Saturday, July 23, 2022

Kesulitanku Untuk Menerima Diriku Sendiri

Catatan 22 Juli 2022

Papahku almarhum biasa memiliki jawaban yang ilmiah jika aku atau adik-adik bertanya kepada beliau. Pertanyaan seremeh apapun, pastinya dapat beliau jawab dengan logis, selama kami masih cukup umur untuk mencernanya. Misalnya saja ketika aku merasa insecure dengan artstyle karyaku. Aku khawatir rupa orang-orang yang kugambar malah jelek tampilannya, padahal inginnya sih semenawan mungkin.

"Pah, apakah gambaran saya ini orang-orangnya jelek-jelek?" tanyaku ketika kelas VIII SMP.

"Gambar kartun sih bebas, tidak harus selalu good-looking. Lihat saja itu kartun Phineas, memangnya cakep? Tetapi tetap saja banyak orang yang menonton kartun itu, kan?" jawab beliau yang membawakannya dengan canda tawa, tetapi sedapat mungkin isi jawabannya adalah serius. 

Percakapan kami tadi terjadi pada sekitar tahun 2011-2012, ketika Phineas and Ferb sedang nge-hits di televisi nasional. Benar saja kata beliau, acara kartun tersebut masih saja laris manis hingga sepuluh tahun ke depannya. Sampai detik ini saja masih bermunculan bahasan apapun tentang kartun itu. Bahkan, itu adalah kartun dari produksi dan saluran televisi Disney yang paling populer, padahal rupa karakternya saja aneh-aneh, tokoh utamanya berkepala segitiga dan persegi panjang!

Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, adik terbesarku Irsyad pernah bertanya soal acara kegemarannya kepada Papah. 

"Mengapa acara Walking With Dinosaurs tidak banyak merchandise seperti Spongebob atau acara kartun lainnya?" tanyanya. Walking With Dinosaurs adalah sebuah acara dokumenter tentang dinosaurus dalam format CGI.

"Walking With Dinosaurs adalah acara edukasi, tujuan utamanya adalah mendidik penontonnya. Jadi, tidak terlalu bertujuan untuk mendapatkan uang. Sedangkan acara-acara kartun adalah untuk bisnis, sehingga mereka membuat merchandise supaya mereka mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari acara yang mereka buat," terang Papah. 

Jawaban beliau selalu mendalam, itulah yang membuat kami betah bertanya kepada beliau.

Topik yang kubawakan bisa sangat receh, tetapi bisa juga sangat dark, seperti yang pernah kutanyakan pada Nenek, ibunya Papah, soal jenazah manusia dan bangkai hewan. Pada saat aku kelas tiga SD, pernah kutanyakan mengapa kita bersedih ketika kehilangan sesama manusia, tetapi kita lebih mudah untuk melupakan kehilangan barang. Pada hakikatnya, semua itu bukanlah mutlak kepemilikan kita. Akan tetapi, mengapa bisa terjadi perbedaan seperti itu?

"Pada saat kita kehilangan benda, itu dapat dengan mudah tergantikan. Kita hanya menggunakan benda untuk menunjang aktivitas kita. Lain halnya dengan manusia, kita telah menjalin kasih sayang kepada mereka dan tidak akan ada gantinya, sehingga kita akan jauh lebih kehilangan mereka," jawab Papah. 

Apapun jenis pertanyaan yang kulontarkan, bahkan yang orang biasa akan anggap paling konyol sekalipun, beliau selalu mengusahakan untuk menjawabnya. Kecuali, untuk hal-hal yang masih lampu merah untuk kami karena saat itu masih di bawah umur. Kemudian, pada saat aku kelas V, aku heran dengan orang-orang yang berbeda sikap denganku ketika kelinciku mati, hanya ketika wafatnya sesama anggota keluarga saja kami semuanya sedih, aku bertanya sebabnya kepada beliau. Hal itu kutanyakan karena kepada hewan peliharaan pun kita sama seperti kepada sesama manusia, kita telah menyayangi mereka, bukan sekadar sebagai alat penunjang kegiatan kita seperti barang-barang.

