Showing posts with label Back story time. Show all posts
Showing posts with label Back story time. Show all posts

Monday, June 14, 2021

Kuda dan Kelinci

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Rasanya tahun kelimaku di Sekolah Dasar adalah salah satu tahun yang paling sering terdapat memori banyak rasa. Maksud dari "banyak rasa" di sini adalah memang banyak pengalaman yang nyeleneh, menggemparkan, lucu, seru, dan memberi kenangan menyenangkan meski saat itu aku belum tertarik dengan cowok sungguhan dan lebih memilih cowok 2 dimensi alias tidak nyata.

Saking minimnya pengalaman berkesan di jaman pandemi ini, aku sampai keseringan menengok kembali berbagai peristiwa yang terjadi pada masa aku ketika kelas V. Aku jadi macam Dr. Doofenshmirtz saja yang punya banyak cerita latar belakangnya atau bahasa kerennya "flashback". Masih edisi Jurnal Ramadhan nih. Berhubung saat ketiadaan mood aku untuk mengisi blog ini ketika bulan suci tersebut masih berlangsung, catatan yang waktu itu kutulis di buku kuketik ulang di sini menjadi postingan blog.

Catatan tanggal 22 April 2021

Bulan Ramadhan untuk tahun 2021 ini jatuh mulai pada tanggal 13 April lalu. Hari ini adalah hari kesepuluh dari bulan suci tersebut. Karena kebiasaanku bernostalgia, apalagi hari ini masih juga harus "di rumah aja" jadinya gabut luar biasa deh ingatanku mendadak kembali ke 12 tahun yang lalu pada bulan yang sama. Tepatnya pada April 2009, aku lupa persisnya tanggal berapa, aku mengikuti sebuah field trip bersama sekolahku ke sebuah kavaleri (markas pasukan berkuda) di Lembang, saat aku masih kelas V. 

Perjalanan itu terjadi kira-kira minggu kedua bulan April pada tahun tersebut. Diperkirakan "insiden kelinci" tersebut sudah berlalu tujuh bulan sebelumnya, karena terjadi pada tanggal yang mudah diingat, yakni hari pertama puasa tahun 2008 yang jatuh pada tanggal 1 September. Di kavaleri tersebut, semua murid dari sekolah kami berkumpul untuk menonton sebuah pertunjukan atraksi kuda di tengah sebuah lapangan. Kami semua yang berjumlah 400 (empat ratus) orang duduk di kursi mirip teater, hanya saja terletak secara outdoor. Satu atau dua orang anggota kavaleri menunggangi masing-masing satu ekor kuda yang tentunya sudah terlatih untuk unjuk kemampuan hewan tersebut.

Kuda tunggangan anggota kavaleri tersebut diperintahkan oleh penunggangnya dan juga MC untuk melakukan berbagai pertunjukan, seperti melompati palang rintangan, melewati lingkaran (tentu saja tanpa dibakar karena lingakaran tersebut dipegang tangan langsung!), dan sebagainya. Usai atraksi tersebut, sang MC menutupnya dengan sebuah pesan untuk para penonton ciliknya plus para guru. Bagi hampir semua orang di sana, seruan MC tersebut terdengar wajar-wajar saja, sayangnya bagiku lagi-lagi membuatku berpikir secara mendalam dan tentunya berbeda dari orang umum!

"Kalian kalau disuruh orangtua atau guru harus mau nurut ya. Masa kuda aja mau nurut kalian nggak?" seru sang MC lewat megafon yang dipegangnya. 

Memang seruan tersebut bukan berarti apa-apa selain untuk memberi pesan yang baik untuk anak-anak sekolah yang menonton. Kontan semua anak yang mendengarnya tertawa, kecuali aku. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit tertawa di tengah terbahak-bahaknya orang sekitarku! Penyebab bungkamnya kotak tertawaku untuk kasus ini adalah kata-kata MC barusan yang malah dipikirkan terlalu dalam-dalam, selain sifatku yang dikenal sulit untuk ikut merasa lucu akan jokes.

Ohohooo, bukannya aku merasa tersinggung or mengira disamakan dengan kuda tempur, ya! Dengan perkataan tentara yang membawakan acara atraksi itu—sadarlah aku ternyata—tujuh bulan sejak insiden kelinci yang terjadi pada hari pertama bulan puasa tahun sebelum field trip tersebut. Diriku masih saja mencari sebab mengapa Papa merasa tersinggung dengan pertanyaan yang beliau rasa aku menyamakan antara adikku yang manusia dengan seekor hewan bernama kelinci. Kukira rasa sedihku akibat insiden tersebut itu sudah hilang, karena biasanya juga kesedihan akibat dimarahi Papa itu cepat menguap. 

Beliau merasa aku menyamakan manusia dengan binatang, tetapi perkataan MC tadi bukankah melakukan hal yang sama? batinku yang masih naif setelah acara atraksi tersebut bubar.

Ternyata sampai lebih dari enam bulan dari kejadiannya, rasa susah hati dan sesal itu masih bertahan. Bukan momen yang jarang juga sih aku dimarahi Papa, tetapi khusus untuk kasus ini dampaknya sungguh besar. 

"Teteh jangan menyalahkan Papa," kata Mama suatu hari ketika aku membicarakan perasaanku yang tidak biasa ini.

"Kamu jangan salahkan Papa kamu," ujar salah satu keponakan dari pihak Eyang Putri dengan maksud senada.

Jujur, dua tahun pertama dari "insiden kelinci" itu mungkin aku memang ada unsur menyalahkan beliau. Namun, semakin bertambahnya usiaku dan seiring berjalannya waktu, bukan lagi kemarahan beliaunya yang diberi highlight. Semakin lama berlalunya peristiwa itu yang tidak menyenangkan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya, aku lebih menekankan dampaknya dari insiden itu. Salah satunya, lebih aware akan dampak dari pikiranku yang sering berkelana tak tentu arah, sehingga banyak masalah ditimbulkan dari hal-hal ngelantur yang dihasilkannya. 

Sifat naifku ini memang tidak ketulungan, karena pada saat itu aku belum juga mengerti kesalahanku pada insiden tersebut. Meskipun adikku Irsyad yang berusia tiga tahun di bawahku sudah langsung dapat memahami di mana letak kesalahanku, buatku membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk kupahami, sampai memakan waktu bertahun-tahun setelahnya. Ya, akulah "Sang Pengelana Naif" dari Negeri Halu.

"Pertanyaan seperti itu adalah menyamakan manusia dengan binatang," kata adik terbesarku itu saat kami berdua sedang dalam perjalanan berangkat sekolah dengan mobil keluarga kami, saat itu aku kelas V dan dia kelas II.

Untung saja saat itu bukan Papa yang menyetir, tetapi sopir. Jika beliau yang membawa mobilnya, pasti beliau akan mendengarkan percakapan kami berdua. Beliau memang biasa menyimak kedua anaknya mengobrol. Khawatir amarahnya beliau akan tersulut, lagi, karena aku mulai membahas insiden yang menyinggung perasaannya itu.

Mendengar jawaban itu, kekagetanku ternyata belum waktunya untuk berakhir. Mengapa dianggap menyamakan? Rasanya segala hal yang berkaitan pada kasus itu berada di luar kendaliku. Sampai benakku juga tidak dapat kukendalikan pada insiden sahur hari pertama itu!

Juga, mengapa membandingkan seperti itu dianggap suatu kesalahan? batinku sebelum naik ke kelas VI. 

"Tetapi, waktu kunjungan ke kavaleri itu kan kata MC kita harus nurut karena kuda aja mau menurut. Bukannya itu juga menyamakan manusia dengan hewan?" tanyaku polos dan naif. Irsyad juga ikut menonton atraksi tersebut, karena kami satu sekolah dan field trip tersebut adalah acara massal untuk seluruh muridnya. 

