Tuesday, July 5, 2022

Jangan Terburu-buru Menyimpulkan!

Catatan 5 Juli 2022

Berhubung perbedaan sudut pandangnya aku ini agak lain atau malah kadang beda jauh dengan orang-orang, jadinya seringkali butuh waktu lama buat paham letak kesalahanku pada banyak kasus. Aku sudah sangsi sejak berhari-hari yang lalu jika menuliskan tentang Insiden Kelinci itu, khawatir orang yang membacanya malah bosan. Kuakui sih, aku memang memiliki semacam obsesi non-kesukaan akan peristiwa itu. Namun, hal yang menyebabkan obsesi itu tumbuh adalah karena banyak sekali hal luar biasa yang terjadi dalam hidupku setelahnya.

Insiden Kelinci itu sendiri memang kejadian yang luar biasa, dalam artian "terlalu tidak umum". Oleh karena itu, selama bertahun-tahun lumayan sulit untuk memahami apa yang menjadi kesalahanku jika bertanya seperti pada kejadian itu. Pada salah satu hasil screenshot di atas, tertulis banyak cara untuk "self-reward". Cara yang menurutku paling "ngena" adalah kalimat yang terakhir, yaitu "Don't trust your first conclusion".

Kalimat terakhir tadi itu jika diartikan kata perkata adalah "Jangan memercayai kesimpulanmu yang pertama." Tetapi, terjemahan yang lebih terasa enakan kira-kira adalah "Jangan langsung percaya dengan kesimpulan yang pertama muncul di kepalamu" atau lebih singkatnya, "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan". Dalam memahami Insiden Kelinci ini, aku memang sempat beberapa kali salah menyimpulkan arti dari kemarahan Papah pada saat kejadian itu. Sampai akhirnya ketika aku rebahan pada suatu siang yang membosankan ketika liburan Lebaran tahun 2011, kurang lebih tiga tahun sejak insiden itu terjadi. 

Ini adalah salah satu kisah ketika aku salah mengambil kesimpulan dari insiden tersebut. Ketika adikku yang bungsu Fariz masih kecil, umurnya saat itu kira-kira empat tahunan, dia pernah menempelkan berbagai gambar pasel hewan di sebuah buku tulis kosong. Paselnya teramat sederhana sesuai dengan umurnya, menjodohkan bagian depan dengan belakangnya dari berbagai macam jenis hewan. Saat hampir semua pasel hewan tersebut terselesaikan, ada satu hewan yang belum ditemukan bagian belakangnya!

Hewan yang baru ditempelkan gambar bagian depannya saja itu adalah kelinci! Seingatku, pasel itu adalah semacam hadiah dari suatu sereal atau makanan ringan, bukan guntingan dari sebuah majalah anak-anak. Gambar kelinci itu entah mengapa bisa kehilangan bagian belakangnya. Jadinya adikku Fariz itu hanya dapat menempelkan gambar bagian depannya saja yang terdiri dari kepala dan kaki depan.

Di situ aku diam-diam malah berburuk sangka kepada Papah, dengan mengira beliau menyembunyikan gambar bagian tubuh belakang pasel itu karena tidak suka dengan itu hewan. Sebelumnya, aku memang sempat salah paham dengan menyangka beliau membenci kelinci. Syukurlah sangkaanku itu ternyata tidaklah benar, karena ayah kami melengkapi pasel kelinci itu dengan digambar oleh beliau sendiri sebelum bagian belakang itu ditemukan. Skill menggambar beliau memang sangat bagus, terbukti dari hasil gambar beliau yang mampu menyesuaikan dengan artstyle pasel tersebut. 

Setelah pasel kelinci itu dilengkapi dengan gambaran tangan Papah, tak lama kemudian bagian tubuh belakang paselnya baru ditemukan oleh beliau sendiri! Hasil gambar Papah memang sangat mirip dengan gambar pasel aslinya. Di satu sisi aku ikut merasakan lega karena pasel itu berhasil menjadi gambar yang seutuhnya, tetapi juga menyayangkan hasil karya Papah itu akhirnya tertutupi oleh bagian pasel yang sempat hilang itu. Akan tetapi, masih ada lagi satu sisi lainnya, yaitu perasaan bersalah karena aku telah menyangka beliau yang tidak benar, itu tandanya aku telah mengalami overthinking

Pikiranku itu hanya kuketahui oleh diriku sendiri selama kurang lebih sepuluh tahun, hingga catatan ini diketik. Jadi, saat itu tidak seorangpun yang mengetahui bahwa aku sempat berpikir negatif kepada beliau. Sebelum aku memahami kesalahanku pada insiden itu, kukira beliau marah karena beliau benci banget dengan kelinci, sehingga tidak terima jika aku berkeinginan agar hewan itu mendapatkan kepedulian yang sama seperti sesama manusia. Maafkan Teteh ya, Papah, karena Teteh telah salah sangka. 

Dengan terus mengikuti apa saja yang terjadi ketika bagian belakang pasel itu hilang hingga akhirnya ditemukan kembali, asumsi tanpa dasar yang telah hadir dalam kepalaku akhirnya terpatahkan dengan sendirinya. Peristiwa ini terus mendorongku supaya semakin banyak introspeksi, tidak mudah mencurigai orang lain. Apalagi beliau adalah ayahku sendiri. Juga, meningkatkan kemampuanku untuk menyamakan sudut pandangku dengan bagaimana cara pandang orang lainnya pada umumnya.