Jika hewan yang dipelihara adalah untuk diambil dagingnya seperti sapi, kambing, dan ayam, atau dijadikan kendaraan seperti kuda, barulah mereka hadir seperti alat untuk menunjang kehidupan kita. Untuk hewan peliharaan, itu lain soal, karena kita sudah menyayangi mereka seperti teman atau anggota keluarga saja. Oleh karena itu, dulu malah heran aku, mengapa semua orang di rumahku tidak merasakan apa-apa sepertiku, hanya kehilangan terbatas dengan kepada anggota keluarga saja. Sebagai orang dengan sudut pandang yang berbeda, atau neurodivergent, hal seperti ini menjadi pertanyaan besar bagiku.

Sebelum bertanya secara RL kepada Papah yang kebetulan sedang duduk di dekat aku dan adik-adikku, kubayangkan dahulu jawaban beliau. Dalam bayanganku itu, beliau menjawab, "Kelinci itu kan hewan, tidak punya akal. Sedangkan adiknya Teteh itu manusia." Akan tetapi, jawaban seperti itu dirasa masih kurang tepat. Meski hewan tidak berakal, tapinya kan kita sudah menjalin kasih sayang untuknya seperti kepada sesama manusia, mengapa tetap tidak semua orang sedih karena kelinci itu mati? pikirku semenit sebelum bertanya.

Bagiku, reaksi beliau yang marah dengan pertanyaan pada insiden itu membuatku syok, karena sangat tidak seperti beliau yang biasanya ketika menjawab pertanyaanku pada momen-momen lainnya. Dengan peristiwa seperti ini, aku memikirkan kembali kebiasaanku bertanya kepada beliau. Kupikir kurang tepat jika menanyakan semua hal kepada Papah. Menurut kerabatku, memang sebaiknya hal yang berkenaan dengan anggota keluarga inti itu lebih tepat jika ditanyakan kepada Eyang Kakung, kakek dari Mamah, karena itu topik yang terlalu sensitif jika dibicarakan dengan sesama keluarga inti.

Kesulitanku yang sangat untuk lepas dari rasa sedih akibat insiden kelinci itu sebenarnya adalah penyesalanku yang tiada habis-habisnya. Penyesalan yang timbul antara lain karena aku menanyakan hal sensitif seperti itu kepada orang yang kurang tepat dan juga karena malah timbul pikiran yang absurd sehingga bertanya seperti itu. Untuk pertanyaan semacam itu, rupanya Papah bukan orang yang tepat, berbeda dengan pertanyaanku yang lainnya. Hal ini baru kusadari pada tahun-tahunku sebagai remaja ketika SMA. 

Kalimat yang sering muncul dalam pikiranku ketika sedang flashback insiden itu adalah, "Seharusnya aku membiarkan saja diriku tidak tahu jawabannya dari pertanyaan itu dan kemudian jawaban itu ditemukan oleh diriku sendiri". Dari kalimat tersebut jelas bahwa memang bukan karena aku sakit hati kepada Papah yang membuatku sangat kesulitan melupakan insiden itu. Lebih ke diriku sendiri. Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, aku terus diliputi perasaan malu karena pernah bertanya hal seaneh itu, perasaan rendah diri karena bisa senaif itu sehingga terlambat menyadari bahwa pertanyaan seperti itu adalah tidak etis, dan perasaan bersalah karena telah menyinggung salah satu orang tuaku dengan suatu kepo yang tidak ada obatnya.

Lewat insiden ini, kudapatkan banyak sekali pelajaran. Salah satunya adalah memaafkan diri sendiri itu lebih sulit ketimbang memaafkan orang lain. Tahun demi tahun kuhabiskan untuk menghujat diriku akibat peristiwa itu. Pada kenyataannya, pertanyaan itu tidak seburuk yang selama ini kupikir.

