Rencananya, Disney mau ngeluarin beberapa sekuel tahun ini yaitu film Toy Story 5, Frozen III, Inside Out 2, dan Zootopia 2. Di sini yang bakalan jadi fokus aku itu Inside Out. Hal yang bikin film tadi itu unik adalah karena membahas tema psikologi. Banyak fenomena psikologis yang lebih mudah dijelaskan jika dikaitkan dengan film itu.
Setiap kali aku akan brought up Insiden Kelinci, rasanya ragu, khawatir orang yang baca akan jadi bosan. Itu disebabkan karena ini adalah peristiwa yang paling kontroversial, setiap orang penerimaannya berbeda-beda. Juga merupakan insiden yang paling sulit bahkan alot untuk dilupakan. Adikku Irsyad punya penjelasan terkait Insiden Kelinci ini, dia menjelaskan hal ini dengan perumpamaan dari film Inside Out.
Dalam film yang menceritakan tentang kelima perasaan yang dipersonifikasikan ini (marah, senang, sedih, takut, dan jijik), terdapat visualisasi dari memori berupa bola-bola memori. Dari sekian memori yang kita miliki, terdapat sebuah "memori inti" (core memory), yang digambarkan sebagai bola-bola yang bersinar paling kuat dan ditempatkan di wadah khusus yang berbeda dari memori biasa.
"Mungkin ayah dan bunda sudah pernah mendengar istilah core memory. Istilah ini memiliki arti memori atau kenangan akan kejadian yang paling berpengaruh bagi si kecil. Core memory tidak hanya memberi kesan mendalam, tetapi juga bisa menjadi dasar dari nilai dan tabiat yang dimiliki anak saat dia dewasa."
Menurut adikku Irsyad, alasan di balik sulitnya aku melupakan Insiden Kelinci itu adalah karena peristiwa tersebut merupakan core memory bagi aku. Sekarang sudah mulai jelas bahwa peristiwa itu terus melekat di benakku itu bukan karena aku hanya terobsesi akan kejadian itu, apalagi dendam sama Papah, melainkan karena memori akan insiden tersebut memberikan pengaruh yang mendalam bagiku. Lalu, mengapa insiden yang kontroversial itu bisa termasuk kenangan yang paling berpengaruh dan memberikan kesan yang dalam di kehidupanku, sehingga jadi memori inti? Ini juga masih ada penjelasannya dan dia itu ngejelasinnya dalam sekali duduk, bukan di momen yang berbeda.
🔮 Ya, seperti yang kita baca dari kutipan artikel di atas (sebenarnya itu artikel buat parenting), ortu emang perannya nggak main-main buat menciptakan memori inti dalam kepala kita yang anaknya mereka. Dalam Insiden Kelinci itu, aku waktu itu emang berkaitan erat bahkan berurusan sama Papah almarhum. Nah, dari siapa yang terlibat dalam kejadian aja udah ketebak sebabnya itu kejadian bisa masup ke memori inti. Sayangnya, ini nggak berhenti sampai di situ, karena nggak semua kemarahan Papah itu berbekas ampe segitunya.
Kemarahan Papah yang sampai mukul pun nggak bikin keingetan segitunya. Mungkin ada beberapa peristiwa macam begitu yang bikin kepikiran, tapi nggak alot juga keles ngelupainnya. Bisa jadi nggak masuk-masuk ke memori inti acan. Mari kita simak penjelasan selanjutnya dari adik aku yang gede ini!
🔮 Pada insiden itu, aku jelas lagi sedih-sedihnya karena kelinci peliharaan yang mati. Jadi, dari awal emang udah sedih sebelum aku bikin Papah marah. Pada kasus biasa, sedih itu karena dimarahin, bukan sebelum dimarahin juga udah sedih. Di sini juga curiga aku udah ada PTSD, karena kelinci mati doang bikin keingetan lagi sama adik yang meninggal.
