Sunday, July 3, 2022

Anak-anak Adalah Sumber Ide yang Paling Penting!

Catatan 3 Juli 2022

Kemarin aku sudah kehabisan topik untuk ditulis di sini. Jangan sampai terlewat lagi hari ini, karena biasanya jika sekalinya tidak menulis catatan baru, akan bablas ke hari-hari berikutnya. Nanti bisa-bisa berbulan-bulan tidak aktif lagi blog aku ini, seperti ketika selama bulan Maret hingga Mei lalu tahun ini. Alhamdulillah, aku bersyukur sudah mulai bisa move on dari perasaan bersalah dan insecure yang begitu menekan dari insiden kelinci, karena aku sudah mulai menemukan cara untuk mengobatinya.

Mengapa bisa bertahan demikian lamanya perasaan bersalah dan menyesal akibat diriku yang keceplosan itu, sampai melebihi sepuluh tahun lamanya? Karena pada waktu yang lama itu juga, aku belum menemukan cara yang jitu untuk mengendalikan rasa yang negatif itu, hingga akhirnya aku menemui psikolog yang juga seorang wanita. Beliau berkata, untuk membasmi perasaan yang tidak menyenangkan itu, aku harus berfokus pada potensi yang ada dalam diriku ini. Segera saja teringat, sudah berapa lama ya aku tidak melakukan hobiku menggambar? 

Bapak wali kelasku saat kelas V dan VI SD pernah menyarankan agar aku mengembangkan tokoh ciptaan sendiri, karena saat itu beliau selalu melihatku menggambar Danny Phantom. Meskipun karyaku sekarang bukanlah hal yang spektakuler macam Doraemon atau Spongebob, setidaknya hobiku akan menutupi apapun yang membuatku merasa rendah diri alias insecure. Kira-kira empat jam yang lalu sebelum tulisan ini diketik, aku pergi ke warung terdekat dari rumah untuk berbelanja mi instan goreng dan kuah. Kukira saat itu hanya akan menjadi waktu berbelanja yang biasa saja, sampai akhirnya aku menemui anak gadis dari pasangan yang mengelola warung tersebut dan anak lelaki yang merupakan tetanggaku sekaligus teman si anak gadis tadi.

Anak gadis itu memberitahuku bahwa telah hadir komik tentang Minions, makhluk kecil-kecil berwarna kuning berseragam overall dari bahan jeans. Aku merasa takjub karena mereka (para pencipta karakter) berhasil merambah ke dunia buku bacaan, tidak hanya sebatas film saja. Sedangkan si anak lelaki menceritakan tentang keberhasilannya menjual hasil karya gambarnya lewat aplikasi toko online, satu gambar dijualnya dengan harga Rp4.000,- Dari usahanya menjual gambar, dia sudah mendapatkan pelanggan, lho!

Sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi bagiku ketika mengetahui anak yang berjualan gambar buatan sendiri di lapak daring, karena sebelumnya sudah pernah kutemukan lewat berita di website. Tetapi, untuk yang kali ini berbeda dan impact-nya jelas lebih terasa, karena pelakunya adalah anak yang kukenal secara real life! Sebelum mematok harga tinggi seperti para seniman di internet yang melakukan commission (gambar berbayar), sebagai langkah awal aku ingin berjualan gambar seperti anak tadi. Hebat, padahal dia baru akan naik ke kelas IV SD!

Jika menulis komik dirasa terlalu ribet dan makan waktu, aku wajib melemaskan tangan dengan berjualan gambar karya seni sendiri seperti si anak lelaki itu. Saat nanti sudah "kecanduan" menggambar sama seperti ketika aku masih anak SD hingga SMP dulu, mungkin barulah bisa aku memulai untuk menulis sebuah buku komik. Biasanya semangatku menggambar terpacu ketika sering berkumpul dengan anak-anak tetangga atau berkunjung ke rumah mereka. Nah, berarti aku sudah mulai menemukan pemecah art block, alias "mager menggambar". 

Untuk menentukan jenis gambarnya untuk dijual, aku akan menggambar hanya karakter yang aku ciptakan sendiri atau versi genderbent dari karakter yang sudah ada. Jika gambarnya berupa fanarts dari karakter yang sudah ada (tanpa di-genderbent), itu tidak akan kujual dan akan dipajang secara cuma-cuma di Instagram. Menjual gambar dari karakter yang bukan diciptakan oleh diriku sendiri adalah hal yang sebenarnya dilarang, karena menyangkut hak cipta. Oleh karena itu, ini adalah waktunya berbagai karakterku menemukan penggemarnya jika mereka belum juga ditetapkan Lore atau kisah hidupnya.

Baru saja aku mendapat insight dari sebab mudahnya aku saat kecil dulu untuk mendapatkan ide menggambar. Karena, kebanyakan ideku berasal dari kejadian di sekitarku, salah satunya adalah dari keseharian bersama teman-teman di kelas. Ketika aku masih SD, otomatis semua temanku adalah anak-anak. Wajarlah jika mereka berhasil "menyumbangkan" ide untuk karyaku.

