Kemarin, aku berhasil mengunjungi rumah Nenek lagi, setelah malam tarawih pertama waktu itu. Hal yang lebih melegakan, akhirnya aku berhasil juga menceritakan kisah Insiden Kelinci kepada beliau. Tapi, nggak aku spill secara rinci, alias udah "disensor" dikit. Di sini aku nanya, "Wajar gak sih kalo saya udah kelas lima masih nanyain 'Kenapa orang semuanya sedih kalo orang yang meninggal, tapi kalo hewan peliharaan cuma saya yang sedih'? Karena kata Mamah itu lebih cocok ditanyain sama anak lima tahun."
Aku belum terlalu berani untuk menyebutkan kalimatnya secara terperinci. Poin dari pertanyaan itu kan emang meninggalnya orang secara umum. Sayangnya, kesalahanku pada Insiden Kelinci itu malah menyebutkan meninggalnya adikku, karena itulah yang muncul pertama di pikiranku sebagai contoh dari orang yang meninggal. Di sini aku sengaja menyebutkan pertanyaan itu menggunakan kata "orang" secara umum.
Nenek menjawab, "Wajar, karena semua pertanyaan anak itu wajar dan karakter setiap anak itu nggak sama. Ada anak yang datar aja kalo cuma binatang yang mati, ada juga anak yang justru sangat sedih ketika hewannya mati."
Alhamdulillah, rasanya lega banget denger jawaban beliau itu. Kebanyakan orang yang aku share kisah itu juga anggap wajar. Yang anggap aku di luar akal sehat atau logika cuma kedua ortu dan temen-temen dari organisasi keagamaan di kampus. Malah yang terang-terangan ngejek dan ngetawain cuma satu doang, temen pondok my ex-BFF (buat yang belum tahu, artinya "mantan sahabatku").
Gimana kalo ada yang ngetawain di belakang? Apapun yang kita lakukan, pasti ada aja yang kontra, jadi orang yang ngomongin di belakang itu nggak terhindarkan. Tapi aku yakin, orang-orang yang kasih respon positif untuk kisah itu nggak mungkin nusuk dari belakang. Alasannya kenapa, aku juga gak tahu dan feeling aku berkata demikian.
"Semestinya ketika Mamah dan Papah nggak tahu jawabannya, bilang saja 'tidak tahu', karena bukan berarti mereka tidak mau menjawab tapi memang tidak tahu," Nenek melanjutkan perkataannya.
"Mereka bukannya nggak tahu jawabannya sih, karena mereka lebih ke tersinggung, mereka anggap aku nyamain manusia dengan hewan," terangku.
"Ya, meskipun dalam agama Islam kita harus menyayangi binatang, tentu saja kita akan lebih bersedih dengan orang, karena sesama manusia. Kalau binatang kan bagaimana pun derajatnya di bawah manusia. Orang tuamu itu pekerjaannya mirip ilmuwan, sehingga mereka tidak terlalu menaruh perasaan," urai Nenek.
"Tapi, Papah dan Mamah anggap aku nggak empati karena disangkanya mereka aku lebih sedih sama binatang daripada sesama orang," tambahku.
Padahal, aku nggak pernah berpikir demikian. Justru karena pernah merasakan kehilangan sesama manusia, bahkan anggota keluarga sendiri, aku bisa bersedih akan kematiannya kelinciku. Emang mungkin agak aneh kedengarannya, tapi emang itulah yang terjadi. Jadi, gimana tanggapan Nenek mengenai kalimatku yang tadi itu?
"Pada saat itu, nggak ada orang yang baru meninggal, kan?" tanya Nenek.
Ketika akan menjawab pertanyaan tersebut, aku agak ragu menjawabnya. Iya sih, waktu nanyain itu, memang tidak ada orang yang kukenal baru-baru saja wafat. Namun, "orang" yang jadi pertanyaan aku dalam insiden itu 'kan adikku sendiri yang kedua, saat itu belum dua tahun dari kejadiannya meninggalnya dia. Walaupun kejadian meninggal adikku itu belum ada dua tahun, tetep aja bukan termasuk yang recently.
"Nggak ada orang waktu itu yang baru aja meninggal, kok, Nek," jawabku setelah berpikir sejenak.
"Kata Mamah, aku ini kecerdasan emosionalnya banyak ketinggalan makanya masih nanyain itu di usia anak kelas lima."
"Kamu itu justru sangat pintar, makanya nanyain itu, yang nggak banyak kepikiran sama orang. Di pikiran kamu itu sebenarnya udah ada jawabannya, tapi masih ragu-ragu makanya bertanya kepada orang tuamu yang kamu anggap lebih pintar. Justru karena kamu merasa masih belum pintar, makanya masih bertanya. Betul, kan?" papar Nenek.
"Betul, Nek," tangkasku.
Seperti kata sopir angkot yang mengantarkan aku saat perjalanan pergi ke rumah beliau, "Malu bertanya sesat di jalan". Karena, aku masih belum hapal jalan untuk ke rumah beliau jika menggunakan kendaraan umum selain ojek atau taksi online. Makanya, kemarin itu adalah pertama kalinya aku naik angkot ke rumah Nenek. Jadi, ada dua kelegaan pada hari kemarin: berhasil curhat tentang Insiden Kelinci dan juga berhasil ke rumah Nenek dengan angkot.
Alhamdulillah jika ada anggota keluarga terdekatku yang menganggap itu wajar. Tahu gini sih aku curhat tentang ini dari dulu. Sebenarnya udah lamaaaaa banget pengen bahas ini sama Nenek, tapi belum kepikiran caranya karena ini topik yang sensitif, menyangkut adikku yang jelas juga cucunya. Dengan menyebut peristiwa kematian manusia secara umum, ternyata cukup aman.
Sebenarnya aku pribadi nggak terlalu setuju jika binatang itu terlalu direndahkan derajatnya. Tetapi, untuk konteks nyawa manusia dengan hewan, aku mulai membenarkannya. Ini bukan karena kuanggap hewan itu hina, tetapi karena peliharaan itu cenderung unlimited, bisa beli lagi. Lain halnya dengan anggota keluarga sendiri, nggak ada gantinya!
Ini pernah dijelasin sama seorang stranger di Twitter, untungnya dia juga pet lover makanya bisa jelasin dengan sabar.
"Nyawa manusia itu nggak ada gantinya, makanya manusia lebih sedih ke sesamanya. Kalo hewan kan bisa ganti lagi yang baru," jelasnya melalui ketikan berupa cuitan di Twitter.
Walaupun kuanggap manusia dengan hewan itu egaliter, tetap saja nggak akan bisa sama persis. Ini mirip dengan batuan atau logam mulia, jelas lebih berharga daripada batu atau besi biasa karena jarang/langka. Batu di jalanan atau besi yang biasa kita jumpai itu jauh lebih banyak tersedia di alam, makanya harganya nggak setinggi langit kayak berlian atau emas. Ya, begitu juga dengan nyawa manusia yang sekalinya hilang tidak tergantikan, berbeda dengan hewan yang bisa beli lagi atau menemukan lagi yang baru.
Untuk konteks ini, hewan dianggap lebih rendah bukan karena mereka hina, tetapi karena mereka tersedia melimpah.