Monday, February 20, 2023

Saat Insiden Kelinci Terjadi

Ini adalah waktunya menceritakan seterbuka mungkin dengan kejadian ini. Kelinciku yang mati adalah pemberian dari Uwa Aden, kakak lelakinya Papah yang tinggal di luar kota, tepatnya Kota Cirebon. Setahun sebelumnya tepatnya pada tahun 2007, Eyang Kakung (ayahnya Mamah) sudah pernah membelikan aku dan adikku yang terbesar Irsyad masing-masing satu ekor kelinci, akan tetapi saat itu kami belum begitu tertarik memelihara hewan kecil tersebut.

Saat Uwa Aden dan keluarganya mengunjungi kami di Bandung seminggu sebelum puasa, mereka baru saja membeli dua ekor kelinci. Ketiga anaknya Uwa Aden, yang merupakan sepupu kami, juga masing-masing memelihara hewan kecil bertelinga panjang dan berekor bulat itu. Jadi baru di sinilah aku bersemangat mengurus hewan itu. Hewan jinak itu diberikan kepada kami seminggu sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada 1 September 2008, tetapi satu dari dua ekor kelinci itu mati pada beberapa hari sebelum bulan suci itu dimulai, menjadikan beberapa hari sebelum puasa juga udah kerasa sedih.

September
- Awal Bulan Ramadan 1429 H: 1 Ramadan 1429 H, 01 September 2008, hari Senin
- Hari Pertama Puasa Ramadan 1429 H: 1 Ramadan 1429, 01 September 2008 hari Senin.
- Nuzulul Qur’an 1429 H: 17 Ramadan 1429, 17 September 2008 hari Rabu.
- 10 Hari Terakhir Ramadan 1429 H: 21 – 30 Ramadan 1429 H, 21 – 30 September 2008, hari Ahad – Selasa


Insiden kelinci itu terjadi pada hari pertama bulan puasa 2008, ketika kelinci yang satunya lagi mati. Saat baru saja aku hendak makan sahur bersama keluargaku, Eyang Putri mengabarkan bahwa kelinci pemberian kakaknya Papah yang tersisa itu, juga telah mati. Di pagi-pagi buta, sebelum subuh, sudah kudengar kabar yang menurutku cukup mengejutkan, padahal tadinya aku masih semi mengantuk. Lantaran ini adalah pertama kalinya aku serius memelihara hewan, walau bukan pertama kalinya memiliki kelinci, aku merasa terpukul layaknya mendengar kabar duka seseorang. 

"Mengapa orang tidak sedih ketika kelinciku mati, tetapi orang semuanya sedih saat adikku Hanif meninggal?" Itulah pertanyaan yang muncul di benakku saat sahur hari pertama Ramadhan 2008 lalu. Tidak langsung aku menanyakannya hal yang terasa konyol bagi orang pada umumnya itu kepada Papah yang duduk di depanku ketika makan sahur. Sebelum kutanyakan, sudah kusiapkan mentalku jika beliau hanya menjawab sekedarnya seperti, "Kelinci kan hewan, adiknya Teteh itu manusia." Kenyataannya, tanggapan beliau atas pertanyaanku itu sama sekali di luar dugaanku sehingga benar-benar mengagetkanku, mentalku yang tadinya siap malah sama sekali tidak siap, dan tidak langsung kumengerti alasan beliau marah, hingga tiga tahun ke depannya.

Ini adalah pindahan sebagian dari postingan ini supaya tidak terlalu panjang : https://hannaswackyworld.blogspot.com/2021/06/apa-itu-eksistensial.html

Dari postingan ini, mau ditambahin :

Reaksinya Papah yang ngebentak aku setelah sekian menit terus menunggu jawaban, rasanya bagaikan tersambar petir di waktu dini hari, saking terkejutnya. Ini bahkan jauh lebih ngagetin daripada petir di siang bolong! Apalagi waktu kejadiannya juga lagi makan sahur, matahari jelas belum terbit. Kita berhubung masuk puasa mulai hari itu sampai sebulan 'kan nggak boleh makan keduluan matahari, kecuali kuat nggak makan samsek sampai maghrib.

Cuma inget Papah itu ngebentak aku, tapi beliau ngomong apa persisnya waktu itu justru lupa total. Bahkan satu katapun yang diucapkannya ketika lagi bentak juga nggak ada yang inget. Kesedihanku susah ilang, tapinya apa kata-kata persisnya yang beliau keluarkan malah sama sekali nggak bisa dimunculkan. Nggak mukul atau menyentil sih, tapi ini jauh lebih powerful daripada kasus lainnya yang melibatkan hukuman fisik.

Di situ aku udah dapet dikit konsep bahwa manusia dan hewan itu beda, tetep aja waktu itu aku pengen tahu lebih lanjut "apanya sih yang bikin beda". Kayaknya soal "manusia adalah makhluk berakal, derajatnya di atas hewan" aja nggak cukup untuk menjelaskan perbedaannya. Makanya nggak puas sama pemikiran sendiri dan akhirnya nanyain itu ke Papah, didorong rasa kepo yang kuat banget. 

Dalam Bahasa Inggris, sebuah peribahasa untuk orang yang dapet hal buruk akibat terlalu kepo itu "curiosity killed the cat". Artinya secara harfiah adalah "rasa ingin tahu telah membunuh kucing itu". Kucing bisa mati gegara penasaran sama rasa suatu makanan, padahal makanan itu udah diracun buat dimakan tikus. Apakah peribahasa ini dapat diterapkan buat aku?

Setelah makan sahur usai, aku dan adikku yang terbesar Irsyad nonton TV. Lupa lagi acara apa yang kami tonton, pokoknya acara buatan dalam negeri yang aneh banget aja, formatnya live action! Adegannya aku inget banget : ada sekumpulan bapak-bapak kopiahan di rumah orang lagi ngobrol sama ketawa-ketiwi, terus ada suara bayi nangis kebangun sama suara mereka. Denger suara bayi nangis itu, mereka seketika hening dan main ayam-ayaman tanpa mengeluarkan sepatah katapun!

Jelas itu acara komedi! Namun, entah kenapa belum bisa menghiburku. Acara teve yang absurd parah itu udah habis, aku nggak mau nonton kartun kayak biasanya (ini lagi liburan sekolah karena hari pertamanya bulan puasa). Pengennya langsung tidur aja (harusnya sih sholat shubuh). Datang ke kamar, aku dengerin musik dari ponselnya Mamah lalu ketiduran sampai agak siangan.

Bangun tidur, kok masih sedih aja ya? Liat di atas lemari kamar ada satu bungkus kue Marie susu, yang bungkusannya putih dan sedikit biru. Aku santuy aja tuh makan satu keping kue. Baru juga ditelan satu keping, kok rasanya ada yang salah ya? 

Oh iya, baru inget lagi hari itu udah masuk bulan puasa! Untung aku nggak panik, karena udah tau bahwa makan karena lupa itu nggak bikin batal puasa. Apalagi itu kan baru hari pertama! Baru ngeh sekarang bahwa aku makan biskuit Marie itu sebenarnya comfort food, untuk meredakan emosi akibat Insiden Kelinci tadi sahur, tapi kan baru aja mulai puasa. 

Harus cari suasana baru nich untuk mencairkan kegalauan, keluar kamar deh aku. Soalnya kalo di situ terus bisa-bisa ngiler liat itu bungkusan biskuit Marie, mana kemasannya lebih distinctive dan tekstur bungkusnya lebih halus daripada varian regular lagian! Masa nanti kelepasan makan lagi kayak tadi! Di lantai atas itu beneran cuma sendirian, karena semua keluargaku lagi di bawah.