Contohnya, saat aku kelas V, seorang teman cowok berbadan tambun memasang kumis dan janggut palsu yang terbuat dari kertas buku tulis di wajahnya. Setelah rambut wajah palsu dari kertas putih bergaris itu tertempel, dia berseru "Hohoho" layaknya Sinterklas, hanya saja tentu dia tidak mengenakan topi kerucut merah. Aktingnya cocok sekali dengan tipe badannya, sehingga menginspirasiku untuk menggambar tokoh legendaris tersebut dalam buku corat-coret pribadiku saat itu. Itu baru satu saja dari sekian banyaknya ide menggambar yang kudapatkan dari tingkah anak-anak di sekitarku, hihihi! 

Friday, July 1, 2022

Menghibur Diri Janganlah Sampai Membuat Lupa Diri

Catatan 1 Juli 2022

Kata pamanku, adik bungsunya Papa almarhum, aku ini terobsesi dengan insiden kelinci. Ya, beliau memang benar karena aku terus saja mengaitkan banyak hal dengan peristiwa lama tersebut. Sekali saja menemukan kata "meninggal/mati", "membandingkan", "menyamakan", atau "tidak etis", ingatanku segera terpicu akan insiden tersebut. Efek samping dari kisah itu berlangsung lama sekali dan baru terpecahkan cara untuk mengobatinya ketika sudah lewat dari sepuluh tahun kejadiannya.

Mengapa kesedihan itu bisa berlangsung lama, lama, lama sekali? Salah satu faktor yang kuketahui adalah kurang terbukanya aku dengan orang lain untuk mencari solusi untuk mengatasinya ketika kejadian itu masih baru atau agak baru. Ketika aku diam-diam menangisi peristiwa itu di sekolah saat kelas V SD lalu seorang kawan perempuan memergokiku menangis, bukannya menceritakan kisah yang sebenarnya, malah beralasan "kelinciku mati". Padahal waktu itu kami sedang berada di bulan puasa Ramadlan, kok aku malah berbohong?

Baiklah, mungkin pada saat itu aku tidak sepenuhnya berkata bohong. Pada saat kelinci itu mati, aku memang sedih, yang tentunya tidak akan melebihi rasa kehilangan anggota keluarga yang sebenarnya. Akan tetapi, ketika tertangkap basah sedang menangis itu, bukan lagi kematian kelinci peliharaan itu yang menyebabkannya. Seperti yang sudah sering kuceritakan, tangisan itu muncul sebab tingkat insecure diriku ini tinggi sekali, karena mencurigai bahwa aku ini orang bodoh, sebelum akhirnya berkonsultasi dengan psikolog.

Ditambah pengalaman memang sering dikatai "bodoh" oleh banyak teman sekelas karena aku juga banyak tidak mengerti Matematika, aku berusaha menutupi rapat-rapat kisah nyata itu. Oleh karena itu, bukannya jujur menceritakan tentang peristiwa itu, malahan memilih untuk mengada-ada dengan cerita yang lebih mudah untuk diterima oleh orang banyak. Alhasil, kesedihan itu belum juga benar-benar terobati, padahal belum tentu juga si kawan itu akan mencemooh atau merespon dengan buruk jika saja kuceritakan yang sebenarnya. Kesalahanku yang serupa alias "same energy" dengan kejadian di sekolah tadi itu adalah ketika acara halalbihalal bersama keluarga besar plus ART pada saat aku kelas V.

Ini sudah pernah kubahas pada catatan tahun 2021 lalu. Ketika aku curhat pada seorang ART pada acara halalbihalal tadi, aku hanya menceritakan bahwa aku hanya merasa bodoh saja, tanpa membahasnya lebih jauh. Padahal nasihatnya sangat menyentuh, sayangnya sering terlupakan karena tidak masuk ke inti masalahnya. Hal itu bisa terjadi karena belum adanya keberanian untuk mengisahkan tentang peristiwa itu dengan jujur karena khawatir akan semakin dianggap aneh oleh orang lain. Karena terlalu banyak merasa rendah diri dan bukannya percaya diri, tidak lagi dapat mengingat kelebihan dari diriku sendiri dan lupa dengan perkataan banyak orang yang membesarkan hatiku.

Bukti dari diriku sebagai pengidap OCD adalah terlalu terpaku dengan tokoh yang sudah menjadi tokoh idola sebelum insiden itu terjadi, nama ini sudah tidak asing lagi : Danny Phantom! Sebagai penghilang rasa tertekan akibat rendah diri yang teramat hebatnya, malahan kututupi perasaan tidak menyenangkan itu dengan canda tawa seputar si tokoh dengan inisial DP itu. Tanda yang paling jelas bahwa aku sudah kecanduan Danny Phantom itu adalah sering sekali tertawa kencang ketika memandangi gambarnya. Itu kulakukan dengan banyak mengkhayalkan berbagai skenario lucu agar tidak terus menerus terpikirkan soal insiden kelinci itu. 

Dengan menghindari pemecahan masalah yang sebenarnya, malah memberikan macam-macam dampak buruk dari ketertarikanku kepada Danny Phantom yang tidak sehat. Dari seringnya mengkhayal kisah-kisah gila mengenai DP, malah aku justru yang dikira gila oleh banyak teman karena sering tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas. Keluarga dan teman jadi bosan bahkan mungkin muak dengan sang karakter pahlawan super itu karena selalu kubawakan tanpa henti. Malahan tokoh itu menciptakan tekanan batin yang baru karena dia kurang terkenal sehingga sulit untuk ditemukan barang-barangnya, tidak seperti Spongebob. 

