Papahku almarhum biasa memiliki jawaban yang ilmiah jika aku atau adik-adik bertanya kepada beliau. Pertanyaan seremeh apapun, pastinya dapat beliau jawab dengan logis, selama kami masih cukup umur untuk mencernanya. Misalnya saja ketika aku merasa insecure dengan artstyle karyaku. Aku khawatir rupa orang-orang yang kugambar malah jelek tampilannya, padahal inginnya sih semenawan mungkin.
"Pah, apakah gambaran saya ini orang-orangnya jelek-jelek?" tanyaku ketika kelas VIII SMP.
"Gambar kartun sih bebas, tidak harus selalu good-looking. Lihat saja itu kartun Phineas, memangnya cakep? Tetapi tetap saja banyak orang yang menonton kartun itu, kan?" jawab beliau yang membawakannya dengan canda tawa, tetapi sedapat mungkin isi jawabannya adalah serius.
Percakapan kami tadi terjadi pada sekitar tahun 2011-2012, ketika Phineas and Ferb sedang nge-hits di televisi nasional. Benar saja kata beliau, acara kartun tersebut masih saja laris manis hingga sepuluh tahun ke depannya. Sampai detik ini saja masih bermunculan bahasan apapun tentang kartun itu. Bahkan, itu adalah kartun dari produksi dan saluran televisi Disney yang paling populer, padahal rupa karakternya saja aneh-aneh, tokoh utamanya berkepala segitiga dan persegi panjang!
Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, adik terbesarku Irsyad pernah bertanya soal acara kegemarannya kepada Papah.
"Mengapa acara Walking With Dinosaurs tidak banyak merchandise seperti Spongebob atau acara kartun lainnya?" tanyanya. Walking With Dinosaurs adalah sebuah acara dokumenter tentang dinosaurus dalam format CGI.
"Walking With Dinosaurs adalah acara edukasi, tujuan utamanya adalah mendidik penontonnya. Jadi, tidak terlalu bertujuan untuk mendapatkan uang. Sedangkan acara-acara kartun adalah untuk bisnis, sehingga mereka membuat merchandise supaya mereka mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari acara yang mereka buat," terang Papah.
Jawaban beliau selalu mendalam, itulah yang membuat kami betah bertanya kepada beliau.
Topik yang kubawakan bisa sangat receh, tetapi bisa juga sangat dark, seperti yang pernah kutanyakan pada Nenek, ibunya Papah, soal jenazah manusia dan bangkai hewan. Pada saat aku kelas tiga SD, pernah kutanyakan mengapa kita bersedih ketika kehilangan sesama manusia, tetapi kita lebih mudah untuk melupakan kehilangan barang. Pada hakikatnya, semua itu bukanlah mutlak kepemilikan kita. Akan tetapi, mengapa bisa terjadi perbedaan seperti itu?
"Pada saat kita kehilangan benda, itu dapat dengan mudah tergantikan. Kita hanya menggunakan benda untuk menunjang aktivitas kita. Lain halnya dengan manusia, kita telah menjalin kasih sayang kepada mereka dan tidak akan ada gantinya, sehingga kita akan jauh lebih kehilangan mereka," jawab Papah.
Apapun jenis pertanyaan yang kulontarkan, bahkan yang orang biasa akan anggap paling konyol sekalipun, beliau selalu mengusahakan untuk menjawabnya. Kecuali, untuk hal-hal yang masih lampu merah untuk kami karena saat itu masih di bawah umur. Kemudian, pada saat aku kelas V, aku heran dengan orang-orang yang berbeda sikap denganku ketika kelinciku mati, hanya ketika wafatnya sesama anggota keluarga saja kami semuanya sedih, aku bertanya sebabnya kepada beliau. Hal itu kutanyakan karena kepada hewan peliharaan pun kita sama seperti kepada sesama manusia, kita telah menyayangi mereka, bukan sekadar sebagai alat penunjang kegiatan kita seperti barang-barang.