Monday, July 4, 2022

Hari-hari Gabut Nan Boring yang Akhirnya Disyukuri

Catatan 4 Juli 2022

Papahku memang orangnya tegas dan ketat soal peraturan, jadi sebenarnya bukanlah hal yang langka jika beliau marah atas kesalahan yang kulakukan, entah itu berupa perkataan atau perbuatan. Harusnya sih ya aku tidak kaget dan trauma atas Insiden Kelinci itu. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa butuh waktu paling sedikit tiga tahunan untuk memahami letak kesalahanku pada insiden tersebut. Pemahamanku akan hal itu kudapat ketika pada saat liburan Lebaran 2011 yang membosankan!

Sebelum pandemi menyerang, jika sedang liburan keluargaku memang sudah biasa "di rumah saja" karena sering tidak punya waktu dan biaya untuk bepergian. 

Lantaran hari-hari liburan yang sangat gabut karena tidak ada lagi rencana bepergian, aku saat itu hanya dapat merebahkan diri di atas kasur di kamarku. Aku menghitung lamanya Insiden Kelinci hingga tahun itu, ternyata sudah mencapai tiga tahun! Di situ aku termenung, memikirkan mengapa kemarahan Papah yang satu itu terasa begitu membekas, berbeda dengan kasus-kasus lainnya? Kasus yang satu ini memanglah unik, karena aku butuh berpikir dengan keras untuk menjadi paham letak dari kesalahanku pada saat terjadinya kasus ini. 

Sambil rebahan, pikiranku melayang ke penjelasan Papah tentang apa yang bikin beliau marah karena pertanyaanku pada saat kelinci itu mati. Beliau berkata bahwa aku ini menyamakan atau membandingkan antara anggota keluarga sendiri dengan binatang. Sungguh, bagiku (padahal bagi kebanyakan orang lain hal ini mudah untuk dipahami) penjelasan beliau itu lumayan membingungkan. Mengapa dianggap menyamakan, padahal dulu itu sama sekali tujuannya bukan untuk making fun of my own the late brother, malahan kataku sendiri juga itu tidak funny atau fun sedikitpun!

Sebelum insiden itu terjadi, pemahamanku akan istilah "menyamakan hewan dengan manusia" itu hanya sebatas mencela atau mengejek bentuk tubuh maupun wajah seseorang yang kontennya adalah memiripkan orang yang bersangkutan dengan suatu hewan saja. Beneran, pengertian dari istilah tersebut ternyata lebih luas dari yang kuperkirakan! Baru kupahami maksud beliau ketika sedang rebahan di liburan Idul Fitri 2011 tanpa rencana apapun itu, tanpa kubertanya kepada siapapun! Begitu pikiran ini mendapat pencerahan lewat lamunan, rasanya bagaikan terkena petir di siang bolong, waktu itu memang sedang tengah hari juga.

Ternyata maksudnya dari istilah yang disebut oleh Papah itu adalah "menganggap matinya hewan itu sama pentingnya dengan meninggalnya manusia"! Namun, bagiku kepedulian terhadap makhluk hidup di luar manusia itu memang sama pentingnya dengan memperhatikan sesama anggota keluarga sendiri. Kita juga tidak boleh menelantarkan hidup hewan yang tidak memiliki akal pikiran seperti kita-kita ini, sama seperti kepada sanak saudara kita. Saat terakhir kulihat kelinciku yang berbulu coklat itu adalah pada sore hari menjelang Maghrib sedang berada di luar kandangnya dan semua orang di rumahku lupa untuk memasukkannya kembali ke dalamnya, itulah sebabnya kelinciku itu mati pada saat sahur pertama di bulan Ramadhan 2008. 

"Jadi, menurut Teteh, antara meninggalnya adikmu dengan matinya kelinci itu sama, begitu!?" tanya Papah setelah beliau marah karena pertanyaanku itu.

Kalau ditanya begitu, agak dilematis untuk kujawab. Rasanya agak sulit jika dijawab dengan "Ya" atau "Tidak", karena memang menurutku hewan peliharaan itu sama layaknya untuk diperhatikan seperti manusia, bahkan anggota keluarga sendiri. Akan tetapi, jika kujawab dengan "Ya", beliau akan menyangka bahwa aku justru merendahkan nilai adikku sendiri yang telah wafat karena dibandingkan dengan seekor binatang. Padahal, maksudku sama sekali bukan seperti itu, tidak seburuk seperti kedengarannya bagi mayoritas manusia. 

Lalu, jika sudah ketemu jawabannya dari apanya yang salah dari pertanyaan itu, mengapa kesedihan itu berlanjut hingga lebih dari sepuluh tahun kemudian? Perasaan pahit itu berawal dari kesadaranku akan kesalahan itu. Kepedulianku akan sesama makhluk hidup, sayangnya berakhir sebagai hal yang tidak etis. Semakin lama semakin kupahami bahwa wafatnya seorang anak adalah sesuatu yang sensitif, melebihi rasa kehilanganku sebagai seorang kakak, jadi tidak boleh diulik-ulik.