Wednesday, July 20, 2022

Off Dulu dari Medsos, Mau Fokus Bikin Karya!

Catatan 21 Juli 2021

Jaman medsos begonoh sih orang jadi semakin mudah buat pajang karyanya mereka. Nggak kayak jaman old yang harus punya galeri sendiri terus gelar pameran. Banyaknya karya di media sosial emang sering jadi inspirasi buat bikin gambar. Tapi, kalo baca bio di banyak akun Ig punyanya artist, terutama akun yang gede, mereka bahkan banyak yang umurnya lebih muda dari aku!

Aku memang bangga dengan hasil karya mereka yang udah melampaui aku, jauh malahan. Sayangnya, kalo keseringan mantengin akun-akun itu, malah jadi insecure duluan karena skill aku jauh di bawah mereka. Akibatnya, aku malah jadi makin mager buat gambar. Kalau sudah begini, yang ada ntar nyesel karena sebelumnya jarang gambar, cuma ngebiarin ide-ide di kepala bertumpuk.

Jaman dulu sih ide buat gambar dapetnya dari tontonan dan bacaan. Cobain jarang main ig terus banyakin nonton dan baca, terutama untuk hal-hal yang berbau nostalgic. 


Mental Block Berimbas Art Block

Catatan 21 Juli 2022

Banyak orang diserang "mental block" berupa rasa enggan untuk melakukan sesuatu karena dibayangi oleh pengalaman masa lalunya. Kalo flashback yang asyik-asyik sih gak masalah, tapi kalo mengenang pengalaman yang bikin males hidup? Skip aja deh! Tidak kupungkiri, aku juga banyak mental block seperti itu, malahan sampe ngaruh ke ide menggambar segala! 

Gegara saking ketakutannya menggambar yang pakaian terbuka, jadinya ide gambar di kepala aku cuma hadir untuk terlupakan saja. Padahal kan sayang banget kalo jadi gak produktif. Sudah sering sekali ada rasa nyesel jarang gambar. Pengen deh bikin art summary dari setiap bulannya selama satu tahun, sayangnya gak setiap bulannya aku bikin gambar!

Penyebabnya kenapa, coba, jarang gambar? Akibat terlalu takut untuk menuangkan, karena udah kelamaan mikir, "Ini gambar bakalan jadi hal yang salah, dosa, blablabla." Psikolog aku juga udah pernah bilang, malah buat gambar doang aja sih gak masalah. Aku juga mikir-mikir dulu dongs buat bikin karya, gak akan jabanin hal-hal berbau 18 tahun ke atas!

Baru deh akhirnya bisa bikin outfit Bella Hayden itu fix, nggak akan dirombak besar-besaran lagi setelah ini. Padahal udah dari lama si karakter ini dibuatnya. Itu semua gegara kebanyakan mikir, keseringan nunda! Istilahnya udah gak asing lagi, overthinking!

Selalu inget deh waktu SMP ke bawah, kalo aku kedapatan sedang atau sudah menggambar tokoh yang kurang nutupin oratnya pasti aja ortuku marah, terutama almarhum Papah. Anehnya, saat itu malah jadi kecanduan buat gambar kek gitu meski tentunya ada rasa takut ketahuan. Begitu masuk kuliah malah jadi sebaliknya, Mamah (sekarang tinggal ada beliau ortuku) udah jauh lebih santai orangnya tapi malah akunya yang ragu terus buat gambar. Pas udah dikerjakan gambarnya, ternyata hasilnya menyenangkan dan asyik sangad!



Lakukanlah Sesuatu Agar Tidak Overthinking!

Catatan 21 Juli 2022

Sudah mulai diserang kemalasan lagi untuk menulis. Padahal menulis itu salah satu terapi untuk mengatasi overthinking. Bahkan untuk urusan gambar-menggambar saja aku ketiban overthinking! Jadinya sering mulur rencana gambar.

