Pada suatu siang di saat aku masih kelas IV, aku sedang menulis buku cerpen di dalam kelas. Teman sekelasku, Nadia Regyna Nusivera (dia bukan friend, cuma classmate doang) lewat di belakang aku lalu terdiam.
"Hanna, kamu lagi apa?" tanya Nadia.
"Lagi nulis cerita," jawab aku sambil terus nulis di atas lembaran blocknote.
"Hah? Hanna, jawab aku ya. Apa aku nggak salah denger Hanna nulis cerita?" tanya dia lagi sambil pake nada sinis.
"Nggak," jawab aku datar, masih lanjut nulis. Sumpah, ide aku rasanya unlimited meski dijulidin manusia macam begitu yang herannya malah duluan ketemu her own truly prince charming.
"Hanna kan bego, mana mungkin bisa bikin cerita!" ejeknya sambil melenggang pergi dari belakang aku.
Kalo cemoohan classmates yang julid sih kayaknya aku bisa nggak terlalu hirau. Namun, di saat ortu nanya retoris, "Teteh (panggilan buat aku sebagai anak yang terbesar) itu pinter gak sih!?" rasanya nyaris mustahil buat nggak jadi bahan overthinking. Bukannya nyalahin ortu apalagi Papah yang udah lama nggak ada ya, soalnya kalo mereka sampai keluar kalimat gitu artinya ada something wrong dalam diri aku. Orang luar sih bisa aja cuman julid atau sirik doang.
"Kayaknya Teteh itu ada something wrong dalam Insiden Kelinci itu, makanya bisa telat paham," ujar Mamah langsung ke intinya bilang ada yang nggak beres dalam diri aku dengan nada khawatir.
Omongannya Nadia yang tadinya aku bisa cuekin, malah jadi keingetan lagi habis Insiden Kelinci itu. Pada saat itu, aku mikir gini, kayaknya aku ini emang bodo deh. Ketika banyak temen di sekolab ngejek aku bodo, ternyata emang beneran iya aku gitu karena bisa nanya soal itu. Pas aku beneran ngomong "Aku ini emang bodo", Papah nyuruh aku istighfar karena ucapan bisa jadi doa, khawatir jadi beneran lebih buruk lagi. Tapi kalo udah ada peristiwa modelan gitu sih rasanya susah biar nggak mikir gitu ke diri sendiri.
Seiring berjalannya waktu, dengan terapi ke psikolog dan berdiskusi dengan banyak orang baik sama temen real life atau curhat sama orang di medsos, semakin mantaplah aku mengenali diri ini. Hal yang dikira kebodohan, ternyata hanya sebuah cara pandang yang berbeda saja. Kurang dari setahun yang lalu, telah kuketahui bahwa otakku ini neurodivergent, yang artinya berpikir secara berbeda dari kebiasaan umum. Sejak pertengahan bulan Januari lalu, dapet lagi nih istilah baru dari seorang kerabatku buat kondisi aku : cognitive dissonance!
"Cognitive dissonance is the discomfort a person feels when their behavior does not align with their values or beliefs. It can also occur when a person holds two contradictory beliefs at the same time. Cognitive dissonance is not a disease or illness. It is a psychological phenomenon that can happen to anyone."
Artinya : "disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan yang dirasakan oleh seseorang ketika sikap mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai atau kepercayaan mereka. Itu dapat pula terjadi ketika seseorang memegang dua kepercayaan yang bertolak belakang dalam waktu yang bersamaan. Disonansi kognitif bukan sebuah penyakit atau kelainan. Itu adalah fenomena psikologis yang dapat terjadi pada siapa saja."
Ya, Papah almarhum pernah mengatakan hal yang masih satu makna dengan pengertian dari istilah di atas. "Teteh itu punya sudut pandang yang berbeda, tetapi itu bukan sebuah penyakit mental, hanya sebuah perbedaan saja," papar beliau.
Arti dari infografis di atas adalah "Tanda-tanda dari Disonansi Kognitif", banyak dari tanda di atas yang udah kaalaman (dialami oleh sendiri) pasca Insiden Kelinci. Juga untuk Insiden Iblis for the lesser extent. Apa saja tuh yang kualami? Kita artikan satu persatu dulu deh!