Untuk cari amannya, kujawab saja dengan "Tidak". Karena memang tujuannya benar-benar tidak untuk membuat worth dari nyawa adikku itu jatuh. Malahan aku kaget untuk yang kedua kalinya setelah mendengar Papah marah, begitu mengetahui ternyata bagi beliau pertanyaan itu dirasa melecehkan. Otakku berpikir keras untuk mencerna bahwa "menganggap nyawa hewan sama pentingnya dengan manusia adalah hal yang menyinggung".

Sudut pandangku ini langka, sehingga lumayan sulit untuk dipahami kebanyakan orang. Akibatnya, aku sering kesulitan untuk memahami sebab seseorang tersinggung dengan perkataanku. Maka, banyak orang yang mengiraku ini bodoh. Beruntunglah Papah sempat mengatakan tentang perbedaan caraku dan cara orang lain memandang banyak hal, yang justru merupakan keunikan tersendiri dari diriku dan bukannya penyakit mental.

"Orang yang kreatif adalah orang yang mampu melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Karena kamu memiliki sudut pandang yang unik dibandingkan orang-orang, makanya kamu itu kreatif," terang psikolog aku.

Dengan menulis catatan ini, aku jadi mensyukuri liburan Lebaran 2011 yang gabut dan boring itu. Jika saja saat itu aku tengah piknik, tidak akan ada waktu untukku rebahan sambil merenungkan lebih dalam peristiwa itu. Malah justru banyak mengikuti piknik belum tentu menghiburku dan menemukan akar dari masalahku. Itu terbukti dari akhir tahun 2008 ketika aku banyak piknik, sekitar satu hingga tiga bulan dari insiden kelinci itu.



Menampilkan "Sisi Kurang Sopan" dari Karakter Ciptaanku dengan Sarong

Catatan 4 Juli 2022

Karena sering membaca tweet tentang OC (original character), aku jadi teringat banyak karakter ciptaanku yang masih sangat kurang mendapatkan perhatian dariku. Salah satu tokoh favorit yang berasal dari ideku sendiri adalah Bella Hayden (tadinya mau pake nama keluarga Lasseter), doi ini terpicu untuk kubuat karakter setelah lama mengenal game Sally Salon. Game tersebut biasa kumainkan di komputer LCD ketika aku kelas VIII. Tokoh Bella ini dibuat berdasarkan tokoh "Bride" dari game tersebut. 
Tweet tentang OC itu biasanya meminta para pembuatnya untuk menampilkan gambar karakter ciptaan mereka masing-masing. Setelah sering menampilkan gambar Bella, aku baru sadar ternyata gambarnya itu sedikit sekali! Bahkan aku belum pernah menggambarnya dalam pakaian di luar baju utamanya! Hehehe, ide yang sedikit nakal menghampiri kepalaku, tetapi tenang saja, aku tidak akan pernah menikmati menggambar sesuatu yang 18+ kategorinya. 

Setelah menonton episode ke pantai dari serial kartun American Dad, aku mendapatkan ide tersebut. Ide yang agak kurang baik ini kudapatkan ketika melihat Francine, salah satu tokoh utama serial tersebut mengenakan pakaian renang plus sarong (rok lilit dari kain pantai), jenis pakaian renang yang paling kusukai. Pakaian renang dan sarongnya berwarna merah dengan corak bunga-bunga, cocok untuk imej Bella yang identik dengan berbagai jenis bunga dan warna pink atau merah. Sudah lama aku ingin menggambar karakter dengan sarong sebagai pelengkap pakaian renangnya, setelah menggambar Vanessa Doofenshmirtz pada bulan Desember 2021 lalu. 

Inspirasi lainnya dari karakter Bella Hayden adalah Suzie Kokoschka dari Hey Arnold. Suzie atau Mrs. Kokoschka juga pernah memakai pakaian renang ber-sarong pada sebuah episode pantai. Ini sih membuatku semakin kuat buat memilih sarong sebagai bagian dari pakaian renangnya Bella! Pakaian utamanya Suzie adalah pink, ketika berganti menjadi pakaian untuk ke pantai, warnanya berganti menjadi merah, situasi tersebut sama untuk Bella.

Satu karakter lagi yang ikut menjadi referensi pembuatan karakter Bella! Pastinya ini adalah karakter yang paling terkenal dari semua karakter yang sebelumnya kusebutkan dan juga dikenal sangat baik oleh para anak perempuan! Siapa sih yang masih asing dengan Sunset Shimmer dari Equestria Girls? Tokoh dengan nickname "Sunshim" ini kuambil gaya rambutnya sebagian untuk Bella, Sunshim juga mengenakan pakaian renang tipe sarong!

Ya, sudah fix untuk model pakaian renang Bella adalah tipe "ber-sarong" dan didominasi warna merah. Panjang sarong-nya akan mengikuti kepunyaannya Francine Smith, bagian atasnya akan mengikuti yang dikenakan oleh Suzie Kokoschka, dan pewarnaannya akan meniru sebagian dari sarong milik Sunset Shimmer. Skema warna Bella tidak memiliki warna kuning, jadinya warna tersebut dari sarong Sunshim tidak akan dimasukkan ke dalam gradasi warna pakaian renang Bella. Coraknya akan berupa corak bunga seperti Francine, tetapi akan digantikan dengan mawar alih-alih kembang sepatu (hibiscus). 