Akhirnya beberapa hari yang lalu terwujud juga rencana gambar menjadi nyata! Sudah diendapkan berapa lama tuh idenya, sampai akaran kali. Sebelum berani untuk merealisasikan ide gambar itu, aku tulis dulu ide yang muncul seperti mau menggambar siapa, pake baju apa, desain pakaiannya bagaimana, dll. Setelah berani menuangkan ide tersebut, rasanya satisfied banget! 

Proses menggambarnya juga satisfying! Seneng banget menggambar desain pakaian yang tadinya cuma berputar-putar gak jelas di dalem kepalaku ini. Bukan cuma prosesnya aja, tapi juga hasilnya yang memuaskan. Karena saking puasnya, sampai-sampai gambarnya pas udah beres itu dibawa-bawa terus sampai tidur!

Ucapan Itu Doa

Catatan 16 Juli 2022

Almarhum Papah selalu melarangku untuk menyebut diri sendiri ini bodoh. Mengapa? Karena ucapan setiap Muslim adalah doa, oleh karena itu kita (aku yakin hal ini tidak hanya berlaku untuk orang Islam saja) harus berkata-kata yang baik, minimal untuk diri sendiri. Bahkan di saat beliau sedang tersinggung dengan perkataanku ketika Insiden Kelinci, beliau masih menyuruhku untuk beristigfar karena aku menyebut diriku sendiri adalah bodoh.

Sebenarnya ada banyak momentum beliau mengingatkanku untuk menjauhi perkataan seperti itu, hanya saja insiden inilah yang paling berbekas. Karena, mood beliau yang sedang tersinggung itu tetap menjagaku agar jangan sampai merendahkan diri sendiri. Bagiku, itu kontras antara perasaan beliau dengan apa yang beliau utarakan kepadaku. Walaupun udah dilarang bilang "bodoh", tetep aja rasanya susah biar nggak ngatain diri sendiri kayak gitu gegara insiden tersebut.

"Teteh ini pinter gak sih?" ujar Papah setelah aku bertanya "kalimat itu" ketika insiden tersebut.

"Pinter," jawabku lirih.

Sebenarnya aku di situ nggak haqqul Yaqin bahwa aku memang demikian, hanya karena masih teringat saja dengan larangan beliau mengatakan hal buruk untuk diri sendiri.

"Naha atuh? (Bahasa Sunda : 'Lantas, mengapa bertanya/berbicara begitu', maksudnya 'mengapa mengeluarkan pertanyaan tadi?')" kejar beliau.

Aku terdiam sejenak sebelum merespon lagi perkataan beliau. Itu untuk merenung kembali. Ragu rasanya tadi untuk mengatakan bahwa aku ini pintar, nilaiku di sekolah saja banyak yang rendah. Lalu ter-trigger untuk 'trabas' larangan Papah yang tadinya kujaga untuk tidak kulanggar itu, karena kurasa itu memang lebih mendekati kenyataannya.

"Saya memang bodoh, Pah," ratapku kemudian. 

"Istighfar, Teh. Ucapan setiap orang Muslim adalah doa." nada bicara Papah mulai melembut. Beliau segera memelukku.

Jaman sekarang orang mudah sekali untuk insecure karena berbagai pencapaian manusia terpampang nyata di media sosial, apalagi untukku yang memang nyaris tidak pernah pede seumur hidupku. Setiap saat perasaan insecure menghampiri, haruslah kuingat percakapanku dengan almarhum Papah itu. Bagaimanapun kondisinya, pantanglah untuk menyebutkan hal-hal negatif untukku sendiri. Karena, biasanya orang yang tidak dapat menghargai orang lain, sebenarnya mereka memandang diri atau self-esteem mereka rendah sekali.