"Ya itu mah beda atuh, Teh. Yang di kavaleri itu kan niatnya memberi semangat untuk anak-anak yang menonton," jawabnya sabar (?)

Bisa jadi Irsyad lebih cepat sampai pemahamannya bukan hanya karena dia tidak sama naifnya denganku, tetapi karena itu bukan kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pada umumnya memang lebih mudah untuk memahami letak kesalahan orang lain ketimbang kesalahan sendiri. Begitu juga denganku, kalimat tadi bukan untuk menyalahkan atau menyindir adikku. Mendengar jawabannya, mulut ini ber-ooh saja.

Niatku juga sebenarnya bukan untuk menghina adiknya Irsyad yang lebih besar sekaligus kakaknya Fariz itu yang sudah mendahului kami. Saking naifnya, sampai pada saat itu belum tahu bahwa perkataan seperti itu adalah tidak etis dan tidak dapat diterima umum. Hanya sekadar untuk memuaskan kekepoan yang sepintas tampak konyol. Intinya, aku tidak ada niat buruk sama sekali di dalamnya. 

Malahan sampai pada tahun terakhir dekade 2000-an bahkan sampai masuk tahun 2010 (itu tahun aku siap dan sudah masuk SMP, cuy), aku masih belum juga dapat memahami apanya yang menyinggung dari perbandingan seperti yang kutanyakan itu. Sebelumnya, selama sepuluh tahun pertama menjadi penduduk Bumi atau alam dunia, kukira hanya mengejek seseorang dengan sebutan hewan saja yang dianggap tidak sopan karena "menyamakan manusia dengan hewan". Dari field trip ke Kavaleri Lembang ini, dapat kutarik satu pelajaran : tidak semuanya perbandingan atau penyamaan manusia dengan hewan adalah buruk atau menghina. MC tadi itu meminta para penontonnya agar menjadi anak penurut seperti kuda yang tampil pada atraksi outdoor itu, meski ketika pertunjukan berlangsung ada seekor yang tidak mau melompati palang dan malah bergeming di belakang palang. 

Baiklah, kusadari aku sudah terobsesi dengan kisah insiden kelinci ini. Namun, obsesi ini bukan sekadar ngagugulung peristiwa itu saja kalau orang Sunda menyebutnya, karena tidak hanya berhenti di flashback saja. Bagiku kasus unik ini menimbulkan kekepoan yang sangat, karena sifat naif ini menyebabkan minatku untuk mengeksplorasi diriku lebih jauh. Tiada habisnya kasus ini diulik, karena seperti yang sudah sering kubilang, efeknya sungguh tidak seperti peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidupku. 

Untuk memahami bahwa berkata bohong atau mencela orang lain adalah perbuatan salah, itu mudah bagiku. Sangat mudah malah, karena diajarkan di banyak buku budi pekerti. Kalau kasusnya seperti insiden kelinci tadi, siapapun tidak akan menduganya, jadinya tidak akan ditemukan di buku manapun. Terlalu mengejutkan di telinga orang.

Menyamakan fisik manusia dengan binatang itu jelas tidak etis, karena termasuk kategori "body shaming". 

"Tetapi, menyamakan hilangnya kehidupan dari manusia dan hewan, mengapa dianggap tidak etis ?" tanyaku kepada diri ini selama bertahun-tahun. 

Namun, jika kita menyebut bayi atau anak kecil dengan sebutan "kucing" karena gemas, itu tidak pernah dianggap buruk. Wah, topik manusia dan hewan ini sungguh sangat fleksibel, ada kalanya bisa menjadi buruk, netral, bahkan baik atau bahkan dalam kasus tertentu, bisa jadi malah wajib dilakukan, misalnya untuk membandingkan ukuran spesies hewan tertentu dengan tubuh manusia sebagai ilmu pengetahuan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hantu yang Menyesal

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Sudah fix, sharing tentang sulap ala rumahan dari cowok Bogor itu tidak akan kulakukan dulu dalam waktu dekat ini, pasti akan kuceritakan. Demi mempertahankan aktifnya blog ini, aku akan terus menuliskan Jurnal Ramadhan di sini.

Kuharap pembacaku yang setia—saat ini memang belum ada yang setia, maksudnya pembaca blog ini, tapi yakin deh nantinya blog ini akan di-notice banyak orang, aamiin—tidak bosan aku membahas impact dari "insiden kelinci" itu. Bahkan pengaruhnya sampai ke cerita hantu, lho! Ajaib, bukan? Eits, jangan takut dulu kalian kalau belum baca catatanku sampai habis! 

Catatan tanggal 21 April 2021

Pada bulan dan tahun yang sama dengan terjadinya insiden kelinci itu, aku, Papa, dan adikku Irsyad yang sebentar lagi akan berumur delapan tahun melakukan sebuah perjalanan ngabuburit. Pastinya sih perjalanan ini terjadi pada September 2008, masih bulan puasa tetapi lupa minggu yang keberapanya. Saat itu adikku Fariz masih kecil, usianya masih dua tahun kurang. Jadi, dia dijaga oleh Mama di rumah.

Kami bertiga ngabuburit ke toko buku terdekat. Aku membeli sebuah majalah manga kompilasi. Ternyata dalam majalah tersebut terdapat satu rubrik yang membahas tentang hantu-hantu Jepang, wuih syerem ya!? Untuk satu hantu yang bernama Yuurei, alih-alih ketakutan, aku malah trenyuh membaca kisahnya.

Yuurei adalah hantu seorang pelayan wanita yang semasa hidupnya tak sengaja memecahkan satu dari piring-piring koleksi tuannya. Lupa lagi apakah Yuurei ini nasibnya entah dibunuh, sakit parah, atau bunuh diri yang menjadi penyebab kematiannya. Dia yang jelas meninggal dan ruhnya menghantui rumah tuannya setelah sang tuan memarahinya karena pecahnya satu buah piring koleksinya. Setelah menjadi hantu, Yuurei selalu menghitung piring yang tersisa dari koleksi milik mantan tuannya dan dia selalu menangisi satu piring yang kurang, begitu sampai pada hitungan yang terakhir. 

Rasanya jarang sekali aku dapat relate dengan cerita hantu seperti ini. Sama sekali bukannya ketakutan atau ngeri yang kurasakan setelah membaca kisah ini. Kondisi hantu pelayan wanita itu adalah menyesali sedalam-dalamnya perbuatannya pada akhir hidupnya yang dia tidak sengaja lakukan. Sama sepertiku yang belum dapat menghela napas jika teringat omonganku yang tidak kumaksudkan untuk menyakiti hati Papa ketika insiden kelinci itu. Iya, iya, aku sebaiknya memang tidak boleh terus mengasihani diriku, hanya saja cuma legenda Yuurei itu satu-satunya kisah horor yang dapat kuhayati didalamnya sejauh ini.

Eits, ini bukan berarti aku merasa diriku rendah sehingga menyamakan diriku sendiri dengan bekas pelayan keluarga orang, ya! Tanpa Yuurei dikisahkan sebagai pelayan juga aku akan tetap merasa senasib dengannya, karena sama-sama menyesali sedalam-dalamnya atas perbuatannya yang tanpa disengaja. Pemikiranku yang barangkali dirasa ngelantur ini tidak kuceritakan kepada siapapun sebelum catatan harian ini ditulis. Dengan memahami kesedihan di balik kisahnya si hantu pelayan, kusadari bahwa rasa sedihku akibat insiden itu bukanlah kesedihan biasa karena sulit dan lama sekali hilangnya.

"Papa itu masygul (sangat sedih) sebenarnya ketika Teteh (panggilanku di keluarga, karena aku adalah anak tertua) bertanya seperti itu. Beliau merasa kamu tidak empati akan kehilangan Dik Hanif dan memilih menangis karena kelinci peliharaanmu," tutur Mama ketika aku menceritakan insiden kelinci ini setelah setahun lebih dari terjadinya insiden kelinci itu.