Nemu majalah Islami di depan pintu kamar, lupa lagi judulnya apa. Aku baca sampai habis, sampai inget di majalah itu ada cerpen tentang dua burung merpati yang melapisi kubah masjid pake lembaran emas. Baca majalah belum juga reda sedihnya, aku turun ke lantai satu. Kamarku di lantai dua rumah. 

Di ruang makan, Papah lagi minum jus jeruk. Aku kira beliau juga kelupaan bahwa hari itu udah masuk bulan puasa kayak aku makan kue Marie tadi di kamar atas! Ternyata beliau memang lagi ada penyakit, makanya nggak bisa ikutan shaum. Cerita aja aku bahwa tadi sempet kelepasan makan itu biskuit, kami tertawa bersama.

Sampai sini kayak nothing wrong, sampai  kemudian nyadar bahwa aku masih sedih sama kejadian tadi sahur. Aku bilang kepada beliau, bahwa aku nggak tau beliau bakalan marah sama pertanyaan kayak gitu. Emosi beliau udah turun bahkan bisa nanggepin itu dengan bercanda, "Ya kenapa dong Teteh nanya yang aneh gitu sih? Kira-kira dong!" Di situ aku speechless dibuatnya dan hanya bisa bilang, "Kenapa ya Pah ...?"

Papah bilang kata "kira-kira" tadi bikin aku keingetan proyek kelompok pelajaran IPS waktu beberapa hari ke belakang. Tugas kami bikin peta. Waktu Adit nulis kata "legenda" buat peta kami, dia nulisnya huruf L gede banget dan huruf-huruf sisanya terlalu kecil (kayak tulisan "The" yang dibuat sama Spongebob, tapi perbandingan ukurannya lebih jauh lagi antara huruf pertama dengan selanjutnya). Tau kan legenda di peta, bukan Legenda Nyi Roro Kidul lho! 


Fildzah, temen sekelompok aku yang lainnya, ngeliat tulisan "Legenda" itu bilang, "L-nya segede gaban, tapi 'egenda'-nya kecil banget, ya kira-kira dong!" Aku ceritakan ini juga ke Papah dan beliau ketawa lagi. Cerita lucu ini terjadi di hari yang sama ketika Adit request aku bikin gambar Danny Phantom lagi jitak Cosmo yang dapet nilai ulangan nol.

"Jika Allah menghendaki, pasti nanti Teteh ketemu lagi dengan kelinci-kelinci itu di mimpi," hibur Papah sambil tersenyum. 

Senyuman beliau kubalas. Seketika senyumanku hilang lagi, karena aku udah nggak pengen lagi bareng kelinci-kelinci pemberian abangnya Papah itu. Udah kehilangan niat buat pelihara kelinci lagi nanti, jadi udah bukan lagi sedih karena matinya mereka lagi. Makanya mereka nggak pernah datang dalam mimpiku hingga kini catatan ini diketik. 

Kukira percakapan kami berdua bisa menghiburku, karena tone-nya udah berubah jadi bercanda. Sayangnya, kesedihanku karena kaget dimarahin itu berlanjut hingga keesokan harinya, minggu depannya, bulan selanjutnya ketika sudah menemui Hari Kemenangan yaitu Idul Fitri. Padahal biasanya dengan ngeliatin gambar Danny Phantom dan melakukan hobi (liatin si DP itu bukan hobi sih), itu cespleng buat ilangin sedih misalnya kalo di-bully terutama oleh Nadia atau Regian di sekolah. Karena kesedihan ini belum kunjung ilang, aku semakin terkunci dalam dunia Danny Phantom yang semu, fiktif, dan tidak nyata. 

Belum hilang kesedihanku, semakin intens aku menatap wajah Danny Phantom. Itulah sebabnya aku lebih terpaku pada si cowok kartun itu ketimbang sebelum Insiden Kelinci. Dua bulan berlalu dari insiden ini, yaitu November 2008, aku mencoba curhat sama Papah, ternyata ending-nya kurang bagus. Serasa kesambar petir untuk yang kedua kalinya setelah insiden itu, beliau bilang, "Teteh nanti disatuin dengan kelinci di akhirat nanti, mau!?"

Rasanya curhat itu langkah yang percuma, makanya terus menutupi kesedihannya aku dengan ngehalu tentang Danny Phantom. Walaupun itu tidak terlalu membuahkan hasil, tetap saja kukerahkan pikiran ini untuk membuat diri ini keliatannya ketawa nonstop. Padahal yang diketawain juga bukan komuk Danny itu sendiri, karena ekspresi mukanya seratus persen terkondisikan nggak banyak gaya. Melainkan, lebih ngetawain imajinasinya aku yang di luar nalar seperti Danny pake jengger ayam bohongan di kepala, terus sang manusia setengah hantu itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara kayak ayam kalkun!

Kan gokil abiez, ye? Makanya aku dulu suka ketawa ngakak sendiri kalo liatin Danny Phantom. Orang jelas pada bingung liat aku ketawa gitu. Dicari ke mana, diliatin gambarnya Danny Phantom sampe melotot 5 jam juga mereka nggak akan nemu letak lucunya. 

Hal yang bikin kesedihan dari insiden itu kayak yang permanen, karena aku kaget kenapa pertanyaan itu dianggap menyamakan manusia dan hewan. Buat kasus lainnya, kayak semisal aku bolos sekolah atau berantem sama adik terutama Irsyad sich udah jelas sebabnya kalo dimarahin Papah, beda banget dengan kejadian ini. Makanya sedih akibat Insiden Kelinci ini nggak ada lawannya dari kehidupan aku sendiri. Bagi aku yang neurodivergent, yang bikin sepintas kayak yang bodoh, pemahamanku akan hewan itu beda makanya susah connect dengan pemikiran ortu dan juga orang-orang di sekitarku.

Pemahamanku tentang insiden ini juga berubah-ubah setiap waktunya. Kadang pikiran aku bilang, anak itu segalanya bagi orang tuanya, makanya jangan ada yang membandingkan antara peristiwa kehilangan anak dengan matinya binatang yang nggak punya akal kayak manusia. Namun, di lain waktu, pikiran aku juga bilang begini, lho, kok Papah tersinggung sih? Aku kan cuma ingin tahu apa sih yang bikin meninggalnya manusia itu berbeda dengan matinya hewan? 

Jadinya pikiran aku itu hilang-timbul, kadang udah paham kadang juga pahamnya ilang lagi.

Nggak Bisa Diajak Deep Talk, Artinya Nggak Bisa Jadi BFF!

Catatan 20 Februari 2023

Untuk menguji apakah seseorang layak menjadi teman dekat kita atau tidak, bagiku sih nggak usah susah-susah mencari tahu apakah dia menusuk dari belakangku atau tidak. Rule ini hanya buat aku : kasih dia kisah hidupku yang paling kontroversial, contoh paling gampangnya itu Insiden Kelinci (duh, nggak ada habisnya ini insiden diulik karena saking impactful kisah ini). Aku sharing kisah pengalaman kek gitu terus dia ngetawain, artinya dia nggak cocok jadi temen deket. Nggak perlu musuhan, tapi tetep nggak bisa jadi BFF.

Itu kan salah satu pengalaman aku yang paling-paling traumatis, kok dia malah ngetawain? Artinya dia nggak ngerti perasaan aku di sini. Makanya kejadian itu bikin terus keingetan karena dulu nggak berani buat cerita ke orang lain mengenai kisah ini, bahkan ke Mamah aja tadinya nggak berani spill sebelum satu tahun dari kronologi kejadiannya. 

Seharusnya sih aku segera mencari bantuan profesional di saat tindak-tanduk aku semakin nggak wajar pasca Insiden Kelinci itu (misalnya, jadi makin lengket dengan Danny Phantom sampai ke taraf obsesi yang nggak sehat). Karena khawatir malah semakin dimarahi (kayak waktu curhat sama Papah habis 2 bulan dari kejadiannya) atau diketawain (sebelum ada temen yang beneran ngetawain udah duluan takut), terus aja aku pura-pura hepi. Pura-pura lupa sama kejadiannya itu dengan cara apa? Dengan semakin fokus dengan Danny Phantom yang dulu menjadi tokoh kartun kesayanganku, karena biasanya sehabis dimarahin ortu suka gampang balik lagi ke mood yang bagus kalo udah ngeliat cukup gambarnya doang.

