Tuesday, July 26, 2022

Skill Menggambarku yang Nyaris Tidak Berkembang

Catatan 26 Juli 2022

Belakangan ini aku lagi males-malesnya gambar karena keasyikan ngecengin Heinz dan Roger Doofenshmirtz, kakak beradik yang sama sekali tidak mirip itu, atau Twitter an. Setelah kemarin mulai gambar lagi Bella dan Davina, aku jadi minat lagi buat gambar mereka. Gatel deh rasanya pengen remake gambar-gambar dua tokoh ciptaanku itu (terutama yang terakhir), karena semua karya jadulku itu cringey abis! Biar gampang buat gambar ulang, aku sengaja kumpulkan beberapa karya aku dari mulai SMP kelas IX sampai mulai kuliah.

Gambar-gambar itu aku sengaja hari ini taruh di status WA biar ngeliat perkembangannya. Sampai adikku yang terbesar memberi remark atau komentar yang bikin aku tersadar akan suatu hal!

"Gambaran Teteh g banyak improved ya," ujarnya via chat di WA.

Aku di situ lumayan terkejut. Sebelumnya kukira dia ngomong 'banyak improved', ternyata aku lupa baca huruf 'g' nya! Iya juga ya, setelah kulihat-lihat lagi dengan lebih seksama, semua hasil karya aku dari tahun ke tahun itu hampir nggak ada perkembangannya! Buat orang yang hobi gambar kayak aku sih itu peringatan keras!

Gambaran tahun 2018 (Davina Fenton, karakter ciptaanku, dan Pauline Bell, karakter dari serial kartun Atomic Puppet pakai kostum "Sword Sisters")

Gambaran tahun 2017 (Davina Fenton pakai baju utamanya, beneran nyaris nggak ada perubahan pada outfit-nya)

Gambaran tahun 2013 (Davina Fenton pake baju utama, tapinya bandonya diganti jadi flower crown mawar yang nantinya karakter aku yang lainnya, Bella Hayden yang akan pakai hiasan kepala yang terakhir ini)

Jika gambaran tahun 2018 (gambar pertama) vs 2013 (gambar ketiga dan terakhir) sih ya sudah jelas jauh membaik. Tapi jika dijajarkan dari tahun ke tahun, kelihatan sekali hampir nggak nongol perubahannya. Berhubung tahun 2013 itu aku mulai masuk ponpes, jadinya nggak bisa sering-sering menggambar. Lulus dari tiga tahun sekolah di asrama, eh komputernya malah rusak jadinya jarang bisa dipake dan akhirnya jarang gambar lagi.

Peribahasa "Practice makes perfect" itu baru sekarang terasa sekali kebenarannya. Sebelumnya aku udah percaya peribahasa itu, tapi ya selama ini belum terlalu relate. Tulisan ini bukan karena aku tersinggung atau semacamnya, melainkan agar menjadi peringatan sangat keras bagiku untuk lebih sering lagi untuk menggambar! Overthinking itu gede damage-nya, karena aktivitas sia-sia itulah yang menyurutkan semangatku untuk menggambar.

So, gak peduli bagaimanapun hasilnya, mau itu bagus atau ambyar, gambar ya gambar aja! 


