Ini adalah postinganku yang pertama di usia lewat seperempat abad. Banyak hal dari ingatanku yang seakan abadi. Kemarin aku baru saja membaca sebuah postingan di Instagram, bahwa orang yang ragu akan dirinya sendiri adalah orang yang butuh validasi. Kata Nenek sekitar bulan puasa lalu (pada tahun 2023 ini), aku memang seringkali masih meragukan diriku sendiri.
Contoh yang paling penting adalah ketika Insiden Miskomunikasi Seputar Kelinci itu, jangan bosan ya. Aku saat itu sudah mengetahui bahwa orang-orang bersedih ketika adikku wafat itu karena dia adalah manusia, sedangkan mereka tidak bersedih ketika kelinciku mati karena kelinci itu cuma hewan. Nenek bilang, walaupun aku sudah tahu jawabannya, aku masih meragukan validnya jawaban itu. Hal yang membuatku ragu adalah "apakah jawaban itu sudah cukup lengkap soal perbedaan manusia dengan hewan".
Lebih tepatnya, apakah benar hanya karena berbeda spesies saja orang-orang jadi berbeda ketika menyikapi antara kehilangan anggota keluarga dengan hewan peliharaan?
Ketika adikku wafat aku berduka cita, tentu saja juga orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan hingga berbulan-bulan setelah wafatnya adikku itu, salah seorang keponakan perempuan Eyang Putri mengatakan dia teringat tangisan almarhum ketika dia mendengar sebuah ringtone mirip suara bayi menangis dari ponselnya. Beliau bukan saudara dekat kami, tetapi sering bertemu dengan keluargaku sehingga sudah memiliki hubungan yang dekat dengan kami. Sekali lagi sayangnya rata-rata orang berpikir bahwa aku tidak mampu merasa kehilangan atas adik sendiri.
Kurang dari dua tahun sejak meninggalnya adikku, terjadilah Insiden Kelinci itu. Mungkin karena peristiwa duka yang menimpa keluarga kami saat itu belum terlalu lama berlalu, pikiranku tanpa disengaja flashback peristiwa itu tepat ketika aku mendengar kabar kelinciku mati. Ini mirip dengan adegan di mana Marlin si ikan badut dari film animasi Finding Nemo yang mengalami flashback ketika Nemo, anaknya, diculik oleh penyelam karena melihat sebuah kacamata renang kepunyaannya sang penyelam tersangkut di antara kapal karam. Karena pernah merasakan sebuah kehilangan yang besar (bahkan imbasnya sampai kepada saudara yang sudah agak jauh tadi itu), kehilangan yang jauh lebih kecil pun terasa hampir sama pedihnya bagiku.
Diriku ini yang biasanya tenggelam dalam duniaku sendiri, pada saat itu aku mulai memperhatikan reaksi orang-orang di sekitarku dan apa saja yang mereka lakukan. Ketika aku merasa sangat sedih hanya untuk kelinciku, kulihat orang-orang yang terdiri dari anggota keluargaku bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Di alam bawah sadarku, aku meragukan validitas rasa sedihku karena aku hanya menangis sendirian. Bersedih karena ditinggal anggota keluarga terutama saudara kandung sih jelas valid, tetapi apakah bersedih atas kematian hewan peliharaan juga valid?
Awalnya gak yakin diriku bahwa kesedihanku untuk piaraan adalah valid, di saat usiaku hampir sebelas tahun aku ingin mengetahui lebih lanjut perbedaan manusia dengan hewan. Syukurlah kini banyak netizen yang suportif dan sudah aware dengan kesehatan mental juga banyak yang pet lovers sampai sangat menjiwai piaraan mereka. Pertanyaan manusia vs hewan itu kini terjawab sudah. Di saat usiaku kini sudah lebih dari seperempat abad, aku sudah tahu bahwa setiap perasaan adalah valid.
Tidak perlu menunggu banyak orang yang berperasaan sama dengan kita untuk mencari validasi atas perasaannya kita, karena perasaan itu sudah valid dengan sendirinya.
No comments:
Post a Comment