Sebagai anak yang besar di keluarga cukup religius, aku dididik ketat soal aurat wanita. Itu termasuk soal menggambar. Akan tetapi, ketika aku konsultasi dengan psikolog aku waktu itu, kata beliau sebaiknya aku membebaskan diriku sendiri untuk menggambar apa saja yang ada dalam pikiran ini. Meskipun terdengar bertentangan dengan ajaran agama Islam yang ditanamkan oleh ortu sejak kecil, itu justru akan lebih mengembangkan potensiku menghasilkan karya menurut beliau.

Entah perasaan apa namanya yang timbul ini, pastinya timbul semacam rasa bangga kepada diriku sendiri setelah menggambar karakter kartun dengan pakaian yang tidak terlalu sopan seperti Vanessa tadi. Kalau begitu, aku jangan ragu lagi untuk menambah keragaman jenis pakaian untuk para OC! Bukan hanya untuk Bella saja, aku juga ingin menggambar Davina dalam pakaian renangnya, hanya saja modelnya bukan plus sarong seperti yang pertama disebutkan. 


Ketidakjujuran Hanya Akan Memperumit Masalah

Catatan 1 Juli 2022

Kata pamanku, adik bungsunya Papa almarhum, aku ini terobsesi dengan insiden kelinci. Ya, beliau memang benar karena aku terus saja mengaitkan banyak hal dengan peristiwa lama tersebut. Sekali saja menemukan kata "meninggal/mati", "membandingkan", "menyamakan", atau "tidak etis", ingatanku segera terpicu akan insiden tersebut. Efek samping dari kisah itu berlangsung lama sekali dan baru terpecahkan cara untuk mengobatinya ketika sudah lewat dari sepuluh tahun kejadiannya.

Mengapa kesedihan itu bisa berlangsung lama, lama, lama sekali? Salah satu faktor yang kuketahui adalah kurang terbukanya aku dengan orang lain untuk mencari solusi untuk mengatasinya ketika kejadian itu masih baru atau agak baru. Ketika aku diam-diam menangisi peristiwa itu di sekolah saat kelas V SD lalu seorang kawan perempuan memergokiku menangis, bukannya menceritakan kisah yang sebenarnya, malah beralasan "kelinciku mati". Padahal waktu itu kami sedang berada di bulan puasa Ramadlan, kok aku malah berbohong?

Baiklah, mungkin pada saat itu aku tidak sepenuhnya berkata bohong. Pada saat kelinci itu mati, aku memang sedih, yang tentunya tidak akan melebihi rasa kehilangan anggota keluarga yang sebenarnya. Akan tetapi, ketika tertangkap basah sedang menangis itu, bukan lagi kematian kelinci peliharaan itu yang menyebabkannya. Seperti yang sudah sering kuceritakan, tangisan itu muncul sebab tingkat insecure diriku ini tinggi sekali, karena mencurigai bahwa aku ini orang bodoh, sebelum akhirnya berkonsultasi dengan psikolog.

Ditambah pengalaman memang sering dikatai "bodoh" oleh banyak teman sekelas karena aku juga banyak tidak mengerti Matematika, aku berusaha menutupi rapat-rapat kisah nyata itu. Oleh karena itu, bukannya jujur menceritakan tentang peristiwa itu, malahan memilih untuk mengada-ada dengan cerita yang lebih mudah untuk diterima oleh orang banyak. Alhasil, kesedihan itu belum juga benar-benar terobati, padahal belum tentu juga si kawan itu akan mencemooh atau merespon dengan buruk jika saja kuceritakan yang sebenarnya. Kesalahanku yang serupa alias "same energy" dengan kejadian di sekolah tadi itu adalah ketika acara halalbihalal bersama keluarga besar plus ART pada saat aku kelas V.

Ini sudah pernah kubahas pada catatan tahun 2021 lalu. Ketika aku curhat pada seorang ART pada acara halalbihalal tadi, aku hanya menceritakan bahwa aku hanya merasa bodoh saja, tanpa membahasnya lebih jauh. Padahal nasihatnya sangat menyentuh, sayangnya sering terlupakan karena tidak masuk ke inti masalahnya. Hal itu bisa terjadi karena belum adanya keberanian untuk mengisahkan tentang peristiwa itu dengan jujur karena khawatir akan semakin dianggap aneh oleh orang lain. Karena terlalu banyak merasa rendah diri dan bukannya percaya diri, tidak lagi dapat mengingat kelebihan dari diriku sendiri dan lupa dengan perkataan banyak orang yang membesarkan hatiku.

Bukti dari diriku sebagai pengidap OCD adalah terlalu terpaku dengan tokoh yang sudah menjadi tokoh idola sebelum insiden itu terjadi, nama ini sudah tidak asing lagi : Danny Phantom! Sebagai penghilang rasa tertekan akibat rendah diri yang teramat hebatnya, malahan kututupi perasaan tidak menyenangkan itu dengan canda tawa seputar si tokoh dengan inisial DP itu. Tanda yang paling jelas bahwa aku sudah kecanduan Danny Phantom itu adalah sering sekali tertawa kencang ketika memandangi gambarnya. Itu kulakukan dengan banyak mengkhayalkan berbagai skenario lucu agar tidak terus menerus terpikirkan soal insiden kelinci itu. 