Inilah kisah lengkapnya tentang alasan mengapa aku memiliki obsesi yang nggak sehat untuk Danny Phantom:

Masuk pondok ketika SMA, aku udah nggak ngandelin Danny Phantom lagi karena udah terbukti nggak berhasil mengatasi rasa sedih akibat Insiden Kelinci itu. Saat itu aku udah mulai ngerti letak kesalahannya di mana, tapi begitu ngerti kesalahanku malah bikin makin syedih. Kesibukan di pondok yang padat bikin lumayan nggak kepikiran lagi, tapi belum bener-bener ilang sedihnya. Selama sekian tahun aku menutup rapat-rapat kesedihan ini, nggak berani cerita ke siapapun selain keluarga inti (dalam keluarga inti cuma Mamah yang bukan saksi mata kejadian, serius!) karena takut dihina atau ditertawakan.

Lulus SMA, aku mulai banyak baca buku dan jadi mempertanyakan apakah kesalahanku pada Insiden Kelinci itu memang hal yang salah? Karena dalam banyak literatur, hewan peliharaan memang banyak diperlakukan layaknya sesama manusia. Akan tetapi, kadang hewan itu dianggap sangat rendah, sedangkan manusia itu sangat berharga. Karena old self aku di kelas 5 itu begitu naif, akhirnya selalu mempertanyakan kesehatan mental diriku.

Tahun 2018, tepat sepuluh tahun dari waktu insiden itu terjadi, aku menjalani sesi terapi dengan seorang psikolog. Psikolog ini masih memiliki hubungan saudara, tetapi sudah agak jauh denganku, sehingga diharapkan cukup objektif dalam memberikan tanggapan. Sebagai orang yang berwenang untuk memberikan diagnosa atas keadaan mentalku, tentu kuserahkan kepada beliau. Nyatanya, sama sekali tidak ada titik terang mengenai hal itu.

"Hanna jangan menyalahkan Papah ya," kata beliau. Sama sekali tidak diberi kejelasan mengenai apakah aku menderita penyakit mental. Jika iya, penyakit mental apakah yang kuderita itu? Bahkan tidak ada treatment apapun untuk kesedihan akan Insiden Kelinci!

Pernah aku dekat dengan teman di pondok, awalnya hubungan kami baik-baik saja. Namun, semuanya berubah ketika aku curhat sama dia lewat chat WA tentang Insiden Kelinci, responnya predictable (mudah ditebak banget)! Ini adalah ketika kami sudah sama-sama menjadi mahasiswi.

"Ya iyalah dimarahin Papah, yang gitu kok ditanyain!" balasnya lewat ketikan.

Sejak sepuluh tahun ke belakang sebelum percakapan kami tadi, aku memang sudah menduga orang akan merespon begini. Makanya nggak terlalu kaget lagi. Akan tetapi, jika yang melontarkan respon seperti itu adalah sahabatku sendiri itu sudah red flag. Oleh karena itulah pertemanan kami merenggang.

Aku nggak patah arang untuk mencari jawaban atas pertanyaan "Penyakit mental apakah yang kuderita sehingga bisa menjadi sangat naif dan bertanya hal absurd dalam Insiden Kelinci itu?" Kak Zeta Fatim, salah satu kawannya Regita Anggia mengadakan pelatihan crafting sebagai terapi untuk komunitas bipolar disorder pada Desember 2020 lalu, event ini kuanggap sebagai kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan sesama penderita problem emosional. Aku memang masih belum yakin bahwa diriku menderita bipolar itu, bahkan belum jelas apa yang kuderita. Daripada terus berada dalam kebingungan tanpa ujung, acara ini layak untuk kucoba.

Kutantang diriku sendiri untuk bercerita tentang kisah insiden tersebut kepada orang-orang yang benar-benar asing. Bahkan sebelum event ini aku belum pernah mengenal Kak Zeta dan juga Regita Anggia (the latter sih emang belum pernah ketemu hingga post ini ditulis)! Respon mereka ternyata sungguh di luar dugaanku! Padahal udah yakin duluan bahwa I am really alone, bukannya I am not alone yang mengalami hal seperti Insiden Kelinci itu.

"Kamu itu bertanya begitu karena kamu menganggap semua nyawa itu berharga," tanggap Mbak Icha, salah satu dari peserta crafting ini yang sudah beberapa kali aku kutip. 

"Kalian nggak ngerasa aneh gitu sama aku yang nanya kayak gitu? Kayaknya orang lain nggak ada deh yang nanya hal aneh begitu!" tanyaku heran.

"Sebenarnya kami juga pernah nanyain hal yang seaneh itu, cuman konteksnya aja yang beda," jawab Kak Daniel, peserta crafting lainnya.

Orang-orang yang totally strangers, bahkan jauh lebih terasa asing daripada teman sekolah, malah menjadi sekumpulan orang pertama yang mengerti maksud dari perkataanku pada Insiden Kelinci itu. Pada tahun event tersebut diadakan yaitu tahun 2020, Insiden Kelinci sudah berusia 12 tahun (2020-2008=12). Perlahan tapi pasti, kesedihan, rasa malu, insecure, dan guilt mulai meluntur. Karena, penyebab dari kenaifan aku pada insiden itu nggak seburuk yang selama ini dikira.

Pada tahun yang sama dengan acara pelatihan untuk bipolar tadi, aku memberanikan diriku untuk menceritakan kisah Insiden Kelinci ini kepada seorang kerabat yang masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat dengan Mamah. Di sini perasaanku setengah berani dan setengah takut, karena beliau ini termasuk orang yang paling terpukul dengan wafatnya Hanif, salah satu adikku. Juga terselip kekhawatiran akan ditertawakan karena kisah ini terlalu gejlig. Walaupun begitu, tetap saja aku terdorong untuk segera menceritakannya karena kami sudah terbiasa jujur-jujuran.

Untuk detailnya mengenai respon yang kerabat tersebut berikan, dapat dibaca di postingan aku yang ini : https://hannaswackyworld.blogspot.com/2021/06/apa-itu-eksistensial.html

Intinya, alih-alih menganggap konyol dan aneh pertanyaanku itu, beliau malah memberikan respon yang teramat positif dan mencengangkan bagiku. Kata beliau, itu adalah pertanyaan lintas disiplin ilmu, mengandung filsafat eksistensialisme, dan memperlakukan seluruh makhluk hidup secara egaliter tanpa ada pihak yang dibuat less worthy. 

Tahun 2021, aku bercerita tentang Insiden Kelinci ini lewat chat di WhatsApp kepada Diva, sahabatku sejak SD. Asli dah, aku sampai nggak berani cerita ini ke dia padahal dia kan temen terdekat aku. Kami bahkan memiliki trauma yang hampir sama dan menjadi korban bullying dari orang-orang yang sama ketika kami masih satu sekolah dulu! Makanya aku yakin banget Diva nggak akan mungkin ngasih tanggapan yang nyelekit. 

"Oh, itu wajar nanya gitu karena kamunya kan sedih sama kelinci itu kayak kamu sedih ke adik kamu. Jadi kamu itu bingung ngeliat orang-orang pada beda perilakunya sama kamu," ketik Diva. 