Bakat menggambarku jadi tidak dapat berkembang dengan optimal karena terus berputar-putar dalam melukiskan Danny Phantom. Sampai-sampai bapak wali kelasku saat itu berkata, "Jangan menggambar tokoh kartun yang sudah ada terus dong. Sesekali ciptakanlah tokoh buatanmu sendiri." Akupun merindukan saat-saat dahulu ketika ideku masih mengalir lancar, tidak buntu seperti itu. Mendadak otakku berhenti menghasilkan ide untuk menggambar di luar DP saat masih suka dengan dia. 

Karena rasa yang mungkin adalah trauma akibat Insiden Kelinci selama ini tidak segera benar-benar teratasi, kemudian menjadi semakin sulit untuk diobati hingga bertahun-tahun lamanya.

Menghibur diri dengan minat dan hobi memang baik untuk dilakukan, akan tetapi jagalah agar tidak menguasai pikiran kita dan berusahalah untuk jujur dalam mengungkapkan perasaan kita supaya mudah mencari jalan keluar dari masalah dengan jitu.


Thursday, June 30, 2022

Majalah Lama Penuh Insight

Catatan 30 Juni 2022

"Kita itu harus adil dalam menilai kejadian tersebut!" seru Mama ketika aku menanyakan kepada beliau bagaimana caranya menghilangkan traumaku atas Insiden Kelinci itu.

Dari kalimat dialog di atas, sebenarnya memang tidak ada hal yang salah. Namun, beliau mengucapkan kalimat tadi itu karena dianggapnya aku tidak terima atas kemarahan Papa atau menyalahkan beliau. Padahal, seperti yang biasa kubilang, justru diriku sendirilah yang selalu kusalahkan selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. Akan tetapi, kurasa tidak pernah ada orang yang memintaku agar adil dalam menilai diri sendiri, oleh karena itu aku harus memintanya kepada diri sendiri. 


Aku membeli lagi sebuah majalah populer berjudul "Girls" edisi 15 tahun III bulan Maret 2008, karena majalah edisi tersebut pernah kumiliki sebagai kenang-kenangan ketika sekolahku waktu SD mengadakan field trip ke sebuah toko buku sohor pada tahun yang sama dengan terbitnya majalah tersebut. Toko buku itu menghadiahkan majalah itu kepada semua pengunjung dari angkatan kami, seingatku malah anak-anak cowok juga diberikan! Padahal kan jelas majalah itu konsumsi untuk anak-anak perempuan, judulnya saja "Girls"! Untungnya edisi tersebut tertolong oleh fotonya Kak Bobby Joseph di sampulnya, sehingga teman-teman cowok di kelasku tidak akan begitu risih memegang majalah itu.

Majalah tadi itu membahas topik "mencintai diri sendiri". Berhubung majalah tersebut sudah lama sekali, tentu saja sudah hilang. Faktor utama yang membuatku membeli ulang majalah edisi tersebut dari sebuah toko online adalah sebuah rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?", adalah tentang seberapa narsisnya kita sebagai pembaca. Terdapat tiga kategori untuk hasil dari kuis tersebut : "narsis", "mencintai diri sendiri", dan "sebal dengan diri sendiri".


Seumur hidupku, jelas aku tidak pernah menjadi cewek narsis. Ketika baru pertama kalinya membaca rubrik kuis tersebut, kukira hasilnya adalah kategori yang terakhir, yaitu "sebal dengan diri sendiri". Ternyata, setelah kujawab semua pertanyaannya, hasil yang keluar adalah kategori yang pertengahan, yaitu "mencintai diri sendiri", itu artinya aku (dulunya) mencintai diri tetapi tidak berlebihan hingga mencapai kategori yang pertama, "narsis". Kuis itu kujawab beberapa bulan sebelum Insiden Kelinci terjadi dan rupanya hasilnya malah berubah setelah insiden itu!

Ya, aku jadi "sebal dengan diri sendiri" sejak keceplosan melontarkan pertanyaan teraneh dan juga kurang sopan untuk ditanyakan itu. Teman-teman di sekolahku saat itu yang sering mengejekku "bodoh", kuanggap mereka itu benar selama belasan tahun lamanya. Pada tahun ketigabelas dari kejadian itu, syukur Alhamdulillah aku mendapat rejeki untuk berkonsultasi dengan psikolog yang hasilnya adalah anggapan rendah untuk diri sendiri itu adalah tidak tepat atau irasional. Di tahun 2022 ini, kucoba untuk menjawab lagi kuis yang sama dari majalah dengan foto Kak Bobby Joseph ketika remaja yang kubeli ulang itu.

