Wednesday, August 31, 2022

Kewajiban yang Tidak Kusukai, Ternyata Juga Tidak Terlalu Tepat Bagi Aku

Catatan 1 September 2022


Artinya "Menurut psikologi, kamu akan lebih bahagia ketika kamu melakukan banyak hal dari cinta, bukan demi cinta."

Kebenaran dari kutipan di atas sudah terbukti, selama ini hidupku jarang sekali merasa bahagia karena aku hanya melakukan suatu hal yang tidak kucintai agar dicintai Allah SWT (katanya) karena aku taat aturan-Nya dan juga banyak orang lain.

Kutipan tersebut tidak selalu mudah untuk dijalankan, tergantung situasi dan kondisinya. Untuk kasusku, malah aku wajib mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhku, itu adalah sesuatu yang tidak membuatku nyaman tetapi harus tetap dikerjakan supaya tetap diterima dengan baik oleh orang-orang sekitar. Misalnya, oleh Mamah dan teman-temanku di kostan. Apa boleh buat, kewajiban memang tidak pernah memikirkan apakah pelakunya itu merasa nyaman atau tidak ketika menjalankannya.

Boleh dibilang, aku ini bisa jadi sebagai "people pleaser". Karena, aku biasa melakukan sesuatu, terutama mengenakan jenis pakaian tertentu supaya aku diterima keluarga dan teman-teman. Sebenarnya hampir tidak pernah (kalau bukan tidak pernah sama sekali) merasa happy jika mengenakan jilbab. Demi menghindari kemarahan Tuhan dan orang-orang tersebut, mau tidak mau harus kujalani hidupku yang seperti ini, meski rasanya tercekik setengah mati.

Semakin ke sini, apalagi masalahnya bukan hanya soal aku ini mau atau tidak untuk menutupi aurat. Ternyata sudah berimbas ke perihal ketertarikan lawan jenis! 

"Pakaianmu itu tidak bikin laki-laki bangga gaet kamu!" kata seorang kerabat pada suatu saat.

Pernyataannya itu sudah teruji kebenarannya, dua temanku di kostan yang sama-sama mengenakan jilbab juga mengatakan hal senada buat aku. Memangnya seperti apa sih pakaian yang biasa kukenakan? Ya, hijab, layaknya muslimah pada umumnya di Indonesia saat ini. Ketika teman-teman mengenakan gamis, aku juga memakai yang seperti itu, ketika teman-teman mengenakan rok, aku pun demikian penampilannya. 

Dua temanku tadi itu berhijab, tetapi tetap saja mendapatkan pasangan sudah yang saling mencintai. Bagaimana denganku selama bertahun-tahun lamanya terus berpakaian sesuai dengan syariat dan juga didikan orang tua? Pengalaman asmaraku kontras dengan dua teman cewek tadi. Berarti untuk diriku berlaku sebuah kasus khusus, beda dengan sikon mereka..

Jika banyak wanita yang stay syar'i tetep aja punya pasangan bahkan hingga menikah, nasibku tidaklah seperti itu, meski mengenakan pakaian yang sama dengan mereka. 

"IRL (in real life) yang pakai hijab udah pabalatak (saking banyaknya)!" kata kerabat yang sama dengan perkataan yang tadi.

Hei, hei, hei, buat yang baca jangan kebawa esmosi dulu. Bukan hijabnya yang bikin aku nggak menarik, tapi karena itu adalah hal yang udah saking seringnya di jaman sekarang. Bahkan hijab kayaknya udah jadi stereotip perempuan di Indonesia, deh, secara agama Islam itu mayoritas di sini. Dulu sih karena yang nutup aurat itu masih keitungnya jarang ya makanya kerasanya kayak yang taat banget dan mengagumkan.

Makanya, aku biar lebih gampang buat dikenal orang, harus bisa berpenampilan stand out dari jutaan wanita lokal lainnya. Terlepas dari soal hijab tadi, apapun yang kelihatan indah jika sudah terlalu banyak ya siap-siap aja ada saja yang kurang ter-notice oleh orang lain karena nyaru sama yang lainnya. Kayaknya sih analogi wanita berhijab itu eksklusif juga makin nggak berlaku, karena udah makin generic.

