Untuk menguji apakah seseorang layak menjadi teman dekat kita atau tidak, bagiku sih nggak usah susah-susah mencari tahu apakah dia menusuk dari belakangku atau tidak. Rule ini hanya buat aku : kasih dia kisah hidupku yang paling kontroversial, contoh paling gampangnya itu Insiden Kelinci (duh, nggak ada habisnya ini insiden diulik karena saking impactful kisah ini). Aku sharing kisah pengalaman kek gitu terus dia ngetawain, artinya dia nggak cocok jadi temen deket. Nggak perlu musuhan, tapi tetep nggak bisa jadi BFF.
Itu kan salah satu pengalaman aku yang paling-paling traumatis, kok dia malah ngetawain? Artinya dia nggak ngerti perasaan aku di sini. Makanya kejadian itu bikin terus keingetan karena dulu nggak berani buat cerita ke orang lain mengenai kisah ini, bahkan ke Mamah aja tadinya nggak berani spill sebelum satu tahun dari kronologi kejadiannya.
Seharusnya sih aku segera mencari bantuan profesional di saat tindak-tanduk aku semakin nggak wajar pasca Insiden Kelinci itu (misalnya, jadi makin lengket dengan Danny Phantom sampai ke taraf obsesi yang nggak sehat). Karena khawatir malah semakin dimarahi (kayak waktu curhat sama Papah habis 2 bulan dari kejadiannya) atau diketawain (sebelum ada temen yang beneran ngetawain udah duluan takut), terus aja aku pura-pura hepi. Pura-pura lupa sama kejadiannya itu dengan cara apa? Dengan semakin fokus dengan Danny Phantom yang dulu menjadi tokoh kartun kesayanganku, karena biasanya sehabis dimarahin ortu suka gampang balik lagi ke mood yang bagus kalo udah ngeliat cukup gambarnya doang.
Inilah kisah lengkapnya tentang alasan mengapa aku memiliki obsesi yang nggak sehat untuk Danny Phantom:
Masuk pondok ketika SMA, aku udah nggak ngandelin Danny Phantom lagi karena udah terbukti nggak berhasil mengatasi rasa sedih akibat Insiden Kelinci itu. Saat itu aku udah mulai ngerti letak kesalahannya di mana, tapi begitu ngerti kesalahanku malah bikin makin syedih. Kesibukan di pondok yang padat bikin lumayan nggak kepikiran lagi, tapi belum bener-bener ilang sedihnya. Selama sekian tahun aku menutup rapat-rapat kesedihan ini, nggak berani cerita ke siapapun selain keluarga inti (dalam keluarga inti cuma Mamah yang bukan saksi mata kejadian, serius!) karena takut dihina atau ditertawakan.
Lulus SMA, aku mulai banyak baca buku dan jadi mempertanyakan apakah kesalahanku pada Insiden Kelinci itu memang hal yang salah? Karena dalam banyak literatur, hewan peliharaan memang banyak diperlakukan layaknya sesama manusia. Akan tetapi, kadang hewan itu dianggap sangat rendah, sedangkan manusia itu sangat berharga. Karena old self aku di kelas 5 itu begitu naif, akhirnya selalu mempertanyakan kesehatan mental diriku.
Tahun 2018, tepat sepuluh tahun dari waktu insiden itu terjadi, aku menjalani sesi terapi dengan seorang psikolog. Psikolog ini masih memiliki hubungan saudara, tetapi sudah agak jauh denganku, sehingga diharapkan cukup objektif dalam memberikan tanggapan. Sebagai orang yang berwenang untuk memberikan diagnosa atas keadaan mentalku, tentu kuserahkan kepada beliau. Nyatanya, sama sekali tidak ada titik terang mengenai hal itu.
"Hanna jangan menyalahkan Papah ya," kata beliau. Sama sekali tidak diberi kejelasan mengenai apakah aku menderita penyakit mental. Jika iya, penyakit mental apakah yang kuderita itu? Bahkan tidak ada treatment apapun untuk kesedihan akan Insiden Kelinci!
Pernah aku dekat dengan teman di pondok, awalnya hubungan kami baik-baik saja. Namun, semuanya berubah ketika aku curhat sama dia lewat chat WA tentang Insiden Kelinci, responnya predictable (mudah ditebak banget)! Ini adalah ketika kami sudah sama-sama menjadi mahasiswi.
"Ya iyalah dimarahin Papah, yang gitu kok ditanyain!" balasnya lewat ketikan.
Sejak sepuluh tahun ke belakang sebelum percakapan kami tadi, aku memang sudah menduga orang akan merespon begini. Makanya nggak terlalu kaget lagi. Akan tetapi, jika yang melontarkan respon seperti itu adalah sahabatku sendiri itu sudah red flag. Oleh karena itulah pertemanan kami merenggang.
