Pada 26 Desember 2004, Tsunami Aceh menjadi salah satu bencana alam terbesar di dunia. Besok adalah tepat satu tahun sebelum dua dekade peristiwa itu. Dua minggu sebelum peringatan dua dekade kurang satu tahun peristiwa tsunami Aceh 2004, aku teringat pengalaman seorang saudara sepupu jauh yang menjadi saksi mata musibah itu (dia adalah anak dari kakaknya istri Paman, adiknya Papah). Dia adalah orang berdarah Aceh dan sedang berada di kampung halamannya ketika bencana itu sedang terjadi. Alhamdulillah, dia selamat dari bencana alam yang menenggelamkan Banda Aceh dan beberapa negara lain di sekitarnya, tetapi ada sebuah kisah "watir" lainnya selepas itu dan kisahnya juga berkaitan dengan kenangan pahit yang telah kualami.
Menurut dari gambar di atas yang diambil dari tweetnya Wikipedia Bahasa Indonesia, Banda Aceh merupakan wilayah yang paling terdampak dari bencana alam tsunami ini dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitar Samudera Hindia yang juga terdampak. Jelas saja jika bencana besar ini memengaruhi kehidupan saudaraku yang sudah agak jauh itu.
Trauma setelah Tsunami Aceh 2004 merupakan pengalaman yang dialami oleh banyak korban dan penyintas, termasuk saudaraku yang masih berusia delapan tahun saat itu.
Pengalaman Saudaraku Sebagai Penyintas Tsunami Aceh 2004
Trauma sering dialami oleh korban musibah, terutama anak-anak. Saudaraku dari pihak istrinya Paman, yang saat itu berusia delapan tahun, berusaha menghindari gelombang tsunami bersama keluarganya di dalam mobil. Setelah bencana berlalu, ia sering masih merasa takut setiap kali melihat air keran mengalir deras. Ketakutan itu dipicu oleh ingatan tentang bagaimana cepatnya air laut menghancurkan segala sesuatu di jalannya. Untungnya trauma ini tidak sampai membahayakan dirinya atau menimbulkan tingkah laku yang kelewat tidak wajar.
Bagaimana Jika Aku Sendiri yang Mengalami Traumanya?
Dengan merenungi kisah pengalamannya, aku jadi terpikir satu hal : bagaimana jika aku yang berada di posisinya sebagai penyintas trauma akan bencana tsunami. Mengingat sifatku yang kritis, sering bertanya, kemungkinan aku akan keheranan melihat orang-orang bersikap biasa saja ketika air keran itu mengalir deras. Padahal momen seperti itu, jika aku juga mengalami hal yang sama dengan sepupuku yang tadi diceritakan, bisa membuatku merasakan panik dan takut luar biasa yang sama besarnya seperti ketika terjadinya musibah itu.
Aku bisa saja bertanya, "Mengapa air keran yang deras tidak membuat orang panik, tetapi tsunami membuat semua orang ketakutan?" Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol bagi sebagian besar orang, tetapi bagi penderita trauma, hal kecil yang mengingatkan pada musibah bisa terasa sama besar dan mengancam.
Pertanyaan seperti itu menyiratkan bahwa seorang penderita trauma menyadari sedang terjadi sesuatu pada dirinya, hingga hal kecil yang hanya memiliki sedikit sekali keterkaitan dengan sebuah musibah yang dialami sebelumnya, bisa saja hal yang tampak kecil itu terasa sama besarnya dengan musibah itu sendiri. Saudaraku, yang tidak terlalu memiliki rasa ingin tahu berlebihan, beruntung terhindar dari pertanyaan-pertanyaan aneh seperti itu. Namun, situasi yang berlaku untukku mungkin berbeda.
Kaitan dengan Insiden Kelinci yang Kualami Hanya Sendirian
Sebaliknya untuk kasus diriku, aku merasa heran ketika keluarga besarku di rumah tidak seperti diriku yang sangat hati akan matinya seekor kelinci. Saat mendengar kabar kelinciku mati, ingatanku langsung kembali ke saat adikku wafat kurang dari dua tahun sebelumnya. Mungkin, aku juga mengalami trauma pada saat itu.
