Thursday, May 23, 2024

Banjir Inspirasi Karya dari Episode Momen Terbaik Gary Si Siput

Catatan 23 Mei 2024

Berkat banyaknya lukisan Witwot dari sebuah video official YouTube account NickAsia yang berjudul "Momen Terbaik Gary", aku merasakan betapa damainya perasaanku malam ini. Sebab, aku mendapatkan bukan hanya banyak tapi banyak banget inspirasi dari lukisan yang banyak itu. Aku pengen banget mengadaptasi gambar Witwot jadi karakter yang aku ciptakan sendiri, Frank Wynn! Pas tahun 2022 dulu aku udah pernah menggambar Frank Wynn dari gambar Skuitwot, tahun ini jadi pengen lagi menggambar yang seperti ini. 


Dari mungkin ada ratusan lukisan skuitwot itu, ada satu lukisan yang bikin aku terus menerus bimbang. Gambar Frank yang diinspirasi dari lukisan itu gak ya, aku gambar gak yaaaa? Apanya sih yang bikin aku bimbang itu? Lukisan yang kumaksud adalah lukisan yang lagi gigit mawar itu lhoo! (Lukisan-lukisan ini ternyata pernah muncul juga di episode yang lainnya, yaitu "Out of Picture"!)


Aku suka ragu, sebenernya boleh gak sihhh menggambar Frank Wynn lagi shirtless kayak lukisan skuitwot yang lagi gigit mawar itu? Soalnya Skuitwot alias Witwot kan bukan karakter manusia, beda dengan Frank Wynn yang manusia 100 persen! Kalo karakter manusia digambarkan shirtless itu bahayanya lumayan lah buatku. 😣😖😫😭 Eh tapikan di tahun 2022 lalu, aku pernah bikin gambar semacam alternate universe buat Frank itu dan dia bajunya itu hampir sama kayak shirtless



Friday, January 12, 2024

Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024

Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga terapi dengan psikolog di kampus. Sesi kali ini membahas mengenai cara melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Ya, salah satunya adalah insiden kelinci yang entah kenapa jadi memori yang batu bangettt, susah mau lupanya. Pada pertemuan yang sebelumnya dengan psikolog di kampusku sebelum aku wisuda, kisah ini sudah pernah diceritakan sedikit karena waktu itu lebih besar porsinya kami membahas problem psikologisku yang lainnya. 

Psikolog kampusku mengatakan, aku tidak perlu melupakan total memori traumatis itu, jadi terapi berupa hypnotherapy justru harus dihindari untuk kasusku ini. Mengapa jenis terapi seperti itu harus dihindari untuk kasus ini? Beliau khawatir memori yang penting-penting justru akan ikut terlupa.

Aku hanya perlu untuk mengubah persepsi tentang peristiwa tersebut dan diriku sendiri. Syukurlah beliau langsung memahami, bahwa aku ini bukannya tidak berempati dengan keluarga sendiri atau menyamakan derajat saudara kandung dengan hewan peliharaan. Bahkan beliau menambahkan, orang-orang yang menilaiku seperti itulah yang sebenarnya tidak berempati denganku karena mereka tidak memahami benar apa yang terjadi di dalam diriku.

Bahkan, orang-orang yang tidak cukup empati denganku itu (maaf kata saja, ini psikolog aku yang bilangnya) termasuk Mamah aku. 

"Kamu jangan jadi menganggap dirimu sama seperti persepsi orang-orang atas dirimu. Ketika mereka bilang kamu gak empati, jangan malah kamu juga jadi merasa dirimu memang seperti itu," kata psikolog tersebut. 

"Sekarang sih saya sudah tahu jawabannya dari pertanyaan saya di insiden tersebut, tapi rasa sedih yang masih mengganjal selama ini karena terus terang saja, saya kecewa karena saya beranggapan Papah almarhum akan menjawabnya. Ternyata tidak terjawab dan saya dulunya tidak tahu pertanyaan itu dapat menyinggung beliau," tambahku. 

Sangat penting untuk mengakui dan memvalidasi perasaan yang hadir di dalam diriku ini meskipun saat itu memang akulah pihak yang bersalah. Jangan sampai diriku sendiri menghakimi perasaan yang hadir di dalam hatiku. Psikolog adalah orang yang tepat untuk menceritakan apapun perasaan kita. Aku harus berterus-terang mengenai apa yang kualami, jangan khawatir akan dianggap menyalahkan Papah seperti selama ini. 

"Itu kejadiannya kapan?" tanya psikolog. 

"Waktu saya kelas lima SD usia jalan sebelas tahun, udah 15 tahun yang lalu tapi masih sulit untuk lupain," jawabku. 