Monday, July 25, 2022

Satu Outfit yang Kontras dari Satu Orang

Catatan 25 Juli 2022

Bella Hayden, karakterku ini aesthetic atau style berpakaiannya antara Sunset Shimmer atau Fluttershy. Khusus nama yang terakhir disebutkan, dia punya satu penampilan yang kontras! Rencananya, Bella ini bakalan punya satu momen pake gaya gothic atau punk gitulah, di saat seluruh dunia menjadi jahat yang ditandai pakaian dengan gaya seperti itu, kayak di film (SPOILER!) Sponge Out of Water, movie-nya SpongeBob yang kedua! Nah, ketika Bella ini kena pengaruh jahat itu, penampilannya kira-kira jadi mirip Fluttershy di Equestria Girls ketika dia jadi goth sementara.
Referensi lainnya untuk kostum gothic dari si rambut merah ini adalah masih dari outfit-nya Fluttershy, tetapi ini sudah jauh berbeda gayanya. Kostum Fluttershy lainnya yang dijadikan inspirasi adalah dalam episode Dance Magic, masih dari serial Equestria Girls. Dia ketika jadi goth dalam Equestria Girls (ini pas udah jadi manusia, ya, bukan pony lagi) terlalu tomboy, gak cocok ama gaya berpakaiannya Bella yang semi princess-like. Jadinya harus ditambahin elemen girly buat kostum gothic nya Bella, karena dia hampir selalu pakai rok.
Dari kostum dalam Dance Magic tadi, aku ambil rok lipatnya untuk dijadikan lapisan dari legging. Kancing dari sabuknya, aslinya adalah bentuk kupu-kupu, diganti bentuk mawar merah sebagai ciri khas dari Bella. Sisanya, lebih banyak mengikuti outfit gothic yang tadi. Dia bakalan tetep pake kaos tangan, tapi jenisnya bakalan beda dari yang dipake Fluttershy di sini.

Bakalan ada unsur yang aku tambahin, itu maksudnya unsur yang nggak ada di kedua outfits dari Fluttershy tadi. Biasanya Bella Hayden pake flower crown, dalam penampilannya ketika masuk dark side ini diganti jadi topi kupluk. Di topi ini masih bakalan nangkring elemen bunga, yaitu bros bunga mawar tapi warnanya lebih gelap dari flower crown-nya, yaitu merah gelap nyaris kayak darah!

Sepatunya mau gimana? Duh, itu sih aku juga belum terlalu mikirin, karena buat main attire atau pakaian sehari-hari doi juga belum fix aja. Untuk awal sih pake sepatu bot aja dulu, asalkan masih ada kesan girly dan princess-like. Kayaknya sih ini harus ada "impor" referensi dari outfit lainnya lagi deh, bahkan mungkin aja bukan hanya dari wardrobe milik Fluttershy doank, tapi juga karakter lainnya!

Saturday, July 23, 2022

Kesulitanku Untuk Menerima Diriku Sendiri

Catatan 22 Juli 2022

Papahku almarhum biasa memiliki jawaban yang ilmiah jika aku atau adik-adik bertanya kepada beliau. Pertanyaan seremeh apapun, pastinya dapat beliau jawab dengan logis, selama kami masih cukup umur untuk mencernanya. Misalnya saja ketika aku merasa insecure dengan artstyle karyaku. Aku khawatir rupa orang-orang yang kugambar malah jelek tampilannya, padahal inginnya sih semenawan mungkin.

"Pah, apakah gambaran saya ini orang-orangnya jelek-jelek?" tanyaku ketika kelas VIII SMP.

"Gambar kartun sih bebas, tidak harus selalu good-looking. Lihat saja itu kartun Phineas, memangnya cakep? Tetapi tetap saja banyak orang yang menonton kartun itu, kan?" jawab beliau yang membawakannya dengan canda tawa, tetapi sedapat mungkin isi jawabannya adalah serius. 

Percakapan kami tadi terjadi pada sekitar tahun 2011-2012, ketika Phineas and Ferb sedang nge-hits di televisi nasional. Benar saja kata beliau, acara kartun tersebut masih saja laris manis hingga sepuluh tahun ke depannya. Sampai detik ini saja masih bermunculan bahasan apapun tentang kartun itu. Bahkan, itu adalah kartun dari produksi dan saluran televisi Disney yang paling populer, padahal rupa karakternya saja aneh-aneh, tokoh utamanya berkepala segitiga dan persegi panjang!

Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, adik terbesarku Irsyad pernah bertanya soal acara kegemarannya kepada Papah. 

"Mengapa acara Walking With Dinosaurs tidak banyak merchandise seperti Spongebob atau acara kartun lainnya?" tanyanya. Walking With Dinosaurs adalah sebuah acara dokumenter tentang dinosaurus dalam format CGI.