Jika saat itu terjadi aku masih duduk di kelas V, berarti aku menceritakan ini kepada Mama ketika sudah menempuh satu tahun selanjutnya, yaitu tahun terakhirku di Sekolah Dasar. Kalau tidak salah, ini adalah pertama kalinya aku curhat tentang hal ini kepada beliau. 

Hati Papa yang hancur karena menyangka aku lebih kehilangan hewan peliharaan dapat dianalogikan dengan pecahnya piring koleksi tuannya Yuurei. Mungkin kurang bagus ya menganalogikan diri dengan cerita yang sebenarnya adalah kisah horor, tetapi aku juga sama-sama menyesali sesuatu dan perasaan itu masih berlanjut hingga kini.

Lalu, bagaimana dengan aktivitas ngabuburit puasa hari ini? Apa boleh buat, bepergian haruslah diminimalisir karena harus menjaga protokol kesehatan. Puasa dan tarawih hari ini insyaallah lancar. 

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sunday, June 13, 2021

Bukan Komedi Situasi

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Jangan khawatir, aku masih ingat kok dengan janjiku menulis sulap sederhana yang kusaksikan di Bogor waktu aku beserta rombongan keluarga sedang berkunjung ke rumah saudara kami. Namun, saat ini belum menjadi kesempatanku untuk bercerita pengalamanku yang mantap jiwa itu.

Ngomong-ngomong soal jiwa, perasaan aku masih galau soal kesalahanku pada insiden kelinci tersebut. Di sini aku akan menuliskan kembali catatanku ketika bulan puasa tahun ini. Saat berpuasa rasanya malas mengisi blog. Sekarang waktunya untuk aktif kembali!

Ini adalah salinan dari diary alias "buku harian" yang tidak pernah dan memang tidak bisa juga untuk protes karena aku sering sekali mengisinya dengan kegilaanku. Sama seperti blog ini yang fungsinya juga untuk menampung pikiranku yang nyeleneh. Catatan dari diary yang akan kusalin adalah catatan pada tanggal 19 April 2021 lalu :

Magrib ini ketika aku sedang berbuka puasa bersama dua adikku, televisi kami menanyakan acara sitcom atau komedi situasi jadul berjudul "Friends". Komedi situasi tersebut tentu tidak ketinggalan menjadi hiburannya satu orang kerabatku dan Mama semasa muda mereka. Acara tersebut memang acara yang bertujuan untuk mengundang tawa penonton—namanya juga komedi situasi—sayangnya aku tidak dapat tertawa karenanya dan episode Magrib ini malah membuatku tertegun. Episode in question adalah episode dari season 9, tapi lupa episode berapanya. 

Penggalan dialog dari episode tersebut yang menyebabkan aku terdiam memikirkan hal lain di luar adegan yang kutonton bersama dua adikku, Irsyad dan Fariz itu. Dialog tersebut sebenarnya masih merupakan hal yang lucu, tetapi rasa sesal di hati mencegah tawaku keluar. Dialog yang kumaksud adalah percakapan antara dua tokoh perempuan dari sitcom yang kami tonton itu, Rachel dan Phoebe.

Rachel tidak sengaja menjatuhkan sekotak anak tikus milik Phoebe yang tersimpan di atas meja. 

Aku lupa kata-kata persis dari Phoebe yang meminta temannya itu untuk lebih berhati-hati seperti memperlakukan "para bayi" tersebut sama dengan kehati-hatian Rachel terhadap anaknya sendiri. Anak-anak tikus tersebut memang baru lahir. Jika tidak salah, induk mereka yang merupakan tikus yang menghuni apartemen dibunuh oleh Phoebe dan suaminya, ternyata tikus yang baru mati tersebut baru saja melahirkan, jadi anak-anaknya terpaksa mereka urus! Namanya juga adegan dari acara komedi, kejadian ini tentunya hanya untuk membuat penontonnya minimal menyunggingkan senyum, kalau tidak bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak. 

Percakapan antara dua tokoh tersebut bukannya terasa lucu bagiku, justru malah membuatku berpikir cukup dalam. Kalau sudah begini, tidak akan bisa untuk sekadar tersenyum karena mendengar mereka sekalipun. Lho, kok, bisa gitu? Selain karena aku sulit tertawa jika menonton acara komedi atau humor, khusus percakapan ini malah menyeretku akan sebuah ingatan akan kesalahanku yang sudah lama sekali berlalu.

"Kau membandingkan anakku dengan seekor tikus?" protes Rachel.

"Tujuh ekor tikus," Phoebe mengoreksi, padahal dia sendiri yang gagal paham inti dari perkataan Rachel, temannya, barusan.

Seharusnya sih ya tidak usah dipikirin ya, itu kan cuma lucu-lucuan saja. Kalau orang biasa yang menyimak dialog barusan pastinya akan tergelitik. Namun, aku malah menghela napas dalam, merasa tertohok untuk yang kesekian kalinya karena mengingatkanku dengan kesalahanku yang serupa dengan ucapan Phoebe tadi. Kesalahanku yaitu membandingkan anak manusia dengan hewan, masih "insiden yang itu".

Jika ada yang membaca jurnal Ramadhan karyaku ini mungkin si pembaca akan bosan karena aku terus mengulas insiden yang terjadi pada hari pertama puasa di tahun 2008 itu. Wajar jika mereka bosan, tapinya aku juga tidak bisa memungkiri bahwa pengaruh besar dari insiden yang super nyeleneh dan penuh kontroversi itu. Selama bertahun-tahun dari insiden kelinci itu, aku belajar banyaaaak hal darinya. Dari banyak tontonan (dan selalu tontonan yang berasal dari Negeri Paman Sam atau anime/manga), aku semakin menyadari di mana letak kesalahanku pada insiden kelinci itu. Soal anak adalah hal yang begitu sensitif bagi orangtuanya, apalagi jika disangkutpautkan dengan binatang, itu baru kusadari di umurku ketika menginjak remaja!

Pertanyaan Rachel tadi itu hampir sama dengan tanggapan Papa begitu aku membandingkan kesedihan orang antara adikku yang meninggal dengan ketika kelinciku mati. Karenanya, aku tidak bisa ikut tertawa dengan percakapan pada serial komedi situasi tadi. Jelas, hanya feel-nya yang berbeda. Tidak perlu kujelaskan lagi bahwa Papa juga tidak mungkin sedang berusaha mengundang tawa untuk yang mendengarnya. 

"Jadi, Teteh menganggap bahwa meninggalnya Dik Hanif dengan matinya kelinci itu sama, begitu?" tanya Papa marah.

Jika kuingat perkataan almarhum ayahku ini, rasanya masih saja kaget hingga kini. Sama sekali tidak menyangka pertanyaan konyol (bagi sebagian orang) yang kulontarkan itu akan membuat beliau berpikir seperti itu. Saat itu rasanya mulutku terkunci, tenggorokanku tercekat, sulit sekali untuk berbicara. Aku waktu itu hanya ingin satu jawaban dari beliau atas pertanyaanku, bukannya menyamakan.

Siangnya setelah insiden tersebut, akhirnya aku berterus-terang bahwa saat sahur waktu terjadinya insiden itu adalah karena "keceplosan" saja. Spontan saja pertanyaan itu terucap tanpa berpikir terlalu dalam lagi. Untuk menanyakan sebab meninggalnya manusia dan matinya hewan disikapi secara berbeda, seharusnya kusebutkan saja secara umum, jangan mengaitkannya dengan soal almarhum adikku. Akan tetapi, ingatanku yang me-replay peristiwa tragis yang menimpa adikku juga sama spontannya, tidak ada maksud dan tujuan apapun.