"Untuk pertanyaan usia segitu, semestinya dijawab dengan kalimat seperti ini, 'Adikmu itu kan dilahirkan oleh Mamahmu jadinya semua orang sedih. Kalau kelinci kan dilahirkan oleh ibunya kelinci, jadi yang sedih itu ya si ibu kelinci itu sendiri', " tanggap beliau, "Walaupun ayahmu juga merasa janggal dengan pertanyaan itu, karena hampir semua orang tidak merasakan kesedihan yang sama besar seperti itu untuk hewan, " beliau melanjutkan perkataannya.

Aku harus menyampaikan kepada almarhum Papah lewat surat imajiner tentang jawaban psikolog tadi. Saat itu aku berekspektasi dulu beliau akan memberikan jawaban yang sesuai dengan usiaku, tetapi dengan tepat. Wawasannya ayahku begitu luas, beliau mampu menjawab pertanyaan sesuai dengan usia penanya tetapi tetap memenuhi kebutuhan informasi. Tidak akan pernah beliau menjawab dengan asal-asalan seperti kebanyakan orang yang aku pernah tanyai, bahkan hingga akhir hayatnya. 

Mungkin insiden ini sulit untuk dilupakan dan aku terus menerus dihantui rasa bersalah karena aku terus merasa insecure akibat terjadinya insiden tersebut. Apa yang membuatku insecure? Karena aku merasa bodoh telah menanyakan hal yang paling ganjil sedunia dan juga merasa lemah karena tidak dapat mengubah salah pahamnya orang-orang atas diriku. Persepsi orang lain atas diri kita tidak dapat kita kendalikan, tetapi persepsi kita sendirilah yang dapat dikendalikan dan jangan malah jadi persepsi yang salah atas kita itulah yang selalu menakut-nakuti kita. 

Aku memang agak aneh, tetapi tidak pernah gagal dalam diriku ini menghadirkan rasa sayang untuk anggota keluarga sendiri. 

Faktor lainnya yang membuat insiden ini terus berlanjutan membuatku sedih adalah sebuah kekecewaan karena ekspektasiku yang bertolak belakang dengan realitanya. Aku sudah mengira Papah akan menjawab pertanyaan itu sesuai dengan usiaku, tetapi jitu untuk membuatku paham. Pertanyaan itu bukan hanya tak terjawab, tapi juga dibalas dengan kemarahan beliau yang sama sekali tidak kuduga. Biar adil, aku juga di sini salah dalam merangkai kata menjadi kalimat sehingga terjadilah sebuah miskomunikasi di antara kami. 

Miskomunikasi itu melahirkan kesalahpahaman orang-orang sekitarku atas diriku. Bahkan Mamah juga salah paham soal diriku, apalagi beliau bukan saksi mata dan hanya mengetahui insiden itu lewat curhatanku! Mereka menyangka aku mengalami keterlambatan empati karena dikiranya lebih kehilangan kelinci daripada adik kandung sendiri. Aku jangan sampai melabeli diriku seperti itu juga, untuk menghilangkan insecurity ini persepsi begitu tentang diriku harus diubah. 

Psikolog yang sebelumnya pernah berkata bahwa aku punya sudut pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Inilah hal yang sering memicu orang lain salah pahami aku. Kadang aku berpikir, jangan-jangan sebenarnya karena pernah terluka oleh sebuah kehilangan yang besar, maka kehilangan yang kecil juga terasa sama menyakitkan. Selama ini persepsiku sering mengatakan aku ini bodoh, ini harus diubah dengan usaha yang kuat! 💪

Wednesday, January 10, 2024

Insiden Kelinci Bukan Disebabkan oleh Autisme!

Catatan 10 Januari 2024

"An autistic person may have difficulty in communication; both the physical act and the meta-knowledge of the purpose of communication. People with more severe autism often have highly restricted vocabularies and subjects they are able to communicate about. They will typically not ask questions or initiate communication with others. A person with autism may develop an interest in a narrow range of subjects, and limit their communication almost exclusively to these things."


Ketika kecil, aku dulunya dianggap pengidap autisme karena sering menunjukkan tindak-tanduk yang aneh dan tidak umum seperti memerhatikan sesuatu selama berjam-jam, misalnya mainan. Lalu masuk SD inklusi, aku mulai mengenal anak-anak yang tulen menderita autisme. Ternyata dari segi perilakunya, mereka sangat berbeda denganku sehingga tidak perlu pihak sekolah menyediakan guru pendamping untukku. Akan tetapi, dengan obsesiku akan Danny Phantom menjelang usia akhir anak-anak alias pra-remaja, aku jadi semakin dicurigai sebagai seorang anak autis.

Aku sering bertanya mengenai my mental health, apakah iya aku anak autis atau bukan? Kata Mamah, penderita autisme secara umum tidak akan menanyakan hal seperti itu tentang dirinya. Bahkan menurut kutipan artikel di atas, penderita versi terparah dari autisme tidak akan bertanya apapun sama sekali. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi, sedangkan anak dengan spektrum autisme yang lebih ringan biasanya terus menerus membahas mengenai topik kesukaannya kepada orang lain.