Jika hewan yang dipelihara adalah untuk diambil dagingnya seperti sapi, kambing, dan ayam, atau dijadikan kendaraan seperti kuda, barulah mereka hadir seperti alat untuk menunjang kehidupan kita. Untuk hewan peliharaan, itu lain soal, karena kita sudah menyayangi mereka seperti teman atau anggota keluarga saja. Oleh karena itu, dulu malah heran aku, mengapa semua orang di rumahku tidak merasakan apa-apa sepertiku, hanya kehilangan terbatas dengan kepada anggota keluarga saja. Sebagai orang dengan sudut pandang yang berbeda, atau neurodivergent, hal seperti ini menjadi pertanyaan besar bagiku.
Sebelum bertanya secara RL kepada Papah yang kebetulan sedang duduk di dekat aku dan adik-adikku, kubayangkan dahulu jawaban beliau. Dalam bayanganku itu, beliau menjawab, "Kelinci itu kan hewan, tidak punya akal. Sedangkan adiknya Teteh itu manusia." Akan tetapi, jawaban seperti itu dirasa masih kurang tepat. Meski hewan tidak berakal, tapinya kan kita sudah menjalin kasih sayang untuknya seperti kepada sesama manusia, mengapa tetap tidak semua orang sedih karena kelinci itu mati? pikirku semenit sebelum bertanya.
Bagiku, reaksi beliau yang marah dengan pertanyaan pada insiden itu membuatku syok, karena sangat tidak seperti beliau yang biasanya ketika menjawab pertanyaanku pada momen-momen lainnya. Dengan peristiwa seperti ini, aku memikirkan kembali kebiasaanku bertanya kepada beliau. Kupikir kurang tepat jika menanyakan semua hal kepada Papah. Menurut kerabatku, memang sebaiknya hal yang berkenaan dengan anggota keluarga inti itu lebih tepat jika ditanyakan kepada Eyang Kakung, kakek dari Mamah, karena itu topik yang terlalu sensitif jika dibicarakan dengan sesama keluarga inti.
Kesulitanku yang sangat untuk lepas dari rasa sedih akibat insiden kelinci itu sebenarnya adalah penyesalanku yang tiada habis-habisnya. Penyesalan yang timbul antara lain karena aku menanyakan hal sensitif seperti itu kepada orang yang kurang tepat dan juga karena malah timbul pikiran yang absurd sehingga bertanya seperti itu. Untuk pertanyaan semacam itu, rupanya Papah bukan orang yang tepat, berbeda dengan pertanyaanku yang lainnya. Hal ini baru kusadari pada tahun-tahunku sebagai remaja ketika SMA.
Kalimat yang sering muncul dalam pikiranku ketika sedang flashback insiden itu adalah, "Seharusnya aku membiarkan saja diriku tidak tahu jawabannya dari pertanyaan itu dan kemudian jawaban itu ditemukan oleh diriku sendiri". Dari kalimat tersebut jelas bahwa memang bukan karena aku sakit hati kepada Papah yang membuatku sangat kesulitan melupakan insiden itu. Lebih ke diriku sendiri. Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, aku terus diliputi perasaan malu karena pernah bertanya hal seaneh itu, perasaan rendah diri karena bisa senaif itu sehingga terlambat menyadari bahwa pertanyaan seperti itu adalah tidak etis, dan perasaan bersalah karena telah menyinggung salah satu orang tuaku dengan suatu kepo yang tidak ada obatnya.
Lewat insiden ini, kudapatkan banyak sekali pelajaran. Salah satunya adalah memaafkan diri sendiri itu lebih sulit ketimbang memaafkan orang lain. Tahun demi tahun kuhabiskan untuk menghujat diriku akibat peristiwa itu. Pada kenyataannya, pertanyaan itu tidak seburuk yang selama ini kupikir.