Analoginya begini : ada jutaan bunga mawar di taman, pastinya nggak semuanya bakalan ketangkap mata kita kan? Karena semuanya sama. Coba kalo di antara sekian banyak bunga mawar itu nyempil bunga-bunga lainnya yang beda, semisal bunga bakung atau krisan. Pasti bakalan jauuuuh lebih eye-catching, ketimbang posisi mereka masih ditempati sesama bunga mawar juga.

Nah, jika ada satu atau beberapa bunga mawar tadi yang orang nggak ngeh keberadaannya, sama sekali bukan berarti si bunga itu gak menarik karena dia bunga mawar kan? Begitu juga dengan kasusnya aku di sini, bukan cowok susah tertarik sama aku karena dihijab bikin nggak kelihatan menarik, melainkan karena tidak adanya diferensiasi di penampilan aku. Udah terlalu umum!

Sifat manusia pada umumnya menyukai hal-hal yang unik, beda. Bisa jadi aku harus menjadi "lain daripada yang lain" agar mendapatkan perhatian khusus dari lawan jenis. Tidak semua wanita kelihatan oke dengan kain jilbab di kepalanya dan pakaian yang longgar nan tertutup di badannya, karena sudah 'tertumpuk' dengan hijabers yang bejibun tadi. Kupikir hanya perasaanku saja jika kuanggap diriku ini tidak menarik jika tidak tampil seperti banyak tokoh di budaya populer. 

Selama bertahun-tahun, akhirnya terbukti juga bahwa pikiranku itu benar. Sudah aku ini mengenakan pakaian yang sama sekali tidak membuatku senang, lawan jenis juga tidak ngeh sama aku jika masih memegang kewajiban itu. Bukan kewajibannya yang salah, tapi aku jadi nggak ada pembeda dengan wanita-wanita lainnya. Apalagi konon kewajiban menutup seluruh tubuh ini kurang cocok dengan iklim Indonesia yang tropis, panas dan lembab, makanya banyak bermunculan produk khusus hijab kayak sampo, deodoran, sabun, sampai deterjen yang artinya hijab itu lebih bikin keringatan dibandingkan pakaian konvensional!

Kita sering mendengar bahwa penilaian dari Tuhan itu jauh lebih penting daripada pujian dari makhluk, tepatnya manusia. Tapi untuk mencari pasangan, jelas apresiasi dari lawan jenis juga tidak bisa dikesampingkan! Ini sih sudah akunya gak suka pakai baju yang ketutupan (TBH, aku pengen kelihatan keren kayak banyak tokoh anime), laki-lakinya juga nggak tergerak buat dapet aku yang hijaban, karena udah gak ada keunikannya lagi! Kalau sudah begini, siapa yang senang dengan pakaianku yang gini-gini aja?

Jika aku berpakaian yang terbuka, itu bukan hanya kulakukan demi cinta dari lawan jenis saja. Tapiiii, juga sudah kuidamkan sejak kecil. Bahkan sejak TK, pas setiap pulang dari sekolah aku curi-curi kesempatan buat niru-niru pakaian tokoh-tokoh anime! Nanti deh, aku ceritain pengalaman cosplay abal-abal pas masih umur lima, niruin kostumnya tokoh Marjo dari anime Time Bokan..


Beda Nasib, Beda Solusinya Pula

Catatan 31 Agustus 2022

Sudah pernah kubahas bahwa aku sama sekali tidak pernah bangga mengenakan hijab, pakaian yang menutupi seluruh tubuhku. Belakangan ini baru kutahu, ternyata bukan hanya aku saja yang tidak suka jika mengenakan pakaian seperti itu. 




"Pakaianmu itu tidak bikin laki-laki bangga gaet kamu!" kata seorang kerabat pada suatu hari via chat WA.