Walaupun ciri khas autisme pada kalimat terakhir paragraf di atas juga timbul di dalam diriku, ternyata tetap ada perbedaan yang jelas antara aku dan mereka. Penderita autisme seperti itu tidak akan pernah bertanya duluan kepada orang lain, mereka akan berbicara secara satu arah. Ini jelas adalah sebuah kontras dengan Insiden Kelinci! Meskipun terdengar sebodoh apapun kalimat yang kuucapkan waktu itu, insiden tersebut terjadi justru karena aku bertanya kepada Papah yang ternyata pertanyaannya menyinggung perasaan beliau dan tidak lazim. 

Meskipun kontennya terdengar absurd dan tidak menggunakan logika, kalimat yang kuucapkan berupa kalimat tanya. Dulunya aku curiga kalimat tanya tersebut terlontar begitu saja dari mulutku karena aku ini adalah salah seorang penderita autisme. Kini, kecurigaan itu terpatahkan sudah karena anak autis tidak ada inisiatif apapun untuk mencari tahu akan suatu hal dengan bertanya kepada orang lain! Hasil pemeriksaan psikolog dan psikiater juga telah mementahkan asumsi orang-orang atas diriku. 

Penderita autisme biasanya tidak peka akan sekelilingnya. Menurut salah satu dari tiga psikolog tempatku terapi, penderita kelainan mental seperti itu malahan tidak akan merespon apabila dikejutkan. Insiden kelinci terjadi karena aku noticed sikap orang banyak itu berbeda denganku dalam menanggapi kabar dari Eyang Putri (yang menurutku adalah kabar duka). Jika aku mempertanyakan sikap orang-orang, itu artinya aku memerhatikan sesuatu yang terjadi di antara kami.

"Anak autis itu gak akan ngeh jika sikapnya mereka itu tidak wajar atau jika mereka tidak memahami banyak hal, mereka tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya," jelas Mamah ketika aku masih SD dulu. 

Kejanggalan pemikiranku sudah clear bahwa bukan disebabkan oleh faktor autisme. Sempat psikolog di kampusku menduga bahwa aku pengidap ADHD, tetapi psikiater tidak mengatakan hal yang sama. Beliau mendiagnosa aku mengidap anxiety atau kecemasan. Gejala-gejala mirip autisme yang muncul pada diriku sebenarnya mungkin lebih tepat jika disebut sebagai gejala salah satu gangguan kecemasan.

Apakah Insiden Kelinci yang terjadi ada kaitannya dengan anxietas? Aku hanya berharap akan mendapatkan jawabannya dari sesi terapi selanjutnya dengan psikolog di kampusku. Pastinya insiden pada tanggal 1 Ramadhan 1429 dipicu sekitar satu atau dua bulan sebelumnya. Setelah adikku wafat, keluargaku berkunjung ke rumah Wa Aden(abang Papah) di Cirebon, lalu satu tahun setengah kemudian kami mengunjungi rumah yang sama untuk mengadakan khitanan bersama, dan kelinci itu diberikan oleh keluarga tersebut ketika mereka gantian mengunjungi keluargaku di Bandung. 

Sebenarnya hal yang membuatku teringat kembali memori kelam adikku itu bukanlah kematian kelincinya, tetapi semua hal tentang keluarga abangnya Papah(?) 

Friday, January 5, 2024

Support System dari Diri Kita Sendiri

Catatan 5 Januari 2024

Tahun sudah berganti, tetapi Insiden Kelinci masih juga bercokol di dalam hati. Kesekian kalinya sudah kukatakan, aku bukannya sakit hati atau dendam. Rupanya ini adalah kasus khusus di mana ini adalah sebuah kesedihan yang tidak cukup dihapus hanya dengan melakukan hiburan-hiburan kecil atau bahkan juga yang besar. Aku membutuhkan penanganan khusus supaya bisa melupakan kesedihan ini!

Ingat deh ketika usiaku masih sebelas tahun pada tahun 2008, aku pernah menyadari bahwa teman curhat itu sangat penting. Saat itu, Insiden Kelinci sudah berlalu agak lama, kurleb dua bulanan. Kusadari bahwa sudah terlalu lama untuk merasakan sedih atas insiden itu dan hal yang paling membuatku sedih bukanlah kematian sang kelinci piaraan. Butuh sekali aku untuk curhat, sayangnya belum tahu kepada siapa karena insiden ini menyangkut adikku yang khawatirnya mereka akan juga tersinggung seperti Papah.

Di saat dulu itu aku sedang bingung akan curhat kepada siapa, aku teringat seorang saudara di keluarga besar Eyang Putri. Mundur sekitar tiga tahun sebelum insiden itu yaitu hingga pada awal tahun 2005, Eyang Putri memiliki seorang adik perempuan yang biasa menemaniku ketika di rumah. Berarti beliau adalah tantenya Mamah, sang Tante Mamahku ini mengisi kelas Kursus menjahit yang diselenggarakan di garasi rumah tempatku tinggal. Aku biasa curhat banyak hal kepada beliau, sayangnya takdir memaksaku dan juga seluruh keluarga besarku, untuk berpisah dengan beliau pada pertengahan tahun yang sama (beliau bahkan tidak sempat mengasuh almarhum adikku yang tengah).

