Berhubung perbedaan sudut pandangnya aku ini agak lain atau malah kadang beda jauh dengan orang-orang, jadinya seringkali butuh waktu lama buat paham letak kesalahanku pada banyak kasus. Aku sudah sangsi sejak berhari-hari yang lalu jika menuliskan tentang Insiden Kelinci itu, khawatir orang yang membacanya malah bosan. Kuakui sih, aku memang memiliki semacam obsesi non-kesukaan akan peristiwa itu. Namun, hal yang menyebabkan obsesi itu tumbuh adalah karena banyak sekali hal luar biasa yang terjadi dalam hidupku setelahnya.
Insiden Kelinci itu sendiri memang kejadian yang luar biasa, dalam artian "terlalu tidak umum". Oleh karena itu, selama bertahun-tahun lumayan sulit untuk memahami apa yang menjadi kesalahanku jika bertanya seperti pada kejadian itu. Pada salah satu hasil screenshot di atas, tertulis banyak cara untuk "self-reward". Cara yang menurutku paling "ngena" adalah kalimat yang terakhir, yaitu "Don't trust your first conclusion".
Kalimat terakhir tadi itu jika diartikan kata perkata adalah "Jangan memercayai kesimpulanmu yang pertama." Tetapi, terjemahan yang lebih terasa enakan kira-kira adalah "Jangan langsung percaya dengan kesimpulan yang pertama muncul di kepalamu" atau lebih singkatnya, "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan". Dalam memahami Insiden Kelinci ini, aku memang sempat beberapa kali salah menyimpulkan arti dari kemarahan Papah pada saat kejadian itu. Sampai akhirnya ketika aku rebahan pada suatu siang yang membosankan ketika liburan Lebaran tahun 2011, kurang lebih tiga tahun sejak insiden itu terjadi.
Ini adalah salah satu kisah ketika aku salah mengambil kesimpulan dari insiden tersebut. Ketika adikku yang bungsu Fariz masih kecil, umurnya saat itu kira-kira empat tahunan, dia pernah menempelkan berbagai gambar pasel hewan di sebuah buku tulis kosong. Paselnya teramat sederhana sesuai dengan umurnya, menjodohkan bagian depan dengan belakangnya dari berbagai macam jenis hewan. Saat hampir semua pasel hewan tersebut terselesaikan, ada satu hewan yang belum ditemukan bagian belakangnya!
Hewan yang baru ditempelkan gambar bagian depannya saja itu adalah kelinci! Seingatku, pasel itu adalah semacam hadiah dari suatu sereal atau makanan ringan, bukan guntingan dari sebuah majalah anak-anak. Gambar kelinci itu entah mengapa bisa kehilangan bagian belakangnya. Jadinya adikku Fariz itu hanya dapat menempelkan gambar bagian depannya saja yang terdiri dari kepala dan kaki depan.
Di situ aku diam-diam malah berburuk sangka kepada Papah, dengan mengira beliau menyembunyikan gambar bagian tubuh belakang pasel itu karena tidak suka dengan itu hewan. Sebelumnya, aku memang sempat salah paham dengan menyangka beliau membenci kelinci. Syukurlah sangkaanku itu ternyata tidaklah benar, karena ayah kami melengkapi pasel kelinci itu dengan digambar oleh beliau sendiri sebelum bagian belakang itu ditemukan. Skill menggambar beliau memang sangat bagus, terbukti dari hasil gambar beliau yang mampu menyesuaikan dengan artstyle pasel tersebut.
Setelah pasel kelinci itu dilengkapi dengan gambaran tangan Papah, tak lama kemudian bagian tubuh belakang paselnya baru ditemukan oleh beliau sendiri! Hasil gambar Papah memang sangat mirip dengan gambar pasel aslinya. Di satu sisi aku ikut merasakan lega karena pasel itu berhasil menjadi gambar yang seutuhnya, tetapi juga menyayangkan hasil karya Papah itu akhirnya tertutupi oleh bagian pasel yang sempat hilang itu. Akan tetapi, masih ada lagi satu sisi lainnya, yaitu perasaan bersalah karena aku telah menyangka beliau yang tidak benar, itu tandanya aku telah mengalami overthinking.
Pikiranku itu hanya kuketahui oleh diriku sendiri selama kurang lebih sepuluh tahun, hingga catatan ini diketik. Jadi, saat itu tidak seorangpun yang mengetahui bahwa aku sempat berpikir negatif kepada beliau. Sebelum aku memahami kesalahanku pada insiden itu, kukira beliau marah karena beliau benci banget dengan kelinci, sehingga tidak terima jika aku berkeinginan agar hewan itu mendapatkan kepedulian yang sama seperti sesama manusia. Maafkan Teteh ya, Papah, karena Teteh telah salah sangka.
Dengan terus mengikuti apa saja yang terjadi ketika bagian belakang pasel itu hilang hingga akhirnya ditemukan kembali, asumsi tanpa dasar yang telah hadir dalam kepalaku akhirnya terpatahkan dengan sendirinya. Peristiwa ini terus mendorongku supaya semakin banyak introspeksi, tidak mudah mencurigai orang lain. Apalagi beliau adalah ayahku sendiri. Juga, meningkatkan kemampuanku untuk menyamakan sudut pandangku dengan bagaimana cara pandang orang lainnya pada umumnya.