Perkataan dari kerabatku di atas itu adalah jawaban dari pertanyaan tentang sebab kehidupan asmaraku yang selalu suram. Aku mempercayai itu, karena kehidupan cintaku begini-begini saja selama bertahun-tahun sebagai muslimah yang (dipaksa) taat. Belum juga pernah merasakan saling memiliki dengan seseorang. Ketika sekian banyak temanku memiliki kisah cinta yang bermacam-macam, kisahku sendiri malah nyaris tidak pernah jadi lebih baik selama bertahun-tahun lamanya. 

Kerabat tersebut memang non-hijaber, jadinya wajar dan maklumlah jika ia memandang seperti itu kepada jenis pakaian begitu. Akan tetapi, semua temanku yang berhijab setidaknya pernah berpacaran satu kali saja. Bukannya kosong melompong seperti aku pengalaman asmaranya. Coba aku uji pernyataan itu dengan teman-temanku di kostan yang sesama hijaber, mereka ini sudah berpacaran lebih dari satu tahun.

"Iya bener, baju kamu itu nggak bikin lelaki mau gaet kamu!" kata temanku yang berpacaran selama dua tahun.

"Bener banget, emang kayak gitu kenyataannya!" Temanku yang lainnya yang sudah berpacaran selama empat tahun menyetujui pernyataan kerabatku itu.

See? Ternyata memang benar-benar tidak menyenangkan bagiku jika memakai hijab. Bukan hanya akunya aja yang gak seneng kalo berpakaian begitu, mereka para lawan jenis juga ikutan gak suka liatnya. Mau taat, tapinya koq jodoh jadi berat?

Padahal dua temanku tadi itu semuanya berhijab dan mereka berdua setuju bahwa pakaianku yang menutup aurat ini, tidak dapat membuat lelaki tertarik. Kondisi ini hanya khusus untukku sendiri, bukan untuk semua wanita muslimah. Buktinya, ketika teman-teman berpakaiannya tertutup, hubungan asmara mereka tetap langgeng. Malahan, banyak teman lainnya yang sudah menikah, padahal mereka semua sama tertutup rapat pakaiannya.

Lalu, bagaimana dengan pakaian yang biasa kukenakan? Ya, hijab biasa saja. Sama seperti yang dikenakan oleh teman-teman, baik di kantor maupun saat masih di sekolah dulu. Namun, sudah ada tiga orang yang mengatakan bahwa faktor pakaian juga berpengaruh terhadap sulitnya aku mendapat pasangan.

Mereka pakai gamis, ya aku juga pakai gamis. Mereka pakai rok, aku pun demikian. Mengapa nasibku bisa berbeda soal asmara, padahal pakaiannya sama? Oleh karena itu, harus kucoba usaha yang berbeda pula dari mereka untuk menggaet jodohku! 

Memang ada banyak faktor untuk menarik lawan jenis, tetapi faktor pakaian juga tidak bisa dielakkan. Nasibku yang berbeda dengan para hijabers lainnya dalam soal pasangan, membuatku harus putar otak lebih keras. Ditambah dengan fenomena di media sosial dengan banjir komentar untuk para wanita yang mengunggah foto dirinya yang seksi, bikin aku makin nggak yakin sama profitnya aku pakai busana tertutup nan tidak seksoy. Lihat saja mereka, banyak cowok yang kasih likes, ingin berkenalan dengan mereka, bilang mereka cantik, minta nomor WhatsApp, dan sebagainya, sebagainya, di kolom komentar!

Dari perkenalan lewat medsos itu, akan tercipta interaksi. Hubungan dapat terjalin itu disebabkan oleh rasa nyaman, kalau tidak pernah berinteraksi ya bagaimana bisa tercipta kenyamanan? Sebelum kita saling nyaman dengan lawan jenis, ya mereka harus ditarik dulu oleh kita biar ada interaksinya. Kalo ternyata nggak nyaman dari interaksi dengan satu cowok, ya setidaknya sudah pernah mencoba.