Emosi aku lagi intens ketika Insiden Kelinci itu terjadi (kesedihan pertama karena kematian kelinci dan kesedihan kedua karena dimarahi Papah tak disangka-sangka), peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam selain karena merupakan interaksi aku dengan orang tua, yaitu Papah. Dari sini udah ketemu dua faktor penyebab masuknya insiden ini ke dalam memori inti, yaitu faktor interaksi dengan orang tua dan faktor perasaan yang intens karena rasa sedih bertambah-tambah dan ditambah pula kekagetan karena dimarahi. Ini hanya bagian dari penjelasan adik aku yang posisinya netral dan dia satu-satunya saksi mata kejadian ini, jadi bukan aku menyalahkan Papah seperti yang beberapa orang anggap.
🔮 Contrary with most people believes, aku bukannya lebih sedih sama hewan peliharaan ketimbang adik sendiri. Kejadian ini bikin waktu itu nyadar satu hal : orang-orang menyikapi kehilangan sesama manusia dan hewan itu berbeda. Oleh karena itu, aku mempertanyakan soal itu di saat masih kelas lima, aku tidak menganggap itu membuat derajat manusia menjadi hina atau rendah. Bagiku, kematian adalah sebuah topik yang menarik untuk diulik, dicari tahu seluk-beluknya.
Banyak orang pikir aku ini logika atau kecerdasan emosionalnya ketinggalan (terutama Mamah yang mikir gini), padahal kayaknya sih hanya karena perbedaan sudut pandang dengan orang biasa. Bahasa ilmiahnya itu neurodivergent, buat sudut pandang yang umum itu disebut neurotypical. Setelah ke psikolog, baru deh ngerti kenapa aku masih nanyain perihal itu yang kata orang "normal" itu udah jelas jelas jelaassss banget. Karena punya pemikiran yang nggak umum, sama sekali had no idea bahwa itu bukan hal yang dianggap benar oleh masyarakat umum, setidaknya masyarakat umum di Indonesia.
Jika momen dimarahin Papah biasanya udah tau letak kesalahannya sehingga nggak kaget lagi kalo beliau marah, kali ini sama sekali nggak ada dugaan sedikitpun bahwa pertanyaan seperti itu bakalan dimarahin. Rasa terkejutnya jadi di-up berkali-kali lipat dibandingkan kasus biasa. Bahkan hingga kurang lebih tiga tahun dari kejadiannya, aku masih bertanya-tanya kenapa itu bikin beliau tersinggung. Sejak paham bahwa mayoritas warlok mikirnya hewan itu rendah, posisinya di bawah manusia, baru deh ngerti kenapa menyinggung (tapi nggak bikin ilang sedihnya).
Udah ketemu tiga faktor nih kenapa itu kejadian jadi memori inti yang terus aja keingetan (ini beda dengan yang orang Sunda sebut "neuteuli") selama lebih dari sepuluh tahun lamanya :
1. Melibatkan interaksi dengan orang tua, apalagi ortu dalam kejadian ini udah meninggal jadinya aku nggak bisa verifikasi ke beliau
2. Kondisi emosi yang intens karena satu kesedihan ditambahkan satu kesedihan yang lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan (nggak sampe sejam dari kabar matinya kelinci ke aku dimarahin Papah karena nanyain itu)
3. Rasa terkejut yang teramat sangat, yaitu berasal dari bentakan, tidak menyangka ucapanku bisa menyinggung, dan menemukan bahwa pemikiran orang lain ternyata jauh berbeda denganku
Jadi makin suka nih sama film-film Disney terutama yang keluaran Pixar, soalnya banyak berkaitan dengan kejiwaan. Sebenarnya kalo mau diulik lagi, Frozen terutama yang pertama, itu metafora dari masalah psikologis. Semoga saja Inside Out 2 ini lebih banyak ngulik tentang core memory itu. Core memory ini disebutkan pada kutipan artikel di atas bahwa dapat juga menjadi dasar tabiat anak ketika dewasa, andai saja tidak ada peristiwa itu kayaknya aku nggak akan segitu berminat untuk cari tahu tentang diri sendiri.