Dengan menghindari pemecahan masalah yang sebenarnya, malah memberikan macam-macam dampak buruk dari ketertarikanku kepada Danny Phantom yang tidak sehat. Dari seringnya mengkhayal kisah-kisah gila mengenai DP, malah aku justru yang dikira gila oleh banyak teman karena sering tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas. Keluarga dan teman jadi bosan bahkan mungkin muak dengan sang karakter pahlawan super itu karena selalu kubawakan tanpa henti. Malahan tokoh itu menciptakan tekanan batin yang baru karena dia kurang terkenal sehingga sulit untuk ditemukan barang-barangnya, tidak seperti Spongebob. 

Bakat menggambarku jadi tidak dapat berkembang dengan optimal karena terus berputar-putar dalam melukiskan Danny Phantom. Sampai-sampai bapak wali kelasku saat itu berkata, "Jangan menggambar tokoh kartun yang sudah ada terus dong. Sesekali ciptakanlah tokoh buatanmu sendiri." Akupun merindukan saat-saat dahulu ketika ideku masih mengalir lancar, tidak buntu seperti itu. Mendadak otakku berhenti menghasilkan ide untuk menggambar di luar DP saat masih suka dengan dia. 

Karena rasa yang mungkin adalah trauma akibat Insiden Kelinci selama ini tidak segera benar-benar teratasi, kemudian menjadi semakin sulit untuk diobati hingga bertahun-tahun lamanya.

Menghibur diri dengan minat dan hobi memang baik untuk dilakukan, akan tetapi jagalah agar itu semua tidak sampai malah menguasai pikiran kita dan berusahalah untuk jujur dalam mengungkapkan perasaan kita supaya mudah mencari jalan keluar dari masalah dengan jitu.

Tambahan : catatan ini lagi-lagi tidak diposkan tepat waktu, karena saat itu aku harus fokus mengerjakan tugas UAS!

Sunday, July 3, 2022

Anak-anak Adalah Sumber Ide yang Paling Penting!

Catatan 3 Juli 2022

Kemarin aku sudah kehabisan topik untuk ditulis di sini. Jangan sampai terlewat lagi hari ini, karena biasanya jika sekalinya tidak menulis catatan baru, akan bablas ke hari-hari berikutnya. Nanti bisa-bisa berbulan-bulan tidak aktif lagi blog aku ini, seperti ketika selama bulan Maret hingga Mei lalu tahun ini. Alhamdulillah, aku bersyukur sudah mulai bisa move on dari perasaan bersalah dan insecure yang begitu menekan dari insiden kelinci, karena aku sudah mulai menemukan cara untuk mengobatinya.

Mengapa bisa bertahan demikian lamanya perasaan bersalah dan menyesal akibat diriku yang keceplosan itu, sampai melebihi sepuluh tahun lamanya? Karena pada waktu yang lama itu juga, aku belum menemukan cara yang jitu untuk mengendalikan rasa yang negatif itu, hingga akhirnya aku menemui psikolog yang juga seorang wanita. Beliau berkata, untuk membasmi perasaan yang tidak menyenangkan itu, aku harus berfokus pada potensi yang ada dalam diriku ini. Segera saja teringat, sudah berapa lama ya aku tidak melakukan hobiku menggambar? 

Bapak wali kelasku saat kelas V dan VI SD pernah menyarankan agar aku mengembangkan tokoh ciptaan sendiri, karena saat itu beliau selalu melihatku menggambar Danny Phantom. Meskipun karyaku sekarang bukanlah hal yang spektakuler macam Doraemon atau Spongebob, setidaknya hobiku akan menutupi apapun yang membuatku merasa rendah diri alias insecure. Kira-kira empat jam yang lalu sebelum tulisan ini diketik, aku pergi ke warung terdekat dari rumah untuk berbelanja mi instan goreng dan kuah. Kukira saat itu hanya akan menjadi waktu berbelanja yang biasa saja, sampai akhirnya aku menemui anak gadis dari pasangan yang mengelola warung tersebut dan anak lelaki yang merupakan tetanggaku sekaligus teman si anak gadis tadi.

Anak gadis itu memberitahuku bahwa telah hadir komik tentang Minions, makhluk kecil-kecil berwarna kuning berseragam overall dari bahan jeans. Aku merasa takjub karena mereka (para pencipta karakter) berhasil merambah ke dunia buku bacaan, tidak hanya sebatas film saja. Sedangkan si anak lelaki menceritakan tentang keberhasilannya menjual hasil karya gambarnya lewat aplikasi toko online, satu gambar dijualnya dengan harga Rp4.000,- Dari usahanya menjual gambar, dia sudah mendapatkan pelanggan, lho!

Sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi bagiku ketika mengetahui anak yang berjualan gambar buatan sendiri di lapak daring, karena sebelumnya sudah pernah kutemukan lewat berita di website. Tetapi, untuk yang kali ini berbeda dan impact-nya jelas lebih terasa, karena pelakunya adalah anak yang kukenal secara real life! Sebelum mematok harga tinggi seperti para seniman di internet yang melakukan commission (gambar berbayar), sebagai langkah awal aku ingin berjualan gambar seperti anak tadi. Hebat, padahal dia baru akan naik ke kelas IV SD!

Jika menulis komik dirasa terlalu ribet dan makan waktu, aku wajib melemaskan tangan dengan berjualan gambar karya seni sendiri seperti si anak lelaki itu. Saat nanti sudah "kecanduan" menggambar sama seperti ketika aku masih anak SD hingga SMP dulu, mungkin barulah bisa aku memulai untuk menulis sebuah buku komik. Biasanya semangatku menggambar terpacu ketika sering berkumpul dengan anak-anak tetangga atau berkunjung ke rumah mereka. Nah, berarti aku sudah mulai menemukan pemecah art block, alias "mager menggambar". 