Sebaliknya, para akhwat yang berjilbab biasanya hanya mendapatkan perhatian dari keluarga dan teman-teman satu circle saja di kolom komentar. Padahal tidak jarang dari mereka yang sudah sesuai dengan standar kecantikan umum. Namun, tetap saja para cowok nyaris tidak ada yang nongol di kolom komentar foto mereka seperti pada kasus yang pertama. Jika interaksinya lagi-lagi dengan keluarga atau besties, ya gimana mau buka interaksi dengan lawan jenis? 

Kalau sudah begini, aku jadi semakin meragukan manfaat dari berpakaian sopan menutup aurat. Seumur hidupku, tidak pernah kurasakan secara langsung manfaat dari memakainya. 


Monday, August 29, 2022

Selamat Jalan, Mischa

Catatan 29 Agustus 2022



Mischa, salah satu dari enam ekor kucing peliharaan keluargaku, mati pada pagi tadi hari ini. Sejak kurang lebih tiga minggu yang lalu, dia memang sudah terserang penyakit. Awalnya, dia mendadak pasif, tidak lagi banyak bergerak seperti kedua saudara jantannya dari satu ibu yang sama. Ternyata dia memiliki abses di lehernya, kemudian pecah.

Setelah kami bawa ke dokter hewan dan kami berikan obat untuk abses yang pecah dan terus mengeluarkan nanah itu. Luka dari abses yang pecah itu mengering, tapinya lukanya malah jadi pindah ke atas tengkuknya. Setiap pekan aku pulang dari kostan ke rumah, luka yang barunya semakin kering dan menyembuh. Pada malam Minggu terakhir (27/8), kulihat dia sedang terbaring di atas tanah halaman rumahku.

Nyaris tidak ada pergerakan kucing betina berbulu abu-abu kehitaman itu, sehingga aku khawatir dia tergilas oleh roda motor ojek online yang mengantarkanku dari kantor ke rumah. Untunglah dia waktu itu tidak sampai tergilas, tetapi dia kelihatan lemas sekali dalam posisi loafing sehingga kesulitan untuk berjalan masuk ke dalam rumah kami. Mamahku membawanya masuk. Di situ aku takut dia mati kedinginan di luar, tetapi akhirnya dia benar-benar mati pada tadi pagi lusanya. 

Minggu malam kemarin (28/8), Mischa sudah semakin dekat dengan kematian. Dia tidak mampu lagi untuk berjalan, hanya mengedipkan matanya saja pergerakan yang masih bisa dilakukannya. Badannya kurus sekali, dengan luka kering di tengkuk lehernya yang tersisa. Kedua adikku sudah pasrah saja Mischa tidak akan bertahan hingga esok hari. 

Adik bungsuku Fariz menggerakkan tubuh ringkih Mischa tadi pagi. Seluruh anggota badan tubuh kucing kecil betina itu telah kaku. Tidak salah lagi, dia sudah mati. Rigor mortis, itulah istilahnya. 

Hingga siang harinya, tidak ada orang yang sanggup untuk menggali lubang sebagai kuburan Mischa. Ketika sore, hujan mengguyur. Kami semua pasrah menunggu untuk kucing malang itu dikuburkan pada besok Selasa pagi. Untunglah kucing yang sudah tenang itu dibalut dengan kertas koran dan ditutupi oleh selotip dan lakban oleh Fariz, sehingga diharapkan bangkainya akan tahan busuk hingga besok.

Selamat jalan, Mischa. Maafkan kami jika kami masih banyak kurang tahu dalam mengurus kucing.




Hatiku (Dibuat) Mati Rasa untuk Kematian Hewan

Catatan 29 Agustus 2022

Bagaimana perasaanku terhadap kematian Mischa hari ini? Sedih, tentu saja. Akan tetapi, rasa sedihku akan matinya hewan telah tumpul sejak insiden kelinci itu. Dikhawatirkan perasaan sedihku akan kematiannya hewan memicu tindakan atau sikap apapun yang tidak logis dariku, meski jelas kini takkan lagi seabsurd insiden yang terjadi hampir 14 tahun yang lalu itu. 