Itu sudah terbukti oleh pengalamanku sendiri. Ketika sedang insecure berkepanjangan akibat Insiden Kelinci tersebut, aku mudah sekali untuk ngomong bahasa kasar atau buruk kepada orang lain di sekitarku. Sebab, pada saat itu perasaanku sedang dilanda kepercayaan diri yang terlalu rendah, sehingga mood hampir selalu buruk. Berawal dari mood yang hancur itu, udah nggak ada lagi kemampuan untuk menyaring ucapan karena pikiran tak lagi bekerja dengan jernih. 

Pada kenyataannya, seperti yang sudah kusebutkan dalam kisah-kisahku yang lainnya, tidak perlu aku terlalu merendahkan diri ini. Dengan tenggelam dalam insecurity, tahun-tahun terakhirku di bangku Sekolah Dasar malah terkunci oleh obsesiku akan Danny Phantom untuk mengusir kesedihanku. Obsesi seperti itu malah menjadi mental block yang menghambat ide-ide baru untuk berkarya. 

"Gambarnya yang lain, dong, jangan Danny Phantom terus! Bosan!" seru teman sekelasku Vita waktu kelas lima. Waktu itu dia lagi lewat meja aku, aku lagi menggambar Danny Phantom di buku corat-coret.

"Aku nggak ada lagi ide lain," keluhku.

"Cari ide lagi dong biar nggak bosan," usul Nabila, teman sekelas yang lagi berdiri sebelah Vita di depan mejaku.

Dengan obsesi yang seperti itu, bukannya menyelesaikan masalah. Justru insecurity aku yang malah bertambah. Skill menggambar tidak begitu berkembang, karena karyaku cuma itu-itu saja, padahal banyak ngeliat kartun/komik lain juga udah. Dalam pelajaran juga, semisal Matematika apalagi Olahraga ketika mukul bola bisbol pake bat juga payah.

Andaikata aku dulu berfokus buat belajar lebih banyak rumus Matematika atau latihan mukul bola bisbol di rumah, pastinya taraf hidupku akan meningkat. Bukannya berkutat di tokoh kartun kalo mau move on dari suatu peristiwa!

Pertanyaanku dalam insiden itu ternyata bukan berasal dari kebodohan, melainkan hanya disebabkan oleh "sebuah perbedaan pola berpikir" saja. Kata adik bungsuku Fariz, istilah Bahasa Inggrisnya adalah "neurodivergent". 

Thursday, July 14, 2022

Proses Menyamakan Sudut Pandangku yang Berbeda dengan yang Umum

Catatan 14 Juli 2022

Sebagai seseorang yang memiliki cara pandang tersendiri yang berbeda dengan orang pada umumnya, untuk beberapa topik tertentu aku butuh waktu untuk memahaminya. Contoh yang paling besar dan paling kontroversial adalah insiden kelinci. Padahal bagi orang lain, topik-topik yang kuanggap sulit itu justru no effort untuk mengerti! Walaupun demikian keadaannya, setidaknya masih ada proses menemukan pemahaman.

Ketika aku masih berusia empat tahun, suatu pagi sebuah bola kaca berisi bunga plastik di kantor Eyang Putri pecah! Pasalnya, seekor kucing terkurung dalam ruangan kantornya nenek dari Mamah dan memecahkan bola kaca tersebut pada tadi malamnya. Bagi orang biasa, jelas tidak sulit untuk memahami mengapa bola kaca tersebut dapat dipecahkan oleh seekor kucing yang terkurung. Saat itu, konsepku malah sangat berbeda dengan yang seharusnya, sehingga malah bingung dengan keterangan seperti itu.

"Mengapa kucing dapat terkurung dan memecahkan bola kaca?" itu pertanyaan yang timbul dalam kepalaku saat umurku masih dalam kategori balita itu.