Memang tidak seperti cewek pada umumnya yang membeli majalah karena foto artis pujaannya di cover majalah itu, melainkan aku membelinya karena kuis tersebut. Kak Bobby Joseph pada covernya yang dulu adalah pemain sinetron "Candy" sebagai Terry dan sinetron "Mentari" sebagai "Bara", entah mengapa tidak begitu membuatku antusias atau terpesona. Sempat kukira hasil jawabanku dari kuis "uji narsis" itu adalah "sebal dengan diri sendiri", seperti keadaanku selama ini. Namun, ternyata hasilnya masih tepat sama seperti jawaban dari empat belas tahun lebih yang lalu!

Aku belum sepenuhnya kehilangan cintaku kepada diri sendiri! Pertanyaan pertama kuis tersebut adalah "Jika kamu menilai dirimu sendiri, kamu adalah cewek dengan nilai ..." Hampir saja kujawab "2-4" yang merupakan jawaban yang akan dipilih oleh cewek yang tidak ada rasa cinta kepada dirinya. Tiba-tiba saja terbersit pikiran bahwa aku ini harus adil dalam menilai diri sendiri, masa hanya gara-gara satu kesalahanku saja penilaian diri malah jadi hancur lebur?

Kemudian, jawabannya adalah "5-7", angka yang termasuk dalam jumlah nilai di batas rata-rata. Masih tepat sama seperti dahulu, sebelum insiden yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun 2008 itu. Angka segitu cukup untuk menilai diri ini. Kita menyadari tidak mencapai nilai "8-10" karena kita tahu betul diri kita ini tidaklah sempurna, sedangkan kita juga tidak boleh kufur nikmat dengan melabeli diri menggunakan nilai angka yang teramat rendah. 

Rasanya terharu ketika masih menemukan rasa cinta akan diri sendiri dalam hati ini dalam kadar yang aman, tidak terlalu sedikit dan tidak juga berlebihan. Majalah itu ternyata sangat bermanfaat untuk mengurangi, kalau belum bisa sepenuhnya mengusir, penilaian buruk terhadap diriku ini. Kata psikolog aku waktu itu, wajib hukumnya untuk berfokus pada minat untuk mengembangkan kelebihanku, bukan lagi berfokus pada perasaan yang negatif. Diulas juga dalam majalah itu film Spiderwick Chronicles, di film tersebut terdapat sebuah buku legendaris yang membuatku selalu ingin memilikinya!

Jika menemukan buku yang menjadi poin penting dalam film atau serial, selalu saja timbul rasa ingin memiliki benda serupa! Jelas saja pada kenyataannya tidak akan menyamai persis buku tersebut. Kalau sudah begitu, aku selalu ingin membuat buku seperti itu dalam versiku sendiri. Biasanya buku jenis begitu mirip-mirip buku katalog, dalam versiku adalah buku katalog pengenalan tokoh ceritaku.

Last but not least, bagian kesukaanku yang lain dari rubrik kuis "Kamu Termasuk Cewek Narsis?" tadi itu adalah gambar gadis kartun berambut hijau kebiruan berombak. Sebenarnya total ada tiga gambar gadis kartun yang nongol dalam rubrik kuis-tidak-berhadiah tersebut, akan tetapi menurutku si rambut hijau itu outfit-nya paling ikonik. Gadis-gadis itu bukanlah karakter dari acara animasi yang sudah ada semisal Vanessa Doofenshmirtz, melainkan hanya rekaan sang illustrator majalah dan mereka tampil hanya satu kali saja. Bahkan, mereka tidak perlu memiliki nama! 


Gambar si gadis rambut hijau teal itu juga memantik ideku menggambar! Sudah lama sekali aku ingin menggambar Michiru Kaio alias Sailor Neptune dengan pakaian yang dikenakan gadis pada rubrik itu. Model dan warna rambutnya memang hampir sama seperti Michiru itu tadi. Ah, sepertinya hanya kebetulan saja.

Ilustrasi dari rubrik kuis tersebut adalah karyanya Kak Iwan Nazif.

Penerbit : PT. Kompas Gramedia/Gramedia Majalah
Jenis terbitan : majalah gadis pra-remaja
Penulis : tim redaksi majalah
Tahun Terbit : 2008
Negara Asal : Indonesia 
Bahasa Asli/Terjemahan : bahasa asli
Bahasa : Indonesia 

Wednesday, June 29, 2022

Mengapa Menulis Surat untuk Doof?

Catatan 29 Maret 2022

PERHATIAN : Catatan ini agak berbau 18+!

Rupanya, sama seperti menulis surat imajiner untuk almarhum Papah, untuk Dr. Doofenshmirtz juga harus kutulis sekurang-kurangnya tiga kali. Awalnya, aku sempat bingung, untuk apakah aku menulis surat imajiner untuk tokoh yang jelas-jelas tidak pernah ada? Tujuannya tentu saja berbeda dengan surat imajiner untuk Papah, karena surat untuk beliau adalah untuk menyampaikan apa yang mendasari pertanyaanku pada insiden kelinci yang sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu. Kalau untuk Doof, tidak mungkin aku pernah berbuat kesalahan yang terus mengganjal diriku seperti kepada ayahku itu. 