"Walking With Dinosaurs adalah acara edukasi, tujuan utamanya adalah mendidik penontonnya. Jadi, tidak terlalu bertujuan untuk mendapatkan uang. Sedangkan acara-acara kartun adalah untuk bisnis, sehingga mereka membuat merchandise supaya mereka mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari acara yang mereka buat," terang Papah. 

Jawaban beliau selalu mendalam, itulah yang membuat kami betah bertanya kepada beliau.

Topik yang kubawakan bisa sangat receh, tetapi bisa juga sangat dark, seperti yang pernah kutanyakan pada Nenek, ibunya Papah, soal jenazah manusia dan bangkai hewan. Pada saat aku kelas tiga SD, pernah kutanyakan mengapa kita bersedih ketika kehilangan sesama manusia, tetapi kita lebih mudah untuk melupakan kehilangan barang. Pada hakikatnya, semua itu bukanlah mutlak kepemilikan kita. Akan tetapi, mengapa bisa terjadi perbedaan seperti itu?

"Pada saat kita kehilangan benda, itu dapat dengan mudah tergantikan. Kita hanya menggunakan benda untuk menunjang aktivitas kita. Lain halnya dengan manusia, kita telah menjalin kasih sayang kepada mereka dan tidak akan ada gantinya, sehingga kita akan jauh lebih kehilangan mereka," jawab Papah. 

Apapun jenis pertanyaan yang kulontarkan, bahkan yang orang biasa akan anggap paling konyol sekalipun, beliau selalu mengusahakan untuk menjawabnya. Kecuali, untuk hal-hal yang masih lampu merah untuk kami karena saat itu masih di bawah umur. Kemudian, pada saat aku kelas V, aku heran dengan orang-orang yang berbeda sikap denganku ketika kelinciku mati, hanya ketika wafatnya sesama anggota keluarga saja kami semuanya sedih, aku bertanya sebabnya kepada beliau. Hal itu kutanyakan karena kepada hewan peliharaan pun kita sama seperti kepada sesama manusia, kita telah menyayangi mereka, bukan sekadar sebagai alat penunjang kegiatan kita seperti barang-barang.

Jika hewan yang dipelihara adalah untuk diambil dagingnya seperti sapi, kambing, dan ayam, atau dijadikan kendaraan seperti kuda, barulah mereka hadir seperti alat untuk menunjang kehidupan kita. Untuk hewan peliharaan, itu lain soal, karena kita sudah menyayangi mereka seperti teman atau anggota keluarga saja. Oleh karena itu, dulu malah heran aku, mengapa semua orang di rumahku tidak merasakan apa-apa sepertiku, hanya kehilangan terbatas dengan kepada anggota keluarga saja. Sebagai orang dengan sudut pandang yang berbeda, atau neurodivergent, hal seperti ini menjadi pertanyaan besar bagiku.

Sebelum bertanya secara RL kepada Papah yang kebetulan sedang duduk di dekat aku dan adik-adikku, kubayangkan dahulu jawaban beliau. Dalam bayanganku itu, beliau menjawab, "Kelinci itu kan hewan, tidak punya akal. Sedangkan adiknya Teteh itu manusia." Akan tetapi, jawaban seperti itu dirasa masih kurang tepat. Meski hewan tidak berakal, tapinya kan kita sudah menjalin kasih sayang untuknya seperti kepada sesama manusia, mengapa tetap tidak semua orang sedih karena kelinci itu mati? pikirku semenit sebelum bertanya.

Bagiku, reaksi beliau yang marah dengan pertanyaan pada insiden itu membuatku syok, karena sangat tidak seperti beliau yang biasanya ketika menjawab pertanyaanku pada momen-momen lainnya. Dengan peristiwa seperti ini, aku memikirkan kembali kebiasaanku bertanya kepada beliau. Kupikir kurang tepat jika menanyakan semua hal kepada Papah. Menurut kerabatku, memang sebaiknya hal yang berkenaan dengan anggota keluarga inti itu lebih tepat jika ditanyakan kepada Eyang Kakung, kakek dari Mamah, karena itu topik yang terlalu sensitif jika dibicarakan dengan sesama keluarga inti.