Perasaanku kini telah mati jika hewan peliharaanku tidak lagi bersama kami



Kira-kira satu bulan sejak peristiwanya insiden kelinci, terjadi tragedi paling horor, yang pernah kusaksikan langsung tentang hewan peliharaan di sekolahku dulu. Berarti kejadiannya pada bulan Oktober 2008, setelah kami kembali masuk sekolah usai liburan Lebaran di tahun yang sama. Seekor kelinci putih milik sekolah, kehilangan kepalanya dan bagian lehernya tentu saja dipenuhi oleh darah! Dia terbaring, tentu saja tidak lagi bernyawa, di atas rumput sebelah lapangan upacara sekolah.

Seorang teman cewekku, dari beda kelas tetapi masih satu angkatan, tidak tega untuk melihat bangkai hewan mungil yang malang itu. Sebaliknya, aku malah terdiam dan terus memandang hewan yang bernasib mengenaskan itu. Penasaran, ada apakah gerangan dengan kelinci sekolah itu? Air mataku tidak dapat lagi mengalir seperti sebelumnya, ketika seekor kelinci dikabarkan mati pada sahur di hari pertama bulan puasa tahun tersebut.

Kemungkinan kelinci itu diterkam oleh kucing liar yang biasa berkeliling daerah sekolah. Kelinci di sana sengaja diberikan makan oleh petugas di sekolah dan juga anak-anak. Berbeda dengan kucing di sana, mereka tidak dipelihara sehingga nyaris tidak ada yang secara khusus memberikan makanan kepada mereka. Jadinya kemungkinan mereka sedang sangat lapar dan menjadi versi terseram dari mereka ketika berhadapan dengan kelinci sekolah tersebut.

Sejak kesalahanku pada insiden kelinci itu, yang merasakan keheranan atas perbedaan sikap orang-orang antara kematian manusia dan hewan, aku tidak berani lagi untuk merasakan kedukaan atas kematian hewan peliharaan. Aku berusaha untuk menjadi seperti orang lain pada umumnya, yang membedakan kadar kesedihan untuk kematian dua makhluk hidup yang berbeda. Tidak ada lagi perasaan berduka yang menganggap seakan mereka adalah anggota keluargaku sendiri. Perasaan seperti itu hanya untuk anggota keluarga yang sesungguhnya, oleh karena itu tidak akan ada lagi perasaanku yang heran atas sikap semua orang di sekitarku yang tidak bereaksi untuk menanggapi kematian hewan.

Sampai-sampai aku tidak berani lagi untuk memiliki hewan peliharaan selama lebih dari sepuluh tahun, karena saking khawatirnya akan tidak kuasa menahan sedih ketika mereka mati nanti. Jika perasaan sedihku sama besarnya antara manusia dan hewan, mungkin itu akan menjadi hal yang buruk. Kecuali kalau ikan, aku masih sanggup untuk ikut memeliharanya bersama dengan adikku Irsyad. Lagipula, saat itu dia yang lebih antusias untuk memelihara hewan air tawar dalam akuarium itu. 

Bertahun-tahun lamanya kisah insiden kelinci itu agak terlupakan, memori itu kembali mencuat ketika seekor kucing milik tetangga mati pada akhir tahun 2020 lalu. Hampir saja aku merasakan kedukaan yang intens pada hari kematian Meow Cat, nama kucing tetangga yang mati tersebut. Hingga hari ketiga setelah kematiannya, masih saja kurasakan sedih. Aku tidak ingin untuk bersedih dalam kadar yang sama seperti kepada sesama manusia lagi untuk seekor kucing, apalagi itu bukan peliharaan milik kami. 

Oh, ya, sebentar lagi akan tiba tanggal 1 September, ketika insiden kelinci akan menempuh 14 tahun dari tanggal peristiwanya. 

