27 Februari 2022
Tadi malam, tanggal 26 Februari, kutuliskan surat imajiner untuk Papah yang ketiga kalinya, masih tentang insiden kelinci. Rupanya memang benar, harus lebih dari dua kali untuk menyampaikan isi hatiku untuk Papah di sana. Sebelum aku diberi tugas untuk menulis surat seperti ini, aku selalu ingin mimpi bertemu beliau untuk menyampaikan hal tersebut, sayangnya selalu tidak bisa. Apa sih yang menyebabkan tidak bisa sembarang orang bisa menjadi pilihan yang tepat untuk diceritakan kesedihanku dari insiden itu?
Jika aku mengeluhkan sulitnya menghilangkan perasaan bersalah dan menyesal akan insiden itu kepada Mamah, beliau akan sedih karena menyangkut almarhum salah satu anaknya. Menceritakan tentang kisah ini kepada teman, tentu lebih "berbahaya", karena pertanyaannya memang sepintas terdengar ngawur. Saudara yang lain, belum tentu mereka memahami perasaan yang sedih itu dan malah menganggap aku menyalahkan Papah. Untungnya, satu kerabatku adalah satu dari segelintir orang yang dapat memahami perkataanku yang paling kontroversial itu.
Dahulu, aku dengan beliau tidak dekat dan aku cenderung menjahilinya. Kami berbaikan beberapa tahun setelah Papah wafat. Dalam suratku yang ketiga ini, kuceritakan kami yang telah berdamai dan menjadi akrab, bahkan salah satu anggota keluargaku itu adalah orang yang paling memahami maksud dari pertanyaan dalam kisah "kelam" itu. Pasti ayahku akan bahagia mengetahui anak-anaknya telah rukun dengan sesama keluarga.
Kusampaikan kepada Papah bahwa menurut sang kerabat, pertanyaan seperti itu bukanlah hal yang tidak cerdas, justru merupakan pertanyaan yang lintas disiplin ilmu. Penyebab marahnya Papah akan pertanyaan itu ada dua : merasa masygul karena menyangka aku lebih kehilangan kelinci dan kecewa mendapati putrinya seperti yang tidak cerdas karena belum dapat memahami perbedaan reaksi orang akan kematian manusia dan hewan. Kerabatku tersebut menjelaskan, keponakan terbesarnya, yaitu aku, tidaklah memenuhi dua sebab kemarahan Papah itu. Di situ, keinginanku agar semua orang ikut bersedih dengan matinya kelinciku tidak mengurangi rasa kehilanganku akan adik sendiri dan pertanyaanku itu timbul karena menganggap nyawa hewan peliharaan itu sama berharganya dengan manusia, bukannya kelainan pemikiran.
Aku juga mengatakan, saat ini perkataan Papah soal sudut pandangku yang berbeda dari orang kebanyakan itu, sudah terbukti. Di saat aku terkesan naif, itu hanyalah disebabkan oleh perbedaan sudut pandang saja sehingga malah menjadi sulit memahami sikap orang yang tidak sama sepertiku. Meski Papah sudah tak lagi di dunia fana ini, kuhibur beliau agar tidak tersinggung dan kecewa lagi denganku lewat surat itu. Tentunya beliau juga akan lega ternyata analisis beliau tentang diriku adalah benar.
Meski si kerabat sudah "menghiburku" dengan fakta-fakta yang tidak buruk tentang perkataanku yang masih menghantuiku itu, perasaanku yang nyesek itu belum dapat hilang. Lalu aku mencoba konsultasi ke psikolog soal lamanya kesedihanku itu yang tidak wajar lagi - sampai memakan waktu lebih dari tigabelas tahun! Psikolog aku sudah membaca banyak buku harianku, sehingga beliau sudah mengetahui aku telah ribuan kali mencurahkan isi hatiku akan insiden itu, yang belum kunjung mereda. Akhirnya, beliau memintaku untuk menuliskannya secara langsung kepada almarhum Papah, bukan lagi hanya menceritakannya dalam jurnal atau buku harian seperti yang sebelumnya kulakukan.