Kesulitanku yang sangat untuk lepas dari rasa sedih akibat insiden kelinci itu sebenarnya adalah penyesalanku yang tiada habis-habisnya. Penyesalan yang timbul antara lain karena aku menanyakan hal sensitif seperti itu kepada orang yang kurang tepat dan juga karena malah timbul pikiran yang absurd sehingga bertanya seperti itu. Untuk pertanyaan semacam itu, rupanya Papah bukan orang yang tepat, berbeda dengan pertanyaanku yang lainnya. Hal ini baru kusadari pada tahun-tahunku sebagai remaja ketika SMA. 

Kalimat yang sering muncul dalam pikiranku ketika sedang flashback insiden itu adalah, "Seharusnya aku membiarkan saja diriku tidak tahu jawabannya dari pertanyaan itu dan kemudian jawaban itu ditemukan oleh diriku sendiri". Dari kalimat tersebut jelas bahwa memang bukan karena aku sakit hati kepada Papah yang membuatku sangat kesulitan melupakan insiden itu. Lebih ke diriku sendiri. Selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, aku terus diliputi perasaan malu karena pernah bertanya hal seaneh itu, perasaan rendah diri karena bisa senaif itu sehingga terlambat menyadari bahwa pertanyaan seperti itu adalah tidak etis, dan perasaan bersalah karena telah menyinggung salah satu orang tuaku dengan suatu kepo yang tidak ada obatnya.

Lewat insiden ini, kudapatkan banyak sekali pelajaran. Salah satunya adalah memaafkan diri sendiri itu lebih sulit ketimbang memaafkan orang lain. Tahun demi tahun kuhabiskan untuk menghujat diriku akibat peristiwa itu. Pada kenyataannya, pertanyaan itu tidak seburuk yang selama ini kupikir.

Wednesday, July 20, 2022

Off Dulu dari Medsos, Mau Fokus Bikin Karya!

Catatan 21 Juli 2021

Jaman medsos begonoh sih orang jadi semakin mudah buat pajang karyanya mereka. Nggak kayak jaman old yang harus punya galeri sendiri terus gelar pameran. Banyaknya karya di media sosial emang sering jadi inspirasi buat bikin gambar. Tapi, kalo baca bio di banyak akun Ig punyanya artist, terutama akun yang gede, mereka bahkan banyak yang umurnya lebih muda dari aku!

Aku memang bangga dengan hasil karya mereka yang udah melampaui aku, jauh malahan. Sayangnya, kalo keseringan mantengin akun-akun itu, malah jadi insecure duluan karena skill aku jauh di bawah mereka. Akibatnya, aku malah jadi makin mager buat gambar. Kalau sudah begini, yang ada ntar nyesel karena sebelumnya jarang gambar, cuma ngebiarin ide-ide di kepala bertumpuk.

Jaman dulu sih ide buat gambar dapetnya dari tontonan dan bacaan. Cobain jarang main ig terus banyakin nonton dan baca, terutama untuk hal-hal yang berbau nostalgic. 


Mental Block Berimbas Art Block

Catatan 21 Juli 2022

Banyak orang diserang "mental block" berupa rasa enggan untuk melakukan sesuatu karena dibayangi oleh pengalaman masa lalunya. Kalo flashback yang asyik-asyik sih gak masalah, tapi kalo mengenang pengalaman yang bikin males hidup? Skip aja deh! Tidak kupungkiri, aku juga banyak mental block seperti itu, malahan sampe ngaruh ke ide menggambar segala! 

Gegara saking ketakutannya menggambar yang pakaian terbuka, jadinya ide gambar di kepala aku cuma hadir untuk terlupakan saja. Padahal kan sayang banget kalo jadi gak produktif. Sudah sering sekali ada rasa nyesel jarang gambar. Pengen deh bikin art summary dari setiap bulannya selama satu tahun, sayangnya gak setiap bulannya aku bikin gambar!