Di antara keluarga dan teman, aku memang dikenal sulit tertawa jika mendengar lelucon, lawakan, atau acara komedi. Bagiku kadang perkataan yang dimaksudkan untuk meledakkan tawa penonton, bisa jadi malah mengingatkanku akan suatu masa lalu yang cukup suram. Pengalamanku yang penuh dengan penyesalan mendalam.

"Ditinggal anak memang merupakan soft spot bagi Papamu, tetapi juga seharusnya blio jangan semarah itu. Kamu juga seharusnya bertanya hal seperti itu kepada Eyang Kakung saja," jelas seorang kerabat yang tadi kusebutkan sebagai sesama penggemar F. R. I. E. N. D. S . 

Kusesali dahulu hubunganku dengan kakekku kurang dekat. Padahal ayahnya Mama itu justru merupakan orang yang paling enak ditanya dan diajak bertukar pikiran. Akan tetapi, 
Allah SWT telah memanggil beliau pada Januari 2010 lalu, bahkan sebelum kepulangannya Papa pada 2012. Bulan Ramadhan tahun 2021 ini sayangnya keluargaku tidak sempat nyekar ke makam Papa, Dik Hanif, dan Eyang Kakung.

Sampai jumpa di Jurnal Ramadhan selanjutnya! Dadah, cacaw!

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Saturday, June 12, 2021

Apa Itu Eksistensial?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Ya, di postingan kemarin aku janji ya mau cerita tentang pertunjukan sulap sederhana yang ditampilkan oleh anak cowok saat rombongan keluarga aku ke Kota Hujan yakni Kota Bogor. Akan tetapi, bukan di postingan yang sekarang ini ya, karena di sini aku mau numpang nulis tugas.

Memang bukan tugas kuliah sih, tapi tetap saja ini tugasku. Tepatnya, ini tugas kepenulisan. Boleh gak sih kalau nyalin yang udah ada di blog? Itu sih ntar dulu saja dipikirkannya, yang terpenting TULIS!

Belum bisa kulupakan rasa bersalahku akan insiden pertanyaanku yang berkenaan dengan matinya kelinci peliharaanku itu. Ada satu kerabat yang menjadi satu-satunya yang bilang, pertanyaanku dalam insiden tersebut adalah "pertanyaan eksistensial". Pada saat aku baru saja resmi menjadi siswi kelas V pada tahun 2008 lalu, pernah nannyeak, bertanya-tanya tentang reaksi orang sekitarku yang beda akan meninggalnya adik kandungku yang kedua dengan matinya kelinciku, yang masih kaget sama kabar kematiannya itu kelinci. Bagi kebanyakan orang, pertanyaan seperti itu pastilah dianggap konyol, karena jelas beda antara kehilangan anggota keluarga dengan kematian hewan peliharaan, nah jadi penasaran "apanya sih yang bikin kedua makhluk itu beda".

Tak disangka-sangka kerabatku itu bukannya terkejut, kalem banget malah, dan bilang pertanyaanku itu untuk orang ber-IQ ketinggian. Katanya, pertanyaan itu termasuk pertanyaan filosofis. Aku jadi penasaran, apa yang dimaksud dengan kata "eksistensial" tadi? Coba Googling, ternyata istilah itu adalah salah satu cabang aliran filsafat.

Hasilnya, eksistensial adalah "pencarian tujuan hidup dalam keadaan absurd". Jika tidak salah, dalam aliran ini suatu keadaan dapat menjadi absurd jika hal-hal yang tadinya tidak berhubungan lalu disandingkan atau dibandingkan, seperti pertanyaanku itu. Meninggalnya Hanif, adikku yang tengah di antara Irsyad, adikku yang besar dan Fariz yang bungsu, adalah kejadian normal meskipun itu menyedihkan. Kelinci peliharaan yang mati juga sangat lumrah terjadi. 

Pertanyaan itu dirasa tidak wajar, konyol, aneh, tidak dapat diterima umum, bahkan dapat menyinggung dan tidak etis karena aku membandingkan kedua kejadian tersebut, yang seharusnya memang terpisah. Dari pengertian mengenai filsafat eksistensialisme tadi, keadaan yang absurd digunakan untuk mencari hakikat hidup. Perbandingan kematian dua makhluk hidup yang berbeda di sini mendorongku untuk mencari hakikat hidup dari manusia dan hewan. Dari sini aku mencari apa saja yang membuat hidup manusia itu berbeda dengan hewan, kupikir hanya dengan "manusia punya akal" doang gak cukup.

Pasti ada alasan lainnya yang bikin kenapa orang cuma sedih untuk sesama manusia! Itulah yang sebenarnya aku pikir sebelum akhirnya nanyain itu ke Papah.

Asli, dah, lewat insiden yang terjadi hampir 13 tahun yang lalu itu aku menjadi lebih mengenali diri sendiri dan ketertarikan untuk membaca juga jauh meningkat. Selama ini, zona nyamanku ketika membaca hanya seputar buku komik, novel, buku agama, dan kumpulan cerpen saja. Jika ada rezekinya, ingin deh kapan-kapan beli satu set ensiklopedia filsafat, karena semakin mengenal diri, semakin mudah untuk percaya diri. Dengan bertanya kepada orang yang tepat, kita akan dibantu untuk melihat potensi diri kita lebih jelas, bukannya dihujat. 

Apabila aku menceritakan kisah insiden pertanyaan kelinci ini, aku cenderung pilih-pilih orang. Saking takutnya orang menertawaiku, bahkan untuk bercerita kepada sahabat tentang ini pun dulu tidak berani. Memang tidak semua orang berakhir dengan menganggapku aneh, tetapi memang jarang orang bisa relate dengan insiden absurd ini. Wajar saja sebagian besar orang tidak mendapatkan feel dari cerita pengalamanku ini, karena perkataanku itu kelewat tidak umum.

"Maaf ya, aku tidak menganggap kamu harus sesedih itu," kata sang kerabat saat aku baru menceritakan insiden tersebut lewat chat WA pada tahun 2020 lalu. 

"Tapi, aku seperti yang menghina adikku yang meninggal di saat bayi bukan karena sakit biasa," kataku masih menyesal.

"Kamu ingin menganggap nyawa semua makhluk hidup adalah egaliter, semua nyawa berharga. Kamu membandingkan dua peristiwa kematian itu karena kamu saat itu ingin tahu alasan orang menyikapi berbeda antara manusia dan hewan. Meninggalnya De Hanif tidak menjadi less worthy di matamu," tutur beliau.

"Harusnya pertanyaan seperti itu dilontarkan oleh anak balita umur lima tahun. Bukan aku yang saat itu sebentar lagi akan berusia sebelas tahun di kelas lima," ketikku masih menyesali.

"Jika dilontarkan oleh orang berusia kurang dari 15 tahun itu tidak mengapa," hiburnya.

Aku bersyukur memiliki kerabat yang berwawasan luas. Perkataan beliau hampir sama dengan tanggapan teman-temanku ketika mengikuti pelatihan crafting pada akhir tahun 2020 lalu.

"Bagimu, semua nyawa itu berharga," jelas mereka saat aku curhat sebelum pelatihan itu dimulai.

Kalau saja kerabatku itu tak hobi baca dan mengakses ilmu pengetahuan, bisa-bisa beliau malah menertawaiku. Apalagi beliau terkenal akan brutal honesty-nya, yakni "kejujuran yang menohok". Meskipun beliau orangnya mudah marah, tetapi beliau lebih terganggu dengan pemikiran mayoritas masyarakat negara kita yang masih kurang cerdas. Maklum, negara kita masih third world country. 

Lalu, jika aku menjadikan segala makhluk hidup adalah sesuatu hal yang penting, mengapa aku malah membandingkan kelinciku yang mati dengan kehilangan satu adikku? 