Setelah kutuliskan hampir yang ketiga kalinya, barulah aku paham mengapa surat imajiner untuk Dr. Heinz Doofenshmirtz harus kutuliskan. Dengan menuliskan apa saja yang kurasakan tentang tokoh kartun yang juga imajiner itu, terbukalah latar belakang dari banyak perasaanku yang aneh itu. Ternyata, bukan tokoh itulah yang paling berbahaya, melainkan tokoh ciptaanku sendiri yang seakan "membayangi" Doof, sehingga menyebabkanku selalu merasa "ingin pipis" ketika melihatnya tidak berpakaian lengkap. Konsep ini mungkin agak sulit untuk dicerna banyak orang, karena mungkin nyaris tidak ada orang lain yang menganggap suatu tokoh secara "dobel" seperti tadi itu. 

Dengan menuliskan surat imajiner ini, diharapkan akan mengobati perasaan ingin pipis tadi itu. Sekaligus juga mengobati kegelisahanku sebagai gadis yang masih jomblo, belum menikah. Karena hanya dengan menikah rasa ingin pipis itu dapat tersalurkan secara aman dan berpahala karena dinilai ibadah! Itulah yang membuatku gelisah karena belum menikah, sehingga belum dapat menyalurkan perasaan itu secara halal dan berkah.

Awal dari ketertarikan aku pada Heinz Doofenshmirtz adalah ketika aku menggambar ulang tokoh itu. Dalam satu episode, Heinz pernah hanya mengenakan bathrobe dan celana boxer saja tanpa kaus dalam. Entah mengapa, selepas aku menonton episode tersebut, tanganku tergerak untuk menggambar ulang momen tersebut, hanya saja bukan tokoh tersebut per say yang kugambar. Penampilan tokoh yang biasa dipanggil dengan nama Heinz atau Doof yang demikian itu rupanya mencetuskan sebuah gagasan yang paling "normal", jika dibandingkan dengan sederet keanehan pemikiranku yang lainnya.

Penampilan fanservice dari Doof yang kata aku ter-memorable setelah adegan boxer bercorak Perry The Platypus

Sketsa spontan dari sebuah karakter random yang kubuat begitu selesainya episode Doof dalam handuk seksi berbentuk jubah hijau tadi

Aku menggambarkan tokoh tersebut menjadi sebuah karakter lelaki random yang jauh lebih good looking, tetapi belum bernama, dengan pakaian yang sama seperti yang dikenakan Doof tadi! Kurang lebih dua tahun dari pembuatannya, aku tertarik untuk mencari lebih banyak momen Doofenshmirtz ketika berpakaian yang memamerkan banyak kulitnya, karena doi ini demen umbar tubuh meski termasuk kaum lelaki. Untuk apa sih kucari gambarnya dalam penampilannya yang tidak menutup aurat seperti itu? Dari karakter random tadi, aku terpikir untuk mengembangkan lebih lanjut menjadi sebuah karakter yang proper dan pastinya akan kunamai, jadi aku perlu untuk membuat variasi pakaiannya yang didasarkan momen-momen Doof itu tadi.

Pengembangan dari karakter random yang tadi, di sini dia mulai berinteraksi dengan Davina, karakter yang sudah lebih dahulu kuciptakan. Di sini karakter random tadi itu sudah memiliki nama : Hans. Dulu nama keluarganya itu Mueller, lalu kuganti menjadi Durchdenwald.

Sumber inspirasi pakaian yang dikenakan oleh Hans. Jika pada satu episode, Doof memamerkan kulit tubuh depannya, maka di sini adalah variasinya : dia tidak mengenakan pakaian atasan lagi di balik apron hijaunya, sebagai gantinya dia menunjukkan kulit punggungnya, sehingga terbentuklah "backless apron"!

Bukannya sekali dua kali sahaja dia menampakkan tubuhnya, tetapi cukup sering dari keseluruhan serial dari mana dia berasal! Hal tersebut membuatku kurang nyaman awalnya, ketika aku baru pertama kali melihatnya saat aku masih remaja, karena terus terang saja aku kaget menemukan tokoh lelaki yang terlalu sering terbuka badannya di luar saat berenang atau ke pantai. Sayangnya, hal remeh seperti itu malah membuatku terus kepikiran. Baru kusadari di usia dewasa ini bahwa itulah yang dinamakan "overthinking".

Aku belum pernah menonton episode Doof yang menampilkan fanservice di atas ini, gambar di atas ini hanya kudapat dari IG.

Penampilan tokoh Hans diubah lagi menjadi berambut cokelat, meniru pakaiannya Doof di atas. Jas lab diganti jaket hoodie.

Beberapa pakaian aduhai dari Doof yang ingin aku gambar!

Dalam surat imajiner untuknya, seakan aku bercerita kepada si tokoh akan seluruh isi hatiku secara jujur, apa adanya. Tentu saja tanpa khawatir menyinggung siapa-siapa, karena dia hanya tokoh fiksi. Hasilnya, sudah mulai banyak mengurangi overthinking yang selama ini kurasakan terkait sang tokoh kartun. Dari menulis surat imajiner juga menghadirkan insight, selain mengurangi pikiran dan hasrat seksual yang mengganjal dan mengganggu karena aku belum menikah.