Penyebabnya kenapa, coba, jarang gambar? Akibat terlalu takut untuk menuangkan, karena udah kelamaan mikir, "Ini gambar bakalan jadi hal yang salah, dosa, blablabla." Psikolog aku juga udah pernah bilang, malah buat gambar doang aja sih gak masalah. Aku juga mikir-mikir dulu dongs buat bikin karya, gak akan jabanin hal-hal berbau 18 tahun ke atas!

Baru deh akhirnya bisa bikin outfit Bella Hayden itu fix, nggak akan dirombak besar-besaran lagi setelah ini. Padahal udah dari lama si karakter ini dibuatnya. Itu semua gegara kebanyakan mikir, keseringan nunda! Istilahnya udah gak asing lagi, overthinking!

Selalu inget deh waktu SMP ke bawah, kalo aku kedapatan sedang atau sudah menggambar tokoh yang kurang nutupin oratnya pasti aja ortuku marah, terutama almarhum Papah. Anehnya, saat itu malah jadi kecanduan buat gambar kek gitu meski tentunya ada rasa takut ketahuan. Begitu masuk kuliah malah jadi sebaliknya, Mamah (sekarang tinggal ada beliau ortuku) udah jauh lebih santai orangnya tapi malah akunya yang ragu terus buat gambar. Pas udah dikerjakan gambarnya, ternyata hasilnya menyenangkan dan asyik sangad!



Lakukanlah Sesuatu Agar Tidak Overthinking!

Catatan 21 Juli 2022

Sudah mulai diserang kemalasan lagi untuk menulis. Padahal menulis itu salah satu terapi untuk mengatasi overthinking. Bahkan untuk urusan gambar-menggambar saja aku ketiban overthinking! Jadinya sering mulur rencana gambar.

Akhirnya beberapa hari yang lalu terwujud juga rencana gambar menjadi nyata! Sudah diendapkan berapa lama tuh idenya, sampai akaran kali. Sebelum berani untuk merealisasikan ide gambar itu, aku tulis dulu ide yang muncul seperti mau menggambar siapa, pake baju apa, desain pakaiannya bagaimana, dll. Setelah berani menuangkan ide tersebut, rasanya satisfied banget! 

Proses menggambarnya juga satisfying! Seneng banget menggambar desain pakaian yang tadinya cuma berputar-putar gak jelas di dalem kepalaku ini. Bukan cuma prosesnya aja, tapi juga hasilnya yang memuaskan. Karena saking puasnya, sampai-sampai gambarnya pas udah beres itu dibawa-bawa terus sampai tidur!

Ucapan Itu Doa

Catatan 16 Juli 2022

Almarhum Papah selalu melarangku untuk menyebut diri sendiri ini bodoh. Mengapa? Karena ucapan setiap Muslim adalah doa, oleh karena itu kita (aku yakin hal ini tidak hanya berlaku untuk orang Islam saja) harus berkata-kata yang baik, minimal untuk diri sendiri. Bahkan di saat beliau sedang tersinggung dengan perkataanku ketika Insiden Kelinci, beliau masih menyuruhku untuk beristigfar karena aku menyebut diriku sendiri adalah bodoh.

Sebenarnya ada banyak momentum beliau mengingatkanku untuk menjauhi perkataan seperti itu, hanya saja insiden inilah yang paling berbekas. Karena, mood beliau yang sedang tersinggung itu tetap menjagaku agar jangan sampai merendahkan diri sendiri. Bagiku, itu kontras antara perasaan beliau dengan apa yang beliau utarakan kepadaku. Walaupun udah dilarang bilang "bodoh", tetep aja rasanya susah biar nggak ngatain diri sendiri kayak gitu gegara insiden tersebut.

"Teteh ini pinter gak sih?" ujar Papah setelah aku bertanya "kalimat itu" ketika insiden tersebut.

"Pinter," jawabku lirih.

Sebenarnya aku di situ nggak haqqul Yaqin bahwa aku memang demikian, hanya karena masih teringat saja dengan larangan beliau mengatakan hal buruk untuk diri sendiri.