Anehnya, kesedihanku akibat matinya kelinci ini malah menimbulkan flashback rentetan peristiwa sekitar wafatnya adik lelakiku yang lahir setelah Irsyad dan sebelum Fariz (aku memang tidak pernah punya adik cewek). Sungguh aneh tapi nyata, isi kepalaku seperti mengeluarkan suara "Tuziiiiing" ... dan seketika ingatanku menampilkan ulang kesedihan orang-orang pada peristiwa menyedihkan itu! De Hanif meninggal pada Desember 2006, dua tahun kurang dari pertanyaan itu dilontarkan, kayaknya aku lagi ada guncangan batin.

Rasa kehilanganku yang terkubur selama hampir dua tahun lamanya, terpanggil kembali dengan cara yang sungguh tidak wajar yaitu dengan mendengar matinya hewan yang dibelikan oleh abangnya Papah kami. Mamah menganggapku belum terasah empatinya akan berpulangnya adikku karena aku bertanya seperti itu. Justru rasa kehilanganku akan ditinggal adik itu saking besarnya, sampai terpicu lagi memorinya di saat kematian yang makhluk hidup yang kusayangi, meski itu hewan. Mulailah aku menyadari bahwa reaksi orang terhadap hilangnya nyawa dari manusia dan hewan itu berbeda dan saat itu aku hanya ingin tahu mengapa, itu saja, tanpa niatan buruk. 

Sori kalau gaje dan ambyar kisahku ini. Memang bagi kebanyakan orang rasanya sulit untuk pahami pemikiranku itu. Itulah sebabnya kujuluki diriku "Sang Pengelana Naif". Benakku sering berkelana ke mana-mana, tetapi masih juga pikiranku naif, seperti yang kurang pengalaman. Ya, aku ingat janjiku untuk menceritakan sulapnya cowok Bogor itu, suatu saat nanti pasti kuceritakan di blog ini.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.




Rani, Saudara yang "Kocak Markocak"

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi/siang/sore/malam. Udah berdebu mungkin ya blog ini, lama juga sih aku mentok ide. Lama-lama kangen juga nulis di sini.

Kisah ini sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tapi rasanya masih mengocok perut jika kuingat. YBS apakah masih ingat atau tidak, aku tidak tahu pasti ya. Soalnya sudah lama sekali aku tidak bertemu lagi dengan saudaraku yang ekspresif ini, bahkan sejak kisah ini terjadi. Kapan terjadinya kisah ini?

Kalau tidak salah sekitaran April 2010, menjelang UN SD aku. Kisah yang akan kubawakan ini adalah "Saudara yang Sangat Ekspresif", kalau nggak mau disebut "alay" or "lebay"! Saat itu adalah family gathering dari keluarganya Eyang Kakung alias kakekku dari pihak Mama. Namanya juga family gathering, sudah tidak membuat terkedjoet lagi jika ada banyak sekali orang datang dan saudara jauh ikut berkumpul!

Namanya Rani, aku kurang tahu nama panjangnya. Namun, cerita tentangnya malah begitu panjang! Padahal waktu ketemuan sama dia itu lumayan pendek lho, hanya satu hari selama acara tersebut dan setelah itu kami belum pernah jumpa lagi, hingga posting ini ditulis. Hubungan kekeluargaan aku dengannya juga tidak kuketahui dengan pasti, selain dia adalah bagian dari keluarga Eyang Kakung tadi.

Acara kami bukan berkunjung ke tempat wisata mewah, melainkan menyambangi rumah salah satu kerabat kami yang bertempat di Bekasi. Rombonganku datang dari Bandung. Di rumah Bekasi inilah aku mulai berkenalan dengan Rani. Tepatnya, saat kami makan siang di rumah itu.

"Aini, kamu ambil nasi sedikit amat! Segitu sih kayak buat kucing!" seru Rani kepada saudara kami yang berusia beberapa tahun di bawah kami berdua. Yang ditegur malah cool saja melanjutkan makannya.

Mendengar kalimat tersebut, sontak aku paham mengapa ada istilah makanan "nasi kucing". Benar saja, nasi di piringnya Aini tidak sampai setengahnya dari ukuran piring tersebut. Jangan-jangan dia tidak sampai satu centong ketika tadi ambil nasi buat makan. Hihihi, pantas saja badannya kurus! 😁😂

Selepas acara makan tersebut, kami bertemu seorang gadis yang seumur dengan aku dan Rani. Kalau dibandingkan dengan Aini, masih gedean doi. Tadinya mau kutulis "gadis kecil" atau "gadis cilik", tetapi saat itu aku juga bahkan belum masuk ABG. Oh ya, aku kan kelas VI dan Rani satu angkatan di bawahku, serta kalau tidak salah saat itu Aini masih kelas 2 SD. 

Sepertinya sang gadis adalah anaknya yang punya rumah. Bukannya berkenalan dengannya, aku dan Rani malah menjulukinya "Siput Margiput". Julukan tersebut adalah idenya the latter. Entah darimana ide untuk memanggil anak berkuncir satu itu dengan sebutan hewan paling lelet itu, padahal si anak itu nggak lemot juga gerakannya.

Rasanya menyesal deh kami malah bersikap aneh dan menyebalkan kepadanya. Doi sih emang diam saja, entah karena kesal atau karena saking anehnya panggilan untuknya. Normalnya sih kita saling bertukar nomor hape, eh nama dulu dong biar tahu mau manggil apa dan tidak nyebut julukan konyol begitu. 😜🤪 Aini ikutan apa tidak, lupa lagi ya. 

Tujuan selanjutnya dari Kota Bekasi yaitu Kota Bogor. Dalam bus yang membawa rombongan kami dari Bandung, udaranya lumayan panas. Mungkin saat itu bus belum berjalan jadi masih parkir di depan rumahnya Siput Margiput, eh, rumah yang di Bekasi. Karena belum jalan ya belum nyala AC-nya.

"Hareudang Marhareudang!" ujar Rani sambil mengipasi dirinya dan duduk di seat - nya.

Buat yang belum mengerti artinya, hareudang artinya "gerah". Jadi kalau perkataan Rani tadi diartikan, jadinya "Gerah Margerah"! Hihihi, ada-ada saja, ya?

Ternyata bukan berhenti sampai situ saja dialognya yang kocak! Aku pada saat itu masih menjadi fan Danny Phantom. Saat Rani melihat gambarnya, dia berkomentar, "Jelek Marjelek". Kalau seperti itu caranya mengucapkan sih, aku tidak sakit hati tokoh kartun idolaku diejek.

Sampailah kami di Kota Hujan yang dipenuhi ornamen kijang di seluruh sudut kotanya. Bahkan kijang yang hidup alias real juga tersebar di banyak tempat. Eits, rombongan kami ke Bogor bukan untuk mengunjungi Kebun Raya atau melihat hewan-hewan lucu bertanduk itu lho! Tujuan kami adalah untuk mengunjungi rumahnya adik perempuannya nenek buyutku, yang merupakan ibunya Eyang Kakung. 

Rumah tersebut ternyata sangat bersebelahan dengan rumah sakit bersalin. Ternyata blankar-blankar di dalamnya mengundang reaksi kocak dari Rani!

"Ru ... rumah sakit! Rumah sakit!" pekiknya seperti yang ketakutan. Memang karena sepi tempat itu jadi agak terasa keueung, tapi jelas bukan rumah sakit berhantu! 

Lalu di depan rumah tersebut ada seekor anjing putih besar yang dirantai! Aku memang takut dengan hewan peliharaan buas tetapi dikenal setia itu, tapi bagaimana dengan Rani ketika berjumpa dengan hewan tersebut?

