15 Februari 2022
Jika aku bersedih akan peristiwa yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun 2008 itu, banyak orang yang menganggap aku menyalahkan Papah. Kenyataannya, justru akulah yang tiada hentinya menyalahkan diriku sendiri. Peristiwa itu menenggelamkan diriku dalam insecure tidak berkesudahan, karena aku merasa diriku ini sangat bodoh. Tinggal satu cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya, yaitu menulis surat imajiner.
Ya, surat imajiner kepada Papah itulah cara yang paling ampuh untuk menaklukkan gunung kesedihan itu. Banyak hal yang tidak pernah bisa kusampaikan kepada beliau di masa hidupnya, akhirnya mulai tercurahkan dengan leluasa walau tentu saja beliau tidak akan dapat membacanya. Rupanya, menulis surat imajiner itu tidak cukup hanya satu kali. Sebab, banyak hal yang belum kepikiran ketika menulis surat tersebut untuk yang pertama kalinya.
Kemarin malam, kutuliskan surat imajiner untuk almarhum Papah untuk yang kedua kalinya. Tanggal 14 Februari itu bukan sengaja kupilih, melainkan saat itu baru sempat untuk menuliskannya. Masih membahas tentang insiden kelinci itu, tetapi tiba-tiba saja terbersit ingatan terpendam yang jarang sekali muncul dalam pikiranku. Ingatan itu adalah tentang apa sebenarnya yang paling menjadi motivasiku untuk mengajukan pertanyaan yang absurd namun memilukan itu.
Pertanyaan itu kuajukan sama sekali bukan karena ingin menjadikan meninggalnya adikku itu less worthy. Kematian kelinci itu disebabkan karena tidak sempatnya semua orang di rumah (termasuk aku) saat itu untuk memasukkan sang kelinci yang tersisa dari yang semula dua ekor, kembali ke kandangnya. Di situ aku ingin hewan peliharaan diperlakukan seperti anggota keluargaku sendiri, sehingga semuanya peduli untuk menjaga hewan itu dari bahaya. Ku teringat nama almarhum adikku dalam pertanyaan yang terdengar tidak etis itu, karena peristiwa itulah yang paling mengajarkanku arti dari kehilangan.
Untuk seterusnya, semua kematian membuatku berduka, bahkan untuk hewan kecil sekalipun. Kulihat semua orang di sekitarku tampak biasa saja dengan kabar kematian hewan ini, mereka tidak sedih sepertiku. Pemahaman yang masih minim dari diriku yang saat itu berusia sebelas tahun kurang satu bulan, membuatku heran akan fenomena tersebut. Dalam otakku yang masih bocah itu, tersusun sebuah kalimat pertanyaan "Mengapa orang-orang bersikap biasa saja akan matinya kelinci dan hanya sedih jika adikku yang meninggal?"
Kini, di usiaku yang sudah mencapai lebih dari 20 tahun, tentu saja telah menemukan sendiri jawabannya dari pertanyaan itu. Hewan peliharaan bisa dibeli lagi, tetapi anggota keluarga tidak akan pernah bisa tergantikan. Walaupun begitu, aku tetap menganggap hewan peliharaan sama pentingnya dengan anggota keluargaku yang sesungguhnya. Justru karena pernah mengalami kehilangan anggota keluarga, aku ingin menjaga setiap makhluk hidup sebisaku.
Semestinya, kusebutkan saja kematian manusia secara umum saat menanyakan itu, jangan menyebut nama adikku atau siapapun. Akan tetapi, hal tersebut baru kusadari tahun-tahun terakhir ini, tepatnya sejak pandemi Corona melanda. Nama adikku itu disebutkan hanya sebatas karena itu adalah peristiwa kehilangan anggota keluarga yang paling dekat denganku saat itu saja. Hanya spontan saja, tidak ada tujuan lainnya, apalagi untuk merendahkannya.
Mungkin saja surat imajiner ini perlu kutuliskan lagi, atau mungkin saja tidak. Lihat saja dulu ke depannya. Kuharap surat imajiner untuk Papah yang kedua ini banyak mengobati perasaanku. Karena dalam kenangan pahit ini sama sekali tidak kurasakan marah di dalamnya meski aku aslinya adalah orang yang mudah marah. Kalaupun ada perasaan itu, lebih ditujukan kepada diriku sendiri yang telah menyinggung ayahku tanpa kuinginkan, bukan kepada beliau.
No comments:
Post a Comment