Saturday, November 12, 2022

Common Sense, Kadang Hanya Berpusat Pada "Common" Saja

Catatan 12 November 2022

Di Hari Ayah ini, aku kepikiran buat nulis lagi surat imajiner buat almarhum Papah. Apalagi di hari ini aku dapet insight baru mengenai akal sehat alias "common sense". Trus, juga mau bedah lagi nich tentang film Tarzan yang emang ada kaitannya dengan keayahan. Antara insight barusan dengan film itu, ternyata ada benang merahnya. 

Akal sehat, logika, atau common sense, rupanya artinya kadang "cuma" sesuatu yang berlaku umum di masyarakat, tidak peduli itu baik atau buruk. Namanya juga common, artinya "umum atau biasa". 

Tadi siang, aku sempat curhat soal insiden kelinci dengan teman-teman kampus dari organisasi keagamaan (untungnya mereka nggak ngetawain samsek!), dari sanalah aku mendapatkan insight soal akal sehat ini. Sepertinya ini akan menjadi unpopular opinion, tapi cukup mengagetkan : common sense itu tidak harus selalu baik, asal normal saja di masyarakat!

"Kakak (itu panggilan mereka buat aku karena aku kakak tingkat mereka) itu nggak bisa maksa orang buat selalu peduli dengan hewan. Karena kelinci peliharaan itu kan tanggung jawabnya Kakak," ujar satu teman.

"Memang begitu sih kalau menurut akal sehat," timpal satu teman yang lainnya.

"Kakak juga tidak bisa mengajak semua orang untuk merasakan kehilangan atas kelinci itu, karena tidak semua orang adalah pecinta binatang," tambah teman yang tadi pertama bicara.

Ya, memang benar, kita tidak dapat memaksakan perasaan orang lain. Tetapi, bukan itu inti permasalahannya. Bagiku percuma, tidak ada gunanya, jika akhirnya semua orang di keluargaku menangisi kepergian kelinciku itu. Karena, yang jadi masalah sebenarnya adalah ketiadaan rasa peduli akan makhluk hidup yang selain sesama manusia sejak awal, sebelum dia mati.

Sebenarnya, penyebab utamanya insiden kelinci itu adalah karena aku kecewa semua orang di rumah tidak ada yang peduli untuk memasukkan kembali kelinciku itu ke kandangnya, sehingga pada saat sahur dia sudah dikabarkan mati. Menurut akal sehat (setidaknya yang berlaku di Indonesia, entah belahan dunia yang lainnya), hewan peliharaan hanya tanggung jawab bagi si pemiliknya dan orang-orang di luar itu, mereka tidak wajib untuk memberinya kenyamanan. Jadi misalnya kita menemukan kucing liar di jalanan yang kehujanan, kita biarkan saja karena dia bukan milik kita? Geez, ternyata sesuatu yang katanya sesuai dengan akal sehat itu, kadang bisa jadi membuat manusia menjadi kejam dengan makhluk lainnya tanpa disengaja.

Menurut mereka, karena tidak semua orang adalah pecinta hewan, mereka pun tidak peduli dengan keadaan kelinci tersebut. Bagiku, itu adalah dark side dari common sense yang berlaku di Indonesia, bahkan mungkin masih berlaku sama di bagian dunia yang lain. Para pecinta hewan malah menyayangi hewan seperti kepada keluarga sendiri, nah tingkah mereka ini seringkali dianggap absurd oleh orang-oranv yang berada di luar kelompok tersebut. Aku jadi bertanya-tanya, apakah tidak ada kelompok orang yang berada di tengah: bukan pecinta hewan, tetapi mereka tetap menyayanginya dan memberikan perlakuan layak seperti kepada sesama manusia? 

Bagi orang luar, terutama orang Jepang, mereka tidak memisahkan antara manusia dan hewan. Tachibana Higuchi, seorang Mangaka (bahkan kata orang kita sih "mau-maunya") pakai ikon babi untuk mewakili dirinya di komik yang beliau tulis. Pada bab awal novel "Convenience Store Woman", diceritakan bahwa ketika seekor burung mati, semua orang di sana bersedih. Mereka sedih tanpa diarahkan atau dimulai oleh seseorang, itu artinya mereka semua telah otomatis menaruh perhatian yang sama antara dengan sesama manusia dan hewan, sayangnya tokoh utama novel tersebut malah "lempeng-lempeng" aja.

Kalau saja orang lokal di Indonesia yang bersikap seperti itu, pastinya dianggap wajar, tetapi di sini dia justru dipandang aneh dan tidak berperasaan. Dalam novel tersebut, tokoh utamanya dianggap aneh karena alasan yang kontras : dia tidak ikut bersedih karena burung itu dan malah berpikir untuk menjadikannya karaage (sejenis makanan Jepang yang terbuat dari daging unggas, biasanya ayam dan diberi tepung krispi). Semua orang terkaget dan memandang aneh kepadanya, karena dianggap tidak memiliki empati, padahal "hanya" seekor burung! 

Coba bayangkan si tokoh tersebut adalah orang Indonesia, paling-paling hanya dianggap jorok saja (karena burung itu sudah menjadi bangkai) dan tidak akan segitunya membuat tercengang orang-orang. Justru, perlakuan orang sonoh yang semuanya menangisi kematian burung itu, malah dianggap keluar dari logika/akal sehat oleh masyarakat lokal sini. 

See? Sesuatu yang disebut dengan common sense itu bisa jadi hanya masuk akal bagi masyarakat tertentu saja. Hanya umum/common di daerah tertentu saja. Hanya terasa tidak logis jika terjadi perbedaan pemikiran saja.

Oleh teman-teman tadi, aku dianggap menyetarakan adikku sendiri dengan hewan peliharaan. Untuk budaya negara sini, menganggap manusia, apalagi anggota keluarga, setara dengan hewan itu menghinakan. Akan tetapi, di negara lagi-lagi Jepang, terkadang memang kasih sayang kepada anggota keluarga dengan hewan peliharaan itu memang sama besarnya. Satu cerita pendek di manga "Honey Rabbit" karya Souta Kuwahara, bahkan mengisahkan seorang ibu muda yang kehilangan anak lelakinya yang masih kecil, lalu memelihara beberapa ekor kelinci sebagai anggota keluarganya sendiri, tentu saja kedudukan mendiang tidak tergeser oleh hewan-hewan tersebut.


No comments:

Post a Comment

Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...