah mengingatkanku akan suatu masa lalu yang cukup suram. Pengalamanku yang penuh dengan penyesalan mendalam.

"Ditinggal anak memang merupakan soft spot bagi Papamu, tetapi juga seharusnya blio jangan semarah itu. Kamu juga seharusnya bertanya hal seperti itu kepada Eyang Kakung saja," jelas seorang kerabat yang tadi kusebutkan sebagai sesama penggemar F. R. I. E. N. D. S . 

Kusesali dahulu hubunganku dengan kakekku kurang dekat. Padahal ayahnya Mama itu justru merupakan orang yang paling enak ditanya dan diajak bertukar pikiran. Akan tetapi, 
Allah SWT telah memanggil beliau pada Januari 2010 lalu, bahkan sebelum kepulangannya Papa pada 2012. Bulan Ramadhan tahun 2021 ini sayangnya keluargaku tidak sempat nyekar ke makam Papa, Dik Hanif, dan Eyang Kakung.

Sampai jumpa di Jurnal Ramadhan selanjutnya! Dadah, cacaw!

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Saturday, June 12, 2021

Apa Itu Eksistensial?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Ya, di postingan kemarin aku janji ya mau cerita tentang pertunjukan sulap sederhana yang ditampilkan oleh anak cowok saat rombongan keluarga aku ke Kota Hujan yakni Kota Bogor. Akan tetapi, bukan di postingan yang sekarang ini ya, karena di sini aku mau numpang nulis tugas.

Memang bukan tugas kuliah sih, tapi tetap saja ini tugasku. Tepatnya, ini tugas kepenulisan. Boleh gak sih kalau nyalin yang udah ada di blog? Itu sih ntar dulu saja dipikirkannya, yang terpenting TULIS!

Belum bisa kulupakan rasa bersalahku akan insiden pertanyaanku yang berkenaan dengan matinya kelinci peliharaanku itu. Ada satu kerabat yang menjadi satu-satunya yang bilang, pertanyaanku dalam insiden tersebut adalah "pertanyaan eksistensial". Pada saat aku baru saja resmi menjadi siswi kelas V pada tahun 2008 lalu, pernah nannyeak, bertanya-tanya tentang reaksi orang sekitarku yang beda akan meninggalnya adik kandungku yang kedua dengan matinya kelinciku, yang masih kaget sama kabar kematiannya itu kelinci. Bagi kebanyakan orang, pertanyaan seperti itu pastilah dianggap konyol, karena jelas beda antara kehilangan anggota keluarga dengan kematian hewan peliharaan, nah jadi penasaran "apanya sih yang bikin kedua makhluk itu beda".

Tak disangka-sangka kerabatku itu bukannya terkejut, kalem banget malah, dan bilang pertanyaanku itu untuk orang ber-IQ ketinggian. Katanya, pertanyaan itu termasuk pertanyaan filosofis. Aku jadi penasaran, apa yang dimaksud dengan kata "eksistensial" tadi? Coba Googling, ternyata istilah itu adalah salah satu cabang aliran filsafat.

Hasilnya, eksistensial adalah "pencarian tujuan hidup dalam keadaan absurd". Jika tidak salah, dalam aliran ini suatu keadaan dapat menjadi absurd jika hal-hal yang tadinya tidak berhubungan lalu disandingkan atau dibandingkan, seperti pertanyaanku itu. Meninggalnya Hanif, adikku yang tengah di antara Irsyad, adikku yang besar dan Fariz yang bungsu, adalah kejadian normal meskipun itu menyedihkan. Kelinci peliharaan yang mati juga sangat lumrah terjadi. 

Pertanyaan itu dirasa tidak wajar, konyol, aneh, tidak dapat diterima umum, bahkan dapat menyinggung dan tidak etis karena aku membandingkan kedua kejadian tersebut, yang seharusnya memang terpisah. Dari pengertian mengenai filsafat eksistensialisme tadi, keadaan yang absurd digunakan untuk mencari hakikat hidup. Perbandingan kematian dua makhluk hidup yang berbeda di sini mendorongku untuk mencari hakikat hidup dari manusia dan hewan. Dari sini aku mencari apa saja yang membuat hidup manusia itu berbeda dengan hewan, kupikir hanya dengan "manusia punya akal" doang gak cukup.

Pasti ada alasan lainnya yang bikin kenapa orang cuma sedih untuk sesama manusia! Itulah yang sebenarnya aku pikir sebelum akhirnya nanyain itu ke Papah.

Asli, dah, lewat insiden yang terjadi hampir 13 tahun yang lalu itu aku menjadi lebih mengenali diri sendiri dan ketertarikan untuk membaca juga jauh meningkat. Selama ini, zona nyamanku ketika membaca hanya seputar buku komik, novel, buku agama, dan kumpulan cerpen saja. Jika ada rezekinya, ingin deh kapan-kapan beli satu set ensiklopedia filsafat, karena semakin mengenal diri, semakin mudah untuk percaya diri. Dengan bertanya kepada orang yang tepat, kita akan dibantu untuk melihat potensi diri kita lebih jelas, bukannya dihujat. 