Untuk menentukan jenis gambarnya untuk dijual, aku akan menggambar hanya karakter yang aku ciptakan sendiri atau versi genderbent dari karakter yang sudah ada. Jika gambarnya berupa fanarts dari karakter yang sudah ada (tanpa di-genderbent), itu tidak akan kujual dan akan dipajang secara cuma-cuma di Instagram. Menjual gambar dari karakter yang bukan diciptakan oleh diriku sendiri adalah hal yang sebenarnya dilarang, karena menyangkut hak cipta. Oleh karena itu, ini adalah waktunya berbagai karakterku menemukan penggemarnya jika mereka belum juga ditetapkan Lore atau kisah hidupnya.

Baru saja aku mendapat insight dari sebab mudahnya aku saat kecil dulu untuk mendapatkan ide menggambar. Karena, kebanyakan ideku berasal dari kejadian di sekitarku, salah satunya adalah dari keseharian bersama teman-teman di kelas. Ketika aku masih SD, otomatis semua temanku adalah anak-anak. Wajarlah jika mereka berhasil "menyumbangkan" ide untuk karyaku.

Contohnya, saat aku kelas V, seorang teman cowok berbadan tambun memasang kumis dan janggut palsu yang terbuat dari kertas buku tulis di wajahnya. Setelah rambut wajah palsu dari kertas putih bergaris itu tertempel, dia berseru "Hohoho" layaknya Sinterklas, hanya saja tentu dia tidak mengenakan topi kerucut merah. Aktingnya cocok sekali dengan tipe badannya, sehingga menginspirasiku untuk menggambar tokoh legendaris tersebut dalam buku corat-coret pribadiku saat itu. Itu baru satu saja dari sekian banyaknya ide menggambar yang kudapatkan dari tingkah anak-anak di sekitarku, hihihi! 

Friday, July 1, 2022

Menghibur Diri Janganlah Sampai Membuat Lupa Diri

Catatan 1 Juli 2022

Kata pamanku, adik bungsunya Papa almarhum, aku ini terobsesi dengan insiden kelinci. Ya, beliau memang benar karena aku terus saja mengaitkan banyak hal dengan peristiwa lama tersebut. Sekali saja menemukan kata "meninggal/mati", "membandingkan", "menyamakan", atau "tidak etis", ingatanku segera terpicu akan insiden tersebut. Efek samping dari kisah itu berlangsung lama sekali dan baru terpecahkan cara untuk mengobatinya ketika sudah lewat dari sepuluh tahun kejadiannya.

Mengapa kesedihan itu bisa berlangsung lama, lama, lama sekali? Salah satu faktor yang kuketahui adalah kurang terbukanya aku dengan orang lain untuk mencari solusi untuk mengatasinya ketika kejadian itu masih baru atau agak baru. Ketika aku diam-diam menangisi peristiwa itu di sekolah saat kelas V SD lalu seorang kawan perempuan memergokiku menangis, bukannya menceritakan kisah yang sebenarnya, malah beralasan "kelinciku mati". Padahal waktu itu kami sedang berada di bulan puasa Ramadlan, kok aku malah berbohong?

Baiklah, mungkin pada saat itu aku tidak sepenuhnya berkata bohong. Pada saat kelinci itu mati, aku memang sedih, yang tentunya tidak akan melebihi rasa kehilangan anggota keluarga yang sebenarnya. Akan tetapi, ketika tertangkap basah sedang menangis itu, bukan lagi kematian kelinci peliharaan itu yang menyebabkannya. Seperti yang sudah sering kuceritakan, tangisan itu muncul sebab tingkat insecure diriku ini tinggi sekali, karena mencurigai bahwa aku ini orang bodoh, sebelum akhirnya berkonsultasi dengan psikolog.

Ditambah pengalaman memang sering dikatai "bodoh" oleh banyak teman sekelas karena aku juga banyak tidak mengerti Matematika, aku berusaha menutupi rapat-rapat kisah nyata itu. Oleh karena itu, bukannya jujur menceritakan tentang peristiwa itu, malahan memilih untuk mengada-ada dengan cerita yang lebih mudah untuk diterima oleh orang banyak. Alhasil, kesedihan itu belum juga benar-benar terobati, padahal belum tentu juga si kawan itu akan mencemooh atau merespon dengan buruk jika saja kuceritakan yang sebenarnya. Kesalahanku yang serupa alias "same energy" dengan kejadian di sekolah tadi itu adalah ketika acara halalbihalal bersama keluarga besar plus ART pada saat aku kelas V.

Ini sudah pernah kubahas pada catatan tahun 2021 lalu. Ketika aku curhat pada seorang ART pada acara halalbihalal tadi, aku hanya menceritakan bahwa aku hanya merasa bodoh saja, tanpa membahasnya lebih jauh. Padahal nasihatnya sangat menyentuh, sayangnya sering terlupakan karena tidak masuk ke inti masalahnya. Hal itu bisa terjadi karena belum adanya keberanian untuk mengisahkan tentang peristiwa itu dengan jujur karena khawatir akan semakin dianggap aneh oleh orang lain. Karena terlalu banyak merasa rendah diri dan bukannya percaya diri, tidak lagi dapat mengingat kelebihan dari diriku sendiri dan lupa dengan perkataan banyak orang yang membesarkan hatiku.