Dalam pikiranku, entah mengapa malah tercerna menjadi sangat aneh seperti ini : seekor kucing terkurung dalam bola kaca yang berisi bunga plastik, sehingga dia membebaskan dirinya dari bola kaca tersebut, sehingga bola itu pecah bersamaan dengan keluarnya kucing tersebut darinya. Seekor kucing tidak mungkin dapat masuk ke dalam bola kaca yang ukurannya kecil dan juga benda itu tidak memiliki lubang untuk dimasuki oleh hewan apapun selain semut, karena bagian bawah bola kaca itu adalah mesin untuk memutarkan musik! Makanya aku ketika itu malah bingung, bagaimana hewan yang biasa lewat di sekitar kita itu dapat masuk ke dalam bola kaca yang tidak memiliki akses untuk dimasuki hewan mamalia? Kira-kira sepuluh tahun kemudian, barulah aku dapat memahami konsep yang sesungguhnya : kucing tersebut terkunci di dalam ruangan kantornya Eyang Putri, karena dia panik jadinya dia berlarian di dalamnya dan menyenggol bola kaca itu hingga jatuh dan pecah. 

Dengan keadaan mentalitas seperti ini, tidak jarang aku merasakan insecure. Untuk mengatasi perasaan tersebut, aku mestilah merasa bangga dengan prosesku memahami banyak hal. Selama tiga tahun pertama setelah insiden kelinci, hanya bagiku lumayan sulit untuk memahami sebab Papah yang tersinggung, karena bagiku sendiri hal seperti itu tidaklah berdampak demikian. Meski dibilang terlambat, akhirnya aku mengerti juga sudut pandang orang lain (dalam kasus ini, Papah) akan insiden tersebut. 

Perasaan rendah diri dan anggapan miring dari banyak orang yang merendahkanku, kuakui cukup membuatku sedih, tetapi aku harus yakin keadaanku yang seperti ini suatu saat akan dapat berdampak positif. 

Tuesday, July 12, 2022

Melatih Otak Berpikir dengan Terarah? Membacalah! Mengurangi Berpikir Terlalu Banyak? Menulislah!

Catatan 12 Juli 2022

Sejak Idul Adha kemarin, aku mulai malas lagi untuk menulis. Mungkin karena sudah tidak ada lagi ide yang akan dituliskan. Padahal kata psikolog aku menulis itu sangat penting bagiku karena kegiatan itu adalah bentuk terapiku agar tidak terus menerus diliputi dengan overthinking. Hampir selalu kemarahan dalam diriku ini penyebabnya adalah overthinking itu.

Oleh karena itu, jangan sampai kasih kendor buat menulis! Selain menulis, membaca juga penting, karena jadi banyak bahan untuk menulis. Kemarin aku VC-an dengan dua teman cewek waktu SMA, kata salah satunya dari mereka, salah satu cara untuk mengikis overthinking adalah membaca novel. Wajib bacanya berupa novel, bukan komik, supaya otak lebih terasah untuk berimajinasi, karena cerita dalam komik sudah disajikan dalam bentuk gambar sehingga otak tidak terlalu dilatih bekerja untuk berpikir dengan terarah.

Aha, aku jadi punya ide nih untuk memperbanyak menulis! Bagaimana dengan menulis resensi buku + dikaitkan dengan pengalaman pribadi tentang isi buku itu? Dengan mengaitkannya dengan pengalaman kita sendiri, hasilnya resensi kita akan lebih orisinal karena pengalaman setiap orang itu pastinya berbeda-beda. Berhubung koleksi novelku masih sedikit, jadinya sebagai permulaan tulis dulu referensi dari buku apa saja yang paling relatable dalam hidupku.

Untuk awalnya, mohon maaf jika aku masih saja akan menulis tentang insiden kelinci itu untuk artikel ke depannya. Karena impact-nya dalam hidupku juga nggak bisa dianggap kecil, banyak pemikiranku yang terbuka lebar akibat peristiwa itu tadi. Bahkan untuk resensi beberapa buku juga mungkin insiden itu masih akan di-mention olehku. Sebab, beberapa buku yang masuk dalam koleksiku memang ada saja yang membuatku teringat kembali dengan kisah nyataku itu.


Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...