"Ampun, Mr. Doggy! Ampun!" pekiknya dengan ekspresi yang sama seperti ketika melewati rumah sakit bersalin tadi. Padahal hewan itu kelihatannya tidak galak, malahan dia berbaring santai saja di tanah seperti yang "bodo amat" ketika orang lalu-lalang di sekitarnya. 

Malam tiba, kami kembali ke Kota Kembang, kota tempat tinggalnya kami semua.

Walaupun Rani ketagihan pakai slogan "sesuatu (Mar) sesuatu", untuk judulnya itu aku ngarang sendiri ya. Bukan mengambil dari omongan kocaknya.

Oh, ya, di rumah tempat tinggalnya pemilik Mr. Doggy tadi, aku, Rani, Aini, dua adikku serta teman kami Andika menonton pertunjukan sulap kecil-kecilan dari seorang cowok seumuranku. Nah, kalau yang ini tidak memancing ekspresi Rani yang gokil. Apa saja sulap yang dipertontonkan cowok itu? Nantikan di postingan selanjutnya!

Dadah, cacaw!

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.




Thursday, March 25, 2021

Flashback ke Karakter Ciptaan di Jaman Jebot Berkat Tokoh Kartun Kekinian

Assalamualaikum, selamat pagi/siang/sore/malam. Ini malam Jumat. Tapi, aku di sini bukan untuk cerita hantu or yang seram-seram, ya! Justru aku dihantui oleh kemalasan aku bikin post di sini. 

Rasanya aku kayak gak ada matinya flashback terus, dech. Karena aku lagi mampet ide nich, makanya post aku di sini pada berjarak tanggalnya. Mimpi aku sich nge-post setiap hari, huhu! Walaupun pikiran aku berjejalan, aku belum tahu mana yang akan dijadikan tulisan duluan.

Ya sudah, langsung saja ke pokok bahasan! Berkat pakaian Pinkie Pie dari episode-episode yang terbaru dari Equestria Girls (kira-kira pakaian ini mulai muncul di episode keluaran tahun 2019), aku ada ide buat nulis! Pakaian ini ternyata mirip dengan tokoh yang aku pernah bikin pas akhir aku kelas IV sampai semester pertama aku kelas V (tahun 2008)! Suatu kebetulan yang sangat, karena serial Equestria Girls ini baru rilis pada tahun 2013 lalu. 

Pinkie Pie (kanan kedua, agak zoom out) dalam pakaian terbarunya yang mengingatkanku akan karakter yang pernah kuciptakan.

Kalo aku cerita hal ini secara RL (real life) ke teman, pasti ada aja orang (biasanya cowok) yang nimbrung cuma buat nyinyir kayak begini, "Huu, sok tahu!" Sorry, ya, cerita aku ini cuma buat orang-orang yang minat dan merasa relevan aja. Buat kaum nyinyir-er, gak usah coba-coba dengerin (atau baca)! Buat apa kepo sama hal yang gak disukai, coba!? 

Sorry aku juga ter-distract. Ayo lanjut! Pakaian Pinkie Pie yang terbaru ini jadi OOTD-nya dalam Five Lines You Need to Stand In (salah satu judul episode yang terbaru). Ternyata malah buat aku flashback ke karakter ciptaan di jaman jebot! 

Seperti yang bisa dilihat dari gambar di atas, Pinkie Pie menata sebagian rambutnya menjadi kuncir kembar, blus biru lengan pendek gembung, dan kebawahannya berupa rok tumpuk dengan warna yang berbeda untuk setiap lapisannya. Pakaian tokoh karya jaman aku masih SD itu ternyata kayak kembarannya! Oh, ya nama tokoh buatan aku itu Kerlin (aku yakin, harusnya ditulis "Caroline"). Warna outfit untuk Kerlin juga gak jauh beda, bukan hanya model pakaiannya aja! 

Bedanya, rambut Pinkie Pie hanya dikuncir sebagian kecilnya saja dan sisanya dibiarkan terurai panjang. Sedangkan rambut Kerlin dikuncir seluruhnya. Warna rambut keduanya juga berbeda. Pinkie Pie, sudah dapat ditebak warna rambutnya apa dari namanya. Rambut Kerlin warnanya gelap dan natural saja, antara hitam atau cokelat sangat gelap (lupa pastinya, soalnya sudah lama). 

Blusnya Pinkie Pie itu tidak semuanya biru, lho. Ada coraknya. Bahkan biru di lengan dan di badan itu warnanya berbeda. Untuk blus Kerlin juga beda warna untuk badan dan lengannya, hanya saja lengan blusnya berwarna pink pucat

Oh, ya untuk Kerlin, blusnya tidak bercorak seperti Pinkie Pie, tetapi diganti dengan pita kecil berwarna pink pucat, sama seperti lengan blusnya.

Terus, ke mana gambar Kerlinnya? Harus bongkar" dulu Buku" gambar jadul nich. Kalau sudah ditemukan, insyaa allah akan Aku tampilkan di postingan selanjutnya. Karya sendiri yang sempat terlupakan, terbangkitkan kembali oleh tokoh kartun yang kekinian.

Wassalam!



Tuesday, March 23, 2021

Alternate Universe dari Khayalan Masa Kecil

Assalamualaikum, selamat pagi/siang/sore/malam. Kali ini Aku akan nostalgia sedikit (ah, aku sih nostalgia gak kenal waktu!), plus akan menceritakan tentang sedikit beranjak dari "zona nyaman"! Memang belum sepenuhnya keluar dari zona nyaman tersebut, karena Aku masih mengupas dunia perkartunan dan kartunnya juga masih yang selama ini Aku sukai, walaupun bukan Phineas and Ferb atau Danny Phantom. Namun, aku sudah mulai berani membuat karakter kartun yang sudah mulai tidak lagi berdasarkan keinginan sendiri!

Berawal dari imajinasi Aku dan sepupuku Mayang waktu kami masih SD, aku membuat alternate universe dari keluarga Pataki dalam serial kartun jadul Hey Arnold. Pada saat aku masih kelas 1 bahkan sampai 2 SD dari tahun 2004 - 2005 (wah, sudah lama sekali ya), aku sering ngehalu tentang Helga Pataki, anak bungsu dari keluarga tadi dan membagikan kisah halu tadi kepada Mayang yang masih duduk di bangku TK hingga kelas 1 SD. Waktu aku kelas 4 dan dia kelas 3 pada tahun 2007, ternyata Mayang masih melanjutkan kisah tentang Helga Pataki, padahal saat itu aku sudah berhenti berkhayal tentang tokoh tersebut. Bahkan kisahnya malah jadi jauh lebih kreatif daripada yang pernah kukarang, sampai-sampai aku sendiri tercengang dibuatnya!

Di halaman belakang rumahnya, terdapat dua buah manekin bekas, yaitu manekin pria dan wanita yang keduanya menggambarkan manusia dewasa (kalau patung kan tidak bertumbuh, jadinya tidak benar-benar berusia segitu). Manekin berpasangan tersebut sudah kehilangan pakaiannya (ya iyalah, orang itu bekas, juga). Untuk manekin pria, keadaannya cukup beruntung karena keadaan tubuhnya lengkap dari kepala sampai kedua kaki. Sayangnya, untuk pasangannya, dia adalah patung wanita yang berkepala botak (sepertinya untuk dipasang wig) dan tubuhnya hanya sampai pinggang, kedua tungkai sampai kakinya sudah hilang. 

Lho, apa hubungannya kedua manekin "butut" tersebut dengan cerita Helga versi kami? Mayang mempersonifikasi mereka sebagai orangtua Helga yang superjahat! Lebih gokil lagi, mereka sebenarnya adalah perwujudan dari kerajaan hantu yang mendiami rumah Mayang dan keluarganya! Imajinasi kami membuat kisah hidup salah satu tokoh animasi Hey Arnold menjadi melenceng jauh, jauh sekali dari aslinya, ya.