Dia juga bilang bahwa aku itu punya kreativitas karena kepikiran asosiasi aneh antara susu bubuk sama kecengan aku jaman SMP (ini aku ceritain di postingan-postingan berikutnya ya)! Beruntung banget deh punya kawan kayak dia, berarti dia ini barulah BFF yang sebenarnya, karena nggak ngolok-olok peristiwa traumatis dalam hidupku selama ini. Pada tahun yang sama, aku juga menceritakan perkataannya Diva ini ke psikolog aku yang kedua. Walaupun kedengarannya sulit dipercaya karena aku nggak punya karya yang hebat bagaimana, ternyata psikolog tersebut membenarkan pernyataannya sahabatku ini!

"Kreativitas adalah mampu memandang sesuatu dari sisi dan sudut pandangnyang tidak biasa, juga menciptakan sesuatu yang tidak pernah orang pikirkan sebelumnya," terang beliau. 

Makanya aku relate banget dengan cuitan pada screenshot di atas!







Wednesday, February 15, 2023

4 Pelajaran dari Sebuah Insiden yang Membuka Banyak Wawasanku Tentang Hidupku

Catatan 15 Februari 2023


Bisa-bisa aku bikin buku khusus untuk mengumpulkan seluruh postingan di blog ini tentang Insiden Kelinci. Habisnya banyak banget sih postingan tentang kejadian yang absurd dan kontroversial itu! Dari tahun ke tahun, bukannya lupa sama itu kejadian (makanya diduga sebagai core memory dalam ingatanku), malah makin pengen banyak mengkaji ulang kisah ini. Kira-kira beberapa bulan habis insiden itu, aku sempet nyesel seharusnya nggak usah nanyain itu ke Papah atau tanyainnya ke orang dewasa lainnya. 

Pengen deh kayak anak umur sebelas tahun lainnya, nggak sedih akan sebuah perkataan yang terlalu aneh jika dikatakan "tidak umum". Akan tetapi, di usia aku yang sekarang (pada saat ngetik ini) udah lewat pertengahan 20an atau seperempat abad, aku pikir kejadian itu malah bikin banyak mempelajari diri sendiri. Coba aja masa pra-remaja aku itu normal-normal aja, nggak ada keanehan-keanehan semisal itu, kayaknya sich nggak akan terlalu niat buat mempelajari hidup sendiri. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menarik hikmah dari keterlambatan emosional untuk memahami sikap orang-orang di sekitarku.

Lewat Insiden Kelinci ini, aku dapat mengamalkan isi dari tweet pada screenshot di atas, yaitu mempelajari lima hal. Sebelumnya, aku terjemahkan dulu ke dalam Bahasa Indonesia agar aku lebih mudah untuk menguraikannya. 

📖 "Pelajari Momentum"

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), momentum diartikan sebagai "saat yang tepat". Untuk konteks Insiden Kelinci ini, artinya lebih ke "saat yang menjadikan peristiwa ini begitu impactful untuk kehidupan aku". 

Sejak hari-hari sebelum Insiden Kelinci ini terjadi, aku udah ngalamin beberapa hal yang sedih. Kelinci yang mati pada insiden ini adalah yang tersisa dari dua kelinci yang diberikan abangnya Papah seminggu sebelumnya. Kira-kira pada hari Kamis terakhir sebelum Insiden Kelinci yang terjadi pada hari Senin, mati satu kelinci. Jadi rasanya sangat menyedihkan ketika kelinci yang tersisa menyusul saudaranya beberapa hari kemudian.

Insiden Kelinci terjadi pada tanggal 1 September, berarti kelinci yang sebelumnya mati pada tanggal 28 Agustus. Kebayang 'kan itu jadi pekan buat aku yang lumayan sentimentil, meski "hanya" tentang kisah hewan peliharaan? Beneran kaget pas dua kematian kelinci ini terjadi secara rentetan. Makanya pas kelinci yang satunya lagi itu mati juga, kaget dan sedihnya tambah-tambah!

Tanggal kejadiannya juga "strategis", alias mudah diingat. Bukan tanggal cantik per say juga sih, tapi cukup memorable. Yap, seperti yang aku bilang berulangkali, ini terjadi pada momen yang lumayan besar yaitu pada hari pertama bulan puasa di mana siklus tidur dan makan berubah total! Ditambah ini adalah tanggal bulan Hijriyah yang mepet banget dengan bulan Masehi, bulan puasa dimulai pada pergantian bulan kalender biasa juga!

Sumber gambar : https://wp.me/pgTrW-42

Seumur hidup aku, baru sekali ngalamin fenomena penanggalan yang mepet antara Hijriyah dengan Masehi gini. Makanya terasa begitu berkesan dan hampir tidak mungkin untuk dilupakan.

📖 "Pelajari Sifat Manusia"

Dengan mendiskusikan tentang insiden ini bersama Fariz, adikku yang bungsu, dia memberiku sebuah insight : seseorang akan lebih mudah relate dengan manusia lainnya karena manusia dapat diajak untuk berkomunikasi. Meskipun aku menganggap nyawa manusia dan hewan itu egaliter dan sama-sama berharganya, tetap saja akan ada perbedaan untuk menyikapi keduanya. Ya, bagiku juga seekor hewan peliharaan nggak pernah menjadikan keluarga sendiri jatuh harkatnya atau sampai menyingkirkannya, karena anggota keluarga sendiri tentunya tidak tergantikan, berbeda dengan hewan peliharaan yang bisa dibeli lagi. Kami membahas ini karena aku ingin menceritakan kisah selengkapnya tentang Insiden Kelinci kepada adik bungsuku itu, yang dia juga adalah saksi mata, tetapi saat itu masih berusia kurang dari dua tahun ketika itu terjadi.

Lagipula, kebanyakan orang masih menganggap hewan adalah makhluk hidup yang "cuma". Orang-orang yang bukan penikmat hewan peliharaan, perasaan mereka juga akan datar-datar saja untuk hewan meski mereka juga makhluk hidup. Saking banyaknya orang yang tidak menaruh perhatian pada hewan di budaya sini, golongan orang yang memperlakukan hewan seperti sesamanya malah dianggap aneh atau tidak menggunakan akal sehat. Sebaliknya, bagi para pecinta hewan, kehilangan peliharaannya memberikan kesan yang sama mendalamnya seperti kehilangan anggota keluarganya.

Aku sebagai pecinta hewan, tentu saja memahami manusia apalagi anggota keluarga masih jauh lebih berharga. Aku sulit menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud dengan "egaliter" antara hewan dan manusia itu tidak akan setara persis dan tidak akan menjatuhkan derajat manusia. Akhirnya ketemu juga jawaban dari pertanyaan itu, yaitu anggota keluarga masih memiliki bagian dari kita, terutama untuk orang tuanya, sedangkan hewan tidaklah demikian. Di saat yang bersamaan, pets dapat dianggap egaliter tetapi juga masih memiliki perbedaan yang kentara dengan anggota keluarga yang sesungguhnya.

Di saat orang normal baca tulisanku ini, mereka gede banget peluangnya buat ngomong, "Ya iyalah!" Penting untuk diingat, di sini adalah catatan dari sudut pandang orang yang berpikiran "berbeda" alias neurodivergent. 

Ini konsep yang agak sulit untuk dijelaskan kepada kebanyakan penyayang hewan kasual (nggak tenggelam banget untuk pelihara hewan) atau bahkan untuk non-pecinta hewan sama sekali! Mereka banyak yang terus menyangka aku menyetarakan manusia dengan hewan itu adalah bentuk dehumanisasi, padahal sama sekali bukan ke situ tujuanku. Banyak di antara mereka juga mengira aku lebih sedih dengan kelinci peliharaan yang mati, padahal mana ada perasaan kayak gitu. 