Aku nggak patah arang untuk mencari jawaban atas pertanyaan "Penyakit mental apakah yang kuderita sehingga bisa menjadi sangat naif dan bertanya hal absurd dalam Insiden Kelinci itu?" Kak Zeta Fatim, salah satu kawannya Regita Anggia mengadakan pelatihan crafting sebagai terapi untuk komunitas bipolar disorder pada Desember 2020 lalu, event ini kuanggap sebagai kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan sesama penderita problem emosional. Aku memang masih belum yakin bahwa diriku menderita bipolar itu, bahkan belum jelas apa yang kuderita. Daripada terus berada dalam kebingungan tanpa ujung, acara ini layak untuk kucoba.
Kutantang diriku sendiri untuk bercerita tentang kisah insiden tersebut kepada orang-orang yang benar-benar asing. Bahkan sebelum event ini aku belum pernah mengenal Kak Zeta dan juga Regita Anggia (the latter sih emang belum pernah ketemu hingga post ini ditulis)! Respon mereka ternyata sungguh di luar dugaanku! Padahal udah yakin duluan bahwa I am really alone, bukannya I am not alone yang mengalami hal seperti Insiden Kelinci itu.
"Kamu itu bertanya begitu karena kamu menganggap semua nyawa itu berharga," tanggap Mbak Icha, salah satu dari peserta crafting ini yang sudah beberapa kali aku kutip.
"Kalian nggak ngerasa aneh gitu sama aku yang nanya kayak gitu? Kayaknya orang lain nggak ada deh yang nanya hal aneh begitu!" tanyaku heran.
"Sebenarnya kami juga pernah nanyain hal yang seaneh itu, cuman konteksnya aja yang beda," jawab Kak Daniel, peserta crafting lainnya.
Orang-orang yang totally strangers, bahkan jauh lebih terasa asing daripada teman sekolah, malah menjadi sekumpulan orang pertama yang mengerti maksud dari perkataanku pada Insiden Kelinci itu. Pada tahun event tersebut diadakan yaitu tahun 2020, Insiden Kelinci sudah berusia 12 tahun (2020-2008=12). Perlahan tapi pasti, kesedihan, rasa malu, insecure, dan guilt mulai meluntur. Karena, penyebab dari kenaifan aku pada insiden itu nggak seburuk yang selama ini dikira.
Pada tahun yang sama dengan acara pelatihan untuk bipolar tadi, aku memberanikan diriku untuk menceritakan kisah Insiden Kelinci ini kepada seorang kerabat yang masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat dengan Mamah. Di sini perasaanku setengah berani dan setengah takut, karena beliau ini termasuk orang yang paling terpukul dengan wafatnya Hanif, salah satu adikku. Juga terselip kekhawatiran akan ditertawakan karena kisah ini terlalu gejlig. Walaupun begitu, tetap saja aku terdorong untuk segera menceritakannya karena kami sudah terbiasa jujur-jujuran.
Untuk detailnya mengenai respon yang kerabat tersebut berikan, dapat dibaca di postingan aku yang ini : https://hannaswackyworld.blogspot.com/2021/06/apa-itu-eksistensial.html
Intinya, alih-alih menganggap konyol dan aneh pertanyaanku itu, beliau malah memberikan respon yang teramat positif dan mencengangkan bagiku. Kata beliau, itu adalah pertanyaan lintas disiplin ilmu, mengandung filsafat eksistensialisme, dan memperlakukan seluruh makhluk hidup secara egaliter tanpa ada pihak yang dibuat less worthy.
Tahun 2021, aku bercerita tentang Insiden Kelinci ini lewat chat di WhatsApp kepada Diva, sahabatku sejak SD. Asli dah, aku sampai nggak berani cerita ini ke dia padahal dia kan temen terdekat aku. Kami bahkan memiliki trauma yang hampir sama dan menjadi korban bullying dari orang-orang yang sama ketika kami masih satu sekolah dulu! Makanya aku yakin banget Diva nggak akan mungkin ngasih tanggapan yang nyelekit.
"Oh, itu wajar nanya gitu karena kamunya kan sedih sama kelinci itu kayak kamu sedih ke adik kamu. Jadi kamu itu bingung ngeliat orang-orang pada beda perilakunya sama kamu," ketik Diva.
Dia juga bilang bahwa aku itu punya kreativitas karena kepikiran asosiasi aneh antara susu bubuk sama kecengan aku jaman SMP (ini aku ceritain di postingan-postingan berikutnya ya)! Beruntung banget deh punya kawan kayak dia, berarti dia ini barulah BFF yang sebenarnya, karena nggak ngolok-olok peristiwa traumatis dalam hidupku selama ini. Pada tahun yang sama, aku juga menceritakan perkataannya Diva ini ke psikolog aku yang kedua. Walaupun kedengarannya sulit dipercaya karena aku nggak punya karya yang hebat bagaimana, ternyata psikolog tersebut membenarkan pernyataannya sahabatku ini!
"Kreativitas adalah mampu memandang sesuatu dari sisi dan sudut pandangnyang tidak biasa, juga menciptakan sesuatu yang tidak pernah orang pikirkan sebelumnya," terang beliau.
Makanya aku relate banget dengan cuitan pada screenshot di atas!