Bukti dari diriku sebagai pengidap OCD adalah terlalu terpaku dengan tokoh yang sudah menjadi tokoh idola sebelum insiden itu terjadi, nama ini sudah tidak asing lagi : Danny Phantom! Sebagai penghilang rasa tertekan akibat rendah diri yang teramat hebatnya, malahan kututupi perasaan tidak menyenangkan itu dengan canda tawa seputar si tokoh dengan inisial DP itu. Tanda yang paling jelas bahwa aku sudah kecanduan Danny Phantom itu adalah sering sekali tertawa kencang ketika memandangi gambarnya. Itu kulakukan dengan banyak mengkhayalkan berbagai skenario lucu agar tidak terus menerus terpikirkan soal insiden kelinci itu. 

Dengan menghindari pemecahan masalah yang sebenarnya, malah memberikan macam-macam dampak buruk dari ketertarikanku kepada Danny Phantom yang tidak sehat. Dari seringnya mengkhayal kisah-kisah gila mengenai DP, malah aku justru yang dikira gila oleh banyak teman karena sering tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas. Keluarga dan teman jadi bosan bahkan mungkin muak dengan sang karakter pahlawan super itu karena selalu kubawakan tanpa henti. Malahan tokoh itu menciptakan tekanan batin yang baru karena dia kurang terkenal sehingga sulit untuk ditemukan barang-barangnya, tidak seperti Spongebob. 

Bakat menggambarku jadi tidak dapat berkembang dengan optimal karena terus berputar-putar dalam melukiskan Danny Phantom. Sampai-sampai bapak wali kelasku saat itu berkata, "Jangan menggambar tokoh kartun yang sudah ada terus dong. Sesekali ciptakanlah tokoh buatanmu sendiri." Akupun merindukan saat-saat dahulu ketika ideku masih mengalir lancar, tidak buntu seperti itu. Mendadak otakku berhenti menghasilkan ide untuk menggambar di luar DP saat masih suka dengan dia. 

Karena rasa yang mungkin adalah trauma akibat Insiden Kelinci selama ini tidak segera benar-benar teratasi, kemudian menjadi semakin sulit untuk diobati hingga bertahun-tahun lamanya.

Menghibur diri dengan minat dan hobi memang baik untuk dilakukan, akan tetapi jagalah agar tidak menguasai pikiran kita dan berusahalah untuk jujur dalam mengungkapkan perasaan kita supaya mudah mencari jalan keluar dari masalah dengan jitu.


Thursday, June 30, 2022

Majalah Lama Penuh Insight

Catatan 30 Juni 2022

"Kita itu harus adil dalam menilai kejadian tersebut!" seru Mama ketika aku menanyakan kepada beliau bagaimana caranya menghilangkan traumaku atas Insiden Kelinci itu.

Dari kalimat dialog di atas, sebenarnya memang tidak ada hal yang salah. Namun, beliau mengucapkan kalimat tadi itu karena dianggapnya aku tidak terima atas kemarahan Papa atau menyalahkan beliau. Padahal, seperti yang biasa kubilang, justru diriku sendirilah yang selalu kusalahkan selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. Akan tetapi, kurasa tidak pernah ada orang yang memintaku agar adil dalam menilai diri sendiri, oleh karena itu aku harus memintanya kepada diri sendiri. 


Aku membeli lagi sebuah majalah populer berjudul "Girls" edisi 15 tahun III bulan Maret 2008, karena majalah edisi tersebut pernah kumiliki sebagai kenang-kenangan ketika sekolahku waktu SD mengadakan field trip ke sebuah toko buku sohor pada tahun yang sama dengan terbitnya majalah tersebut. Toko buku itu menghadiahkan majalah itu kepada semua pengunjung dari angkatan kami, seingatku malah anak-anak cowok juga diberikan! Padahal kan jelas majalah itu konsumsi untuk anak-anak perempuan, judulnya saja "Girls"! Untungnya edisi tersebut tertolong oleh fotonya Kak Bobby Joseph di sampulnya, sehingga teman-teman cowok di kelasku tidak akan begitu risih memegang majalah itu.

Majalah tadi itu membahas topik "mencintai diri sendiri". Berhubung majalah tersebut sudah lama sekali, tentu saja sudah hilang. Faktor utama yang membuatku membeli ulang majalah edisi tersebut dari sebuah toko online adalah sebuah rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?", adalah tentang seberapa narsisnya kita sebagai pembaca. Terdapat tiga kategori untuk hasil dari kuis tersebut : "narsis", "mencintai diri sendiri", dan "sebal dengan diri sendiri".


Seumur hidupku, jelas aku tidak pernah menjadi cewek narsis. Ketika baru pertama kalinya membaca rubrik kuis tersebut, kukira hasilnya adalah kategori yang terakhir, yaitu "sebal dengan diri sendiri". Ternyata, setelah kujawab semua pertanyaannya, hasil yang keluar adalah kategori yang pertengahan, yaitu "mencintai diri sendiri", itu artinya aku (dulunya) mencintai diri tetapi tidak berlebihan hingga mencapai kategori yang pertama, "narsis". Kuis itu kujawab beberapa bulan sebelum Insiden Kelinci terjadi dan rupanya hasilnya malah berubah setelah insiden itu!