📖 "Pelajari Pemicu Emosional"

Ini sudah kusadari sejak lima tahunan yang lalu : sebaiknya untuk membandingkan antara reaksi orang antara manusia dengan hewan, aku menyebutkan kematian manusia secara umum saja. Jangan menyebut suatu peristiwa meninggalnya seseorang dengan spesifik, dalam kasus ini adalah meninggalnya Hanif, adikku yang tengah. Kata seorang kerabat, meninggalnya seorang anak adalah soft spot bagi orang tuanya. Oleh karena itu, rasa terkejut dan menyesal akan kejadian ini semakin menjadi-jadi, karena semakin menua aku semakin paham di mana letak kesalahanku sampai menyinggung Papah pada insiden itu.

Aku sebagai kakak juga bukannya tidak sedih atau kehilangan. Buatku, peristiwa kehilangan anggota keluarga adalah sebuah hal yang menarik untuk dikaji, meski itu merupakan peristiwa yang menyakitkan. Hanya saja, terjadi sebuah kesalahan pada caraku untuk mengkajinya. Karena biar bagaimanapun, kesedihan ortu nggak akan persis plek ketiplek sama dengan kesedihan yang dialami anggota keluarga yang lainnya.

Kurang dari sehari sebelum Insiden Kelinci, ketika lagi seneng-senengnya menyambut bulan puasa yang akan jatuh pada subuh besoknya, ada lagi kesedihan yang lainnya. Pada hari Minggu Papah marah karena aku nyebut Danny Phantom itu sebagai "iblis", karena itu adalah musuh manusia nomor wahid. Aku sebut Danny sebagai iblis, itu bukan sebagai makhluk yang ingin memasukkan manusia ke dalam Neraka seperti keyakinan umum. Melainkan karena Danny 'kan bukan manusia seutuhnya, tetapi setengah dari hantu, yang makhluk dunia gaib (kalo kultur luar sih hantu atau roh manusia juga disebut "demon" yang artinya "iblis").

Saat itu jatuh pada tanggal 31 Agustus, ketika belum kelar sedihnya akibat kelinci pertama yang mati tiga hari ke belakangnya. Aku sedih karena waktu itu Papah nggak mau terima pemahaman lainnya untuk iblis. Untuk cerita selengkapnya bisa dibaca di salah satu catatanku yang lama. Lalu, pada saat sahur pertama, baru juga mulai makan, udah kaget lagi dapet kabar bahwa kelinci satunya lagi juga mati!

Kebayang, 'kan, mental aku lagi rapuh-rapuhnya pada saat itu? Ini menjadi salah satu sebab mengapa ketika Insiden Kelinci terjadi itu aku kesulitan berpikir jernih.

📖 "Pelajari Sebab dan Akibat"

Butuh waktu sekian lamanya untuk memahami letak kesalahanku pada insiden kelinci itu. Setidaknya aku membutuhkan waktu tiga tahunan. Selama tiga tahun itu, sudah pernah dikatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dan hewan. Pada saat itu, aku belum langsung paham karena menurut persepsiku hal yang disebut menyamakan manusia dan hewan hanya sebatas mengejek dengan sebutan hewan saja.

Ternyata, menurut common sense lokal, hewan itu derajatnya di bawah manusia, alhasil dianggap hina dan rendah. Sehingga jangan diperlakukan dengan sikap yang sama, karena seperti menyetarakan kedudukan manusia jadi rendah seperti hewan. Itulah sebabnya Papah merasa tersinggung dengan ungkapan keherananku akan perbedaan sikap orang lain denganku untuk kelinci yang mati. Karena pemikiranku yang tidak seperti itu untuk hewan (tidak menganggap rendah), maka butuh waktu yang lama untuk memahami mengapa pertanyaan itu menyinggung perasaannya beliau, secara hal seperti ini tidak pernah diajarkan di buku-buku budi pekerti.

Pemikiranku ini malah lebih mirip orang luar ketimbang warga lokal negara ini, walaupun tidak akan sama persis dengan kisah berikut ini. Dalam manga Honey Rabbit, seorang ibu yang kehilangan anak lelakinya bahkan memelihara beberapa ekor kelinci sebagai anak asuhnya, bukan lagi sekadar peliharaan. Mereka menempati posisi yang hilang dari hati sang ibu, yaitu anak (tentunya aku tidak akan sampai level segininya). Apabila ibu tersebut menganggap hewan itu makhluk yang rendah, tidak akan para kelincinya itu dianggap sebagai pengganti mendiang sang anak.

Tetapi kenapa ibu tadi bisa sampai menganggap para kelincinya itu sebagai pengganti anaknya yang telah di Surga? Aku nggak bisa spill di sini, karena itu spoiler dari manga ini! 

📖 "Pelajari Dirimu"

Meski ditaruhnya terakhir, justru inilah poin yang paling penting. Kalo bahasa kerennya sih "the last, but not the least". Jika kita tidak mengenal diri sendiri, akan sulit pula untuk mencintai diri ini. Dalam periode tertentu setelah Insiden Kelinci itu, aku sempat merasa sebal dengan diriku sendiri, yang tadinya cukup mencintai diri. 

Selama lebih dari sepuluh tahun setelah insiden tersebut, aku terus merasa diri sendiri ini bodoh karena bisa-bisanya logikanya nggak nyampe untuk sebabnya orang memperlakukan manusia dan hewan secara berbeda. Jikalau tidak separah kata "bodoh", mungkin "naif" itu lebih mendekati. Sampai-sampai membuatku curiga bahwa aku mengalami gangguan jiwa karena bisa sampai senaif itu pada usia sebelas tahun pada 2008 lalu. Namun, pada lain kesempatan, Papah pernah berkata bahwa aku memiliki cara pandang yang berbeda, tetapi itu bukanlah sebuah kelainan atau penyakit mental, tetapi justru sebuah keunikan. 

Pada pertemuan pertamaku dengan psikolog pada 2021 lalu, aku menceritakan kisah insiden ini beserta keterangan dari Papah bahwa sudut pandangku tidak biasa. Beliau menyetujui itu, bahwa aku hanya memandang dari sudut lainnya, bukannya kesulitan untuk berpikir logis. Setelah teman-teman di terapi crafting, beliau adalah orang kedua yang menyadarkanku bahwa nalarku tidak selemah yang selama ini aku dan banyak orang pikir. Ketika sudut pandangku menganggap manusia dan hewan adalah egaliter, sebaliknya orang lokal pada umumnya memandang bahwa derajat hewan itu rendah. 

Dengan semakin banyak menggali diri sendiri, perlahan luntur kebencianku terhadap diri sendiri. Aku menjawab lagi kuis dalam Majalah Girls, sebuah majalah untuk anak-anak perempuan, untuk menguji kecintaan terhadap diri sendiri. Hasilnya masih sama persis dengan 14 tahun yang lalu ketika majalah tersebut terbit, yaitu "mencintai diri sendiri". Lalu, nyaris setahun yang lalu, pada tahun 2022, aku menemukan fenomena psikologis "neurodivergent" yang artinya "memiliki pemikiran yang berbeda dengan umum".

Tuesday, February 14, 2023

Insiden Kelinci Adalah "Core Memory" Buatku!

Catatan 15 Februari 2023

Rencananya, Disney mau ngeluarin beberapa sekuel tahun ini yaitu film Toy Story 5, Frozen III, Inside Out 2, dan Zootopia 2. Di sini yang bakalan jadi fokus aku itu Inside Out. Hal yang bikin film tadi itu unik adalah karena membahas tema psikologi. Banyak fenomena psikologis yang lebih mudah dijelaskan jika dikaitkan dengan film itu. 

Setiap kali aku akan brought up Insiden Kelinci, rasanya ragu, khawatir orang yang baca akan jadi bosan. Itu disebabkan karena ini adalah peristiwa yang paling kontroversial, setiap orang penerimaannya berbeda-beda. Juga merupakan insiden yang paling sulit bahkan alot untuk dilupakan. Adikku Irsyad punya penjelasan terkait Insiden Kelinci ini, dia menjelaskan hal ini dengan perumpamaan dari film Inside Out

Dalam film yang menceritakan tentang kelima perasaan yang dipersonifikasikan ini (marah, senang, sedih, takut, dan jijik), terdapat visualisasi dari memori berupa bola-bola memori. Dari sekian memori yang kita miliki, terdapat sebuah "memori inti" (core memory), yang digambarkan sebagai bola-bola yang bersinar paling kuat dan ditempatkan di wadah khusus yang berbeda dari memori biasa.