Sunday, August 28, 2022

Diingatkan Kembali untuk Menulis Surat Imajiner Oleh Seorang Tokoh Fiktif

Catatan 28 Agustus 2022

Tadi siang, aku melanjutkan menonton serial Stranger Things season keempat. Acara ini mengingatkan aku agar meneruskan terapi yang sudah lama tidak kujalankan. Surat imajiner! Ya, satu dari enam tokoh utama dalam serial tersebut membuat dan membacakan sebuah surat yang fungsinya kira-kira sama seperti surat imajiner.

Surat yang dibacanya adalah untuk seorang mendiang kakaknya ketika si pembuat surat sedang berziarah ke makamnya. Pas aku melihat adegan itu aku berkata dalam hati, "Ternyata konsep mirip surat imajiner itu udah banyak yang tau." Mungkin justru banyak orang yang sudah familiar dengan jenis surat seperti itu, surat yang seakan ditujukan untuk anggota keluarga yang sudah wafat. Tokoh tadi itu menceritakan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya setelah meninggalnya sang kakak, dia tulis itu semua dalam surat untuk sang kakak yang dianggap sebagai 'penerima' dari surat itu.  

Hampir sepuluh tahun sejak wafatnya Papah, aku baru terpikir untuk menceritakan banyak hal yang terjadi dalam hidupku kepada beliau melalui surat imajiner. Psikolog aku waktu itu hanya menyuruhku untuk menuliskan tentang insiden kelinci dalam surat imajiner untuk almarhum Papah. Setelah hampir semua pikiranku tentang insiden itu kutuliskan dalam surat, aku mungkin akan menulis hal-hal lainnya juga dalam surat imajiner untuk beliau. Beliau adalah teman curhatku semasa hidupnya, terutama pada saat aku masih bersekolah di SD.

Saat aku mulai masuk SMP, jarak kami berdua mulai merenggang karena aku lebih banyak mencurahkan isi hati kepada Mamah. Apakah aku jadi bermusuhan dengan Papah? Oh, tentu saja bukan begitu. Pada saat itu, aku mulai suka dengan cowok di kelas dan beliau benci dengan fakta itu, serta jika kubahas hal seperti itu.

Soal asmara, aku lebih aman jika curhat kepada Mamah. Namun, tidak selamanya soal seperti itu aman untuk diceritakan kepada beliau. Semakin lama, kisah dunia percintaanku semakin tidak aman jika terdengar oleh telinga orang lain di luar kami berdua. Jadi, akhir-akhir ini aku membatasi curhatanku kepada Mamah, di usiaku yang sudah lama melebihi duapuluh tahunan, apalagi beliau semakin sibuk saja karena banyaknya pekerjaan.

Dari acara Stranger Things tadi itu, aku memetik sebuah ide : kisah cintaku yang semakin tidak sehat ini sebaiknya dicurhati kepada Papah lewat surat imajiner saja. Karena surat ini tentu tidak benar-benar disampaikan kepada beliau, tentu saja beliau tidak akan memarahiku akibat isinya. Setelah satu kertas habis untuk ditulis, psikolog menyuruhku untuk selalu merobek dan segera membuangnya. Hal itu untuk mencegah isi tulisanku terbaca oleh orang lain, yang dikhawatirkan akan menimbulkan peristiwa yang tidak diinginkan. 





Friday, August 26, 2022

Apa Senengnya Sih?

Catatan 26 Agustus 2022


Sumpah deh, aku heran sama sekian banyak selebriti yang kayak bahagia banget pake jilbab, buat yang tadinya belum. Dulu pernah denger dari almarhum Papah bahwa banyak orang yang merasa senang berhijab, disangka aku, beliau itu cuma untuk ngabibita aja. Eh, taunya in real life emang aslinya populasi muslimah yang lumayan banyak itu pada bahagia tiada Tara kalo pake jilbab, bukan karena menaati perintah dan kewajiban saja. Inget deh di perpustakaan sekolah jaman SMP, ada satu buku khusus yang merangkum pengalaman puluhan seleb yang (katanya) sangat bersyukur dengan jilbabnya.

Rasanya aneh banget pas baru denger hal seperti itu. Gimana bisa mereka yang ibaratnya newbie dalam dunia perhijaban segitu senengnya, sedangkan aku yang udah terbiasa mengenakannya sejak bayi malah flat-flat aja? Heran gw dengan fenomena macam begini!