Pikirku sejak awal bulan Maret ini, pasti asyik dan seru jika aku benar-benar membuat kisah alternate universe dari keluarga dengan nama keluarga yang mudah diingat tersebut. Sekadar info saja, pernah sempat direncanakan akan dibuat spin-off dari Hey Arnold yang khusus menceritakan keluarga Helga, judulnya "The Patakis", sayangnya dibatalkan karena ceritanya dianggap terlalu dark. Dari hasil imajinasi kami yang sempat mengalahkan awan itu tadi, aku akan membuat The Patakis versi aku sendiri.

Big Bob Pataki

Big Bob Pataki adalah ayahnya Helga. Dalam Cerita aslinya, ia adalah pemilik toko besar. Ia beralih profesi menjadi penguasa dunia hantu bersama Miriam, istrinya, dalam alternate universe ini! Penampilannya juga akan menjadi jauh berbeda karena menyesuaikan dengan rupa sang manekin pria. 

Rambutnya yang sudah beruban semua seperti pada gambar di atas, dalam versi kami, aku dan Mayang, warnanya berubah menjadi cokelat. Memang Big Bob pernah memiliki warna rambut seperti itu untuk Hey Arnold The Movie. Akan tetapi, di sini ia akan mendapat kumis yang menandakan bahwa ia menjadi makhluk yang jauh lebih jahat daripada versi canon (asli)! Kumis itu juga memang dimiliki oleh manekin bekas itu.

Bisa dilihat di atas, Big Bob memiliki tubuh yang besar dan berisi. Karena manekin pria di rumah Mayang itu bertubuh langsing, tapi bukan kurus juga, jadinya body type Big Bob versi lain ini juga akan mengalami "pemapasan". Maksudnya, tubuhnya akan dipapas hingga menyerupai body type tersebut! Ini bukan sekadar alasan keindahan saja, dia harus memiliki bentuk tubuh yang pas untuk menjadi pemimpin dunia hantu.

Miriam Pataki

Dibandingkan suaminya tadi, yaitu Big Bob, Miriam yang merupakan ibunya Helga akan menjadi anggota keluarga Pataki yang mengalami perubahan paling brutal dalam alternate universe karyaku ini! Jika Big Bob dipapas tubuhnya, rambutnya Miriam yang mengalami nasib seperti itu! Kepalanya yang semula dimahkotai rambut pirang sebahu, tak akan tersisa sehelai pun dalam versinya setelah menjadi hantu jahat. Miriam versi canon "hanya" mabuk karena minuman, untuk versi barunya dia akan mabuk karena kekuasaannya bersama suaminya.

Sebenarnya ide menggunduli kepala Miriam ini hanya untuk menyamakan dengan manekin wanita bekas itu yang juga kinclong kepalanya. Namun, 13 tahun lebih setelah sepupuku itu menciptakan cerita itu, aku pikir-pikir tokoh wanita jahat yang berkepala gundul itu menarik juga untuk dibuat. Aku belum pernah membuat tokoh yang sama sekali tidak memiliki rambut di atas kepalanya, bahkan untuk tokoh lelaki sekalipun. Inilah yang paling membuatku beranjak dari zona nyaman! 

Bukan hanya rambutnya saja yang dibuang, kacamatanya juga! Sekali lagi, ini menyesuaikan dengan penampilan manekin yang menjadi bahan halu masa kecil kami. Karena memang manekin tidak perlu kacamata untuk melihat. Dalam cerita yang akan kubuat ini, pengelihatannya "tersembuhkan" oleh kekuatan jahatnya. 

Berhubung manekin yang disebut sebagai ibu Helga oleh saudara sekaligus sahabatku itu kehilangan kedua tungkainya, alternate Miriam versiku ini akan selalu memiliki ekor hantu. Jadi, tubuhnya akan seperti jin. 

Untuk postingan hari ini, baru desain karakter mereka yang canon yang aku tampilkan. Desain karakter alternate universe belakangan, ya!

Wassalam.

Monday, March 15, 2021

Kesanku Tentang Teman Ikhwan yang Paling Berpengaruh Selama di Pondok

Assalamualaikum, selamat pagi/sore/siang/malam! Kesan saya tentang teman saya ini I. S.  akan saya ceritakan di sini setelah tiga tahun kami satu sekolah di bangku SMA. Kenapa harus dia? Karena dia adalah salah satu teman q yang paling berpengaruh dalam hidupku!

Apalagi kira" 3 minggu yang lalu, ibu kepala sekolah kami sempat menulis tentang I ini ketika dia Baru saja mendapat gelar sarjana. Katanya beliau bangga kepadanya karena dulu dia nurut pas diminta nulis surat putus sama pacarnya supaya konsen Belajar untuk UN. Walaupun I ini marah-marah pas bikin suratnya, tapi dia serius menjalankan perintah dari kepala sekolah yang bagaikan ibu kami. Lalu, bagaimana kesan tentang I dari Aku?

Pas kelas X, tadinya kami berbeda kelas, jadinya Aku belum terlalu kenal dia. Tapi begitu pertama kali aku ketemu dia, dia malah bilang, "Beungeut maneh siga tai!" ke Aku. Di situ adalah titik permulaan aku mengenalnya.

Eh taunya pas MH, aku sekelompok ama dia di Pasir Pogor. Untung aja di sini belum ada apa-apa. 

Setelah MH, kita malah jadi satu jurusan di kelas XI IPS! Auch, rasanya hari-hariku jadi seakan selalu kebakaran. Mana di semester II jadi sama-sama tinggal di asrama lagi, berdua ama sohibnya! Padahal tadinya kan mereka anak pulang-pergi, ih awalnya udah seneng denger ada anak PP yang jadi asrama tapi orangnya bener-bener bukan yang Aku perkirakan!

Pada suatu malem pernah kami satu angkatan di asrama ketemu Shinta, satu teman kami yang udah pindah lalu berkunjung lagi ke pondok kami. Ternyata momen seperti ini gak lepas dari orang yang bikin Aku kzl. Pas aku lagi marah, I ngomong, "Kontrol beungeut sia Teh!", padahal bukan marah ke dia juga tadinya. Dia sama banyak ikhwan ditambah Bilang, "Tinggang! Tinggang!

Wah wah wah, berani sekali ya dia dan antek-anteknya itu ingin menindas seorang Akhwat?

Pas MH taun selanjutnya di Pasanggrahan, untung aja aku beda kelompok sama dia. Tapi aku rasanya kzl banget waktu Zulfa, salah satu temen Akhwat Aku yg sekelompok bilang katanya I itu temen yang enak banget diajak ngobrol walaupun gak sekelas lagi.

Buat aku sich boro2 enak diajak ngobrol, yang ada malah sakit hati terus tiap hari! Ide jadiin dia anak asrama itu malah jadi mimpi buruk bagi Aku! Tros aku langsung bilang sama temen akhwat itu tadi tentang apa aja yang sebenernya Aku rasakan kalo lagi bareng I. Beneran, di situ aku sampe nangis ngumpet2 dari anak2 didik di masjid, dah!

Di kelas XII, tentunya kami masih berjumpa lagi! Tahun terakhir kami sekolah ini malah paling Menjadi rasa sakit buat Aku! Hal yang paling bikin aku syedih adalah ketika Aku manggil kecengan Aku dengan sebutan "Mr. Hyunh". Eh, dia ini malah sewot gak jelas aku punya panggilan kayak gitu buat orang yang jadi pujaan Aku! 

"Hanna, kamu tuh bodo manggil dia kayak gitu. Emangnya kamu siapanya dia? Gimana kalo dia gak terima dipanggil kayak gitu!?" omelnya.

