Memang bukan tugas kuliah sih, tapi tetap saja ini tugasku. Tepatnya, ini tugas kepenulisan. Boleh gak sih kalau nyalin yang udah ada di blog? Itu sih ntar dulu saja dipikirkannya, yang terpenting TULIS!
Belum bisa kulupakan rasa bersalahku akan insiden pertanyaanku yang berkenaan dengan matinya kelinci peliharaanku itu. Ada satu kerabat yang menjadi satu-satunya yang bilang, pertanyaanku dalam insiden tersebut adalah "pertanyaan eksistensial". Pada saat aku baru saja resmi menjadi siswi kelas V pada tahun 2008 lalu, pernah nannyeak, bertanya-tanya tentang reaksi orang sekitarku yang beda akan meninggalnya adik kandungku yang kedua dengan matinya kelinciku, yang masih kaget sama kabar kematiannya itu kelinci. Bagi kebanyakan orang, pertanyaan seperti itu pastilah dianggap konyol, karena jelas beda antara kehilangan anggota keluarga dengan kematian hewan peliharaan, nah jadi penasaran "apanya sih yang bikin kedua makhluk itu beda".
Tak disangka-sangka kerabatku itu bukannya terkejut, kalem banget malah, dan bilang pertanyaanku itu untuk orang ber-IQ ketinggian. Katanya, pertanyaan itu termasuk pertanyaan filosofis. Aku jadi penasaran, apa yang dimaksud dengan kata "eksistensial" tadi? Coba Googling, ternyata istilah itu adalah salah satu cabang aliran filsafat.
Hasilnya, eksistensial adalah "pencarian tujuan hidup dalam keadaan absurd". Jika tidak salah, dalam aliran ini suatu keadaan dapat menjadi absurd jika hal-hal yang tadinya tidak berhubungan lalu disandingkan atau dibandingkan, seperti pertanyaanku itu. Meninggalnya Hanif, adikku yang tengah di antara Irsyad, adikku yang besar dan Fariz yang bungsu, adalah kejadian normal meskipun itu menyedihkan. Kelinci peliharaan yang mati juga sangat lumrah terjadi.
Pertanyaan itu dirasa tidak wajar, konyol, aneh, tidak dapat diterima umum, bahkan dapat menyinggung dan tidak etis karena aku membandingkan kedua kejadian tersebut, yang seharusnya memang terpisah. Dari pengertian mengenai filsafat eksistensialisme tadi, keadaan yang absurd digunakan untuk mencari hakikat hidup. Perbandingan kematian dua makhluk hidup yang berbeda di sini mendorongku untuk mencari hakikat hidup dari manusia dan hewan. Dari sini aku mencari apa saja yang membuat hidup manusia itu berbeda dengan hewan, kupikir hanya dengan "manusia punya akal" doang gak cukup.
Pasti ada alasan lainnya yang bikin kenapa orang cuma sedih untuk sesama manusia! Itulah yang sebenarnya aku pikir sebelum akhirnya nanyain itu ke Papah.
Asli, dah, lewat insiden yang terjadi hampir 13 tahun yang lalu itu aku menjadi lebih mengenali diri sendiri dan ketertarikan untuk membaca juga jauh meningkat. Selama ini, zona nyamanku ketika membaca hanya seputar buku komik, novel, buku agama, dan kumpulan cerpen saja. Jika ada rezekinya, ingin deh kapan-kapan beli satu set ensiklopedia filsafat, karena semakin mengenal diri, semakin mudah untuk percaya diri. Dengan bertanya kepada orang yang tepat, kita akan dibantu untuk melihat potensi diri kita lebih jelas, bukannya dihujat.
Apabila aku menceritakan kisah insiden pertanyaan kelinci ini, aku cenderung pilih-pilih orang. Saking takutnya orang menertawaiku, bahkan untuk bercerita kepada sahabat tentang ini pun dulu tidak berani. Memang tidak semua orang berakhir dengan menganggapku aneh, tetapi memang jarang orang bisa relate dengan insiden absurd ini. Wajar saja sebagian besar orang tidak mendapatkan feel dari cerita pengalamanku ini, karena perkataanku itu kelewat tidak umum.