Setelah tantenya Mamah itu wafat karena sakit, tidak ada lagi orang yang dapat kuajak curhat. Tidak ada pula orang lainnya di sekitar yang dapat menggantikan beliau terkait kedekatannya denganku. Kelas kursus menjahit itu untungnya masih memiliki pengajar yang lainnya, sehingga orang-orang yang ingin belajar menjahit dengan kami masih ada. Ketika sedang sedih-sedihnya akibat miskomunikasi dengan Papah dalam Insiden Kelinci itu, aku dilanda kebingungan harus curhat kepada siapa lagi.

Dahulunya, aku hanya mengobrol dengan tantenya Mamah itu seputar topik-topik ringan seperti tokoh-tokoh komik. Kalaupun aku saat itu sedang ada masalah dan butuh curhat dengan beliau, palingan karena berantem dengan adikku yang besar. Usiaku masih tujuh tahun setengah saat "eyang dari pinggir" wafat , sehingga belum pernah kami melakukan deep talk. Begitu usiaku sudah melebihi sepuluh tahun dan pengalaman yang cukup pelik ini terjadi, barulah aku merasakan kehilangan yang teramat sangat. 

Ketika usiaku sudah mencapai remaja hingga dewasa awal, barulah aku berani untuk membuka diriku berbagi kisah Insiden Kelinci ini dengan banyak orang. Jika di dunia nyata insiden tersebut masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan akal sehat, ternyata ada pula para netizen yang memiliki kisah hidup serupa mengenai hewan peliharaan. Pertemuanku dengan para peserta terapi crafting tiga tahun yang lalu, terutama dengan Mbak Icha dan Mas Daniel, benar-benar banyak membantuku mencapai mental health yang lebih baik. Tujuanku curhat mengenai insiden ini supaya orang lain memahami bahwa niatku itu tidak buruk ketika membandingkan reaksi orang lain antara dua peristiwa kematiannya makhluk hidup yang berbeda, walaupun ternyata terdapat kesalahanku dalam membuat kalimat tanya.

Pengalaman ini mengajarkanku, support System haruslah berasal dari diriku sendiri. Terkadang kita membutuhkan seseorang, tapi ternyata dia tidak ada untuk kita. Arti dari "tidak ada" ini bukan selalu karena orang yang kita butuhkan tidak mau men-support kita. Bisa jadi juga artinya orang yang selama ini memberikan dukungan untuk kita, ternyata takdir mengharuskannya berpisah dengan kita.

Saturday, December 30, 2023

Kenangan dan Kehilangan: Memahami Akar Sejati di Balik Insiden Kelinci

Catatan 30 Desember 2023

Akhir tahun ini seharusnya aku hepi seperti kebanyakan orang. Apalagi temanku jaman SMA mengajakku untuk rame-rame ngaliwet bareng keluarganya di tahun baru besok! Bukannya aku tidak merasa senang dengan ajakannya itu ya, tapi beberapa hari terakhir ini ada terselip perasaan sedikit sedih. Setiap hari-hari terakhir dari satu tahun, aku selalu teringat perasaan kehilangan akan wafatnya adikku yang tengah, 17 tahun yang lalu dan juga insiden kelinci pada 15 tahun yang lalu. 

Kenangan yang Terlupakan: Waktu yang Memudar

Ditambah dengan sebuah quote dari Boy Candra dari akun twitternya @dsuperboy yang dengan tepat menggambarkan kesedihanku yang sulit untuk dipadamkan ini. Bahkan, sebuah kenangan keluarga saja ternyata tanpa sadar membuat aku teringatkan kembali ke perasaan kehilangan itu. Aku mencoba untuk menggali lebih dalam tentang apa yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci yang mengubah banyak hal dalam hidupku sejak usia pra-remaja.


Tempo hari aku sudah membuat hipotesis tentang apa sebenarnya yang memicu konflik dalam Insiden Kelinci. Kalimat yang lebih tepatnya, apa sebenarnya yang memunculkan kembali ingatanku akan wafatnya adikku ketika dikabarkan kelinci peliharaan itu mati. Insiden tersebut terjadi pada tanggal 1 September 2008 yaitu hari pertama bulan puasa tahun itu. Kejadian ini membuatku semakin kuat keingintahuan akan hubungan manusia dan hewan. 