"Mungkin ayah dan bunda sudah pernah mendengar istilah core memory. Istilah ini memiliki arti memori atau kenangan akan kejadian yang paling berpengaruh bagi si kecil. Core memory tidak hanya memberi kesan mendalam, tetapi juga bisa menjadi dasar dari nilai dan tabiat yang dimiliki anak saat dia dewasa." 


Menurut adikku Irsyad, alasan di balik sulitnya aku melupakan Insiden Kelinci itu adalah karena peristiwa tersebut merupakan core memory bagi aku. Sekarang sudah mulai jelas bahwa peristiwa itu terus melekat di benakku itu bukan karena aku hanya terobsesi akan kejadian itu, apalagi dendam sama Papah, melainkan karena memori akan insiden tersebut memberikan pengaruh yang mendalam bagiku. Lalu, mengapa insiden yang kontroversial itu bisa termasuk kenangan yang paling berpengaruh dan memberikan kesan yang dalam di kehidupanku, sehingga jadi memori inti? Ini juga masih ada penjelasannya dan dia itu ngejelasinnya dalam sekali duduk, bukan di momen yang berbeda. 

🔮 Ya, seperti yang kita baca dari kutipan artikel di atas (sebenarnya itu artikel buat parenting), ortu emang perannya nggak main-main buat menciptakan memori inti dalam kepala kita yang anaknya mereka. Dalam Insiden Kelinci itu, aku waktu itu emang berkaitan erat bahkan berurusan sama Papah almarhum. Nah, dari siapa yang terlibat dalam kejadian aja udah ketebak sebabnya itu kejadian bisa masup ke memori inti. Sayangnya, ini nggak berhenti sampai di situ, karena nggak semua kemarahan Papah itu berbekas ampe segitunya.

Kemarahan Papah yang sampai mukul pun nggak bikin keingetan segitunya. Mungkin ada beberapa peristiwa macam begitu yang bikin kepikiran, tapi nggak alot juga keles ngelupainnya. Bisa jadi nggak masuk-masuk ke memori inti acan. Mari kita simak penjelasan selanjutnya dari adik aku yang gede ini!

🔮 Pada insiden itu, aku jelas lagi sedih-sedihnya karena kelinci peliharaan yang mati. Jadi, dari awal emang udah sedih sebelum aku bikin Papah marah. Pada kasus biasa, sedih itu karena dimarahin, bukan sebelum dimarahin juga udah sedih. Di sini juga curiga aku udah ada PTSD, karena kelinci mati doang bikin keingetan lagi sama adik yang meninggal. 

Emosi aku lagi intens ketika Insiden Kelinci itu terjadi (kesedihan pertama karena kematian kelinci dan kesedihan kedua karena dimarahi Papah tak disangka-sangka), peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam selain karena merupakan interaksi aku dengan orang tua, yaitu Papah. Dari sini udah ketemu dua faktor penyebab masuknya insiden ini ke dalam memori inti, yaitu faktor interaksi dengan orang tua dan faktor perasaan yang intens karena rasa sedih bertambah-tambah dan ditambah pula kekagetan karena dimarahi. Ini hanya bagian dari penjelasan adik aku yang posisinya netral dan dia satu-satunya saksi mata kejadian ini, jadi bukan aku menyalahkan Papah seperti yang beberapa orang anggap.

🔮 Contrary with most people believes, aku bukannya lebih sedih sama hewan peliharaan ketimbang adik sendiri. Kejadian ini bikin waktu itu nyadar satu hal : orang-orang menyikapi kehilangan sesama manusia dan hewan itu berbeda. Oleh karena itu, aku mempertanyakan soal itu di saat masih kelas lima, aku tidak menganggap itu membuat derajat manusia menjadi hina atau rendah. Bagiku, kematian adalah sebuah topik yang menarik untuk diulik, dicari tahu seluk-beluknya. 

Banyak orang pikir aku ini logika atau kecerdasan emosionalnya ketinggalan (terutama Mamah yang mikir gini), padahal kayaknya sih hanya karena perbedaan sudut pandang dengan orang biasa. Bahasa ilmiahnya itu neurodivergent, buat sudut pandang yang umum itu disebut neurotypical. Setelah ke psikolog, baru deh ngerti kenapa aku masih nanyain perihal itu yang kata orang "normal" itu udah jelas jelas jelaassss banget. Karena punya pemikiran yang nggak umum, sama sekali had no idea bahwa itu bukan hal yang dianggap benar oleh masyarakat umum, setidaknya masyarakat umum di Indonesia. 

Jika momen dimarahin Papah biasanya udah tau letak kesalahannya sehingga nggak kaget lagi kalo beliau marah, kali ini sama sekali nggak ada dugaan sedikitpun bahwa pertanyaan seperti itu bakalan dimarahin. Rasa terkejutnya jadi di-up berkali-kali lipat dibandingkan kasus biasa. Bahkan hingga kurang lebih tiga tahun dari kejadiannya, aku masih bertanya-tanya kenapa itu bikin beliau tersinggung. Sejak paham bahwa mayoritas warlok mikirnya hewan itu rendah, posisinya di bawah manusia, baru deh ngerti kenapa menyinggung (tapi nggak bikin ilang sedihnya). 

Udah ketemu tiga faktor nih kenapa itu kejadian jadi memori inti yang terus aja keingetan (ini beda dengan yang orang Sunda sebut "neuteuli") selama lebih dari sepuluh tahun lamanya :
1. Melibatkan interaksi dengan orang tua, apalagi ortu dalam kejadian ini udah meninggal jadinya aku nggak bisa verifikasi ke beliau
2. Kondisi emosi yang intens karena satu kesedihan ditambahkan satu kesedihan yang lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan (nggak sampe sejam dari kabar matinya kelinci ke aku dimarahin Papah karena nanyain itu)
3. Rasa terkejut yang teramat sangat, yaitu berasal dari bentakan, tidak menyangka ucapanku bisa menyinggung, dan menemukan bahwa pemikiran orang lain ternyata jauh berbeda denganku

Jadi makin suka nih sama film-film Disney terutama yang keluaran Pixar, soalnya banyak berkaitan dengan kejiwaan. Sebenarnya kalo mau diulik lagi, Frozen terutama yang pertama, itu metafora dari masalah psikologis. Semoga saja Inside Out 2 ini lebih banyak ngulik tentang core memory itu. Core memory ini disebutkan pada kutipan artikel di atas bahwa dapat juga menjadi dasar tabiat anak ketika dewasa, andai saja tidak ada peristiwa itu kayaknya aku nggak akan segitu berminat untuk cari tahu tentang diri sendiri.






Thursday, February 9, 2023

Menjadi Satu dengan Hewan, Apakah Itu Selalu Buruk?

Catatan 9 Februari 2023

"Teteh nanti di akhirat disatukan dengan kelinci, mau!?"

Itu kalimat ancaman yang Papah katakan ketika aku mencoba curhat dengan beliau waktu setelah lebih dari satu bulan tidak bisa menghilangkan perasaan sedih akibat Insiden Kelinci. Peristiwa seperti itu memang aneh dari segi apapun, bahkan aftermath-nya (akibat yang terjadi setelahnya) juga diverse (sangat berbeda) dengan kasus dimarahin beliau biasanya. Aku emang sulit untuk melupakan pengalaman yang nggak enak, tapi kalo dimarahin blio itu biasanya cepet biasa lagi, gak kayak gini amat. Berarti perlu dikaji lagi, apa nih yang bikin itu kejadian bisa sampai gede-gede sekali damage-nya?