Wwadefuq? Kenapa sich kayak gitu aja gak suka? Gaje ah! Lagian dia sendiri juga udah punya pacar waktu itu, kenapa harus ribet ngelarang Aku manggil kek gitu ke orang yang aku kecengin? 

Mr. Hyunh itu nama netral aja, sama sekali gak ada maksud untuk merendahkannya! Padahal I sendiri juga sering nyebut Aku macem" yang jelas" menghinaku! Dia juga gak pernah mikir kalo Aku ini terima apa engga sama perbuatan dia! Hih, GJ dan licik amat sich!

Nah, nah, nah, penampilan Aku waktu sekolah dulu juga gak luput dari cemoohannya! Masa Aku yang biasa pake kerudung panjang dibilang kayak nenek-nenek? Emang sich, aku biasanya dulu pake kerudung langsung yang panjang, kalo temen-temen lainnya pake kerudung segitiga. Iya sich Aku ngaku kalo aku emang males pake kerudung segitiga, tapi kerudung jenis gitu nutupin badannya gak sebanyak kalo kerudung langsung yang ukuran XL! 

Makanya, kerudung langsung itu Aku pertahanin supaya nutupinnya maksimal. Pashmina juga walaupun panjang tapi gak terlalu nutupin badan kalo dibandingin kerudung langsung. 

"Hei Nenek! Orang yang kamu sukai itu gak suka yang kayak nenek-nenek!" sembur I.

Kalo di sekolah negeri/umum, masih bisa ditoleransi orang yang ngomong gitu. Lha, ini mah di ponpes! Justru sudah seharusnya para santriwatinya pake kerudung panjang nan lebar. Ponpes tempat Aku sekolah itu malah sebenernya agak longgar aturannya karena gak wajibin gamis and cadaran tiap hari. 

Sampe2 orang yang aku suka dibawa-bawa, padahal belum tentu juga YBS memang ngomong begitu! Jadi pengennya dia, Aku ganti aja jadi jilbab pendek karena disangkanya aku bakal bikin kecengan Aku itu peka, gitu!? Parahnya, bukan I aja yang ngejek gitu, tapi juga ikhwan-ikhwan yang lainnya. Ckckck, sama akhwat berani merendahkan, ya?

Cari lawan tuh yang sebanding, ini mah perempuan diajakin berantem. Oh iya, pas di kantor sekretariat pondok, alias "ustadz's headquarter", pernah Aku diténgkas sama I sampai jatuh! Bagi yang belum tau apa itu diténgkas, artinya kira-kira "dijegal" kakinya gitulah. Apaan sich, aku gak salah juga waktu itu, sampai harus dibantu teman" ciwi untuk berdiri lagi! 

Dia Baru aja memperoleh gelar S. Sos, tapi dia ternyata malah sosiopat (ini beda ama psikopat ya), hihihi. Sok doakeun ku abdi sina jadi Professor, biar nanti bisa bikin alat-alat eksentrik terus nanti berantem ama berang-berang campur bebek yang warnanya biru, wkwkwk!

Sekian dari saya, karena tentunya semua hinaannya kepada saya tentu tak dapat lagi saya sebutkan satu persatu.

Wassalam! A



 

Sunday, March 7, 2021

Kau Akan Abadi dalam Tugas Akhirku

Assalamualaikum, selamat pagi/siang/sore/malam, aku kembali!

Tulisan ini emang ditulisnya malem, tapi orang kan bisa bacanya kapan saja. Jadi, mulai dari tulisan ini sampai postingan-postingan mendatang aku bakalan pake salam tadi.

Udah setahun lebih nih aku gak ngisi ini blog karena aku udah mulai persiapan nulis skripsi. Ngomong-ngomong skripsi, rasanya asik banget begitu tau isi skripsinya boleh tentang karakter-karakter novel Aku! Berhubung jurusan aku itu DKV, jadinya novel aku itu wajib dijadikan Komik. Mana pas sidang karya nanti itu harus membahas referensi seluruh isi karyaku itu, termasuk inspirasi para karakternya, kan hasek! 

Ngomong-ngomong skripsi dan tugas akhir, bukan rahasia lagi tentang wajibnya menulis "Ucapan Terima Kasih" untuk semua yang telah terlibat dalam penulisan skripsi dan perancangan tugas akhir! Hehehe, dilihat dari judulnya jangan dulu berpikir aku akan menuliskan nama orang terkasih, ya! Karena memang belum punya saja, walaupun begitu tetap saja ada nama yang terus melekat dalam memoriku. Nama orang ini sama sekali bukan orang yang menorehkan kenangan yang patut disimpan, tetapi perbuatannya itu layak menjadi referensi untuk karyaku nanti.

Karakter yang kubuat untuk cerita Komikku nanti banyak mengakar dari kisahku bersama orang-orang di sekitarku, tapi fiksi. Jadi para karakter itu tidak akan plek ketiplek sama dengan orang-orang itu tadi. Di sini aku akan bocorkan satu nama teman (atau justru malah musuh?) jaman SD dulu yang menjadi referensi untuk satu karakter di dalam karya tugas akhirku nanti. Bahkan sahabatku sejak kelas V SD, Diva, sudah menuliskan nama sang musuh itu dalam blognya, karena temanku itu juga korban dia!

Drung ... Drung ... Drung .... (SFX drum dipukul)

Nama musuh kami berdua itu adalah ... Regian Rinaldhi Muttaqien! Saking nyebelinnya itu orang, Diva gak ragu lagi nulisin nama dia di blog tentang pengalamannya di-bully olehnya! Regian itu sekelas sama Aku pas kelas IV dan V. Waktu kelas IV, kelakuannya masih mending belum parah-parah amir, begitu kami termasuk Diva sekelas lagi pas kelas V, itu benar-benar ujian bagi aku dan Diva.

Regian itu sering banget ngejek Aku "Gila" hanya karena Aku suka banget menggambar Danny Phantom. Bukan hanya ngejek, dia malah sampai bikin aku gak dapet nilai ketika kerja kelompok kelas V (kisah ini nanti aku ceritain di postingan selanjutnya, ya). Saking nyebelinnya, pas Aku dan Diva udah beda sekolah waktu SMP masih aja aku sebel sama Regian itu. Waktu aku kelas VII (tujuh) aja, aku sampai bertanya ke Irsyad adikku yang besar, "Boleh gak Regian dibilang Dr. Doofenshmirtz?" 

"Gak boleh!" seru Irsyad tegas.

"Kenapa? Kan Doofenshmirtz jelek, jahat lagi!" protesku.

"Tapi kan pinter!" seru Irsyad lagi.

Adikku itu sering mendengar kisah "kejahatannya" Regian, makanya dia tahu teman cowokku jaman SD itu tidak layak disamakan dengan profesor jahat dari Phineas and Ferb itu.

OK, balik lagi ke soal skripsi dan tugas akhir, nantinya aku akan membuat tokoh cowok yang sukanya nge-bully Davina Fenton, cewek yang jadi tokoh utama. Namanya Devon Matsumoto, dia ini blasteran Amerika-Jepang. Nah, si Devon ini adalah versi karakter komikku dari Regian tadi. Wajah Regian itu mirip-mirip orang Jepang, makanya Devon jadi keturunan campuran Jepang! 

Buat yang namanya Regian Rinaldhi Muttaqien, siap-siap ya nama kamu abadi di dalam tugas akhirku! Xixixi ....

Berhubung tangan udah pegel ngetik, sekian sampai di sini dulu yak. Terima kasih buat yang sudah baca. 

Thank you.
Syukron.
Arigatou.
Hatur nuhun.




Ubahlah Persepsi Atas Diri Sendiri!

Catatan 12 Januari 2024 Setelah aku konsultasi dengan psikiater pada akhir Desember tahun kemarin, hari ini aku akan lanjut ke sesi ketiga t...