Apa insight yang timbul dengan menulis surat seperti itu? Ketika semua orang menganggap adegan-adegan Doof tanpa pakaian lengkap adalah sesuatu yang lucu atau gila, aku malah gelisah. Itu artinya, lagi-lagi aku di sini memiliki sudut pandang yang berbeda dengan mayoritas populasi manusia! Juga, hasrat ingin pipis itu justru diperparah oleh karakter random yang kuciptakan sendiri, hal itu baru kutemukan setelah menulis surat imajiner untuk sang ilmuwan atau profesor.

Lalu, apa yang dimaksud dengan sebuah tokoh lain yang "membayangi" Heinz Doofenshmirtz? Nah, dari menulis surat imajiner tersebut, baru kusadari hal ini. Tokoh kartun lain yang terasa seperti "memfilter" Heinz atau Doof itu adalah karakter random dengan penampilan lebih "berseni" yang kubahas tadi. Sebelum menciptakan karakter random tadi, kulihat dengan benci setiap momen Doofenshmirtz tanpa menutup aurat secara penuh, sedangkan setelah membuat karakter itu, pandanganku akan adegan-adegan yang sama dari Doof berubah menjadi menggugah.

Edit : catatan ini ditulis TEPAT tiga bulan yang lalu pada 29 Maret dan baru terselesaikan pada tanggal 29 (zona waktu US) atau 30 Juni (zona waktu Indonesia). Blog pribadiku malah menggunakan zona waktu yang pertama. Karena suatu sebab yang entah apa, catatan ini malah tanpa sengaja masuk ke arsip dan lupa untuk kulanjutkan dan kukirim.

Surat Imajiner, Pembasmi Overthinking

Catatan 27 Juni 2022

Surat imajiner sejatinya adalah obat untuk overthinking yang paling tepat bagi orang dengan gejala sepertiku, yang memiliki sesuatu yang tidak sempat tersampaikan kepada seseorang yang kini telah tiada. Kuharap apa yang kutulis dalam surat imajiner itu tersampaikan kepada Papa di sana, karena katanya roh-roh manusia memiliki kemampuan di atas manusia yang masih hidup. Meski jelas mereka tidak akan sempat untuk menghantui kita, karena mereka terlalu sibuk mengurusi amalan perbuatan mereka ketika masih hidup di dunia. Penafsiranku sih soal "dihantui" itu sebenarnya perasaan kita kepada merekalah yang menghantui pikiran kita, bukannya roh mereka.

Begitu juga denganku, sebelum mengetahui jenis surat tersebut, rasa bersalahku kepada Papa akibat Insiden Kelinci begitu menggayuti pikiranku. Walaupun itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, belum pernah benar-benar tertuntaskan batinku hingga aku mengetahui surat imajiner itu. Ketika jaman medsos, ternyata segala perasaan dan memori pahit tentang insiden itu termasuk ke dalam "overthinking", karena masa lalu tidak dapat kita edit atau kendalikan. Masa lalu adalah seperti buku, hanya dapat kita pelajari dan tidak dapat diubah isinya. 

Walaupun Papa saat hidup sudah memaafkan kesalahanku pada insiden itu, tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku. Perasaan yang menjadi ganjalan hati itu sama sekali bukannya tidak terima atau sakit hati, melainkan ada hal yang belum tuntas kusampaikan kepada beliau terkait kasus itu. Selama beliau hidup, aku tidak pernah mempunyai keberanian untuk mengungkapkan apa yang mendasari keluarnya sebuah perbandingan dari mulutku yang membuat beliau tersinggung. Karena, khawatir akan membuat semua ini menjadi runyam jika malah kusampaikan saat itu dan ini malah bukannya menyelesaikan masalahku. 

Akhir-akhir ini sejak aku membaca buku "Filosofi Teras" karya Kak Henry Manampiring, aku mulai memahami istilah "dikotomi kendali", yang artinya kita harus berfokus hanya pada hal-hal yang dapat dikendalikan oleh kita. Seperti halnya yang sudah kusebutkan tadi, masa lalu termasuk ke dalam hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita. Namun, rasanya tetap saja gelisah jika dahulu tidak sempat meyakinkan almarhum Papa akan maksudku yang sebenarnya dari sebuah pertanyaanku yang membandingkan itu dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar kegelisahan itu hilang. Hal yang termasuk dalam kategori "mampu kukendalikan" adalah emosi diri dan apa saja yang dapat kulakukan, tetapi selama belasan tahun ini cukup sulit untuk menemukan apa yang bisa kuusahakan untuk mengatasi itu semua.

Kebanyakan perasaan pahit dalam diriku ini berasal dari overthinking, yaitu pikiran yang terus berputar-putar dalam hal-hal yang tidak menyenangkan dan juga tidak berada di dalam kendaliku. Untungnya baru sekitar dua kali pertemuan saja dengan psikolog yang sama, sudah kutemukan "surat imajiner" sebagai jalan keluarnya. Dengan menulis surat imajiner, aku menuangkan perasaan dan pikiranku dengan sejujur-jujurnya tanpa takut dihakimi oleh siapapun. Setelah kertas untuk menulis surat tersebut habis, wajib kusobek dan kubuang sebelum ada yang membacanya supaya segala penyebab ketidaksenangan itu bisa (perlahan tapi pasti) menghilang dari benakku ini.


Edit : sebenarnya catatan ini ditulis pada dua hari yang lalu, yaitu pada tanggal 27. Akan tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya tertunda untuk kukirimkan di sini.