- menghabiskan waktu yang berlebihan untuk membuat sikapku menjadi dianggap masuk akal kepada diri sendiri atau orang lain. (Waktu lebih dari SEPULUH TAHUN jelas bukan waktu yang bentar buat masih terus kepikiran insiden itu. Bukannya aku dendam, sama sekali bukan. Meskipun udah banyak banget attempts aku buat ngelupainnya, tetep aja terus bercokol di kepala nggak mau ilang.)
- merasa malu yang intens atau merasa malu akibat sesuatu yang dikatakan atau dilakukan, dan memiliki dorongan untuk menyembunyikan atau menghindari orang lain untuk mengetahui hal tersebut. (Tanda ini yang paling kerasa sama aku pas awal-awal pasca Insiden Kelinci itu terjadi, aku terlalu malu untuk curhat. Bahkan ke Mamah aja baru aku spill pas udah lewat setahun dari kejadiannya!)
- merasakan sedih akan sebuah keputusan pada saat sebelum atau sesudah membuat keputusan itu. (Ya, hingga detik ini masih aja sedih karena aku keceplosan nanyeak ke almarhum Papah mengenai perbedaan orang menyikapi situasi manusia dan hewan yang meninggal. Harusnya kalo gak tau jawabannya pada saat itu, aku biarin aja buat ketemu jawabannya sendiri suatu saat nanti.)
- menyerahkan diri karena tekanan dari orang-orang sekitar atau bertindak yang bertentangan dengan
- mengalami rasa bersalah yang intens atau menyesali perbuatan secara mendalam. (Nyeselnya itu nggak ilang-ilang, bahkan banyakan nyesel daripada nyeseknya. Makanya waktu itu buruan ke psikolog karena waktu ternyata nggak menghapus peristiwa itu, the real "nggak lekang oleh waktu".)
- merasa tidak berdaya dan putus asa, karena tidak tahu bagaimana menyampaikan apapun yang terasa "tidak tepat". (Sebelum ke psikolog, aku udah nggak tau mau gimana lagi buat ngehibur diri dan ngelupain peristiwa itu, makanya dulu pas umur 11-14 tahun pernah fanatik sama Danny Phantom itu biar bisa lupa soal Insiden Kelinci itu, hasilnya ... ternyata nggak berhasil.)
Pada umumnya, orang beranggapan bahwa hewan itu hina, derajatnya di bawah manusia. Anggapan tersebut juga berkaitan dengan kepercayaan dalam banyak agama. Makanya binatang itu jangan dianggap setara dengan manusia menurut anggapan yang umum itu. Dalam pemahamanku, nyaris tidak pernah hewan itu dianggap makhluk rendahan.
Insiden Kelinci itu timbul karena rasa tidak nyaman melihat reaksi semua orang di sekitar yang kontras denganku akan kelinci yang mati, kemudian mempertanyakan hal itu. Rasa sedihku untuk hewan peliharaan dahulu itu sama besarnya dengan anggota keluarga yang sesungguhnya. Nah, itu bisa jadi contoh kasus dari cognitive dissonance tadi. Karena, pemikiran aku soal hewan itu beda dengan kebanyakan orang, bahkan bisa jadi melenceng dari ajaran ahama!
Jelas tidak mungkin setara plek ketiplek antara manusia dengan hewan, pastinya manusia masih jelas jauh lebih berharga. Akan tetapi, hewan peliharaan pada satu titik pernah menjadi tempatku mencurahkan perhatian dan kasih sayang, sama persis dengan anggota keluarga sendiri. Mudah bagiku untuk menerima gagasan bahwa manusia lebih berharga daripada hewan, tetapi sulit bagiku untuk menerima gagasan bahwa hewan adalah makhluk hidup yang rendah sehingga tidak boleh ada penyamaan sama sekali dengan manusia. Padahal, sudah sekian lamanya kupegang prinsip bahwa akal membuat manusia lebih tinggi daripada hewan, hanya saja rasanya tetap sulit untuk bersikap datar-datar saja untuk kematian hewan layaknya kepada orang .
Bukan hanya Insiden Kelinci aja lho yang kayaknya disebabkan oleh cognitive dissonance ini. Perihal aku merasa terkekang oleh hijab juga disinyalir dari penyebab yang sama. Udah selalu ditanamkan dalam otak ini bahwa "hijab itu wajib, kalo gak dipake bakalan ke neraka", tapinya koq nggak pernah bikin tenang jika kewajiban itu sudah dijalankan. Padahal kan normalnya itu tenang karena benar, gelisah karena salah.