Apabila aku menceritakan kisah insiden pertanyaan kelinci ini, aku cenderung pilih-pilih orang. Saking takutnya orang menertawaiku, bahkan untuk bercerita kepada sahabat tentang ini pun dulu tidak berani. Memang tidak semua orang berakhir dengan menganggapku aneh, tetapi memang jarang orang bisa relate dengan insiden absurd ini. Wajar saja sebagian besar orang tidak mendapatkan feel dari cerita pengalamanku ini, karena perkataanku itu kelewat tidak umum.

"Maaf ya, aku tidak menganggap kamu harus sesedih itu," kata sang kerabat saat aku baru menceritakan insiden tersebut lewat chat WA pada tahun 2020 lalu. 

"Tapi, aku seperti yang menghina adikku yang meninggal di saat bayi bukan karena sakit biasa," kataku masih menyesal.

"Kamu ingin menganggap nyawa semua makhluk hidup adalah egaliter, semua nyawa berharga. Kamu membandingkan dua peristiwa kematian itu karena kamu saat itu ingin tahu alasan orang menyikapi berbeda antara manusia dan hewan. Meninggalnya De Hanif tidak menjadi less worthy di matamu," tutur beliau.

"Harusnya pertanyaan seperti itu dilontarkan oleh anak balita umur lima tahun. Bukan aku yang saat itu sebentar lagi akan berusia sebelas tahun di kelas lima," ketikku masih menyesali.

"Jika dilontarkan oleh orang berusia kurang dari 15 tahun itu tidak mengapa," hiburnya.

Aku bersyukur memiliki kerabat yang berwawasan luas. Perkataan beliau hampir sama dengan tanggapan teman-temanku ketika mengikuti pelatihan crafting pada akhir tahun 2020 lalu.

"Bagimu, semua nyawa itu berharga," jelas mereka saat aku curhat sebelum pelatihan itu dimulai.

Kalau saja kerabatku itu tak hobi baca dan mengakses ilmu pengetahuan, bisa-bisa beliau malah menertawaiku. Apalagi beliau terkenal akan brutal honesty-nya, yakni "kejujuran yang menohok". Meskipun beliau orangnya mudah marah, tetapi beliau lebih terganggu dengan pemikiran mayoritas masyarakat negara kita yang masih kurang cerdas. Maklum, negara kita masih third world country. 

Lalu, jika aku menjadikan segala makhluk hidup adalah sesuatu hal yang penting, mengapa aku malah membandingkan kelinciku yang mati dengan kehilangan satu adikku? 

Anehnya, kesedihanku akibat matinya kelinci ini malah menimbulkan flashback rentetan peristiwa sekitar wafatnya adik lelakiku yang lahir setelah Irsyad dan sebelum Fariz (aku memang tidak pernah punya adik cewek). Sungguh aneh tapi nyata, isi kepalaku seperti mengeluarkan suara "Tuziiiiing" ... dan seketika ingatanku menampilkan ulang kesedihan orang-orang pada peristiwa menyedihkan itu! De Hanif meninggal pada Desember 2006, dua tahun kurang dari pertanyaan itu dilontarkan, kayaknya aku lagi ada guncangan batin.

Rasa kehilanganku yang terkubur selama hampir dua tahun lamanya, terpanggil kembali dengan cara yang sungguh tidak wajar yaitu dengan mendengar matinya hewan yang dibelikan oleh abangnya Papah kami. Mamah menganggapku belum terasah empatinya akan berpulangnya adikku karena aku bertanya seperti itu. Justru rasa kehilanganku akan ditinggal adik itu saking besarnya, sampai terpicu lagi memorinya di saat kematian yang makhluk hidup yang kusayangi, meski itu hewan. Mulailah aku menyadari bahwa reaksi orang terhadap hilangnya nyawa dari manusia dan hewan itu berbeda dan saat itu aku hanya ingin tahu mengapa, itu saja, tanpa niatan buruk. 

Sori kalau gaje dan ambyar kisahku ini. Memang bagi kebanyakan orang rasanya sulit untuk pahami pemikiranku itu. Itulah sebabnya kujuluki diriku "Sang Pengelana Naif". Benakku sering berkelana ke mana-mana, tetapi masih juga pikiranku naif, seperti yang kurang pengalaman. Ya, aku ingat janjiku untuk menceritakan sulapnya cowok Bogor itu, suatu saat nanti pasti kuceritakan di blog ini.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.




Pengaruh Karakter Anime dan Animasi Barat pada Karakter Ciptaanku

Catatan Minggu, 24 November 2024 Karakter dengan kekuatan es selalu menarik perhatianku. Ada sesuatu yang luar biasa tentang bagaimana eleme...