Tuesday, June 28, 2022

Hentikanlah Mager Sebelum Ia Menghentikan Cita-cita

Catatan 28 Juni 2022

Pekan ini adalah hari-hari UAS semester genap nih! Semua tugas harus tuntas, tidak boleh berhutang! Sebelum menghasilkan karya yang spektakuler, aku harus mengerjakan semua tugas untuk menjalani ujian tersebut. Berhubung mata kuliah aku ini DKV, jadinya ujiannya bukan berupa hapalan seperti ujian ketika sekolah dulu.

Sumpah, ujian yang sekarang ini lebih bikin deg-degan ketimbang Ujian Nasional pas SMA dulu kataku. Pasalnya, tugasnya adalah membuat desain kemasan baru untuk sebuah brand dan juga membuat "kinetic typography" dari sebuah lagu yang, bukan top favorite tetapi dinyanyikan oleh dua tokoh kartun yang paling diidolakan saat ini, yaitu Dr. Heinz Doofenshmirtz! Menurutku, tugas UAS yang kedua ini benar-benar rumit jika dikerjakan pada ponsel layar sentuh, karena ada proses tertentu yang sangat dipengaruhi oleh sentuhan layarnya (ini butuh penjelasan yang cukup panjang mengenai teknis pengerjaannya). Setidaknya, dengan memasukkan tokoh yang kusukai ke dalam tugas, tiada lagi istilah "berkutat terlalu erat" seperti ketika menyukai Danny Phantom dahulu. 

Walaupun sudah melibatkan bukan hanya satu tetapi dua tokoh idolaku, yaitu Dr. Doofenshmirtz beserta "kembarannya" dari dimensi lain, tetap saja mengerjakan tugas kinetic typography ini lumayan malesin. Jangan sampai mager ini membunuh nilai-nilai dan IPK! Agar sifatku yang suka menunda-nunda pekerjaan ini dapat teratasi, aku mengambil banyak tangkapan layar (screenshot) dari tweet yang inspiratif. Di antaranya adalah "Latihlah dirimu agar berhenti menunggu 'waktu yang tepat'", "Tanpa disiplin diri, kesuksesan adalah mustahil", dan keenam cara mendisiplinkan diri.

Dari keenam cara mendisiplinkan diri seperti pada tweet (kicauan) yang sudah ku-screenshot/SS itu, cara pertama, kedua, ketiga, dan kelima yang paling berhasil bagiku. Hal ini jelas berbeda-beda tergantung orangnya. Namun, cara pertamalah yang paling menarik di antara semua cara-cara yang tadi disebutkan. Inilah keseluruhan cara dari kicauan tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

1. Aturlah tujuan-tujuan kecil terlebih dahulu
2. Taruhlah tujuan-tujuan tersebut pada tempat yang mudah terlihat setiap harinya
3. Ingatkan dirimu sendiri mengapa kamu memulainya
4. Buatlah prioritas
5. Ketahuilah kelemahanmu
6. Carilah teman-teman untuk selalu mengingatkanmu 

Nomor enam bagiku adalah sesuatu yang sifatnya opsional setelah kelima cara sebelumnya belum berhasil. Jika membuat prioritas tugas, untukku itu tidak begitu kuat pengaruhnya, karena sifatku yang cenderung menawar-nawar. Nah, dari situ saja sudah kulalui cara yang kelima, yaitu mengetahui kelemahan dari diriku sendiri. Cara kedua sih sudah mulai kulakukan, yaitu menempelkan catatan tugas pada sebuah papan karton, akan tetapi masih harus dipecah lagi menjadi beberapa tugas kecil seperti pada nomor pertama.

Monday, June 27, 2022

Jangan Biarkan Penyesalanmu Menghambat Kemajuanmu

Catatan 27 Juni 2022

Kemarin aku tidak sempat untuk menulis catatan, karena sedang menyelesaikan satu tugas kuliah yang lumayan rumit. Sebenarnya hari ini juga masih ada tugas kuliah, tetapi lebih simpel ketimbang yang kemarin (tetap saja harus dikerjakan, ya!) Juga, tugas yang hari ini adalah lanjutan dari tugas yang kemarin, itulah yang membuatnya tidak serumit tugas kemarin. Begitu juga dengan catatan hari ini yang merupakan lanjutan dari catatan-catatan tahun lalu di blog pribadiku.

Walaupun baru beberapa kali konsultasi dengan psikolog, hasilnya sudah cukup signifikan untuk mengatasi banyak "sampah pikiran" di dalam benakku. Selain dengan menulis surat imajiner, beliau juga memberikan tugas berupa "men-challenge atau counter dari seluruh pikiran negatif atas diriku sendiri". Artinya, aku harus menguji lagi tentang pikiran buruk yang membuatku rendah diri alias insecure, apakah pikiran tersebut tepat atau tidak. Bahasa psikologinya sih, apakah pikiran itu termasuk pikiran yang rasional atau irasional.