Pertemuan Keluarga: Awal Mula Kenangan

Kelinci itu diberikan satu minggu sebelum bulan puasa itu oleh abangnya Papah. Kira-kira keluarga beliau datang dari Cirebon ke Bandung tempatku tinggal pada tanggal 24 Agustus 2008, ketika kedua anak lelakinya beliau sudah sembuh dari luka khitan bersamaan dengan adikku yang terbesar. Setelah aku merenung beberapa hari yang lalu pada akhir tahun 2023 ini, barulah kusadari bahwa pertemuanku dengan keluarga tersebut yang sebenarnya membuatku ingat lagi dengan almarhum adikku yang lahir di antara adikku yang besar dengan yang bungsu itu! 

Tidak mau terkesan tidak mensyukuri peristiwa yang membahagiakan keluarga Papah dan abangnya itu, lalu aku menelusuri juga serangkaian kejadian sebelum keluarganya Papah dari Cirebon itu membelikan kelinci untukku dan adikku yang besar. Kira-kira satu bulan lebih sebelum kedatangan mereka itu ke Bandung itu, keluargaku yang datang duluan ke rumah mereka di Cirebon. Tujuannya kami itu bukan hanya untuk liburan kenaikan kelas, melainkan agar adikku yang besar tersebut itu khitanan bersama dengan kedua anak lelakinya abang Papah pada akhir Juni 2008. Acara khitanan bersama ini berlangsung sederhana, tetapi memberikan kebahagiaan selamanya dan kesan yang mendalam, terutama bagiku.

Tragedi yang Tertimbun: Kunjungan ke Cirebon

Sebelum acara khitanan gabungan ini, terakhir keluargaku mengunjungi rumah keluarga Cirebon itu ketika akhir Desember 2006 hingga Tahun Baru 2007. Kami datang ke sana sambil menginap setelah beberapa hari wafatnya adikku yang tengah, dekat dengan hari Idul Adha tahun 2006. Mungkin saja ketika kami datang kembali ke rumahnya abangnya Papah itu, tanpa sadar memoriku terbuka sedikit tentang tragedi yang terjadi sebelumnya. Ternyata ini alasannya kenapa sih kelinci yang mati doang kok bisa ya bikin keinget meninggalnya adikku. 

Jarak waktu satu tahun setengah dari satu kunjungan ke kunjungan lainnya berhasil membuatku jadi lupa dengan satu tragedi bagi keluargaku. Rasa kehilangan satu adikku memang tidak akan pernah hilang dari hatiku, tetapi perlahan kesedihan itu pulih dengan lahirnya adikku yang bungsu pada 30 Maret 2007 dan Tante menikah pada 15 Desember di tahun yang sama. Tidak pernah lagi aku kepikiran kedukaan itu, karena sudah sibuk dengan urusan sekolah dari hari ke hari. Hingga pada hari pertama bulan puasa 2008, aku sadar masih ada perasaan sedih dan kehilangan dalam hatiku. 

Kedukaan itu membeku dalam diri, sayangnya tidak semua orang dapat menangkap ini. Hampir semuanya "kegocek" dikiranya aku lebih kehilangan hewan piaraan. Begitu Eyang Putri mengabarkan kelinci terakhir dari dua ekor yang diberikan oleh Wa Aden ketika sahur pertama bulan puasa tahun itu, hatiku tidak merasa kelinci itu hanya seekor hewan peliharaan. Satu ekor kelinci lainnya, sudah mati sebelum sahur pertama kami ini.

"Kapan ya aku merasa sesedih ini sebelumnya?" tanyaku dalam hati setelah aku menangis mendengar kabar sedih itu. 

Mengingat Adikku: Kelinci yang Mengungkit Kesedihan

Otakku dengan tiba-tiba dan cepat memutar ulang kembali tayangan memori peristiwa duka cita yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya. Layaknya sebuah video di YouTube yang diputar secara autoplay dengan kecepatan 2x. Padahal memori itu sudah seolah hilang, kubunuh rasa sakit itu dengan kebahagiaan karena adikku yang terbesar berhasil meraih suatu pencapaian yaitu khitanan. Tayangan memori yang sudah terkubur di antara sekian banyaknya memori lainnya ibaratkan muncul kembali oleh sebuah keyword pada mesin pencarian. 

"Oh ya, ternyata ini kali terakhir aku menangis sesedih iniii. Saat adikku meninggal." Hatiku menyimpulkan sendiri. 

Pertanyaan Tentang Kehilangan

Aku memulai suapan pertama makan sahur dengan isak tangis, tetapi kuperhatikan semua anggota keluargaku di sekeliling. Hanya aku yang menangis sedih sendirian. Mengapa mereka tidak bersedih sepertiku? Apakah hanya aku yang kehilangan seekor hewan peliharaan sedalam kepada anggota keluargaku sendiri?

Biasanya aku asyik dengan pikiranku sendiri, tak memerhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang lainnya. Baru kali itu aku peka terhadap sekeliling dan mempertanyakan keadaan di sekitarku. Perbedaan sikap antara aku dan mereka membuat diriku bertanya-tanya. Ada apa ini sebenarnya? 