Jadi, aku terus nulis kisah ini bukan berarti nginget-nginget konflik aku dengan ortu yang udah almarhum ya. Bukan juga nyalahin Papah seperti yang dikira oleh Mamah dan satu psikolog aku pas tahun 2018. Nulis ini bisa termasuk sebagai expressive writing yang ditugaskan oleh psikolog ketika aku terapi tiga tahun kemudian, pada 2021. Ada banyak sekali hal yang bisa dikaji dari Insiden Kelinci ini, karena banyaknya pemikiran tentang pengalaman yang satu ini.

Pas baru banget denger ancaman beliau itu, rasanya hal itu kayak yang ngeri banget. "Aku disatukan dengan kelinci" itu maknanya ambigu sebenarnya, meski gitu tetep aja didn't sound right. Apakah disatukan bagian-bagian tubuhnya secara hibrida, disatukan golongannya, berada di satu tempat tinggal yang sama, atau apa, gak jelas kan? Setelah bertahun-tahun mencoba menerka maksudnya dan membayangkan aku mengalaminya sendiri, ternyata nggak seseram kedengerannya. 

Di sini aku bukannya mau menganggap sepele ancaman tersebut, ya. Ini adalah pemikiranku yang timbul apabila ancaman tersebut kembali teringat olehku : 

• Fisikku hybrid dengan kelinci = anthro persona, ada aku versi lain tapi dalam bentuk kelinci yang dimanusiakan. 🐰🤓

Anthro persona ini lumayan banyak di internet sebagai identitas diri para warganet yang suka hewan tertentu.

Atau mungkin bentukannya kayak tokoh-tokoh nonmanusia dari film kartun Disney Treasure Planet? Mereka juga nggak nakutin sama sekali!

• Satu golongan dengan kelinci = ada kemungkinan aku jadi punya kemampuan berbahasa kelinci atau mengerti arti dari tindak-tanduk mereka. 

Inget deh ending-nya film Hop ketika seorang tokoh manusia ikutan jadi kelinci Paskah dan selama filmnya berlangsung, dia bisa bicara dengan kelinci. Berarti berada dalam satu golongan dengan hewan mungil itu nggak seburuk yang aku bayangkan. Okelah, itu kelinci dari film tadi itu bisa ngomong dan ngerti kayak manusia. Bagaimana jika berada dalam satu golongan dengan kelinci yang reguler, biasa saja?

Mungkin untuk orang tertentu, konsep "satu golongan dengan hewan" itu gak gini kali ya. Menurut kebanyakan orang, setara dengan hewan itu rendah. Setiap kali aku ngebayangin diri ini termasuk ke golongan yang sama kayak kelinci, yang muncul di kepala itu aku jalan-jalan bareng sama banyak kelinci. Nggak kerasa rendahannya, yang ada malah lucu dan seru aja kayak aku lagi ngumpul bareng kucing-kucing aku. 

Tapi tetep aja nggak terlalu hepi karena misah dari keluarga aku yang manusia. 😢☹️🙁

• Tinggal di lubang "burrow" bersama kelinci = aku punya kemampuan adaptasi hidup ala kelinci di lubang tanah. 

Di skenario ini aku bisa ikut berubah jadi kelinci, bisa juga masih tetap manusia cuman ukurannya aja yang mengecil sampai bisa masuk burrow (liang kelinci). 

Masuk terowongan tanah? Enakan tidur di bantal dan kasur! Menurut para kelinci malahan sebaliknya. Nggak nyaman rasanya kalo nggak gali lubang di tanah buat tinggal. 

Kalo aku di akhirat berubah jadi atau hidup bersama dengan kelinci, kayaknya nggak seserem yang kebayang pas Papah lagi ngancem itu. Setidaknya bukan hidup di neraka. Tapi lagi-lagi kayak poin sebelumnya, rasanya tetep nggak seneng karena cuma sendirian aku. Nggak bisa lagi ketemu keluarga yang sekarang masih hidup maupun yang udah duluan. 😭

• Berada di dalam tubuh kelinci = badan jadi sat set sat set ke mana pun. 

Karena badan aku di sini jadi kueciiiil, pastinya nggak bawa beban tubuh yang berat lagi! Gak perlu deh workout keras biar angka BB di timbangan cepet turun! Tadinya aku mau mikir gini : "gimana kalo ketemu kucing-kucing aku nanti?" atau "pas mau berak ntar nggak bisa duduk lagi di WC?" Udah gitu langsung inget lagi, eh ini kan seandainya kejadian di akhirat ya. 

Ini adalah kemungkinan tafsir dari "disatukan dengan kelinci" yang paling jarang aku ingat. Bahkan mungkin aja tafsiran ini baru kepikiran sekarang!

Nah, gimana kalo aku di akhirat nanti berubah jadi kelinci? Ada yang bilang hewan itu nggak akan ada di alam baka nanti. Pakai penafsiran apapun, rasanya nggak ada yang ngeri sangad. 


Monday, February 6, 2023

Asosiasi yang Tidak Diinginkan

Catatan 7 Februari 2023


Kadang aku nulis hal yang berat kayak mental stunting atau cognitive dissonance, kadang pula aku nulis hal-hal receh yang kalo orang baca bakalan sambil bilang "Stres"! Orang yang bilang "Gila!" sih cuma Regian ya kalo baca hasil goresan pena atau pensil, bahkan mungkin nanti ketikan aku juga. Saat menulis atau mengetik crazy stuffs, kebanyakan adalah ketika perasaan lagi senang. Sebaliknya, jika topik-topik berat dan ilmiah yang diketik, berarti perasaan aku lagi down atau sedih.

Perasaan aku saat ini nggak sedih, nggak seneng juga. Jadinya mungkin topiknya yang setengah receh setengah berat. 

Biar gak bingung lagi mau nulis apa karena buat bunuh overthinking itu kudu nulis tiap hari, mulai hari ini aku bikin tantangan buat diri sendiri!

Tantangan untuk topik catatan/blog hari ini : tulis hampir semua, kalo gak bisa semuanya dari asosiasi di kepalaku yang nyeleneh alias absurd, mulai dari yang cenderung B aja atau yang parah abis! 

Sejak kecil, aku punya unwanted (tidak diinginkan) dan intrusive (berulang kali mengganggu) berupa asosiasi yang nggak rasional atau masuk akal. Walaupun tau itu semua nggak ada kaitannya atau punya kaitan tapi minim banget, tingkat cocoklogi, pikiran itu gak mau ilang. Udah dimarahin juga t3tep nggak bisa ilang, padahal udah sadar banget asosiasi itu nggak nyambung pol. Bukannya aku mau keras kepala ya (walaupun aku bisa bersikap demikian), karena kepala aku kayak dibagi dua bagian : satu bagian yang terus punya pikiran unwanted, irrational, dan intrusive, serta satu bagian lagi yang sadar pikiran di bagian lain itu nggak wajar dan ngawur tapi nggak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan berjalannya pikiranku itu.

Bisa dibilang "Aku benci pikiranku" meskipun masih dalam konteks bersih, nggak yang kotor.

• Mengkelirukan dua temen sekelas sebagai orang yang sama 

Ini kisahnya Haf dan Fad, dua temen jaman SD yang pernah aku kira orang yang sama pas kelas satu. Udah pernah aku ceritakan asosiasi yang ini di catatan tahun 2021. Segi penampilan, kelakuan, semuanya beda total bahkan bertolak belakang! Cuma dari pakaiannya doang karena di sekolah tentu pake seragam, sama kayak ratusan siswa lainnya, tapi masih terselip perbedaan yaitu Haf lebih suka pakai kopiah putih, Fad lebih suka pakai topi kelepak hitam.