Beliau untungnya saja adalah seorang wanita juga, jadi setidaknya memiliki pola pikir yang lebih mendekati kesamaan denganku. Pada pertemuan pertama kami, aku sengaja meminjamkan banyak jurnal harianku supaya beliau lebih mudah untuk mendalami kasusku. Isi catatanku di buku itu adalah catatan-catatan blog yang terdahulu, karena aku sengaja mengetikkan isinya menjadi postingan blog. Beliau seketika sudah banyak mengetahui seluk-beluk Insiden Kelinci, oleh karena itu beliau dapat memberikanku tugas menulis surat imajiner.

Pertemuan kami dimulai sejak akhir November 2021 lalu, sayangnya tanggalnya aku malah lupa. Tak apa, hal yang terpenting adalah intisari dari pertemuan kami yang kuingat.

"Dalam buku-buku jurnalmu itu, kamu menuliskan kisah pertemuanmu dengan teman-teman dalam terapi crafting (membuat buket bunga) sebagai terapi stres. Kamu menceritakan pengalamanku itu kepada mereka. Lalu, mereka bilang penyebabnya kamu bertanya seperti pada Insiden Kelinci itu adalah kamu menganggap semua nyawa itu berharga, kan?" tanya Bu psikolog.

"Iya benar, Bu. Mereka mengatakan itu. Akan tetapi, saya masih menganggap saya ini bodoh karena bisa sebegitu naifnya soal itu. Semestinya anak balita yang pertanyaannya seperti itu, bukannya anak yang saat itu akan berumur sebelas tahun," jawabku.

"Dalam catatan yang lain, kamu juga menuliskan tentang Papamu yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki sudut pandang yang berbeda. Betul?" Bu psikolog mengonfirmasikan apa yang dibacanya.

"Benar, Ibu." Aku mengiyakan.

"Nah, sebenarnya kamu di situ sudah berusaha men-challenge pikiran negatif dan irasionalmu yang mengatakan dirimu itu bodoh. Kamu telah mencari penyebab yang sebenarnya di balik terlontarnya pertanyaan yang menanyakan perbedaan sikap orang-orang di sekitar antara meninggalnya anggota keluarga dengan matinya hewan peliharaan, dengan bercerita kepada teman seperjuangan. Dengan mengingat perkataan Papa tentang keunikanmu, itu juga adalah bentuk challenge dari pikiranmu yang merendahkan dirimu sendiri," terang beliau.

Mendengar itu semua, aku hanya dapat mengiyakan saja tanpa banyak berkata-kata lagi, karena saking kagetnya. Berarti, catatanku selama berbulan-bulan sebelum aku akhirnya konsultasi dengan tenaga ahli itu adalah usahaku yang sebenarnya cukup besar untuk mengatasi banyak kesedihanku. Ibu psikolog tadi itu juga adalah satu dari sedikit orang yang tidak menganggapku menyalahkan Papa (yang kini telah almarhum) atas kejadian itu. Kenyataannya, justru aku sendirilah yang terus menerus kusalahkan dan Ibu psikolog itu dapat menemukan fakta itu.

"Jadi kesimpulannya, anggapan yang mengatakan dirimu itu bodoh itu adalah irasional, atau tidak tepat. Kamu itu kreatif," pungkasnya.

"Bagaimana bisa saya ini kreatif, Bu? Kata Mama, jika saya ini benar seperti itu, seharusnya dapat membuat karya yang spektakuler," tanyaku masih ragu.

"Kreativitas itu ditandai oleh kemampuan melihat dari sudut pandang yang berbeda daripada kebanyakan orang lain, seperti kata Papamu itu. Agar kreativitasmu itu dapat berkembang, fokuslah dengan kelebihanmu! Ibu baca, kamu suka sekali menggambar dan menulis, ya?" 

"Iya, benar sekali, Bu!" Semangatku kembali timbul setelah tadinya sedih.

"Pikiran-pikiran irasional yang memenuhi kepalamu itu ibaratnya kamu membawa sebuah tas ransel berat penuh barang. Karena membuatmu keberatan, kamu kelelahan dan langkahmu menjadi lambat. Dengan menuliskan surat imajiner untuk Papa yang saat ini tentu tidak dapat lagi berkomunikasi denganmu, itu menjadi salah satu caramu untuk mengeluarkan satu persatu barang yang menjadi beban berat dalam tas ranselmu."

Seketika aku teringat kembali ketika menginap di rumah Nenek, ibunya Papa ketika masih kelas VI. Nenek bilang, dari napasku saat tidur saja sudah menandakan bahwa aku ini capek sekali. Saat itu tidurku belum terlalu nyenyak, jadinya masih bisa mendengar percakapan antara beliau dengan kedua orangtuaku. Padahal kesibukan saat itu jelas belum sebanyak sekarang ketika aku sudah kuliah, hanya sebatas menghafalkan surat-surat pendek Juz Amma sebagai syarat kelulusan SD!

Mungkin rasa lelahku itu banyak bersumber dari pikiran yang tidak perlu, seperti diibaratkan membawa tas ransel penuh barang yang melelahkan tadi. Ternyata kelelahan itulah yang menghalangiku berkarya. Oleh karena itu, aku diminta untuk berfokus pada hal-hal yang kuminati agar menjadi karya. Bukan lagi sebagai pelarian dari suatu masalah yang malah akan mendatangkan banyak masalah baru.

Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...