Perbedaan Pandangan: Kehilangan Manusia vs. Hewan

Saat aku menangis sendirian, aku mulai merenung mengapa keluargaku tampak tidak merasakan kesedihan yang sama. Apa yang membuat perasaanku begitu berbeda dalam menghadapi kematian seekor hewan dibandingkan dengan kehilangan manusia? Aku bertanya-tanya apakah ada perbedaan mendalam antara keduanya, dan mengapa aku merasa seperti ini.

"Kalau sampai terjadi seperti ini, pastinya ada perbedaan yang signifikan antara kematiannya manusia dan hewan. Tapi apa ya perbedaannya, masa cuma sebatas punya akal dan tidak?" tanyaku lagi dalam hati.

Dialog Imajiner dengan Papah: Mencari Pemahaman

Orang dewasa yang duduk paling dekat denganku saat sahur itu adalah almarhum Papah. Beliau juga adalah orang yang wawasannya luas. Aku saat itu percaya, beliau pasti akan mampu menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian pikiranku membuat skenario tanya-jawab imajiner antara kami berdua. 

"Adiknya kamu itu 'kan manusia, kelinci 'kan cuma binatang," jawab Papah dalam skenario imajiner itu tadi. 

Tidak mungkin Papah hanya akan menjawab secara "terlalu simpel" dengan kalimat tadi itu, karena orang yang berwawasan luas seperti beliau pasti akan menjawab dengan tuntas dan mendalam. Segera kutepis skenario imajiner itu.

"Pertanyaan itu harus aku tanyain beneran ke Papah, kayak gimana ya jawaban dari beliau kalau di kenyataan," ujarku kepada diriku sendiri dalam hati. 

Kekecewaan yang Mendalam: Perasaan yang Tidak Tersampaikan

Kuajukan pertanyaan itu kepada ayahku yang ternyata malah jadi bumerang dan bikin aku menyesal seumur hidupku. Tadinya aku sudah percaya dengan beliau, pasti akan memberikan satu jawaban yang terbaik dengan ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Sebaliknya, pertanyaan itu pada kenyataannya malah membuatku terdengar seakan tertinggal kecerdasannya, terutama kecerdasan emosional. Jika aku berkomunikasi secara verbal, entah mengapa rasanya sulit merangkai kata sehingga terjadi miskomunikasi antara kami berdua.

Friday, December 29, 2023

Sama-sama Kecewa

Catatan 29 Desember 2023

ke·ce·wa /kecéwa/ a 1 kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dan sebagainya); tidak senang: kami -- terhadap penyambutannya yang dingin; 2 cacat; cela: tidak ada -- nya; 3 gagal (tidak berhasil) dalam usahanya dan sebagainya: segala tindakan pengamanan akan tetap -- jika biang keladi kejahatannya tidak dibasmi;--

Bisa jadi perasaan yang timbul dalam diriku pada tanggal 1 September 2008 ketika sahur hari pertama bulan puasa itu adalah "kecewa". Pengertian dari kata kecewa menurut KBBI di atas yang paling dekat dengan apa yang kurasakan adalah yang nomor satu. Tepatnya, aku merasa sedih karena tanggapan Papah sama sekali berbeda dengan apa yang kubayangkan sebelum kutanya beliau. Harapanku, beliau memberikan jawaban yang jelas dan gamblang untuk pertanyaanku terkait perbedaan antara manusia dan hewan. 

Sebelum ditanyakan di dunyat, aku sudah sering cerita 'kan bahwa aku membayangkan dulu diriku bertanya kepada Papah? Aku sudah berekspektasi beliau menjawab "Adikmu itu manusia, kelinci itu hewan", tetapi jawabannya beliau di dalam benakku itu masih menyisakan ketidakpuasan dan juga ketidakpastian. 

Rasa tidak puas muncul karena kurasa itu bukan jawaban yang detailnya : lalu, kalau adikku adalah seorang manusia dan kelinciku adalah seekor hewan, apa yang sebenarnya membuat dua spesies itu diperlakukan berbeda? 

Jawaban Papah versi halu itu terasa tidak pasti karena aku yakin Papah tidak akan menjawab pertanyaan itu hanya dengan kalimat yang sesimpel itu, jadinya kutanyakan benar-benar. 

Sayangnya, pertanyaan itu malah membuat beliau tersinggung sehingga aku tidak mendapatkan jawabannya sama sekali. 

Jika kita melihat sisi dari Papah, beliau juga merasakan kecewa itu. Menurut persepsi beliau dan juga kebanyakan orang lainnya, pertanyaan yang kuajukan dalam insiden itu mengesankan nalar dan empatiku itu tertinggal. Kekecewaan beliau juga paling dekat dengan pengertian nomor satu tadi, yaitu merasa kecil hati dan tidak puas. Beliau sudah berharap anak sulungnya ini adalah anak yang cerdas, tetapi pada kenyataannya malah menanyakan hal yang absurd dan tak etis. 