"Naha atuh? (Bahasa Sunda : 'Lantas, mengapa bertanya/berbicara begitu', maksudnya 'mengapa mengeluarkan pertanyaan tadi?')" kejar beliau.

Aku terdiam sejenak sebelum merespon lagi perkataan beliau. Itu untuk merenung kembali. Ragu rasanya tadi untuk mengatakan bahwa aku ini pintar, nilaiku di sekolah saja banyak yang rendah. Lalu ter-trigger untuk 'trabas' larangan Papah yang tadinya kujaga untuk tidak kulanggar itu, karena kurasa itu memang lebih mendekati kenyataannya.

"Saya memang bodoh, Pah," ratapku kemudian. 

"Istighfar, Teh. Ucapan setiap orang Muslim adalah doa." nada bicara Papah mulai melembut. Beliau segera memelukku.

Jaman sekarang orang mudah sekali untuk insecure karena berbagai pencapaian manusia terpampang nyata di media sosial, apalagi untukku yang memang nyaris tidak pernah pede seumur hidupku. Setiap saat perasaan insecure menghampiri, haruslah kuingat percakapanku dengan almarhum Papah itu. Bagaimanapun kondisinya, pantanglah untuk menyebutkan hal-hal negatif untukku sendiri. Karena, biasanya orang yang tidak dapat menghargai orang lain, sebenarnya mereka memandang diri atau self-esteem mereka rendah sekali.

Itu sudah terbukti oleh pengalamanku sendiri. Ketika sedang insecure berkepanjangan akibat Insiden Kelinci tersebut, aku mudah sekali untuk ngomong bahasa kasar atau buruk kepada orang lain di sekitarku. Sebab, pada saat itu perasaanku sedang dilanda kepercayaan diri yang terlalu rendah, sehingga mood hampir selalu buruk. Berawal dari mood yang hancur itu, udah nggak ada lagi kemampuan untuk menyaring ucapan karena pikiran tak lagi bekerja dengan jernih. 

Pada kenyataannya, seperti yang sudah kusebutkan dalam kisah-kisahku yang lainnya, tidak perlu aku terlalu merendahkan diri ini. Dengan tenggelam dalam insecurity, tahun-tahun terakhirku di bangku Sekolah Dasar malah terkunci oleh obsesiku akan Danny Phantom untuk mengusir kesedihanku. Obsesi seperti itu malah menjadi mental block yang menghambat ide-ide baru untuk berkarya. 

"Gambarnya yang lain, dong, jangan Danny Phantom terus! Bosan!" seru teman sekelasku Vita waktu kelas lima. Waktu itu dia lagi lewat meja aku, aku lagi menggambar Danny Phantom di buku corat-coret.

"Aku nggak ada lagi ide lain," keluhku.

"Cari ide lagi dong biar nggak bosan," usul Nabila, teman sekelas yang lagi berdiri sebelah Vita di depan mejaku.

Dengan obsesi yang seperti itu, bukannya menyelesaikan masalah. Justru insecurity aku yang malah bertambah. Skill menggambar tidak begitu berkembang, karena karyaku cuma itu-itu saja, padahal banyak ngeliat kartun/komik lain juga udah. Dalam pelajaran juga, semisal Matematika apalagi Olahraga ketika mukul bola bisbol pake bat juga payah.

Andaikata aku dulu berfokus buat belajar lebih banyak rumus Matematika atau latihan mukul bola bisbol di rumah, pastinya taraf hidupku akan meningkat. Bukannya berkutat di tokoh kartun kalo mau move on dari suatu peristiwa!

Pertanyaanku dalam insiden itu ternyata bukan berasal dari kebodohan, melainkan hanya disebabkan oleh "sebuah perbedaan pola berpikir" saja. Kata adik bungsuku Fariz, istilah Bahasa Inggrisnya adalah "neurodivergent". 

Pengaruh Karakter Anime dan Animasi Barat pada Karakter Ciptaanku

Catatan Minggu, 24 November 2024 Karakter dengan kekuatan es selalu menarik perhatianku. Ada sesuatu yang luar biasa tentang bagaimana eleme...