Aku tanya temen di kostan kenapa bisa sampai gitu, secara aku pribadi kayaknya hampir nggak pernah ada perasaan senang, bahagia, atau apalah selama berhijab. 

"Pakai hijab itu kan kebanggaan," jawab temanku tadi malam.

"Koq bangga ya? Aku sih nggak pernah ada perasaan gitu, padahal udah pake dari kecil," tanyaku lagi.

Beneran, di mana sih letak kebanggaannya? Aku sih boro-boro bangga, yang ada malah 'bagai kerbau dicucuk hidungnya'!

"Soalnya nggak semua cewek mau pake jilbab," jawabnya lagi. 

Pernyataan temanku ini sangat kubenarkan. Valid koq bahwa nggak semua cewek, terutama yang beragama Islam, mau mengenakan hijab. Karena aku pun demikian. Meskipun perasaanku tidak enak, mau tak mau harus kukenakan karena kedua ortuku keras soal pakaianku.

Tetep aja jawabannya temenku itu masih kerasa ganjel buat aku. Dengan kita sebagai yang sudah memakainya, kita jadi bangga karena tidak semua wanita muslimah bersedia berjilbab? Mereka itu baru mengenakannya pada usia dewasa. Halo, apa kabar denganku yang sejak balita saja sudah mengenalnya? 

Sejak kecil, kalo liat anak" perempuan lain yang lebih 'merdeka' soal berpakaian, aku selalu bertanya kepada diriku sendiri, dalam hati : mengapa aku harus menjadi yang beda dari mereka? Makanya kaget bingitz, lha koq orang-orang yang baru pakai jilbab setelah umur dewasa bisa segitu senengnya, dan juga bangganya kayak yang menang lotere sekian miliar aja. Aku yang sedari kecil pake aja rasanya susah banget buat bayangkan jadi orang yang bangga pakenya. Membayangkan hadirnya perasaan bangga dengan pakaian seperti itu saja sudah nyaris mustahil bagi sayah, apalagi merasakannya beneran? 

Wednesday, August 24, 2022

Gara-gara Singkatan-singkatan

Catatan 23 Agustus 2022

AIS = aku ikan suka
IPJ = ikan paus jomblo
MSK = miskin suka kain
MSI = miskin suka ikan
SKS = suka kisah singgung
KSJ = kisah sejati jomblo
MBB = masjid baru bagus
SOS = sosis orang sirik 

Singkatan-singkatan di atas sebenarnya ditulis oleh sepupuku di buku tulisku waktu kami berdua masih SD. Ketika musim liburan sekolah sudah usai, dia tentu saja kembali ke rumahnya. Setiap kali dia berlibur di rumahku, dia biasa menulis atau menggambar di kertas atau buku tulis khusus untuk mencorat-coret. Jika dia sudah tidak lagi di rumahku, aku sengaja menyalin banyak tulisannya di sebuah buku tulis lainnya yang juga khusus supaya karya-karyanya itu tidak tercecer, kali ini kegunaannya adalah untuk "mengumpulkan" hasil karyanya.

Alih-alih memasukkan tulisan-tulisannya yang asli ke dalam sebuah buku, aku menulis ulang hasil karyanya sambil mengoreksi ejaannya yang masih kurang huruf atau salah huruf. Maklum, dia ini adik kelas alias "dekel" yang berbeda satu angkatan di bawahku. Bukan hanya perkara ejaannya saja, kadang maksud dari kalimat yang dia tulis itu sulit dimengerti, kecuali aku mengingat-ingat ketika kami membahas apa yang dia tulis.Kalau sudah memahami maksud dari tulisannya, ketika kusalin 

Pengaruh Karakter Anime dan Animasi Barat pada Karakter Ciptaanku

Catatan Minggu, 24 November 2024 Karakter dengan kekuatan es selalu menarik perhatianku. Ada sesuatu yang luar biasa tentang bagaimana eleme...