Pengertian kecewa nomor tiga adalah "gagal, tidak berhasil". Papah merasa gagal sebagai seorang ayah untuk mendidik putrinya ini. Beliau beranggapan bahwa dirinya tidak berhasil membuat anaknya cerdas dan berakal sehat. Tidak seperti itu, beliau tidak gagal mendidikku karena buktinya Tanteku menyebut pertanyaan itu adalah lintas disiplin ilmu.

Orang biasanya menganggap jika ada seseorang yang menyayangi hewan dengan sepenuhnya, itu tidak sayang kepada sesama manusia. Padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu, bisa jadi karena saking banyaknya kindness yang dimiliki orang tersebut, hewan pun disayang secara sama besarnya dengan manusia tanpa mengalahkan kasih sayang kepada manusia yang sungguhan. Jenis orang seperti ini akan kaget jika mengetahui bahwa tidak semuanya bersifat seperti dirinya. Aku kaget dan berkecil hati atau kecewa karena keluarga besarku tidak menghayati hewan sepertiku, jadi aku merasa sendirian saat dulu. 

Dalam insiden ini semuanya kecewa, baik aku dan Papah. Untungnya banyak dukungan dari orang-orang terdekat dan juga para warganet. Mereka memberikan jawaban yang tidak pernah diberikan oleh Papah. Pengalaman juga merupakan pelajaran bahwa penting bagi kita untuk mencari orang yang tepat untuk bertanya. 

Sunday, December 24, 2023

Ketika Aku yang Kritis Bertemu dengan Pengalaman Traumatis

Catatan 25 Desember 2023

Pada 26 Desember 2004, Tsunami Aceh menjadi salah satu bencana alam terbesar di dunia. Besok adalah tepat satu tahun sebelum dua dekade peristiwa itu. Dua minggu sebelum peringatan dua dekade kurang satu tahun peristiwa tsunami Aceh 2004, aku teringat pengalaman seorang saudara sepupu jauh yang menjadi saksi mata musibah itu (dia adalah anak dari kakaknya istri Paman, adiknya Papah). Dia adalah orang berdarah Aceh dan sedang berada di kampung halamannya ketika bencana itu sedang terjadi. Alhamdulillah, dia selamat dari bencana alam yang menenggelamkan Banda Aceh dan beberapa negara lain di sekitarnya, tetapi ada sebuah kisah "watir" lainnya selepas itu dan kisahnya juga berkaitan dengan kenangan pahit yang telah kualami.
Menurut dari gambar di atas yang diambil dari tweetnya Wikipedia Bahasa Indonesia, Banda Aceh merupakan wilayah yang paling terdampak dari bencana alam tsunami ini dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitar Samudera Hindia yang juga terdampak. Jelas saja jika bencana besar ini memengaruhi kehidupan saudaraku yang sudah agak jauh itu. 

Trauma setelah Tsunami Aceh 2004 merupakan pengalaman yang dialami oleh banyak korban dan penyintas, termasuk saudaraku yang masih berusia delapan tahun saat itu.

Pengalaman Saudaraku Sebagai Penyintas Tsunami Aceh 2004

Trauma sering dialami oleh korban musibah, terutama anak-anak. Saudaraku dari pihak istrinya Paman, yang saat itu berusia delapan tahun, berusaha menghindari gelombang tsunami bersama keluarganya di dalam mobil. Setelah bencana berlalu, ia sering masih merasa takut setiap kali melihat air keran mengalir deras. Ketakutan itu dipicu oleh ingatan tentang bagaimana cepatnya air laut menghancurkan segala sesuatu di jalannya. Untungnya trauma ini tidak sampai membahayakan dirinya atau menimbulkan tingkah laku yang kelewat tidak wajar. 

Bagaimana Jika Aku Sendiri yang Mengalami Traumanya?

Dengan merenungi kisah pengalamannya, aku jadi terpikir satu hal : bagaimana jika aku yang berada di posisinya sebagai penyintas trauma akan bencana tsunami. Mengingat sifatku yang kritis, sering bertanya, kemungkinan aku akan keheranan melihat orang-orang bersikap biasa saja ketika air keran itu mengalir deras. Padahal momen seperti itu, jika aku juga mengalami hal yang sama dengan sepupuku yang tadi diceritakan, bisa membuatku merasakan panik dan takut luar biasa yang sama besarnya seperti ketika terjadinya musibah itu. 

Aku bisa saja bertanya, "Mengapa air keran yang deras tidak membuat orang panik, tetapi tsunami membuat semua orang ketakutan?" Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol bagi sebagian besar orang, tetapi bagi penderita trauma, hal kecil yang mengingatkan pada musibah bisa terasa sama besar dan mengancam.