Kenapa bisa sampai kepikiran untuk mengasosiasikan keduanya, sampai hampir 20 tahun belum ketemu juga jawabannya. Aku masih terus ngebandingin mereka, padahal udah jelas banget bedanya. Mereka juga bukan duo sobat karib yang ke manapun berdua. Malahan masing-masing punya rekan setimnya sendiri (buat lelaki, cocok gak sih istilah circle?), meskipun keduanya cowok. 

Dalam pikiran, aku tau banget itu nggak logis tanpa ada yang bilangin juga. Yah, hanya saja nggak tau cara ilanginnya.

Ini masih asosiasi yang lite, mild alias paling ringan derajat irasionalitasnya.

• Menangkap Doofenshmirtz itu kayak ada mirip tipis-tipis sama Shaggy

Sama Shaggy dari Scooby-Doo siapa sih yang gak tau? Kartun ini nggak semasyhur SpongeBob, tapi yakin deh jauh lebih banyakan populasi yang tau daripada yang nggaknya. Nah, sejak meresmikan diri sebagai fan dari Doofenshmirtz, aku ngerasa ada dikit kegelisahan. Ada rasa ganjil yang bikin nggak nyaman kalo ngeliat keduanya, padahal muka keduanya jomplang total!

Di sini aku nggak berani bandingin kedua tokoh itu side by side, atau bahasa lokalnya "direndengin". Terlalu nggak nyaman buat dilihat cuy! Rasanya Doofenshmirtz ini ada vibe yang irisannya tipis-tipis sama Shaggy ini. Tapi itu terlalu samar, bahkan nyaris nggak keliatan apa miripnya, buedaaaa buanget lho. 

Hanya mata yang super jeli yang mampu menemukan irisan setipis kulit bawang di antara keduanya! Kedua pasang mata tersebut adalah milik Mamah dan Tante, adiknya Mamah. 

"Sama-sama bongsor dan kurang tegapnya,” tanggap Tante.

"Kurus, bungkuk, dagunya ke depan, banyaknya interaksi sama hewan," kata Mamah di kesempatan yang lain.

Thank God, mereka nggak mikir aku aneh. Derajat keanehan asosiasi udah naik dikit dari contoh sebelumnya.

• Frasa "susu bubuk" yang bikin kepikiran mukanya satu crush jaman SMP

Ini mungkin jadi salah satu asosiasi gak masup akal yang udah revealed ke ortu. Sejak kelas VIII, ada gejala aneh kalo denger atau baca frasa "susu bubuk". Asli dah ngetikinnya malu karena saking cringe nya sama pemikiran aneh sendiri. Tiap kali ketemu frasa "susu bubuk" itu, koq muncul mukanya Zhar, salah satu crush aku jaman itu, di kepalaku ini sih?

Nggak ada yang ngerti dah napa bisa tercipta asosiasi ajegile itu, untung nggak ngomong ini ke siapapun di sekolah, kecuali ke sohib aku Diva. Itu juga baru berani ngomong ke dia pas kami udah sama-sama jadi mahasiswi. Kami masuk SMP, untung deh udah beda sekolah sama Regian, bisa-bisa kalo dia tau asosiasi absurd kayak gitu makin intensif nyebut aku "Gila!" Masalah yang sebenarnya sih kalo di-spill di sekolah, takut nyampe ke Zhar dan dia makin ngambek ke aku secara diri ini sulit bersikap wajar kalo dia hadir.

Ini adalah asosiasi paling banyak rasa, udah kayak kopi GoldDay aja. Ada rasa malu, cringe, sedih, dan mungkin kesal karena ortu sendiri pun nggak ngerti bahwa pikiranku ini datang tak diundang. Asosiasi absurd ini mau diantar juga tetep belum ketemu akan jalan pulangnya. Tapi ada juga rasa lega karena Diva ternyata malah memakluminya dan sedikit harapan karena udah ketemu awal dari kemunculannya pas aku cerita ini ke psikolog.

Oke, di sini aku cerita sekilas doangan, biar nggak terlalu panjang artikelnya. Mungkin akan aku ceritakan lebih lanjut di catatan yang terpisah di postingan selanjutnya. Di sini kalo dirinci gimana aja reaksi dari ortu soal asosiasi itu, bakalan terlalu panjang dan mata kita akan cepet capek (mataku juga dong yang ngetiknya)!

Derajat keanehan asosiasi yang ini naik agak banyak dari dua asosiasi sebelumnya, meskipun kenaikannya nggak tajam amat.

• Crush jaman SMA bikin keingetan Squidward!?

Nah, ini yang paling gila-gilaan! Sumpah, gegara asosiasi aneh yang muncul tiba-tiba dan nggak diinginkan ini, sampai ada periode gak berani nonton SpongeBob karena timbul perasaan campur aduk yang nggak enak banget kalo si tokoh gurita biru telur asin itu nongol. Lamanya juga gak main-main, sampai kurleb tiga tahun nggak berani nonton serial kartun yang paling sukses dari Nickelodeon itu. Padahal manusia nyata ya mana ada sih yang mukanya mirip tokoh yang biasa disapa "Witwot" itu oleh warlok. 

Junk Food yang Kocak

Catatan 6 Februari 2023

Menurut banyak tweet bijak, menangkal overthinking adalah dengan menulis. Ya, kemanjurannya sudah mulai terasakan. Selama ini banyak memori yang udah lawas, lawas sekali masih suka recalled tanpa sengaja. Dengan dituliskan pada catatan tempo hari, perlahan tapi pasti memori yang dapat dibilang sampah itu udah nggak terlalu kepikiran lagi.

Ini bukannya mau mencela memori itu ya, secara semuanya itu lucu gokil parah bagi aku. Sampah itu kan artinya "sesuatu yang nggak berguna dan cenderung merugikan", memori selama ini sama kayak junk food yang rasanya enak tapi nggak sehat, jadinya bahaya. Kebiasaan bolbal ke masa lalu yang gak penting itu kan prinsipnya mirip junk food tadi. Karena, bukan kebiasaan yang sehat meskipun setiap kali diinget itu selalu bikin aku menolak lupa berkat kocaknya kelakuan temen-temen jaman bocil. Makanya waktu itu Mamah dan Aa (panggilan buat adik aku yang besar) sus aku ada mental stunting karena hampir selalu flashback ke masa lalu terutama jaman SD kelas IV atau V.

Ingatan berbagai peristiwa kocak itu udah nggak bikin ngabrut lagi buat kebanyakan orang, karena udah basi. Kayak Danny Phantom yang kata Regian "Basi!" karena udah gak nge-hits tapi masih dulu aku demen. Peristiwa kocak yang udah jamuran itu (contohnya pas temen aku joget ala iklan Tory Cheese Crackers waktu denger lagu dangdut) kayak makanan sehari-hari aja nih! Makanya harus ditulis biar nggak kepikiran terus.

Jika belum bisa (lagi) mencari bantuan profesional, setidaknya aku berusaha untuk mengatasinya sendiri. Ternyata dicurahkan ke blog itu manjur lho! Oh ya prinsipnya hampir sama kayak surat imajiner atau expressive writing, yaitu mencurahkan bebas isi hati kita. Bedanya, buat blogging ini tetep harus dijaga ketikannya agar nggak jadi jejak digital yang bikin cringe atau nyesel suatu hari kelak.

Bener aja, sekitar dua hari dari aku nulis semua kisah yang pernah bikin ngakak kenceng, udah gak terlalu kepikiran lagi.

Udah lama ya aku nggak mengutip isi Tweet. Terakhir itu pas sekitaran aku masih magang di bulan Agustus sampai September 2022 lalu. 


Pengaruh Karakter Anime dan Animasi Barat pada Karakter Ciptaanku

Catatan Minggu, 24 November 2024 Karakter dengan kekuatan es selalu menarik perhatianku. Ada sesuatu yang luar biasa tentang bagaimana eleme...