Ya, aku jadi "sebal dengan diri sendiri" sejak keceplosan melontarkan pertanyaan teraneh dan juga kurang sopan untuk ditanyakan itu. Teman-teman di sekolahku saat itu yang sering mengejekku "bodoh", kuanggap mereka itu benar selama belasan tahun lamanya. Pada tahun ketigabelas dari kejadian itu, syukur Alhamdulillah aku mendapat rejeki untuk berkonsultasi dengan psikolog yang hasilnya adalah anggapan rendah untuk diri sendiri itu adalah tidak tepat atau irasional. Di tahun 2022 ini, kucoba untuk menjawab lagi kuis yang sama dari majalah dengan foto Kak Bobby Joseph ketika remaja yang kubeli ulang itu.

Memang tidak seperti cewek pada umumnya yang membeli majalah karena foto artis pujaannya di cover majalah itu, melainkan aku membelinya karena kuis tersebut. Kak Bobby Joseph pada covernya yang dulu adalah pemain sinetron "Candy" sebagai Terry dan sinetron "Mentari" sebagai "Bara", entah mengapa tidak begitu membuatku antusias atau terpesona. Sempat kukira hasil jawabanku dari kuis "uji narsis" itu adalah "sebal dengan diri sendiri", seperti keadaanku selama ini. Namun, ternyata hasilnya masih tepat sama seperti jawaban dari empat belas tahun lebih yang lalu!

Aku belum sepenuhnya kehilangan cintaku kepada diri sendiri! Pertanyaan pertama kuis tersebut adalah "Jika kamu menilai dirimu sendiri, kamu adalah cewek dengan nilai ..." Hampir saja kujawab "2-4" yang merupakan jawaban yang akan dipilih oleh cewek yang tidak ada rasa cinta kepada dirinya. Tiba-tiba saja terbersit pikiran bahwa aku ini harus adil dalam menilai diri sendiri, masa hanya gara-gara satu kesalahanku saja penilaian diri malah jadi hancur lebur?

Kemudian, jawabannya adalah "5-7", angka yang termasuk dalam jumlah nilai di batas rata-rata. Masih tepat sama seperti dahulu, sebelum insiden yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun 2008 itu. Angka segitu cukup untuk menilai diri ini. Kita menyadari tidak mencapai nilai "8-10" karena kita tahu betul diri kita ini tidaklah sempurna, sedangkan kita juga tidak boleh kufur nikmat dengan melabeli diri menggunakan nilai angka yang teramat rendah. 

Rasanya terharu ketika masih menemukan rasa cinta akan diri sendiri dalam hati ini dalam kadar yang aman, tidak terlalu sedikit dan tidak juga berlebihan. Majalah itu ternyata sangat bermanfaat untuk mengurangi, kalau belum bisa sepenuhnya mengusir, penilaian buruk terhadap diriku ini. Kata psikolog aku waktu itu, wajib hukumnya untuk berfokus pada minat untuk mengembangkan kelebihanku, bukan lagi berfokus pada perasaan yang negatif. Diulas juga dalam majalah itu film Spiderwick Chronicles, di film tersebut terdapat sebuah buku legendaris yang membuatku selalu ingin memilikinya!

Jika menemukan buku yang menjadi poin penting dalam film atau serial, selalu saja timbul rasa ingin memiliki benda serupa! Jelas saja pada kenyataannya tidak akan menyamai persis buku tersebut. Kalau sudah begitu, aku selalu ingin membuat buku seperti itu dalam versiku sendiri. Biasanya buku jenis begitu mirip-mirip buku katalog, dalam versiku adalah buku katalog pengenalan tokoh ceritaku.

Last but not least, bagian kesukaanku yang lain dari rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?" tadi itu adalah gambar gadis kartun berambut hijau kebiruan berombak. Sebenarnya total ada tiga gambar gadis kartun yang nongol dalam rubrik kuis-tidak-berhadiah tersebut, akan tetapi menurutku si rambut hijau itu outfit-nya paling ikonik. Gadis-gadis itu bukanlah karakter dari acara animasi yang sudah ada semisal Vanessa Doofenshmirtz, melainkan hanya rekaan sang illustrator majalah dan mereka tampil hanya satu kali saja. Bahkan, mereka tidak perlu memiliki nama! 


Gambar si gadis rambut hijau teal itu juga memantik ideku menggambar! Sudah lama sekali aku ingin menggambar Michiru Kaio alias Sailor Neptune dengan pakaian yang dikenakan gadis pada rubrik itu. Model dan warna rambutnya memang hampir sama seperti Michiru itu tadi. Ah, sepertinya hanya kebetulan saja.

Ilustrasi dari rubrik kuis tersebut adalah karyanya Kak Iwan Nazif.

Penerbit : PT. Kompas Gramedia/Gramedia Majalah
Jenis terbitan : majalah gadis pra-remaja
Penulis : tim redaksi majalah
Tahun Terbit : 2008
Negara Asal : Indonesia 
Bahasa Asli/Terjemahan : bahasa asli
Bahasa : Indonesia 

Pengaruh Karakter Anime dan Animasi Barat pada Karakter Ciptaanku

Catatan Minggu, 24 November 2024 Karakter dengan kekuatan es selalu menarik perhatianku. Ada sesuatu yang luar biasa tentang bagaimana eleme...