Pertanyaan seperti itu menyiratkan bahwa seorang penderita trauma menyadari sedang terjadi sesuatu pada dirinya, hingga hal kecil yang hanya memiliki sedikit sekali keterkaitan dengan sebuah musibah yang dialami sebelumnya, bisa saja hal yang tampak kecil itu terasa sama besarnya dengan musibah itu sendiri. Saudaraku, yang tidak terlalu memiliki rasa ingin tahu berlebihan, beruntung terhindar dari pertanyaan-pertanyaan aneh seperti itu. Namun, situasi yang berlaku untukku mungkin berbeda.

Kaitan dengan Insiden Kelinci yang Kualami Hanya Sendirian

Sebaliknya untuk kasus diriku, aku merasa heran ketika keluarga besarku di rumah tidak seperti diriku yang sangat hati akan matinya seekor kelinci. Saat mendengar kabar kelinciku mati, ingatanku langsung kembali ke saat adikku wafat kurang dari dua tahun sebelumnya. Mungkin, aku juga mengalami trauma pada saat itu.

Mirip dengan saudara sepupuku, yang sempat merasa ketakutan luar biasa setiap melihat air keran mengalir deras karena teringat gelombang air laut yang menghancurkan segala yang dilewati, aku juga merasakan dukacita yang jauh lebih dalam dibandingkan orang di sekitar ketika peliharaanku mati. Hal ini terjadi karena ingatanku masih dibayangi oleh peristiwa kehilangan yang jauh lebih besar sebelumnya.

Diriku di usia pra-remaja merasa heran ketika keluarga besarku tidak terlalu mempedulikan kematian kelinci itu seperti saya. Otak saya otomatis memutar kembali memori kehilangan adik saya, membuat saya berpikir lebih dalam daripada orang-orang di sekitar saya.

Saat itu, aku yang saat itu masih berusia sebelas tahun kurang sebulan bertanya kepada Papah, "Mengapa ketika kelinciku mati, semua orang biasa saja, tetapi mereka hanya bersedih karena adikku wafat?" Sayangnya, Papah menyangka aku sebagai kakak dari almarhum adikku, menyamakan kedudukan anggota keluarga dengan hewan peliharaan. Padahal, yang saya maksud hanyalah kadar kedukaan di hatiku yang sama, bukan berarti adik kandungku sendiri, seorang manusia, menjadi less worthy.

Pelajaran dari Insiden Kelinci dan PTSD

Bukan hanya sepupu jauhku tadi saja yang merasakan sakitnya trauma akibat sebuah bencana besar dalam hidupnya, aku sendiri juga mengalami trauma itu, meski musibahnya yang kami alami berbeda. 

Menurut teman-temanku di pelatihan crafting (membuat buket bunga) tiga tahun yang lalu pada 2020, mereka juga mengalami peristiwa yang traumatis seperti insiden kelinci itu hanya saja berbeda pertanyaannya yang mereka ajukan denganku. Awalnya aku ragu-ragu, apakah iya ada orang di luar diriku yang melontarkan pertanyaan seabsurd itu meskipun tidak sama persis? Mbak Icha, salah satu dari temanku adalah seorang penyintas PTSD, dia tidak heran dengan kisah masa laluku dan malah memaklumi pertanyaan yang kuajukan pada insiden kelinci tersebut. Bisa jadi dia pun pernah mempertanyakan ketika hanya dirinya yang menyikapi suatu kejadian kecil secara jauh lebih dalam daripada bagi orang-orang di sekitarnya. 

PTSD sering kali muncul setelah peristiwa traumatis seperti tsunami atau kehilangan orang tersayang, seperti yang kualami ketika meninggalnya adikku. Akan tetapi, karena belum ada diagnosis dari psikolog, aku tidak berani untuk menyebut diri sendiri sebagai penderita PTSD.

Refleksi dan Pertanyaan

Aku ingat bertanya kepada diri sendiri: Apakah perasaanku tentang insiden kelinci ini berarti tidak menghargai kehilangan adik kandung sendiri? Apakah ini artinya aku menyamakannya dengan hewan peliharaan? Tentu saja tidak.

Seperti halnya pertanyaan tentang air keran dan tsunami, hal ini bukan tentang tidak menghargai musibah atau kehilangan yang dialami. Pertanyaan seperti itu hanya mencerminkan bagaimana trauma dapat memengaruhi cara kita memproses kejadian kecil yang tampaknya tidak berkaitan.

Penutup

Melalui refleksi ini, aku belajar bahwa setiap orang memproses trauma dengan cara yang berbeda. Ada yang memilih untuk diam, seperti saudara jauhku, dan ada yang bertanya, sepertiku. Keduanya adalah reaksi yang valid dan wajar. Yang penting adalah kita tetap memahami diri sendiri dan tidak memaksakan standar perasaan kepada orang lain.

Mengenang Kembali Karakter Anime Berambut Hijau Mint: Martina Zoana Mel Navratilova

Catatan Rabu, 20 November 2024 Ada kalanya, sebuah kenangan masa kecil kembali muncul begitu saja, membawa kita ke waktu yang lebih sederhan...