"Maaf ya, aku tidak menganggap kamu harus sesedih itu," kata sang kerabat saat aku baru menceritakan insiden tersebut lewat chat WA pada tahun 2020 lalu.
"Tapi, aku seperti yang menghina adikku yang meninggal di saat bayi bukan karena sakit biasa," kataku masih menyesal.
"Kamu ingin menganggap nyawa semua makhluk hidup adalah egaliter, semua nyawa berharga. Kamu membandingkan dua peristiwa kematian itu karena kamu saat itu ingin tahu alasan orang menyikapi berbeda antara manusia dan hewan. Meninggalnya De Hanif tidak menjadi less worthy di matamu," tutur beliau.
"Harusnya pertanyaan seperti itu dilontarkan oleh anak balita umur lima tahun. Bukan aku yang saat itu sebentar lagi akan berusia sebelas tahun di kelas lima," ketikku masih menyesali.
"Jika dilontarkan oleh orang berusia kurang dari 15 tahun itu tidak mengapa," hiburnya.
Aku bersyukur memiliki kerabat yang berwawasan luas. Perkataan beliau hampir sama dengan tanggapan teman-temanku ketika mengikuti pelatihan crafting pada akhir tahun 2020 lalu.
"Bagimu, semua nyawa itu berharga," jelas mereka saat aku curhat sebelum pelatihan itu dimulai.
Kalau saja kerabatku itu tak hobi baca dan mengakses ilmu pengetahuan, bisa-bisa beliau malah menertawaiku. Apalagi beliau terkenal akan brutal honesty-nya, yakni "kejujuran yang menohok". Meskipun beliau orangnya mudah marah, tetapi beliau lebih terganggu dengan pemikiran mayoritas masyarakat negara kita yang masih kurang cerdas. Maklum, negara kita masih third world country.
Lalu, jika aku menjadikan segala makhluk hidup adalah sesuatu hal yang penting, mengapa aku malah membandingkan kelinciku yang mati dengan kehilangan satu adikku?
Anehnya, kesedihanku akibat matinya kelinci ini malah menimbulkan flashback rentetan peristiwa sekitar wafatnya adik lelakiku yang lahir setelah Irsyad dan sebelum Fariz (aku memang tidak pernah punya adik cewek). Sungguh aneh tapi nyata, isi kepalaku seperti mengeluarkan suara "Tuziiiiing" ... dan seketika ingatanku menampilkan ulang kesedihan orang-orang pada peristiwa menyedihkan itu! De Hanif meninggal pada Desember 2006, dua tahun kurang dari pertanyaan itu dilontarkan, kayaknya aku lagi ada guncangan batin.
Rasa kehilanganku yang terkubur selama hampir dua tahun lamanya, terpanggil kembali dengan cara yang sungguh tidak wajar yaitu dengan mendengar matinya hewan yang dibelikan oleh abangnya Papah kami. Mamah menganggapku belum terasah empatinya akan berpulangnya adikku karena aku bertanya seperti itu. Justru rasa kehilanganku akan ditinggal adik itu saking besarnya, sampai terpicu lagi memorinya di saat kematian yang makhluk hidup yang kusayangi, meski itu hewan. Mulailah aku menyadari bahwa reaksi orang terhadap hilangnya nyawa dari manusia dan hewan itu berbeda dan saat itu aku hanya ingin tahu mengapa, itu saja, tanpa niatan buruk.
Sori kalau gaje dan ambyar kisahku ini. Memang bagi kebanyakan orang rasanya sulit untuk pahami pemikiranku itu. Itulah sebabnya kujuluki diriku "Sang Pengelana Naif". Benakku sering berkelana ke mana-mana, tetapi masih juga pikiranku naif, seperti yang kurang pengalaman. Ya, aku ingat janjiku untuk menceritakan sulapnya cowok Bogor itu, suatu saat nanti pasti kuceritakan di blog ini.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.