Mirip dengan saudara sepupuku, yang sempat merasa ketakutan luar biasa setiap melihat air keran mengalir deras karena teringat gelombang air laut yang menghancurkan segala yang dilewati, aku juga merasakan dukacita yang jauh lebih dalam dibandingkan orang di sekitar ketika peliharaanku mati. Hal ini terjadi karena ingatanku masih dibayangi oleh peristiwa kehilangan yang jauh lebih besar sebelumnya.
Diriku di usia pra-remaja merasa heran ketika keluarga besarku tidak terlalu mempedulikan kematian kelinci itu seperti saya. Otak saya otomatis memutar kembali memori kehilangan adik saya, membuat saya berpikir lebih dalam daripada orang-orang di sekitar saya.
Saat itu, aku yang saat itu masih berusia sebelas tahun kurang sebulan bertanya kepada Papah, "Mengapa ketika kelinciku mati, semua orang biasa saja, tetapi mereka hanya bersedih karena adikku wafat?" Sayangnya, Papah menyangka aku sebagai kakak dari almarhum adikku, menyamakan kedudukan anggota keluarga dengan hewan peliharaan. Padahal, yang saya maksud hanyalah kadar kedukaan di hatiku yang sama, bukan berarti adik kandungku sendiri, seorang manusia, menjadi less worthy.
Pelajaran dari Insiden Kelinci dan PTSD
Bukan hanya sepupu jauhku tadi saja yang merasakan sakitnya trauma akibat sebuah bencana besar dalam hidupnya, aku sendiri juga mengalami trauma itu, meski musibahnya yang kami alami berbeda.
Menurut teman-temanku di pelatihan crafting (membuat buket bunga) tiga tahun yang lalu pada 2020, mereka juga mengalami peristiwa yang traumatis seperti insiden kelinci itu hanya saja berbeda pertanyaannya yang mereka ajukan denganku. Awalnya aku ragu-ragu, apakah iya ada orang di luar diriku yang melontarkan pertanyaan seabsurd itu meskipun tidak sama persis? Mbak Icha, salah satu dari temanku adalah seorang penyintas PTSD, dia tidak heran dengan kisah masa laluku dan malah memaklumi pertanyaan yang kuajukan pada insiden kelinci tersebut. Bisa jadi dia pun pernah mempertanyakan ketika hanya dirinya yang menyikapi suatu kejadian kecil secara jauh lebih dalam daripada bagi orang-orang di sekitarnya.
PTSD sering kali muncul setelah peristiwa traumatis seperti tsunami atau kehilangan orang tersayang, seperti yang kualami ketika meninggalnya adikku. Akan tetapi, karena belum ada diagnosis dari psikolog, aku tidak berani untuk menyebut diri sendiri sebagai penderita PTSD.
Refleksi dan Pertanyaan
Aku ingat bertanya kepada diri sendiri: Apakah perasaanku tentang insiden kelinci ini berarti tidak menghargai kehilangan adik kandung sendiri? Apakah ini artinya aku menyamakannya dengan hewan peliharaan? Tentu saja tidak.
Seperti halnya pertanyaan tentang air keran dan tsunami, hal ini bukan tentang tidak menghargai musibah atau kehilangan yang dialami. Pertanyaan seperti itu hanya mencerminkan bagaimana trauma dapat memengaruhi cara kita memproses kejadian kecil yang tampaknya tidak berkaitan.
Penutup
Melalui refleksi ini, aku belajar bahwa setiap orang memproses trauma dengan cara yang berbeda. Ada yang memilih untuk diam, seperti saudara jauhku, dan ada yang bertanya, sepertiku. Keduanya adalah reaksi yang valid dan wajar. Yang penting adalah kita tetap memahami diri sendiri dan tidak memaksakan standar perasaan kepada orang lain.